Terhitung mulai Juni 2025, saya kembali memulai latihan lari yang kalau tidak salah ingat, terakhir saya latihan Oktober 2019. Itu pun sesuai catatan Strava. Jujur, saya tidak ingat persisnya. Yang pasti selama Covid, olahraga saya sudah beralih ke resistance training. Which means, berat badan naik. Kalau dalam dunia latihan angkat beban, bulky is good. Namanya juga tujuannya membentuk badan ya.
Dalam semesta lari, badan terlalu berat
justru menjadi suatu hal yang harus dipertimbangkan. Saat lari dulu, berat
badan saya bisa sampai 50 kg something, sekarang 62 kg. Dumbbell 12 kilo aja
tidak ringan ya. Cobain dah bench press pake beban segitu kalau nggak
ngos-ngosan. Sekalian Bulgarian squat. Sama triceps extension.
Tidak akan ada asap kalau nggak
ada api. Apa alasannya mau balik lari? Saya harus akui, kemarahan. Kemarahan
yang terlalu besar, udah di atas ubun-ubun. Yang saya rasa butuh saya keluarkan
tanpa harus membuat kerusakan di muka bumi. Kemarahan karena saya tidak jadi
berangkat haji tahun ini. Jika saya jadi berangkat haji, saya hanya akan tetap
walking, not running. Tidak usah ceramah soal: haji itu soal panggilan Tuhan.
Stop it, and shut up fuck up.
Lanjut.
Saya awalnya tidak menaruh target
ketika memulai berlari kembali. Saya santai aja ketika pace yang dulu sempat 7,
drop ke 9. Namanya juga tidak latihan lama. Kalaupun ada istilahnya muscle
memory, itu samar-samar. Kaki terasa capek banget dipakai lari berapa meter
doang. Napas tidak nyaman. Dan saya menganggap faktor umur juga memegang
peranan dalam memperlambat gerakan saya.
Cuma kemudian, saya seperti
mendapatkan dorongan untuk improve. Apa iya saya hanya akan pasrah di pace 9
untuk selamanya? Long story short, saya kemudian membuat satu target yang bisa
jadi dikatakan sulit. Saya mau bisa lari di pace 6. Bukan lagi di pace 7. Saya
tanyakan itu ke ChatGPT, seberapa besar kemungkinan itu terwujud. Dan
jawabannya, sangat besar kemungkinannya. Saya bahkan memberikan semua data diri
saya yang penting untuk ChatGPT kalkulasikan, misalnya tinggi badan, berat
badan, lebar langkah, dan history olahraga saya.
Saya lalu diberikan semacam
program latihan 6 minggu. Di fase awal, saya tidak dibebani latihan terlalu
berat, demi menghindari kemungkinan terjadinya cedera. Setidaknya, resistance
training adalah modal yang ternyata menjadi benefit yang saya rasakan ketika
lari. Jujur, selama fokus di latihan beban, saya termasuk orang yang
menghindari lari. Tahu apa sebabnya? Sebab ada doktrin bahwa lari akan mengikis
otot. Jadi, latihan kardio sesedikit mungkin. Maksimal jalan.
Apakah benar lari mengikis otot?
Ini adalah perdebatan yang sampe monyet bisa baca koran juga tidak akan ada
ujungnya. Coba perhatikan, apakah semua pelari jarak jauh ototnya tipis-tipis?
Nggak juga tuh. Yang ikutan Ironman apa badannya cungkring-cungkring? Kan
tidak. Kalau pelari Kenya kurus-kurus, itu karena badan mereka memang kurus
dari sononya. Kalau ada yang berotot, itu para sprinter, ototnya memang harus
gede, larinya juga hitungan detik ama menit. Beda spesialisasi. Anda mau
melakukan yang mana? Yang jelas arahnya.
Secara garis besar, latihan lari
sama sekali bukan soal nge-push dan nge-push every day. Saya dulu begitu,
makanya sempat ada sakit di lutut dan tidak merasakan improvement. Badan cepat
sekali kurus, karena tidak ada panduan yang memadai. Sekarang sangat berbeda.
Latihan lari yang saya terapkan
adalah 3 + 1 jenis latihan setiap minggunya; 3 latihan lari yaitu: easy run,
fartlek, dan long run. Dan 1 latihan resistance training. Saya jelasin singkat
aja. Easy run itu lari dalam speed yang santai. Ada yang bilang zona 2. Perkara
zona 2 juga ini juga banyak perbedaan pendapat ya, sampe buaya air asin bisa
bikin sandwich juga nggak akan ada ujungnya. Sederhananya zona 2 itu zona
aerobik. Cara menghitungnya yang saya tahu adalah 180 - usia. Misal saya 40
tahun berarti sekitar 140 bpm. Saya harus lari dengan detak jantung segitu.
Ingat ini dalam kondisi latihan zona 2, bukan race.
Pertama kali mencoba lari, HR
atau detak jantung saya langsung naik ke 150. Stabil di situ, padahal lari
lambat sekali. Bisa turun kalau beneran jalan. Apakah itu berbahaya? Nah ini
juga perdebatan, yang sampe … nggak akan ada ujungnya. Kenapa HR naik drastis?
Karena badannya belum siap. Faktor lain, cuaca. Makanya, latihannya jangan langsung di-push. Dengan latihan lari lambat, kita semacam memberikan tubuh kesempatan
beradaptasi dengan tantangan baru ini. Hah? Gimana? Nggak sabar? Emang mau
daftar Tokyo Marathon bulan depan? Mau mati cepat? Ya sana. Ini proses yang
paling aman dan bisa diterima tubuh. Percayalah, tubuh itu punya mekanisme yang
harus kita hormati. Bersabarlah latihan lari lambat ini sampai HR bisa berada
di zona aerobik. Kalau merasa cuaca panas adalah penyebab HR tinggi terus,
latihan di treadmill juga bisa. Sama aja. Apakah saya sekarang sudah selalu di
zona aerobik? Nggak juga. Saya sering latihan sepulang kerja, dengan cuaca
panas, jalanan padat, stres kerja juga dan sepanjang latihan di zona anaerobic
menurut smartwatch. Oh ya, setelah melakukan perjalanan panjang juga berpotensi
membuat HR melonjak. Belum juga lari, HR udah langsung 135. Baru jalan doang
itu.
Jenis latihan yang kedua adalah
fartlek. Ada beberapa pilihan sebenarnya yang ditujukan untuk meningkatkan
kecepatan lari selain fartlek, yaitu interval dan tempo. Kenapa saya tidak
pilih yang 2 itu, karena di kepala saya yang ada adalah ribet aja kalau mau
dilakukan di jalan. Sementara untuk fartlek, menurut saya, secara teknis
pelaksanaan jauh lebih mudah, yaitu lari cepat 1 menit, lari lambat 1 menit.
Bisa juga 1 menit lari cepat, 2 menit lari lambat. Lari cepat bukan sprint.
Nah, di sini juga saya baru tahu kalau kita harus punya 3 pembagian speed:
sprint, lari cepat, dan lari zona 2 tadi. Fartlek tidak pakai sprint. Durasi
fartlek juga hanya sekitar 20-30 menit. Tidak terlalu lama karena jujur, ini
latihan yang menurut saya sangat menyiksa. Saya pakai aplikasi interval timer,
1:1 x 10 set. 1 kali lari cepat dan 1 kali lari zona 2 itu hitungannya 1 set.
Apakah boleh 50 set? Nggak usah macam-macam ya.
Untuk pelaksanaan fartlek, karena
ini intensitasnya terbilang melelahkan, usahakan tidak berdekatan dengan long
run, baik itu sebelum maupun setelah long run.
Sekalian kita bahas long run.
Apakah long run harus masuk dalam menu latihan? Iya, harus. Jarak long run
untuk masing-masing orang juga berbeda. Ada yang 5 K sudah termasuk long run.
Tapi 10 K itu sepertinya udah lebih bisa diterima sebagai long run. Di latihan
inilah endurance kita diuji coba. Seberapa tahan tubuh kita berlari dengan
jarak sebegitu jauh. Untuk kecepatan long run, saya pakai di zona 2. Saya belum
punya target waktu tertentu untuk long run 10 K, sebab target awal saya adalah
5 K sub 30. Sebatas itu. Saya tidak mau latihan half marathon apalagi full
marathon. Jujur, lari terlalu lama itu sangat membosankan dan menyakitkan tubuh. Hah?
Ultra? Bodo amat!
Lanjut ke resistance training. Latihan
beban yang saya lakukan ketika tidak lari dan saat menjalani program lari, ada
perbedaan. Saya mulai menghindari latihan dengan beban berat, set dan rep yang
sedikit. Saya ganti dengan beban ringan, set sedikit dan rep lebih banyak.
Tujuannya saat ini bukan lagi menambah massa otot, tapi menambah kekuatan badan
dan mengurangi efek pegal yang berat. Tidak hanya latihan kaki, tapi daerah
bahu dan tangan juga perlu dilatih. Kalau ragu mau pakai beban, bodyweight pun
tidak masalah. Otot-otot yang dilatih ketika resistance training berbeda dengan
otot-otot yang dilatih ketika lari. Akan menjadi lebih lengkap lagi jika
bersedia latihan drill dan plyometric. Jujur, saya malas melakukannya karena
semua hari sudah ada jadwalnya: long run 1 hari, easy run 2 hari, fartlek 2
hari, rest day 2 hari. Selama rest day, saya beneran tidak olahraga apa pun. Biar
refresh untuk keesokan harinya.
Soal makanan, bagi saya menjadi
hal penting diperhatikan karena di satu sisi saya latihan intens, di sisi yang
lain, saya tetap ingin menurutkan berat badan. Dan ketika usia di atas 40,
prosesnya tidak lagi semua ketika masih 30-an tahun. Rasanya nasi sudah
dikurangi, lalu sayur lauk buah dibanyakin, itu tidak serta-merta memberikan
dampak di timbangan. Butuh effort lebih besar.
Juga tidak kalah penting buat
orang yang latihan olahraga rutin adalah kuantitas dan kualitas istirahat.
Kalau selama ini tidurnya masih jam 12 ke atas, usahakan mulai jam 10, jam 9
malah lebih baik. Ketika bangun pagi, badan sudah siap digunakan kembali dan HR
pun tidak tinggi sedari awal.
Masih juga penting, penting, dan
penting. Ini terutama buat pelari perempuan, boleh olahraga intensitas tinggi,
tapi jangan sampai mengganggu siklus menstruasi. Salah satu penyebab siklus
mens tidak teratur adalah terjadinya ketidakseimbangan dalam tubuh, misal
olahraga terlalu keras, kurang tidur, makan tidak dijaga. Gangguan dalam siklus
mens akan menimbulkan masalah baru, bisa sampai mengenai psikologis. Pastikan
olahraga adalah sesuatu yang membuat diri kita menjadi lebih baik, bukan lebih
buruk dari sebelumnya.
