Ini hari Sabtu, biasanya saya pukul enam sudah ke gym buat
latihan kardio plus strength training. Cuma karena tuntutan badan supaya tidak
dihajar latihan high impact dulu dan
mbok ya tidurnya diperpanjang lagi, tidak saya penuhi juga, akhirnya flu masih
aja menyerang dengan leluasa karena imunnya ogah-ogahan. Okelah, weekend ini
santai-santai aja dan daripada mati bosan, saya nulis sesuatu deh.
Saya mau membahas sesuatu yang tidak baru, bukan Menteri
Keuangan yang baru atau soal Charlie Kirk yang baru ditembak. Cuma saya
dipantik ketika beberapa hari lalu saya menonton podcast Saling Semprot episode
31. Bahasannya tentang konser Hindia yang dilarang di Tasik karena diduga satanic.
Saya lupa menit keberapa, tapi Dany Beler bertanya kurang lebih soal band yang
beneran satanic itu siapa. Molan pun menjawab Linkin Park dan Coldplay.
Sebentar. Saya sudah biasa mendengar tuduhan kalau Taylor
Swift itu satanic. Tapi Linkin Park? Sejenis Linkin Park juga satanic? Band
yang lebih banyak menyuarakan tentang hal-hal suram dan mental health bisa
terafiliasi dengan setan? Emang setan bisa menyelesaikan masalah? Kan dia
sumbernya.
Karena itu, saya pun iseng buka Youtube Music dan mencari
album-album Linkin Park era lama. Saya cari mana album yang banyak lagu yang
saya suka. Ternyata, lagu-lagu yang saya kenal banyak di Hybrid Theory dan
sisanya terpencar-pencar. Pilihan saya pun jatuh pada A Thousand Suns. FYI, Waiting
for the End ada di album ini. Lagu lama yang baru saya dengar lewat si vokalis
baru, Emily Armstrong.
Kemudian, saya mulai memutar lagu demi lagu secara runut. Saya
mendengarkan itu sambil kerja menyunting naskah kumpulan esai George Orwell.
Too much information memang ya. Oke, dari track pertama, The Requiem, saya
mulai menyadari ada sesuatu yang berbeda. Ada intro dari sound yang sama dengan
Waiting for the End dan rupanya track ini semacam gambaran garis besar dari
keseluruhan album keempat Linkin Park ini.
Dan perbedaan besar yang dibuat Linkin Park di album yang
rilis 14 September 2010 ini cukup berdampak besar kepada para penggemarnya. Konon
katanya, dari album ini hingga ke album-album selanjutnya mulailah muncul polarisasi.
Ada yang bisa menerima berbagai eksperimen yang dilakukan band favoritnya, ada
yang tidak. Tapi perlu tahu juga, boleh jadi ada drama di tataran fan base, tapi para kritikus merespons
positif kok. Meskipun Chester tidak banyak screaming,
suara gitar, bass, dan scratch Dj
Hahn sangat berkurang, tapi ini album yang keren dan berkonsep. Konsepnya
tentang kemanusiaan. Hari gini, siapa sih yang mau mengambil risiko bikin lagu
kemanusiaan? Kan mending jualan lagu menye-menye. Lagu racun dan gula. Lagu
diselingkuhin. Lagu jatuh cinta. Lagu kemanusiaan mana laku di TikTok? Mana
bisa dipake joget-joget? Hari gini nggak joget? Anggota dewan aja joget-joget
di atas penderitaan rakyat.
Ehem, lanjut boleh?
Track pembuka adalah The Requiem, yang sebenarnya adalah doa
untuk orang meninggal. Buat yang beragama Islam, memang kita tidak paham, tapi
demikianlah definisi yang saya dapatkan dari ChatGPT. Doa tentunya disampaikan
kepada Tuhan. Manusia berdoa kepada Tuhan karena sadar betul ada kekuatan yang
lebih besar bisa mengendalikan sesuatu, termasuk kehancuran. Artinya, di album
ini Linkin Park tidak merujuk pada satanisme. Meninggal itu juga bisa
diasosiasikan dengan kehancuran dunia secara universal. Dunia yang hancur
karena perang. Karena perang itu tidak pernah akan berhenti.
Track kedua, Radiance, berisi kutipan potongan pidato
Oppenheimer, si pembuat bom atom, bagaimana dia menggambarkan bahwa dunia akan
mengalami perubahan sangat besar dan drastis, ada orang yang akan tertawa
senang, ada yang bersedih, dan sebagian besar diam membisu. Sains memang tujuan
awalnya bukan untuk menghancurkan dunia, tetapi pada akhirnya segala sesuatu
yang baik bahkan suci pun akan bisa dibengkokkan demi tujuan tertentu.
Termasuk agama ya kan? A Thousand Suns merujuk pada efek ledakan nuklir yang
begitu dahsyat. Nuklir juga menjadi alasan sebuah negara bisa menyerang negara
lain. Pokoknya gimana caranya peralatan perang dan tentara itu selalu
digunakan.
Ingat kata Machiavelli dalam buku Art of War: “Perang tidak bisa
dihindari, hanya bisa ditunda untuk keuntungan pihak lain.”
Transisi antara The Requiem dan Radiance dibuat sangat mulus
sehingga kalau kita tidak memperhatikan list lagunya, kita akan mengira itu
satu track. Kita baru akan mendengarkan suara Chester di Burning in the Skies. Jujur,
track ini membuat saya mengira ini adalah Muse atau Coldplay tapi meminjam
Chester sebagai vokalis sementara. Demikian pula di track kelima (track keempat
cuma musik 19 detik, apa yang harus saya komentari), When They Come for Me,
yang saya pikir adalah lagu Fort Minor.
Buat yang katrok, saya kasih tahu ya, Fort Minor itu side
project-nya Mike Shinoda. Musiknya sebenarnya hampir sama sih dengan Linkin
Park, cuma lebih elektronik aja. Kenapa saya pikir lagunya Fort Minor, sebab,
saya kan juga katrok ya, selama tur dunia From Zero, lagu ini dibawain solo
oleh Mike sama lagu Remember the Name. Beda dengan lagu Where’d You Go, itu
saya tahu dari awal kalau punyanya Fort Minor dan sekarang menjadi bagian dari
setlist tetap dalam konser From Zero.
Karena apa? Karena ini permintaan khusus dari Emily
Armstrong.
Jadi ya, biar kita sama-sama nggak katrok, konser Linkin
Park yang lagi jalan sekarang, itu kan buat promo album From Zero (termasuk yang
Deluxe Album), logikanya, kan harusnya semua lagu masuk setlist dong. Tapi
nggak demikian. Totalnya kan ada 13 lagu baru ya, paling yang masuk setlist cuma
sekitar 8. Sisanya lagu-lagu dari album lama. Terakhir, mereka memasukkan Lies,
Greed, Misery yang bukan hanya benar-benar beda ketika dibawakan Emily, sampe
lampu laser panggungnya disetting khusus menyala setengah-setengah. Coy, keren!
Lanjut ya. Sedikit lagi tentang When They Come for Me, saya
nonton satu video penampilan mereka pas di iTunes Festival London 2011. Ini pertama kalinya saya melihat Chester dan
Brad main perkusi
Di track keenam ada Robot Boy. Kalau mendengarkan lagu ini,
jujur ada beberapa band dan boyband yang langsung berseliweran di kepala saya. Hah
boyband? Ya, sebut boyband mana saja yang hadir mulai dari eranya Boyzone
sampai Blue. Kalau band, sebut saja Coldplay dan Imagine Dragons.
Untuk track no.7, mohon maaf saya tidak komen, karena
berbahasa Jepang. Coba tanya Jerome Polin sana.
Untuk track no. 8, Waiting for the End mohon maaf saya skip karena di tulisan saya
tentang Linkin Park sudah pernah saya bahas. Pokoknya, saya jatuh cinta sama
Emily eh sama lagu ini karena dibawain sama Emily di penampilan debut dia yang
dia sampe nangis karena terharu sendiri. Versi Chester dan Emily sama-sama oke
kok. Udah ya, fans Chester, puas ya?
Oh ya, Waiting for the End pernah menjadi lagu latar dalam
series CSI season 11 episode 04. Ini real bukan video fan made dan yang diputar
memang tidak utuh, tapi itu sudah cukuplah untuk promosi sebuah lagu baru.
Lanjut ke Blackout yang dijadikan track kesembilan. Jujur,
sewaktu pertama kali mendengarkan lagu ini, saya jadi termenung sejenak. Apakah
ini alasan Mike memilih Emily buat mengisi posisi yang ditinggalkan Chester?
Cara Chester screaming di lagu ini sangat mirip dengan cara Emily screaming
ketika masih di Dead Sara. Mungkin itu terdengar berlebihan, tapi coba deh
dengerin lagu ini lalu dengerin Lemon Scent. Kalau lagu ini sampai dibawain
sama Emily, saya yakin akan ada yang mengira ini lagu Dead Sara. Katrok
lu.
Saya lanjutkan ke Wretches and Kings. Ini salah satu lagu
yang saya suka ketika pertama kali mendengarnya, bukan karena ada suara Mario
Savio pada bagian awal. Musiknya saya suka. Klasik 90-an, dance, hip-hop ala Beastie Boys yang bikin kepala ikut manggut-manggut walaupun nggak paham
liriknya apa. Di sini bagiannya Chester juga adalah nge-rap kayak Mike. Ini
mungkin menjadi salah satu track yang dibenci sama penggemar Linkin Park yang
pecinta rock alternative murni.
Track selanjutnya berisi kutipan pidatonya Martin Luther King,
Jr. Mohon maaf, saya skip ya. Nggak tahu harus komen apa. Langsung lanjut aja
ke Iridescent yang ada di urutan ke-12. Lagu Linkin Park yang juga berbeda dari
DNA asli mereka, menurut saya sih, dan lebih ke arah Coldplay di mana ada
bagian semua personel band jadi backing vocal. Enak sih, tapi ya karena terlalu
Coldplay itu mungkin ya agak gimana gitu. Bisa jadi kalau suatu saat mau
dibawain sama Emily, pasti akan menjadi berbeda. Mike pasti tahulah harus
ngapain. Siapa kita ngajarin dia, ya kan.
Setelah interlude Fallout, saya lanjut ke The Catalyst. Ini
juga lagu yang jadi setlist tetap di konser From Zero, entah kenapa selain
karena soal faktor sudah 309 juta kali diputar di Youtube. Mungkin karena
religius karena menyebut Tuhan. Entahlah. Untuk album dengan tema utama krisis
dunia, ini memang paling cocok dibandingkan lagu-lagu sebelumnya.
Track terakhir, yang lagi-lagi saya harus termenung, ini
adalah suara Chester yang bisa dibilang versi raw yang sama seperti versi raw
Emily ketika menyanyi lagu secara akustik. The Messenger adalah lagu yang cocok
dibawain ketika ada krisis perang. Cuma masalahnya, hari ini beberapa perang
saja belum berhenti. Atau untuk bencana alam juga bisa, tapi bencana alam kan
semakin hari kan semakin sering ya. Dunia ini memang tidak akan pernah
baik-baik saja lagi. Yah namanya juga akhir zaman, mau mengharapkan apa.
Oke tuntas sudah bahas-membahas A Thousand Suns album
keempat Linkin Park orde lama. Ya, ini album favorit saya setelah From Zero.
Banyak lagu yang saya suka di sini dan ketika dibawain secara live juga sengaja
dibuat berbeda dari versi rekamannya. (13SEPT2025)
