Setelah menyutradarai dan membintangi Caramel, Nadine Labaki melakukan hal yang sama untuk Where Do We Go Now. Berlokasi di Lebanon, film ini mengangkat kesedihan mendalam kaum perempuan akibat peperangan antara umat Islam dan Kristen di sana.
Dibuka dengan sebuah narasi dan adegan sekumpulan perempuan dalam masa duka, dari dua agama yang berperang:
Cerita ini aku kisahkan, untuk semua orang yang ingin mendengar. Kisah tentang siapa yang cepat, kisah tentang siapa yang berdoa. Kisah tentang kota kecil, yang dikelilingi ladang ranjau. Terperangkap peperangan, yang jaraknya begitu dekat. Dua kelompok yang patah hati. terjerang panas matahari. Tangan mereka bernoda darah atas nama salib dan bulan-bintang. Dari tempat terpencil ini, ada sebuah kedamaian yang bisa dipilih, dari siapa sejarah bergulir di antara kawat-berduri dan desingan peluru. Kisah panjang tentang wanita bergaun hitam. Tanpa bintang-bintang berkilau, tanpa bunga-bunga yang segar. Mata mereka dikelilingi lingkaran gelap. Wanita yang dipermainkan takdir.
Nadine memerankan tokoh Amale, seorang janda Kristen pemilik kafe. Di kafe itulah penduduk biasanya nongkrong, tanpa memperkirakan agamanya. Di desa itu pula, masjid dan gereja berdiri berdampingan. Berita mengenai peperangan antaragama selalu dihindari oleh kaum perempuan, mereka tidak menginginkan hal yang sama terjadi di desa mereka. Selama ini, mereka bisa hidup berdampingan dengan damai.
Tapi, ada saja yang memicu kerusuhan. Ketika salib gereja patah, dibalas dengan sabotase masjid, dibalas lagi dengan kekacauan di saat pembaptisan, dan sandal masjid yang dicuri. Sedikit masalah langsung merujuk ke agama.
Maka, kaum perempuan pun mencari ide, untuk membuat para suami dan pemuda berhenti cari ribut. Didatangkanlah penari-penari seksi dari Rusia untuk mengalihkan perhatian. Eh kok malah jatuh satu korban nyawa. Tak ingin terjadi perang, si ibu berusaha menyembunyikan fakta agar tidak jatuh korban yang lain.
Kaum anak-anak dan perempuan adalah pihak yang akan menderita jika terjadi perang. Agama lain dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan, sama-sama merasa benar. Film ini dibumbui dengan komedi-komedi ala ibu-ibu Arab yang gemar menggosip dan romantisme antara Rabih dan Amale yang berbeda agama.
Jogja, 17 Mei 2015
Dibuka dengan sebuah narasi dan adegan sekumpulan perempuan dalam masa duka, dari dua agama yang berperang:
Cerita ini aku kisahkan, untuk semua orang yang ingin mendengar. Kisah tentang siapa yang cepat, kisah tentang siapa yang berdoa. Kisah tentang kota kecil, yang dikelilingi ladang ranjau. Terperangkap peperangan, yang jaraknya begitu dekat. Dua kelompok yang patah hati. terjerang panas matahari. Tangan mereka bernoda darah atas nama salib dan bulan-bintang. Dari tempat terpencil ini, ada sebuah kedamaian yang bisa dipilih, dari siapa sejarah bergulir di antara kawat-berduri dan desingan peluru. Kisah panjang tentang wanita bergaun hitam. Tanpa bintang-bintang berkilau, tanpa bunga-bunga yang segar. Mata mereka dikelilingi lingkaran gelap. Wanita yang dipermainkan takdir.
![]() |
IMDB |
Tapi, ada saja yang memicu kerusuhan. Ketika salib gereja patah, dibalas dengan sabotase masjid, dibalas lagi dengan kekacauan di saat pembaptisan, dan sandal masjid yang dicuri. Sedikit masalah langsung merujuk ke agama.
Maka, kaum perempuan pun mencari ide, untuk membuat para suami dan pemuda berhenti cari ribut. Didatangkanlah penari-penari seksi dari Rusia untuk mengalihkan perhatian. Eh kok malah jatuh satu korban nyawa. Tak ingin terjadi perang, si ibu berusaha menyembunyikan fakta agar tidak jatuh korban yang lain.
Kaum anak-anak dan perempuan adalah pihak yang akan menderita jika terjadi perang. Agama lain dianggap sebagai musuh yang harus dimusnahkan, sama-sama merasa benar. Film ini dibumbui dengan komedi-komedi ala ibu-ibu Arab yang gemar menggosip dan romantisme antara Rabih dan Amale yang berbeda agama.
Jogja, 17 Mei 2015
Tags
Film