Hujan (10)

Mawar. Seorang kekasih. Seorang pemimpi.

Ditinggalkan kekasih tanpa ucapan selamat tinggal itu rasanya jauh lebih perih ketimbang melihat sebuah kenyataan kekasih pergi dengan kekasih hatinya yang lain. Mawar meninggalkanku dengan luka, yang dianggapnya biasa tapi bagiku terlalu dalam dan harus kulupakan. Harus, aku dipaksa melakukan itu.

Benua Amerika. Tempat yang sedemikian jauhnya. Waktu yang berbeda dan takkan pernah sama dengan saat ini kakiku berpijak. Mungkin Mawar sengaja memilih Amerika untuk memperjelas perbedaan di antara kami berdua. Baiklah, hanya karena aku sangat mencintainya maka aku paham. Meski itu bukan penyembuh.

Mawar pergi, Paul dan Dimas tidak lama lagi menyusulnya. Lengkap sudah. Sudah tidak ada lagi orang yang akan mengerti rahasia ini. Kalau aku bersedih, maka aku akan bersedih sendiri. Aku di sini, sendirian.

Minimarket hari ini cukup ramai. Maklum ini awal bulan, orang berbondong-bondong mengisi keranjang belanja dengan kebutuhan bulanan, sampai wadah plastik yang sekitar sejam lalu masih tertata rapi di sudut minimarket dekat counter majalah pun tak tersisa. Masing-masing orang seakan berlomba mengambil item demi item barang takut kehabisan. Dan memang, stok yang terdisplay dengan cepat berkurang. Aku pun ditugaskan oleh supervisor untuk mengambil stok barang di gudang. Posisiku di kasir digantikan oleh Anto, supervisor teladan itu.

Aku membawa list barang yang kosong ke dalam gudang. Dengan mudah aku bisa menemukan letak kardus demi kardus yang kubutuhkan. Bukan barang-barang yang terhitung berat, hanya kardus mi instan, sampo, sabun mandi, dan gula pasir. Aku mengangkutnya satu demi satu kemudian meletakkannya di dekat raknya masing-masing. Aku mengambil pulpen dan saku seragamku untuk merobek lakban bening di kardus mi instan. Dengan sigap aku menata bungkus demi bungkus karena dua orang menunggunya.

Setelah selesai, aku berpindah ke rak gula pasir dan melakukan hal yang sama. Minimarket yang dilengkapi AC ini jadi pengap karena banyaknya pengunjung yang datang. Wajahku pun berkeringat dengan cepatnya.

Aku lalu berpindah ke peralatan mandi. Aku melihat seorang perempuan berdiri di sana tampak membawa beberapa belanjaan tanpa keranjang. Aku melongok ke sudut ruangan lalu ke kasir. Tidak ada keranjang yang nganggur. Aku masuk ke dalam gudang untuk mengambil sebuah keranjang. Itu keranjang yang sama dengan keranjang lain, tapi selama ini hanya dipakai di gudang.

“Silakan, pakai keranjang ini,” kataku sambil menyorongkan keranjang.

Dia menoleh lalu tersenyum padaku. Perlahan dia memindahkan barang-barang bawaannya ke dalam keranjang itu.

“Terima kasih…” ucap perempuan itu dengan tersenyum ramah, “Hujan.” Pandangannya mengarah ke nametag yang tersemat di saku kiri seragamku.

“Iya, sama-sama. Lagi nyari apa?” tanyaku? Bagi orang yang tidak biasa belanja di sini, menemukan satu item bisa jadi lama. Aku dan karyawan lainnya biasa membantu untuk mencarikan barang yang dimaksud untuk para pengunjung.

“Saya nyari sabun aroma terapi yang kemarin itu iklannya Aira Anwar.”

Aku tahu iklan yang dia maksudkan. Produk baru yang proses syuting iklannya mengambil lokasi di tempat bersejarahku dan Mawar, Couple Garden, Suryapadi. maka tak heran jika aku suka sekali dengan iklan berdurasi tiga puluh detik di TV itu. “Jasmine T?”

“Iya, ya, itu. Di sebelah mana ya?” Ia mengangguk penuh antusias.

Dalam tiga detik produk yang dicarinya itu berpindah dari tanganku ke tangannya. Dia membuka katup pada bagian tutup lalu mencium aromanya. Entah mengapa aku malah memperhatikan dia bukannya mengerjakan tugasku loading barang.

“Aromanya enak ya,” kata perempuan itu lalu menutup katup itu kembali dan meletakkan ke dalam keranjang.

“Banyak yang nyari itu, Mbak. Aromanya memang enak dan tahan lama. Saya dapat jatah sampelnya dan saya coba di rumah." Aku nyerocos dan dia mendengarkanku tanpa terlihat ingin menginterupsi.

Setelah aku selesai bicara, dia pun mengucapkan terima kasih dengan senyuman ramahnya dan menuju kasir dan ikut mengantre. Ah, kenapa tadi tidak tanya namanya? Bodoh banget!!! Dia tahu namaku sementara aku tidak tahu namanya. Bego! Hujan kamu memang begoooo!!!! makiku dalam hati.

Aku kembali melanjutkan tugasku loading barang-barang yang stoknya mulai menipis. Setelah semua produk di dalam kardus berpindah ke rak display, aku pun kembali ke gudang untuk meletakkan kardus-kardus kosong di tempat tumpukan kardus kosong. Setelahnya, aku mematikan lampu gudang dan meninggalkan tempat itu menuju kasir.

Satu per satu antrean meletakkan keranjangnya di atas meja layan untuk dihitung dengan sistem sensor. Aku sekilas melihat perempuan tadi, dia mengantre lima orang dari depan. Lagi-lagi dia melemparkan senyuman. Ayo, tanya namanya, Hujan! Apa salahnya tahu namanya? Mawar nggak bakal marah kok!

Aku menelan ludah, ah kenapa aku harus diingatkan pada Mawar yang menggantungku dalam hubungan panjang yang tidak jelas? Kalau dia bisa seenaknya berpacaran dengan orang lain, kenapa aku tidak? Kenapa aku harus tetap sendiri tanpa tahu kapan ini akan berakhir?Aku bahkan tidak pernah membuka diriku untuk orang lain, selain Paul.

Tibalah giliran perempuan itu. Dia meletakkan keranjangnya di atas meja layan kemudian memperhatikanku yang mengambil satu per satu barang dari keranjangnya mulai dari yang non makanan. Ada detergen, sabun mandi, pasta gigi, tisu rol, tisu basah, pengharum ruangan, pembersih kaca, dan spons untuk cuci piring.

“Di sini bisa pakai debit, Hujan?”

“Ng… maaf?”

Perempuan itu mengulangi pertanyaannya lalu aku mengiyakan. Ah kenapa aku ini? Dia membuatku salah tingkah. Aku melirik rekanku di kasir sebelah dan sepertinya dia tidak memperhatikanku karena dia sama sibuknya.

“Semuanya seratus lima puluh tiga, ribu. Hm, ada potongan tiga ribu dari Jasmine T, jadi seratus lima puluh ribu rupiah.”Aku membacakan angka yang tertera di layar.

“Okey, Hujan,” sahutnya sambil mengeluarkan kartu debit keluaran Perkasa Bank. Dia menyerahkan kartu itu padaku. Ketika hampir sampai di tanganku, gerakannya terhenti. “Saya sekalian isi ulang pulsa Fujisel seratus ribu ya,”

Deg! Apa dia tahu kalau aku ingin tahu namanya? Dan, apa iya sebuah kebetulan belaka jika dia mengisi pulsa? Aku akan dengan mudah tahu nomor teleponnya.

Aku hanya mengangguk dan mengisikan pulsa sebelum mentotal semua belanjaannya. Tanpa kucatat di kertas pun, aku sudah hapal nomor teleponnya. Dan dia bernama Paramita Sawitri. Nama yang indah. Itu yang tertulis di kartu debitnya.

“Terima kasih, Hujan,” ucapnya seraya mengambil tas berisi barang belanjaannya di atas meja layan.

“Sama-sama, Mbak. Terima kasih telah berbelanja di tempat kami,” balasku tidak mengurangi formalitas yang harus kujalankan.


Para karyawan shift kedua sudah menggantikan posisiku. Aku langsung menuju rumah seperti biasa. Badanku pegal sekali. Perutku lapar. Ketika melewati warung nasi yang letaknya tidak jauh dari rumah Mawar, aku singgah di sana. Makan seporsi nasi dengan lauk ikan goreng plus sayur asem setidaknya akan mengembalikan energiku kembali.

Aku menyantap makan soreku sambil mengecek hape. Andai hari ini Mawar ingat padaku dan mengirimkan SMS, menganyakan kabar, bilang kangen, pingin cepat-cepat pulang, atau apalah. Andaikan itu terjadi. Tapi tidak.belum pernah maksudku sejak aku punya hape ini.

Mengapa jika di Amerika dia begitu dingin padaku? Apa yang membuat dia begitu mudahnya lupa padaku? Bukankah dia tahu kalau aku pegang hape karena ingin tahu kabarnya? Bukan kabar dari Paul, ya meskipun aku juga tidak menampik kalau aku pun merindukannya. Di phonebook-ku hanya ada beberapa nomor saja. Pulsa di hapeku pun hanya dua puluh ribu.

Setelah makan, aku teringat dengan Paramita. Oh ya, tadi nomernya kosong… delapan… Aku menekan sederet nomor yang tersimpan begitu mudahnya di dalam memoriku. Aku mengirimkan sebuah pesan. Tak lupa menyebutkan namaku.

Aku menunggu balasan, tidak ada. Aku menghela napas lalu membayar makananku dan pulang ke rumah.


Menjelang pukul delapan, aku ke rumah Ibu Mawar. Dia menyambut dengan kehangatannya, seperti biasa. Bukankah dia ibuku dan wajar sekali perlakuannya itu.

Kami duduk di ruang tengah. Ibu Rosa sedang menyaksikan sebuah acara debat politik yang berlangsung panas. Dia meninggalkanku sejenak untuk membuatkan teh panas dan menyajikan tiga kue muffin cokelat. Dia duduk di sampingku lalu menepuk-nepuk bahuku.

“Kamu ini makin kurus kayaknya, Hujan. Lagi sakit?” tanyanya seraya mengecilkan volume TV.

“Orang kayak saya nggak sih nggak boleh sakit, Bu. Nanti yang jaga adik-adik siapa dong?” candaku.

“Ah kamu, Hujan. Namanya manusia pasti ada sakitnya juga. Ini Mawar lagi sakit, flu berat katanya. Tadi pagi dia agak demam gitu. Kamu udah tahu?”

Aku menggeleng. Sakit? Kenapa dia nggak bilang aku? Apa sih susahnya ngabarin kalau dia sakit? Kenapa juga Paul nggak ngasih kabar? Kenapa aku nggak dianggap orang yang perlu dikabari pertama kali kalau ada apa-apa sama Mawar? Aku ini kekasihnya! Aku masih bahkan selalu jadi kekasihnya!

“Hujan, tadi Ibu ngobrol lama sama Mawar. Katanya, dia kangen sama kamu. Dia nanyain juga, kamu kangen nggak sama dia? Ayo, kamu jawab,” perintah Ibu Rosa dengan wajah serius.

Aku menelan ludah. Sangat, kangen banget. Mungkin sama seperti rasa rindu Ibu Rosa pada ayah Paul dan Dimas. Rasa rindu yang tidak bisa tersampaikan dengan sempurna karena ada sebuah dimensi yang retak di antara aku dan Mawar. Semakin retak parah jika nanti dia lulus kuliah dan menikah lalu diboyong laki-laki yang tak kukenal entah ke mana. Dan rasa rindu itu tidak lebih dari seonggok sampah basah yang akan teurai oleh waktu. Dan semakin lengkaplah aku sebagai pencinta yang paling malang di dunia ini.

“Hujan, kok diam? Kamu lagi mikirin apa?”

Peperangan dalam hatiku buyar begitu saja, aku kembali ke dunia yang nyata dan dihadapkan pada pertanyaan soal perasaan.

“Saya dan adik-adik kangen banget sama Mawar, Bu.”

Bu Mawar menatapku, meneliti mataku yang menyembunyikan banyak hal. Beberapa detik kemudian aku tersadar, begitu cara Paul membaca pikiranku, dan terlambat sudah aku mengalihkan pandangan.

Ibu Rosa keburu bertanya, “Hujan, kamu pacaran sama Mawar?”

Dan aku merasa telanjang saat itu.


Jogja 6 April 2013

Post a Comment

Previous Post Next Post