Perempuan itu datang lagi. Tidak berbelanja sebanyak minggu lalu. Ketika mendorong pintu, pandangannya langsung mengarah ke kasir dan kami saling tatap sekilas. Aku sedang memasang gulungan baru kertas untuk struk belanja pelanggan. Ia menghampiri kulkas yang terletak tidak jauh dari kasir. Aku meliriknya yang seperti sedang bingung memilih minuman dingin. Lalu dia mengambil sebotol jus apel bermerek Delizious! Tidak, dua botol. Ditutupnya pintu kulkas kemudian menghampiri kasir. Aku mendeham pelan untuk mengurangi rasa gugupku. Paramita Sawitri, tentu saja aku masih ingat namanya. Aku mengirimkan SMS dan sampai hari ini tidak dibalas.
“Ada tambahan yang lain?” tanyaku setelah menghitung belanjaannya lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik warna hitam.
Dia tersenyum lalu menggeleng. Ia mengeluarkan selembar pecahan dua puluh ribu lalu menyerahkan padaku. Aku menerima uangnya lalu membuka meja kasir untuk mengambil uang kembalian. Dia menunggu sambil melihat deretan cokelat yang terdisplay di depan meja kasir.
Aku merobek kertas struk lalu menyerahkan padanya sekaligus uang kembaliannya. “Terima kasih telah berbelanja di tempat kami,” ucapku ramah dan sedikit membungkukkan badan.
“Sama-sama, Hujan.”
Dia berlalu begitu saja. Aku melihatnya naik ke sebuah motor, diboncengi seorang lelaki yang mengenakan helm standar warna hitam. Motor itu berlalu begitu saja. Apa aku salah mengartikan gesturnya minggu lalu hingga menganggap ia ingin berkenalan denganku?
Sepulang kerja, aku langsung pulang, tanpa singgah di rumah Mawar. Ya, rahasiaku akhirnya terkuak juga. Dan aku tidak punya alasan bersikukuh menutupi hubunganku dengan mawar. Aku mengakui dan menyebutkan sudah berapa lama kami berpacaran.
Aku terima jika Ibu Rosa marah dan mengusirku dari rumah. Dia kecewa padaku dan aku bingung bagaimana caranya membela diri. Ingin rasanya aku berbagi keluh kesah pada Mawar, tapi ah, masihkah dia peduli padaku?
Aku hanya bisa mengirimkan sebuah pesan singkat pada Paul: Ibumu tahu, aku tamat. Sekitar sejam kemudian, Paul meneleponku dan memaksaku untuk cerita apa yang sebenarnya terjadi. Dan untuk pertama kalinya aku menangis pada Paul. Dia mendengarkan aku dengan sabar hingga kudengar orang-orang di belakangnya memanggilnya. Ia harus kembali syuting dan aku mengatakan keadaanku sudah lebih baik. Tangisku berakhir dan aku berdoa semoga ketika Mawar sudah pulih, ia menghubungiku. Sebentar saja.
Suatu sore, aku sedang menemani Endro jalan-jalan sore. Endro ini sedang hobi melukis, dan objek favoritnya adalah pohon. Buku gambar yang kubelikan untuknya hampir penuh dengan gambar-gambar pohon. Dia menggambar dengan pensil tipis dan di saku celana pendeknya ada penghapus dan juga rautan pensil. Mungkin jika besar nanti ia ingin menjadi seorang seniman. Ah bagiku, jadi apa pun adik-adikku, aku mendukung. Asal mereka bukan pelaku kriminal.
Ketika akan sampai di taman, dari kejauhan aku melihat seseorang duduk di bawah pohon bersejarahku dengan Mawar. Dia tampak sedang asyik membaca buku sambil tubuhnya bersandar di batang pohon. Aku sebenarnya keberatan dengan keberadaannya di sana. Itu pohonku dengan Mawar. Selama ini, tidak ada yang berani duduk di sana, kecuali kami berdua.
Ketika semakin dekat, langkahku makin melambat. Aku tahu dia, Paramita Sawitri. Dia mengenakan T-shirt hijau muda dan celana pendek jins. Sepasang sandal jepit menjadi alas duduknya. Sebuah botol air mineral tersandar di batang pohon.
“Kak Witriiii!!!” panggil Endro begitu saja. Ia melepaskan gandengan tanganku lalu menghampiri Paramita Sawitri.
“Hey, Endro!” Dia merentangkan tangan menyambut kedatangan Endro. Dibiarkannya Endro naik ke pangkuannya. Lalu buku yang sejak tadi dibacanya, ia letakkan di samping kakinya setelah meletakkan pembatas buku di bagian yang tengah dibacanya.”
“Endro mau ke mana sore-sore gini?” tanya Paramita Sawitri seraya mengacak-acak rambut adikku. Aku masih mematung dengan muka tolol melihat keakraban keduanya.
“Endro mau ke taman, Kak. Mau gambar-gambar pohon,” jawab Endro penuh semangat. Tingkahnya yang menggemaskan membuat siapa pun ingin mencubit pipinya.
“Sama Kak Hujan ya?” tanya Paramita Sawitri lalu melirikku.
“Iya, Kak Witri mau ikut nggak? Di taman kan asyik, Kak. Kalau di sini nggak ada siapa-siapa.”
“Iya, tapi sini tempatnya asyik kok. Romantis,” ujarnya lalu melirikku. Keningku berkerut karena tidak paham dengan maksudnya. Hanya aku dan Mawar yang tahu di bawah pohon ini romantis. Entah dari mana ia bisa beranggapan seperti itu.
“Kak Witri ikut aja yuk ke taman. Nanti aku mau gambar, terus Kak Witri bisa jalan-jalan sama Kak Hujan.”
Itulah awalnya kami kenal lebih dekat. Witri, begitulah dia bisa dipanggil, adalah salah satu guru magang di sekolah Endro. Dia menempati rumah kontrakan yang letaknya hanya sepuluh meter dari taman atau lima belas meter dari tempatku bekerja. Pribadinya sangat hangat, maksudku ketika berinteraksi dengan orang lain. Dengan siapa saja. Dia calon guru tetap yang sudah mencuri hati murid-murid dan guru di sekolah, termasuk Pak Bary, yang tempo hari memboncenginya ke minimarket.
Usianya mungkin terpaut lima atau enam tahun dariku tapi cukup dewasa karena mungkin terpengaruh profesinya sebagai calon guru. Endro suka padanya, seperti sukanya ia pada Mawar. Aku pun mulai tertarik padanya. Ia teman ngobrol yang asyik.
Tempat tinggalnya terhitung sederhana. Dia bilang, rumah itu milik pamannya yang juga salah satu guru di sekolah Endro. Terdiri dari satu kamar tidur seukuran standar kamar kos saat ini, kamar mandi di luar, dapur sempit dan ruang tamu yang seadanya.
Di suatu Minggu, di mana aku kebetulan libur, aku datang ke rumahnya. Sekitar jam dua belas aku datang, tentunya setelah urusan di rumah beres, dan adik-adik semuanya sudah mandi dan makan siang. Setelah itu mereka berpencar, bermain sesukanya. Aku membekali mereka uang jajan, supaya kalau lapar tidak perlu jauh-jauh pulang, beli saja makanan di warung. Ibu juga tidak memasak banyak. Jika aku ke rumah Witri, Ibu ke rumah Ibu Rosa. Oh ya Ibu sudah tahu soal hubunganku dengan Mawar dari Ibu Rosa. Entah, yang kulihat ada sorot kekecewaan, bukan marah. Ya, mau bagaimana lagi? Sudah tidak perlu ada yang disembunyikan. Dan aku tidak memaksa siapa pun untuk memahami ini semua. Aku tahu tidak mudah.
Ibu tahu jika aku juga dekat dengan Witri dan makin tidak suka. Ibu hanya suka soal hubunganku dengan Paul. Okelah, itu urusan nanti-nanti. Toh menurut penerawangan Paul, ujung-ujungnya aku bakal sama dia, entah itu lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, dua puluh, terserahlah.
Aku membuka pintu rumah witri yang bercat cokelat. Kalau tamu, tentu harus mengetuk pintu dan menunggu sampai si pemilik rumah yang membukakan pintu. Khusus aku, kata Witri, aku boleh langsung masuk. Aku mencium aroma sup dari arah dapur. Dia masih memasak dan ceritanya aku akan membantunya memasak.
Aku berdiri di ambang dapur. Kulihat dia sedang menghadap kompor gas dan mengaduk panci yang mungkin berisi sop yang uapnya mengepul-ngepul. Dia mencicipi kuahnya dan merasa ada yang kurang. Ketika akan mengambil garam, dia melihatku.
“Hai! Sini!” panggilnya dengan wajah ceria. Dia mengambil botol garam lalu menyendokkan isinya ke dalam panci. Dia kembali mengaduk sebentar lalu kembali memotong-motong tempe menjadi berbentuk persegi. Aku mengambil pisau dari tangannya.
“Biar aku aja,” ujarku sambil tersenyum.
Dia mengangguk lalu mengambil buah pepaya dari dalam kulkas. “Endro nggak diajakin ke sini? Kamu udah makan, Hujan?” Witri menyabuni pepaya di wastafel lalu membilas hingga bersih.
“Tadinya kuajak, tapi dia malah diajak Ibu ke rumah Ibu Rosa.”
“Calon mertua masih marah ya?”
Aku tersenyum dengan pertanyaanya. Hitungannya, aku memang baru kenal dengan perempuan satu ini, tapi dia tahu soal hubunganku dengan Mawar dan Paul. Dia netral layaknya seorang teman yang tahu di mana harus berdiri.
“Biasanya Ibu Rosa tidak pernah marah selama ini. Dulu aku sering membuat kenakalan di sekolah gara-gara diajak Mawar, tapi itu bahkan tidak lebih dari sehari. Sekarang berbeda. Witri, hey, lihat aku.”
Witri menghentikan kegiatannya mengupas pepaya lalu menatapku. “Iya?” Dia mengangkat alis.
“Aku mau minta putus sama Mawar.”
“Hujan, jangan dong. Kamu masih cinta lho sama dia. Aku tahu kamu nggak mungkin mutusin hubungan sama dia.”
Witri berjalan mendekatiku. Dia mengambil pisau dari tanganku kemudian meletakkannya di atas meja. Disentuhnya kedua pergelangan tanganku lalu kami bertatapan
“Denger, aku nggak mau kamu putus dari Mawar. Okey?”
“Mawar udah banyak berubah. Dan aku bosan diperlakukan kadang hanya seperti teman biasa.”
“Hujan….”
“Aku SMS dia dan dia nggak pernah balas.”
“Hey denger….”
“Dia ngaku sudah pernah tidur sama Fandy!”
“Itu bukan berarti….”
“Aku suka sama kamu, Witri.”
Dia melepaskan tanganku lalu tersenyum dengan aneh.
“Masih perlu kukeluarkan alasan lainnya untuk mengakhiri hubunganku? Maaf, aku benar-benar minta maaf kalau aku menyatakan perasaan di saat yang kurang tepat.”
Dia menarik napas dalam-dalam lalu bergerak mematikan kompor. Dia menyibukkan diri memindahkan panci sementara aku masih berdiri di posisiku seperti orang bodoh. Aku butuh sekian menit untuk melanjutkan tugasku memotong-motong tempe.
Setelah semua masakan siap di atas meja makan, kami duduk berhadapan. Witri dengan cekatan mengisi piringku.
“Aku masih kenyang,” kataku berbohong. Tadi di rumah aku hanya makan sedikit karena agendaku akan ke rumah Witri dan membantunya memasak dan akan makan siang bersama
Witri mengisi piringku dengan dua sendok nasi. Itu lebih dari cukup. Setelah itu dia mengisi piringnya sendiri dengan porsi nasi yang sama. Setelah itu dia mengisi mangkukku dengan sup dan aku yang mengangsurkan tempe goreng ke piringnya.
Kami pun mulai makan dalam hening. Aku mengamati tiap gerak-geriknya dan dia makan dengan cueknya.
“Witri, ehm habis ini mau ngapain?”
“Nyuci piring,” jawabnya.
“Abis itu?”
“Bobo siang? Kenapa?”
Aku tersenyum lalu mengangguk-angguk. Aku makan dengan lahapnya dan kami tetap terdiam sampai perut kami sama-sama kenyang. Aku membantunya mencuci piring, merapikan meja, dan sebagainya.
Setelah itu, aku menonton TV dan dia masuk ke dalam kamar. Ternyata aku benar-benar ditinggal tidur siang sama Witri.
“Ada tambahan yang lain?” tanyaku setelah menghitung belanjaannya lalu memasukkannya ke dalam kantong plastik warna hitam.
Dia tersenyum lalu menggeleng. Ia mengeluarkan selembar pecahan dua puluh ribu lalu menyerahkan padaku. Aku menerima uangnya lalu membuka meja kasir untuk mengambil uang kembalian. Dia menunggu sambil melihat deretan cokelat yang terdisplay di depan meja kasir.
Aku merobek kertas struk lalu menyerahkan padanya sekaligus uang kembaliannya. “Terima kasih telah berbelanja di tempat kami,” ucapku ramah dan sedikit membungkukkan badan.
“Sama-sama, Hujan.”
Dia berlalu begitu saja. Aku melihatnya naik ke sebuah motor, diboncengi seorang lelaki yang mengenakan helm standar warna hitam. Motor itu berlalu begitu saja. Apa aku salah mengartikan gesturnya minggu lalu hingga menganggap ia ingin berkenalan denganku?
Sepulang kerja, aku langsung pulang, tanpa singgah di rumah Mawar. Ya, rahasiaku akhirnya terkuak juga. Dan aku tidak punya alasan bersikukuh menutupi hubunganku dengan mawar. Aku mengakui dan menyebutkan sudah berapa lama kami berpacaran.
Aku terima jika Ibu Rosa marah dan mengusirku dari rumah. Dia kecewa padaku dan aku bingung bagaimana caranya membela diri. Ingin rasanya aku berbagi keluh kesah pada Mawar, tapi ah, masihkah dia peduli padaku?
Aku hanya bisa mengirimkan sebuah pesan singkat pada Paul: Ibumu tahu, aku tamat. Sekitar sejam kemudian, Paul meneleponku dan memaksaku untuk cerita apa yang sebenarnya terjadi. Dan untuk pertama kalinya aku menangis pada Paul. Dia mendengarkan aku dengan sabar hingga kudengar orang-orang di belakangnya memanggilnya. Ia harus kembali syuting dan aku mengatakan keadaanku sudah lebih baik. Tangisku berakhir dan aku berdoa semoga ketika Mawar sudah pulih, ia menghubungiku. Sebentar saja.
Suatu sore, aku sedang menemani Endro jalan-jalan sore. Endro ini sedang hobi melukis, dan objek favoritnya adalah pohon. Buku gambar yang kubelikan untuknya hampir penuh dengan gambar-gambar pohon. Dia menggambar dengan pensil tipis dan di saku celana pendeknya ada penghapus dan juga rautan pensil. Mungkin jika besar nanti ia ingin menjadi seorang seniman. Ah bagiku, jadi apa pun adik-adikku, aku mendukung. Asal mereka bukan pelaku kriminal.
Ketika akan sampai di taman, dari kejauhan aku melihat seseorang duduk di bawah pohon bersejarahku dengan Mawar. Dia tampak sedang asyik membaca buku sambil tubuhnya bersandar di batang pohon. Aku sebenarnya keberatan dengan keberadaannya di sana. Itu pohonku dengan Mawar. Selama ini, tidak ada yang berani duduk di sana, kecuali kami berdua.
Ketika semakin dekat, langkahku makin melambat. Aku tahu dia, Paramita Sawitri. Dia mengenakan T-shirt hijau muda dan celana pendek jins. Sepasang sandal jepit menjadi alas duduknya. Sebuah botol air mineral tersandar di batang pohon.
“Kak Witriiii!!!” panggil Endro begitu saja. Ia melepaskan gandengan tanganku lalu menghampiri Paramita Sawitri.
“Hey, Endro!” Dia merentangkan tangan menyambut kedatangan Endro. Dibiarkannya Endro naik ke pangkuannya. Lalu buku yang sejak tadi dibacanya, ia letakkan di samping kakinya setelah meletakkan pembatas buku di bagian yang tengah dibacanya.”
“Endro mau ke mana sore-sore gini?” tanya Paramita Sawitri seraya mengacak-acak rambut adikku. Aku masih mematung dengan muka tolol melihat keakraban keduanya.
“Endro mau ke taman, Kak. Mau gambar-gambar pohon,” jawab Endro penuh semangat. Tingkahnya yang menggemaskan membuat siapa pun ingin mencubit pipinya.
“Sama Kak Hujan ya?” tanya Paramita Sawitri lalu melirikku.
“Iya, Kak Witri mau ikut nggak? Di taman kan asyik, Kak. Kalau di sini nggak ada siapa-siapa.”
“Iya, tapi sini tempatnya asyik kok. Romantis,” ujarnya lalu melirikku. Keningku berkerut karena tidak paham dengan maksudnya. Hanya aku dan Mawar yang tahu di bawah pohon ini romantis. Entah dari mana ia bisa beranggapan seperti itu.
“Kak Witri ikut aja yuk ke taman. Nanti aku mau gambar, terus Kak Witri bisa jalan-jalan sama Kak Hujan.”
Itulah awalnya kami kenal lebih dekat. Witri, begitulah dia bisa dipanggil, adalah salah satu guru magang di sekolah Endro. Dia menempati rumah kontrakan yang letaknya hanya sepuluh meter dari taman atau lima belas meter dari tempatku bekerja. Pribadinya sangat hangat, maksudku ketika berinteraksi dengan orang lain. Dengan siapa saja. Dia calon guru tetap yang sudah mencuri hati murid-murid dan guru di sekolah, termasuk Pak Bary, yang tempo hari memboncenginya ke minimarket.
Usianya mungkin terpaut lima atau enam tahun dariku tapi cukup dewasa karena mungkin terpengaruh profesinya sebagai calon guru. Endro suka padanya, seperti sukanya ia pada Mawar. Aku pun mulai tertarik padanya. Ia teman ngobrol yang asyik.
Tempat tinggalnya terhitung sederhana. Dia bilang, rumah itu milik pamannya yang juga salah satu guru di sekolah Endro. Terdiri dari satu kamar tidur seukuran standar kamar kos saat ini, kamar mandi di luar, dapur sempit dan ruang tamu yang seadanya.
Di suatu Minggu, di mana aku kebetulan libur, aku datang ke rumahnya. Sekitar jam dua belas aku datang, tentunya setelah urusan di rumah beres, dan adik-adik semuanya sudah mandi dan makan siang. Setelah itu mereka berpencar, bermain sesukanya. Aku membekali mereka uang jajan, supaya kalau lapar tidak perlu jauh-jauh pulang, beli saja makanan di warung. Ibu juga tidak memasak banyak. Jika aku ke rumah Witri, Ibu ke rumah Ibu Rosa. Oh ya Ibu sudah tahu soal hubunganku dengan Mawar dari Ibu Rosa. Entah, yang kulihat ada sorot kekecewaan, bukan marah. Ya, mau bagaimana lagi? Sudah tidak perlu ada yang disembunyikan. Dan aku tidak memaksa siapa pun untuk memahami ini semua. Aku tahu tidak mudah.
Ibu tahu jika aku juga dekat dengan Witri dan makin tidak suka. Ibu hanya suka soal hubunganku dengan Paul. Okelah, itu urusan nanti-nanti. Toh menurut penerawangan Paul, ujung-ujungnya aku bakal sama dia, entah itu lima tahun lagi, sepuluh tahun lagi, dua puluh, terserahlah.
Aku membuka pintu rumah witri yang bercat cokelat. Kalau tamu, tentu harus mengetuk pintu dan menunggu sampai si pemilik rumah yang membukakan pintu. Khusus aku, kata Witri, aku boleh langsung masuk. Aku mencium aroma sup dari arah dapur. Dia masih memasak dan ceritanya aku akan membantunya memasak.
Aku berdiri di ambang dapur. Kulihat dia sedang menghadap kompor gas dan mengaduk panci yang mungkin berisi sop yang uapnya mengepul-ngepul. Dia mencicipi kuahnya dan merasa ada yang kurang. Ketika akan mengambil garam, dia melihatku.
“Hai! Sini!” panggilnya dengan wajah ceria. Dia mengambil botol garam lalu menyendokkan isinya ke dalam panci. Dia kembali mengaduk sebentar lalu kembali memotong-motong tempe menjadi berbentuk persegi. Aku mengambil pisau dari tangannya.
“Biar aku aja,” ujarku sambil tersenyum.
Dia mengangguk lalu mengambil buah pepaya dari dalam kulkas. “Endro nggak diajakin ke sini? Kamu udah makan, Hujan?” Witri menyabuni pepaya di wastafel lalu membilas hingga bersih.
“Tadinya kuajak, tapi dia malah diajak Ibu ke rumah Ibu Rosa.”
“Calon mertua masih marah ya?”
Aku tersenyum dengan pertanyaanya. Hitungannya, aku memang baru kenal dengan perempuan satu ini, tapi dia tahu soal hubunganku dengan Mawar dan Paul. Dia netral layaknya seorang teman yang tahu di mana harus berdiri.
“Biasanya Ibu Rosa tidak pernah marah selama ini. Dulu aku sering membuat kenakalan di sekolah gara-gara diajak Mawar, tapi itu bahkan tidak lebih dari sehari. Sekarang berbeda. Witri, hey, lihat aku.”
Witri menghentikan kegiatannya mengupas pepaya lalu menatapku. “Iya?” Dia mengangkat alis.
“Aku mau minta putus sama Mawar.”
“Hujan, jangan dong. Kamu masih cinta lho sama dia. Aku tahu kamu nggak mungkin mutusin hubungan sama dia.”
Witri berjalan mendekatiku. Dia mengambil pisau dari tanganku kemudian meletakkannya di atas meja. Disentuhnya kedua pergelangan tanganku lalu kami bertatapan
“Denger, aku nggak mau kamu putus dari Mawar. Okey?”
“Mawar udah banyak berubah. Dan aku bosan diperlakukan kadang hanya seperti teman biasa.”
“Hujan….”
“Aku SMS dia dan dia nggak pernah balas.”
“Hey denger….”
“Dia ngaku sudah pernah tidur sama Fandy!”
“Itu bukan berarti….”
“Aku suka sama kamu, Witri.”
Dia melepaskan tanganku lalu tersenyum dengan aneh.
“Masih perlu kukeluarkan alasan lainnya untuk mengakhiri hubunganku? Maaf, aku benar-benar minta maaf kalau aku menyatakan perasaan di saat yang kurang tepat.”
Dia menarik napas dalam-dalam lalu bergerak mematikan kompor. Dia menyibukkan diri memindahkan panci sementara aku masih berdiri di posisiku seperti orang bodoh. Aku butuh sekian menit untuk melanjutkan tugasku memotong-motong tempe.
Setelah semua masakan siap di atas meja makan, kami duduk berhadapan. Witri dengan cekatan mengisi piringku.
“Aku masih kenyang,” kataku berbohong. Tadi di rumah aku hanya makan sedikit karena agendaku akan ke rumah Witri dan membantunya memasak dan akan makan siang bersama
Witri mengisi piringku dengan dua sendok nasi. Itu lebih dari cukup. Setelah itu dia mengisi piringnya sendiri dengan porsi nasi yang sama. Setelah itu dia mengisi mangkukku dengan sup dan aku yang mengangsurkan tempe goreng ke piringnya.
Kami pun mulai makan dalam hening. Aku mengamati tiap gerak-geriknya dan dia makan dengan cueknya.
“Witri, ehm habis ini mau ngapain?”
“Nyuci piring,” jawabnya.
“Abis itu?”
“Bobo siang? Kenapa?”
Aku tersenyum lalu mengangguk-angguk. Aku makan dengan lahapnya dan kami tetap terdiam sampai perut kami sama-sama kenyang. Aku membantunya mencuci piring, merapikan meja, dan sebagainya.
Setelah itu, aku menonton TV dan dia masuk ke dalam kamar. Ternyata aku benar-benar ditinggal tidur siang sama Witri.
Jogja 21 April 2013
Tags
Fiksi