Hari ini tanggal 12 Oktober 2025, atau 9 hari setelah album ke-12 Taylor Swift dirilis. Oke, sebentar, memang kemarin ketika album Linkin Park baru rilis, saya langsung membahasnya, yang mana fansnya juga bukan, sementara saya yang mengaku-aku Swifties tapi ketika si dia rilis album, lama bener bahasnya.
Sabar, saya jelaskan ya. Linkin Park itu tidak punya drama.
Anggaplah begitu. Tapi, Taylor Swift justru memanfaatkan drama dalam hidupnya
ke dalam musiknya. Lirik lagu ini tentang si itu. Lirik lagu itu tentang si
ini. Walaupun … itu kadang cuma cocokologi orang-orang aja. Orang-orang yang
suka maupun benci banget ama dia.
Dan jujur, saya sebenarnya heran yang mengaku haters Taylor
Swift, karena kalau antum-antum ini tidak berkenan dengan dia, ya sudah,
tinggalin aja. Kok antum-antum ini tetap mendengarkan lagu-lagunya dan membuat
konten-konten membedah satu demi satu lagunya lalu memberi komentar? Antum
tidak sadar ya kalau setiap kali antum mendengarkan lagu dia, itu sama saja
menambah angka streaming dia yang sudah ratusan juta kali. Itu benefit buat
dia. Menguntungkan buat dia. Perkara antum hina-hina dia, emangnya dia ambil
pusing ha? Enggak lah. Antum adalah inspirasi buat lagu-lagu dia. Makin senang
dia punya bahan terus buat digoreng.
Kembali ke kenapa saya baru menulis bahasan soal The Life of
a Showgirl sekarang, bukan tanggal 3 pas rilis atau 6 Oktober pas video The
Fate of Ophelia rilis. Pertama, jujur, saya sudah lama tidak mendengarkan
album-album Taylor. Sejak Reputation tepatnya. Saat itu, menurut saya, musiknya
sudah bukan selera saya lagi. Saya berhenti di 1989. Kemudian dia mengeluarkan
album begitu banyak dan begitu cepat—Lover (2019), Folklore (2020), Evermore
(2020), Midnights (2022), dan The Tortured Poets Department (2024)—makin membuat
saya semakin jauh ketinggalan. Yah, namanya juga waktu itu dia lagi
bucin-bucinnya sama pacarnya yang guanteng itu, wajah sih kalau jadi produktif
banget.
Dan ketika saya tahu dia mau rilis album baru, saya berharap
kali ini tidak lagi terlalu mellow. Bukannya jelek, tapi, saya bukan penyuka
lagu yang terlalu mellow. Dan begitu tahu dia kembali kerja bareng Max Martin
dan Shellback, sepertinya harapan saya terkabulkan. Album ini kemungkinan besar
akan bernuansa seperti Red dan 1989. Bakal pop kriuk lagi.
Kabar soal album ini diumumkan oleh Taylor dan Travis pada
13 Agustus di podcastnya Travis Kelce. Ini jelas cukup membuat
ketar-ketir musisi lain yang mau rilis tanggal segitu, dan kabarnya banyak yang
langsung mengganti tanggal rilis karena tahu semua perhatian media akan
mengarah ke album Taylor. Memang kedengarannya konyol sih. Kan tidak seluruh
penduduk dunia ini menantikan album baru Taylor kali. Tapi memang, pada
kenyataannya, seperti bisa ditebak, penjualan albumnya dalam seminggu mencapai
4 juta kopi, yang konon menumbangkan rekor album Adele, 25.
Dan ingat, ini sudah era digital. Kalau dipikir-pikir, buat
apa lagi membeli album fisik kalau di Spotify sudah tersedia dan gratis. Kenapa
4 juta orang itu masih mau beli album fisik? Apakah mereka tidak punya
internet? Bukan itu pastinya. Mereka memang sebegitu antusiasnya. Swifties
memang seloyal itu.
Kecuali saya.
Alasan selain ingin terlebih dulu memastikan album ini akan
cocok dengan selera saya atau tidak barulah menulis pembahasannya, adalah saya
mau tahu apa yang saya tangkap dari lagu ini apakah sama dengan yang mereka
tangkap.
Saya memang melihat dengan begitu jelas album ini kok
rada-rada gimana ya? Kok semacam agak sensual gitu. Maksud saya begini. Taylor
juga bukan musisi yang tertutup-tertutup amat (bajunya), tapi bukan yang
pamer-pamer badan juga. Saya jadi teringat, intermezzo dikit, Mike Shinoda
pernah mengomentari tentang penyanyi perempuan yang “menjual keseksian”, ini
terkait ketika dia mempertimbangkan untuk memasukkan penyanyi perempuan dan
Emily kan, di mata Mike tidak termasuk kategori itu. Tentu saja maksud Mike
ketika di panggung, kalau foto buat majalah, itu hal lain.
Dari kover album terbaru yang diperlihatkan dalam
podcast-nya Travis, saya yakin bukan hanya saya yang melongo tidak percaya,
dengan visualisasi yang sangat berbeda. Kenapa kayak gitu sih? Dan makin mengejutkannya
lagi, sampai lirik lagunya pun sangat bernuansa seksual, tapi anehnya, tidak ada
peringatan parental advisory. Asal tahu saja, Swifties itu usianya ada banyak
yang belum remaja. Yang masih usia SD itu banyak. Ini salah satu yang dikritisi
oleh para orang tua via Instagram. Kenapa ini lolos sensor? Kenapa kata "fuck" dianggap lebih berbahaya ketimbang "buka paha"?
Perubahan drastis dalam hal lirik, yang di album sebelumnya
sangat puitis, lalu tiba-tiba jadi mesum dan buka-bukaan, jika dikritisi
mentah-mentah, memang akan menempatkan album ini menjadi pokoknya salah aja.
Tapi, apakah Taylor tidak mempertimbangkan hal ini?
Hello, antum tidak berhadapan dengan penyanyi baru netes
kemarin sore. Di tulisan saya sebelumnya, saya pernah membahas album A Thousand
Suns punya Linkin Park. Ada kesamaan dengan The Life of a Showgirl, yaitu tema.
Keduanya eksperimental. Keduanya punya tema yang menjadi benang merah dari
semua lagu di album tersebut. Semua lagu dalam A Thousand Suns adalah tentang
perang, semua lagu dalam The Life of a Showgirl adalah tentang kehidupan
seorang gadis pertunjukan.
Taylor membahas tentang bagaimana kehidupan seorang showgirl,
bagaimana bisnis yang mengeksploitasi khususnya pekerja panggung perempuan,
bagaimana kisah percintaan yang terjalin kadang karena cinta kadang karena uang,
termasuk bagaimana seseorang bisa kena canceled culture. Tidak ada satu pun
yang tidak ada kaitannya dengan dunia itu.
Banyak orang yang kemudian berkomentar bahwa ini bukan
Taylor yang menulis liriknya. Ini kayak dipaksakan supaya pas dengan selera
pasar. Hah? Maksudnya gimana? Taylor bagaimanapun seorang penulis. Dia aktif
menulis lirik dari usia sangat muda. Kalau dia bisa menulis lirik puitis, maka
tidak sulit buat dia menulis lirik mesum.
Musik dalam album ini juga banyak dibandingkan dengan
musiknya siapalah itu. Saya juga mengakui bahwa saya merasa ada nuansa Sabrina
Carpenter yang cukup kuat, atau Gracie Abrams, atau Dua Lipa, Demi Lovato
bahkan. Tapi kembali pada prinsip bahwa, notasi musik kan hanya begitu-begitu
saja. Mau dibolak-balik kayak apa urutannya, pasti akan ketemu dua atau lebih
lagu dengan notasi hampir sama. Apalagi Max Martin itu sudah menangani penyanyi
dari zaman Britney Spears. Musik yang dia hasilkan tidak akan jauh-jauh dari
itu. Itu sudah menjadi ciri khasnya. Sudah pakemnya.
Saya tidak akan membahas satu per satu lagu di album ini, karena
sudah banyak dibahas di TikTok maupun Instagram. Lagi pula, sebagian besar
liriknya memiliki makna tersurat kok, asal bisa bahasa Inggris, pasti paham dia
ngomongin apa. Kalau pun ada makna-mana tersirat yang hanya dia yang tahu, itu
tetap akan seperti itu. Lagi-lagi, karena dia penulis, dia tahu bagaimana
menyampaikan apa yang ada dalam pikirannya, bahkan dia tahu bagaimana membuat
orang salah paham terhadap apa yang dia tulis.
Belajar nulis deh, daripada cuma sibuk komen-komen nggak jelas.
