Rasanya seperti ada yang selalu memanggil-manggilku untuk kembali ke Desa Tunggalrasa. Desa yang terletak di kaki Bukit Nirwana, Kecamatan Arjuna, Kabupaten Kalilawas. Panggilan penuh rindu yang sampai di telinga seorang pekerja serabutan yang sudah lima tahun mengadu nasib di ibu kota. Itu sebabnya setahun dua kali aku menyempatkan pulang, menyisihkan uang seratus lima puluh ribu rupiah untuk membeli tiket bus antarprovinsi pulang-pergi. Menempuh perjalanan selama sepuluh jam melewati jalanan beraspal tak mulus dan berkelok-kelok. Perjalanan yang kuisi sepenuhnya dengan tidur meski kursi yang kududuki sandarannya hanya bisa tegak, tidak bisa dimundurkan seperti bus-bus kelas eksekutif dan ber-AC. Memang hanya ini armada bus yang tersedia, Kaki Langit. Nama yang mungkin kurang familiar karena hanya tiga bus yang ada dan berangkat seminggu tiga kali. Dan kursi-kursi penumpangnya tidak pernah penuh seluruhnya. Aku heran kenapa tidak ada pesaing yang muncul dan menggeser Kaki Langit. Ah, itulah rezeki Haji Amat Somat.
Setibanya di Terminal Syamsuddin Saleh, aku menunggu kedatangan Handoko dengan motor Honda butut yang knalpotnya berisik dan asapnya tebal. Dia adalah putra dari Pak Andi, kerabatku yang sama sekali tidak berminat untuk hijrah mencari hidup lebih baik di luar Desa Tunggalrasa. Perjalanan dari terminal ke desa hampir sejam. Kami memutuskan makan soto dan minum kopi hitam sebelum melanjutkan perjalanan.
Jalanan yang kami lewati jauh dari kata mulus, aspal saja hanya separuh perjalanan. Sisanya jalan berbatu yang sangat tidak nyaman saat dilewati motor ceper dengan jok tipis. Shock breaker? Jangan harap. Belum lagi aku membawa tas punggung berisi beberapa potong baju dan oleh-oleh untuk keluarga Pak Andi sebagai tuan rumah selama aku di sana. Aku memang hanya menumpang selama dua minggu. Melepaskan kangen dengan desa indah yang punya sungai begitu jernihnya dan jagungnya yang sangat manis. Itu hanya sebagian kecil yang dimiliki alam Tunggalrasa.
Perjalananku diisi celotehan Handoko, pemuda kekar berkulit gelap, pertengahan kepala tiga, dengan bekas luka di pipi kirinya. Rambutnya yang ikal terbungkus helm dengan tempelan stiker-stiker yang tak ada satu pun bisa kubaca apa saja tulisan atau gambarnya.
“Si Marni udah kawin Ta, sama Pak Lurah.” Handoko mengganti objek pembicaraan yang tadinya seputar panen padi sawah keluarga mereka.
Aku tertegun. Istri lima belum cukup sepertinya buat lelaki yang mengaku keturunan ningrat itu. Marni baru lulus SMA sudah kawin, atau lebih tepatnya dipaksa kawin. Begitulah gadis-gadis di desa ini, nikah muda adalah pilihan. Mau apalagi? Mereka terlalu takut keluar desa dan mencari nasib lebih baik. Aku orang yang pertama dan sepertinya satu-satunya yang terpikir untuk bekerja dan menunda pernikahan.
“Sekarang sudah hamil.”
“Bakal anak kesembilan Pak Lurah tuh,” sahutku.
“Sepuluh,” ralat Handoko, “Mbak Desi kan seminggu lalu melahirkan."
“Oh jadi kamu masih curiga, itu anak dia sama Pak Lurah?” Mbak Desi itu janda dan digosipkan dekat dengan Pak Lurah.
“Anaknya mirip banget sama Pak Lurah, semua orang yakin itu anak Pak Lurah.”
Handoko meneruskan gosip-gosip seputar penduduk desa. Dia bak infotainment berjalan dan ia kujamin lebih update dari ibu-ibu yang senang bergunjing saat acara pengajian bulanan di Mushala Ar-Rahman, di sebelah kosanku di Jakarta.
Pak Andi sedang tak di rumah ketika kami sampai. Hampir pukul sebelas siang. Sebagai seorang petani, sangat janggal jika berada di rumah jam segitu. Hanya ada Bu Andi yang menyambutku dengan hangat, mencium pipiku lalu membelai rambutku. Dia sudah menganggapku sebagai anak sendiri.
“Makan dulu, Ta. Kamu kok kurus sih sekarang? Kerja keras kamu ya di Jakarta?” Bu Andi memperhatikan tubuhku yang memang sedikit lebih kurus dari terakhir aku kemari. Mungkin juga dia ingat pipiku tidak secekung sekarang.
“Namanya juga harus ke sana-sini, Bu. Kadang kerja sampai tengah malam. Tapi kan yang penting Dita sekarang sudah bisa nabung. Bisa ngirim uang juga buat Ibu.”
“Ibu kan sudah bilang, uang hasil kerja kamu itu nggak usah dikasih ke Ibu. Kamu kan juga butuh. Di sini kan ada Handoko sama bapaknya yang nyari duit.”
Aku tersenyum. Bagaimana lagi aku membalas kebaikannya kalau bukan dengan membagi materi yang kupunya untuk dia belikan bahan pokok bahkan baju baru untuk hari raya?
Bu Andi menarikku lalu mendudukkanku di kursi meja makan. Ikan nila goreng, sambal bawang bakar, ca kangkung, dan pepaya potong, tersaji di atas meja persegi yang ditutup taplak motif kotak-kotak warna hitam putih seperti papan catur saja. Handoko mengisi gelas kaca setinggi satu jengkal lalu meletakkan di dekat piring putih datar dan kosong di depanku. Lelaki lulusan STM ini lalu menarik kursi kemudian duduk di sampingku. Hanya kami berdua yang makan. Bu Andi akan makan dengan suaminya di sawah.
Kedatanganku di sini memang hanya untuk santai. Di Jakarta mana bisa aku punya waktu luang di warung kopi lalu duduk berjam-jam ngobrol tanpa topik yang jelas seenaknya? Kala aku bekerja sebagai seorang asisten make up artist, aku harus membawakan tas make up ke mana pun si make up artis berada. Dia seorang pria yang gayanya kewanita-wanitaan dan tak suka wanita.
Saat bekerja sebagai baby sitter di rumah seorang pengusaha klub malam, aku jarang bertemu sang majikan. Selama tiga bulan bekerja di sana, hanya sekali aku bertemu, itu pun tak sengaja, kami berpapasan di ruang tamu. Dan dia tersenyum kepadaku sambil menggandeng kekasihnya yang mabuk. Mereka masuk ke kamar tidur besar dengan salah satu sisi dindingnya terbuat dari kaca dan bisa melihat langsung ke taman. Pintunya merupakan pintu geser seperti di rumah orang jepang. Waktu itu aku mau ke dapur untuk membuatkan susu buat Indy Junior. Saat melewati kamar itu sambil membawa botol susu, aku mendengar suara-suara tamparan. Tidak, bukan karena mereka bertengkar. Begitulah cara mereka sebelum bercinta.
Jakarta memang dipenuhi orang-orang yang bervariasi. Dan itu menjalar ke desa. Dahulu penduduk Tunggalrasa hanya tahu mengolah tanah dan menghabiskan bergelas-gelas kopi sambil main kartu di kedai Mbak Rasti. Sekarang... ah desa ini sudah banyak berubah.
Di kedai kopi, aku dan Handoko duduk di sebuah meja kayu dengan salah satu dari tiga kakinya yang pincang. Kursinya adalah kayu gelondongan yang dipotong-potong setinggi 60 sentimeter. Di atas meja itu terhidang pisang goreng dingin berbalut tepung dan ada pula asbak kaca yang siap menampung puntung-puntung rokok kami berdua.
Aku mengeluarkan Gudang Garam merah dari saku jaketku. Handoko seleranya rokok kretek. Kami sama-sama menyulut rokok masing-masing dan mengembuskan asap tebal ke udara. Kami menikmati ritual itu hingga datang seseorang ke meja kami.
“Eh Mbak Dita kapan datang?” sapa ringan si pemilik kedai kopi yang suka selalu mengenakan bandana di kepalanya. Mbak Rasti.
“Tadi siang, Mbak. Saya kopi satu yang biasa ya,” kataku sambil menjentikkan ujung rokok di asbak.
“Saya juga, Mbak.” Handoko membeo. Tanpa perlu kupesan ini itu, Mbak Rasti hafal dengan seleraku. Tanpa gula dan pekat. Kopi kampung yang bikin rasa kantukku pergi tanpa aku perlu tidur.
Aku memperhatikan Mbak Rasti yang masuk ke ruang kecil di mana ada kompor gas dengan tabung 3 kilogram, berada tepat di bawah jendela, juga meja panjang persegi panjang dengan gula, teko, kopi dalam setoples, teh yang sudah diseduh dalam cerek besar, cangkir-cangkir yang disusun berjajar sampai dua tingkat, lalu tempat sendok. Ada seorang perempuan bertubuh pendek dan agak gempal sedang mengaduk kopi. Bajunya bermotif bunga yang sudah agak lusuh. Roknya panjang semata kaki. Rambutnya diikat dengan karet gelang murahan. Sandal jepitnya merek Swallow warna hijau. Sama sekali bukan gadis yang menarik perhatian laki-laki.
“Indah, buatkan dua kopi, kopinya dua sendok tanpa gula. Kasih sama tamu yang duduk di pojokan,” perintah Mbak Rasti, samar-samar terdengar olehku.
“Iya, Mbak,” jawab gadis itu dengan sigap. Indah meracik kopi pesanan lalu menyeduhnya dengan air mendidih. Diletakkannya kedua gelas di atas nampan lalu dibawanya ke meja yang dimaksud Mbak Rasti. Meja kami.
“Hai, Indah. Sibuk banget dari tadi nih, sampai Mas Han nggak disapa,” goda Handoko begitu Indah meletakkan nampan di meja dan menaruh kopi di hadapan kami. Yang digoda tampak tersipu .
“Iya, Mas. Kedai jam segini kan rame. Kalau kelamaan ngobrol sama pelanggan, bisa diomelin Mbak Rasti,” jawab Indah malu-malu membalas tatapan Handoko.
Di antara mereka mungkin ada hubungan khusus. Aku tidak mengenal gadis ini. Dulu, hanya Mbak Rasti saja yang melayani para pelanggannya. Mungkin karena kewalahan dengan pelanggan yang makin banyak. Aku memang melihat wajah-wajah baru di desa ini, entah siapa mereka. Mungkin para pedagang dari desa lain. Aku dengar, penduduk desa ini semakin konsumtif, entah darimana mereka dapat uang banyak. Mereka membeli barang-barang untuk menemuhi rumah mereka yang sempit. Apa ada sesuatu yang terjadi di desa ini yang luput dari perhatianku? Mengapa Handoko belum menceritakan padaku?
“Indah, besok mau nggak Mas Han ajak jalan-jalan ke pasar malam di kecamatan?” Handoko memegang tangan Indah sebelah kiri.
Gadis itu tersenyum malu-malu. Pandangannya mengarah kepadaku sekilas. Manis sebenarnya kalau dia mau sedikit memperhatikan penampilan. Sebagai asisten make-up artist, aku tahu caranya membuat seseorang jadi menarik meski tertutupi dengan sikap lugunya.
“Mau, Mas,” jawab Indah lalu ia pun minta izin berlalu.
“Ah perempuan, gampang banget ya buat diajak tidur,” ucap Handoko dengan enteng.
Aku menyesap kopi, menyembunyikan senyum sinis. Kebutuhan biologis tidak berbeda antara desa dan kota. Bagi para pemuda semacam Handoko yang masih enggan menikah, maka pelampiasannya adalah pada gadis-gadis desa yang luput dari jamahan Pak Lurah dan pria-pria berumur lainnya. Remaja yang masih duduk di bangku SMP pun sudah bisa jadi target pemuda macam dia.
Keesokan hari...
Indah dan Handoko pergi berdua sejak sore tadi. Aku sendiri di rumah dan bermalas-malasan di atas dipan rotan dan sesekali menggaruk tengkukku yang gatal akibat digigit nyamuk. Di meja makan ada gorengan, tapi aku malas menyentuhnya.
“Assalamu’alaikum. Permisi!” Dan kudengar pintu diketuk dari luar.
Keningku berkerut. Siapa? Aku beranjak dengan malas. Jam dinding menunjuk pukul lima. Ibu dan Bapak belum kembali. Kubukakan pintu lalu melihat seorang perempuan berjas putih dengan rok pendek, memegang tas, berdiri di hadapanku. Kami sama-sama terdiam.
“Ada yang bisa saya bantu? Dok?” tanyaku. Seragamnya seperti seorang dokter. Entah mungkin dokter di puskesmas, yang pasti aku belum pernah melihat dia di desa ini.
“Oh, iya, saya mau mengantarkan obat buat Bu Andi. Saya ambilkan di apotek kabupaten,” ujarnya.Dia mengeluarkan kantong kresek kecil dari dalam tas kulit yang ditentengnya lalu diserahkan padaku.
“Diminum sesudah makan tiga kali sehari,” ucapnya sebelum menyerahkan sepenuhnya padaku.
“Iya, nanti saya sampaikan…, Dok….” Ria Anggraini. Aku melirik nama yang tertera di jasnya.
“Kalau begitu saya permisi,” pamitnya sopan. Dia berbalik badan lalu berjalan menjauhiku, menyusuri jalanan yang becek. Dia berjalan berhati-hati agar tidak kepeleset. Lalu aku melihat apa isi di dalam kantong kresek itu. Obat apa ini?
“Ibu sering sakit kepala. Kata Dokter Ria, obat ini bisa mengurangi rasa sakit kepala, tapi jangan sering-sering diminum.”
Aku menanyakan perihal obat itu kepada Ibu Andi di malam harinya. Aku tidak tahu Ibu ada penyakit apa. Selama ini ia jarang mengeluh. Orang desa menganggap semua sakit itu tidak berbahaya dan bisa disembuhkan dengan sembarang obat. Padahal, sejak berada di kota, aku tahu bahwa penyakit itu bermacam-macam. Pengobatannya pun begitu. Dan, mengapa Dokter Ria begitu mudah memberikan obat yang entah untuk penyembuhan apa?
“Handoko pulang jam berapa ya, Ta? Sudah larut begini,” tanya Ibu Andi dengan agak khawatir.
Aku mengangkat bahu. Mungkin dia masih asyik bermain cinta dengan pelayan di kedai kopi itu. Sudah pukul sebelas malam. Desa sudah sepi. Sebaiknya aku nongkrong di kedai kopi saja.
Aku menuju kedai kopi, melewati jalanan setapak yang sepi. Kedai kopi bisa dibilang menjadi dominasi kaum lelaki. Aku mulai suka ke kedai kopi ini sejak sebuah peristiwa. Ah, tapi aku tidak ingin membahasnya. Sungguh tidak ingin.
Aku memesan kopi dan duduk menyendiri. Kunyalakan rokok terakhirku dan menikmatinya sambil memperhatikan orang-orang di meja sebelah yang asyik main judi.
“Nah kali ini pasti aku yang menang,” kata pria berkumis tebal dengan kepala botak dan dada penuh bulu. Maklum dia hanya mengenakan singlet melar hingga bulu dadanya pun menyembul.
“Ah kau mana pernah menang sih?” cela temannya yang setia dengan botol birnya. Dia memang terkenal selalu menang judi dan itu tanpa pernah main curang.
“Aku kan pernah menang, memenangkan hati Dokter Ria hahahaha!” tawa si pria berkumis tebal lalu membanting satu kartu.
Dokter Ria? Pria ini pacar Dokter Ria? Ada-ada saja. Perempuan kota seperti dia mana mau dengan orang desa yang tidak punya pekerjaan tetap dan usianya sudah lewat setengah abad itu?
Untuk mengisi waktu di pagi hari, aku biasanya berjalan-jalan menyusuri desa. Udara sejuk kuhirup dalam-dalam. Ini tak ada di Jakarta. Di ibu kota, bernapas pun seakan juga harus tergesa-gesa. Hari libur pun begitu.
Dari arah berlawanan, aku melihat seorang wanita dengan celana training panjang dan kaus putih tanpa lengan joging ke arahku. Handuk kecil tersampir di tengkuk hampir melingkari lehernya. Aku melihat earphone menempel di telinganya, kabelnya bermuara di saku celananya. Mungkin ada MP3 player atau ponsel yang memutar musik. Dia melambatkan larinya kemudian berjalan semakin mendekatiku.
“Hai, kamu lagi,” sapanya ramah. Ia mengelap wajah dan lengannya yang berkeringat dengan handuk kecilnya.
“Halo Dokter,” sapaku sambil menganggukkan kepala.
“Sendirian?” tanya Dokter Ria. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu menekan sebuah tombol. Mungkin mematikan musik yang sedari tadi mengalun ke telinganya. Sepatu olahraganya terlihat agak kotor. Dia mungkin melewati pematang sawah.
“Iya. Dokter juga sendirian?”
Kepalanya terangguk. “Mau pulang atau gimana? Mampir di rumahku sebentar yuk! Aku buatin kopi. Kamu sering nongkrong di kedai kopi kan?”
Entah dia tahu dari mana jika aku suka ke kedai kopi. Aku baru beberapa hari di sini dan baru bertemu dia beberapa hari lalu. itu pun hanya sekali. Aku tidak pernah melihatnya melintas di kedai kopi saat aku di sana.
Aku pun mengikuti langkahnya menuju sebuah rumah mungil sederhana, sekitar dua ratus meter dari tempat kami berdiri. Tinggi dokter ini sekitar 170 sentimeter, hanya selisih sedikit dariku.
Dia membuka pintu dengan sebuah kunci yang disimpan di saku celana trainingnya. Isi dari rumah mungil itu tertata sangat rapi. Aku sungkan untuk masuk. Rasanya tidak pantas. Jangan-jangan sepatu yang kugunakan akan serta-merta mengotori lantai rumahnya meski sepatu putih merek Adidas miliknya lebih kotor lagi. "Yuk masuk! Dita kan nama kamu? Aku Ria. Aku buatkan kamu kopi dulu ya. Mau roti bakar?” Dia bersikap ramah hingga sungkanku pun hilang seketika.
Ria, begitu aku memanggilnya, seperti seorang teman, bukan pasien kepada dokternya. Seorang dokter muda yang mendapat tugas di desa ini. Kami banyak bertukar cerita sampai pada akhirnya kuketahui bahwa dia tengah melakukan riset seputar....
“Aborsi?” ulangku dengan kedua alis terangkat. Dia menceritakan—mungkin hanya kepadaku—betapa ia tertarik untuk mengumpulkan data seputar penduduk desa yang melakukan aborsi karena hamil di luar nikah. Aborsi bisa dilakukan oleh beberapa dukun beranak tepercaya di desa ini maupun di kecamatan. Dukun di kecamatan biasanya minta bayaran lebih tinggi tapi fasilitasnya memang berbeda. Mereka punya obat-obatan dan peralatan lebih lengkap ketimbang dukun di desa. Dan jejaknya sulit terlacak.
Dokter Ria bercerita panjang lebar bahwa ia tertarik untuk mencari tahu kebenaran bahwa sembilan puluh persen perempuan di desa ini pernah melakukan aborsi.
“Kalau kamu, Ta? Pernah?” Akhirnya pertanyaan itu terucap juga olehnya kepadaku.
“Jangan jadikan aku objek penelitianmu. Apa sebenarnya untungnya data-data itu? Kalau penduduk desa tahu, habis kamu, Ria. Sama sekali ini bukan urusanmu.”
Ria tertawa kecil melihat ekspresi seriusku. Nyalinya tidak ciut begitu saja dengan sikap berhati-hatiku. Di sini, aku bukan melindungi penduduk desa dengan perbuatan mereka. Aku hanya tidak mau terjadi sesuatu atas Ria. Dia orang asing di Tunggalrasa.
Ria menyilangkan kaki dengan santai di atas kursi lalu menegakkan punggungnya. Kepalanya sedikit dimiringkan lalu bersuara, “Aku yakin, kamu bahkan belum pernah tidur dengan lelaki mana pun.”
Aku berdiri dan berjalan ke jendela rumahnya yang kecil dan terbuka lebar. Kebun jagung kulihat di kejauhan, batangnya sudah setinggi tubuh Bu Andi. Siap dipanen dan biasanya dijual ke pasar kecamatan sebelum nanti diborong penjual jagung bakar dan rebus keliling. Tanganku menyentuh terali jendela lalu menggenggamnya.
Dokter Ria terdiam.
“Lupakan soal penelitianmu. Di Jakarta, penelitian itu tidak akan jadi masalah. Di sini beda. Tidak ada satu pun penduduk desa yang suka hal buruk tentang mereka tersebar dan menjadi cemooh orang lan. Kamu jangan nekat, Ria.”
Ria menghela napas. “Kamu jangan jadi penakut, Ta. Aborsi di desa ini dilegalkan. Apa yang ada di dalam benak penduduk? Aborsi bisa membahayakan si ibu. Mereka membunuh makhluk hidup lalu setelah itu mereka kembali berbuat, lalu aborsi sampai berulang kali tanpa rasa bersalah. Apa yang ada di dalam pikiranmu? Kamu tidak peduli dengan mereka atau bagaimana?”
Aku membalikkan badan dan menatapnya kesal. Tanganku mengepal kencang. Dia seolah memojokkanku dan memandangku salah. Aku sudah tidak menetap lagi di desa ini. Sama dengannya yang hanya punya waktu praktik beberapa tahun. Lalu dia ingin seolah menjadi pahlawan dengan membongkar aib desa ini untuk sebuah pencapaian? Apa dia ingin foto dan beritanya masuk koran? Apa maunya dokter ini sebenarnya?
“Aku hanya akan memperingatkanmu sekali saja.” Aku sudah putus asa berbicara dengan perempuan ini.
Keberadaanku di desa ini kuperpanjang, hanya karena, terus terang saja, aku mencemaskan Dokter Ria. Dia benar-benar tidak mendengarkanku. Risetnya berlanjut. Aku tahu karena dia mulai mendatangi rumah-rumah penduduk yang aku tahu betul anak perempuan di dalam rumah itu pernah menggugurkan kandungan. Tidaklah sulit mendapatkan informasi itu.
Di suatu malam, ia datang ke kedai kopi lalu mengobrol lama dengan Mbak Rasti. Si pemilik kedai tentu saja tahu semua informasi kecil yang dibutuhkan Dokter Ria. Aku melihat keduanya berbicara dengan suara pelan di bawah lampu temaram. Indah akhirnya lebih sibuk melayani para pengunjung yang memesan kopi.
Begitu Dokter Ria selesai bicara dengan Mbak Rasti, aku beranjak mencegat langkahnya. Kupegang pergelangan tangannya kuat-kuat tapi dia sama sekali tidak melawan. Orang-orang di kedai kopi memperhatikan kami sekilas lalu sibuk main judi atau catur dengan kawan-kawannya. Dia duduk di sebelah kursi yang kududuki kemudian memesan secangkir kopi seperti yang kupesan.
“Aku harus berterima kasih karena kamu selalu mengawasiku gerak-gerikku. Tapi kalau kamu berharap dengan cara itu aku akan berubah pikiran dan membatalkan riset mulia ini, maaf aku mengecewakanmu. Dataku masih belum seberapa, Ta. Baru tiga puluh persennya mungkin.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Kunyalakan sebatang rokok. Sepasang mata agak sipit di balik kacamata bulan itu menatapku dengan bersahabat. Kepercayaan dirinya tinggi dan entah apa yang bisa membuat rasa takut bisa menghampirinya. Dia menyesap kopi yang baru diantarkan Mbak Rasti lalu meletakkan cangkir di atas piring kecil berwarna cokelat transparan berbahan kaca tahan panas.
“Oh ya mengapa kamu meninggalkan desa ini, Ta? Selain karena alasan ingin mencari uang di ibu kota? Kenapa kamu berbeda dari kaum perempuan di desa ini? Aku bertanya tentangmu pada Mbak Rasti tadi.”
Tenggorokanku tercekat. Dudukku mulai terasa tidak nyaman. Udara di tempat ini seakan naik sepuluh derajat seakan ada yang membakarku. Aku menghindari tatapan mata Dokter Ria yang terus mengejarku, seolah ada jawaban yang akan mudah didapatkannya saat aku berusaha menutup-nutupinya. Mbak Rasti dan keluarga Pak Andi mungkinkah tahu rahasiaku?
“Ta, kamu bukan objek risetku. Jangan takut seperti itu. Aku paham, di ibu kota kamu bisa mencari apa yang kamu butuhkan. Aku hanya minta satu hal, biarkan aku menyelesaikan riset ini tanpa halangan apa-apa, termasuk darimu. Kita berteman kan?” Ria memiringkan kepala meminta kepastian dariku.
“Gosip apa yang kamu dengar tentangku? Semua orang di desa ini tahu kalau apa yang didengar dari Mbak Rasti tidak semuanya benar. Dan apa yang dia ceritakan tentangku termasuk salah satunya.”
Dokter Ria tersenyum dengan wajah tenang dan membuatku semakin salah tingkah. Aku menelan ludah kemudian membuang pandanganku ke meja seberang, di mana sekelompok bapak-bapak asyik bermain kartu remi sambil mengisap rokok. Tawa mereka pecah ketika permainan berakhir dan satu pihak menang telak. Permainan itu akan dimulai lagi sampai tengah malam.
“Aku pulang dulu, Ria. Mau kuantar atau pulang sendiri?” tanyaku lalu beranjak dari kursi dan membayar kopiku dan kopi Ria pada Mbak Rasti yang baru saja mengangkat pisang goreng dari kuali.
Ria beranjak kemudian berjalan di sampingku. Kami meninggalkan kedai kopi menuju rumah mungil Ria. Kami melewati jalanan tanpa penerangan seperti di Jakarta, untung ada cahaya bulan purnama. Obrolan kami ringan-ringan saja, tidak sama sekali membahas riset atau tentang “rahasia”-ku.
Lima menit kemudian kami sampai. Ria merogoh saku jaket jinsnya kemudian mengeluarkan kunci. Dia membuka pintu dengan tangan kiri lalu mendorong daun pintu hingga terbuka lebar.
“Aku tidak memaksamu untuk mampir, tapi ini masih jam sembilan. Belum terlalu larut untuk ngobrol kan? Aku ingin tahu banyak tentangmu.”
Aku memandang lurus, melihat isi rumahnya karena pintu yang terbuka lebar. Kakiku melangkah dengan berat, padahal aku senang dengan ajakannya. Kulempar rokokku ke tanah kemudian menginjaknya dengan kaki kiri. Dia menutup pintu di belakangku kemudian berjalan mendahuluiku memasuki kamarnya.
“Duduk dulu, Ta, aku mau ganti baju.”
Aku mengangguk. Kulihat ada beberapa buku tebal tergeletak di atas meja. Buku-buku ilmiah berbahasa Inggris. Ria punya selera baca yang tinggi. Dia bilang, di rumahnya di ibu kota, koleksi buku berbahasa asingnya jauh lebih banyak ketimbang berbahasa Indonesia. Pantas jika wawasannya sangat luas. Aku mengambil salah satu buku dan membukanya. Tulisan kecil-kecil dan rapat segera mengisi ruang pandangku.
“Mau minum jus nggak?” tanya Ria keluar dari kamar lalu masuk ke dapur. Kudengar dia membuka kulkas. Suara lain yang kudengar adalah gelas yang berdenting sejenak lalu suara air dituangkan ke dalam gelas yang berisi es batu, dua kali. Dia lalu muncul dengan dua gelas jus jeruk di tangannya dan duduk di sampingku.
“Ta, kamu kenapa sih tegang gitu?” tanya Ria dengan santai. Ia menyalakan TV dengan remote.
“Aku nggak tegang,” sangkalku. Aku ingin memastikan wajahku tidak pucat tapi tidak ada kaca di ruangan ini. Tapi kalau aku berkeringat dingin, itu tidak perlu pembuktian. Aku mengalaminya sekarang.
“Aku bohong tadi,” ujarnya lalu mengambil buku yang sedang kupegang lalu meletakkannya di meja. “Aku sama sekali tidak bertanya apa-apa tentangmu pada Mbak Rasti.”
Dia membesarkan volume TV kemudian melipat tangan di dada.
“Tanpa kutanya pada orang lain pun, aku sudah tahu.”
Aku menunggu kalimat dia selanjutnya.
“Kamu pergi dari desa ini karena ingin melupakan seseorang, bukan? Dia dimakamkan tidak jauh dari kedai Mbak Rasti. Aku pernah melihatmu termenung lama di sana sampai kamu tidak menyadari kehadiranku.”
Aku menggeleng. Ria terus saja mengoceh.
“Di antara para pelaku aborsi di desa ini, ada satu yang meninggal karena kehabisan darah lalu mengalami komplikasi. Perempuan itu yang membuatmu pergi dari desa ini kan, Ta? Tapi kamu juga tidak mungkin tidak kembali karena kenanganmu dengannya ada di desa ini. Aku ingin membantumu, Ta. Aku ingin menghentikan kejahatan ini. Jangan sampai ada korban lagi setelah Maya.”
Aku tertegun. Nama itu disebut saat aku sama sekali tidak siap. Nama yang tertulis di salah satu nisan yang selalu kubersihkan dan kutaburi bunga agar harumnya selalu ada. Ria benar, aku kemari hanya untuk melihat pusara itu, melepaskan kerinduanku pada sosok yang dimakamkan di sana lima tahun lalu.
“Tunggu!” cegah Ria begitu melihatku beranjak dengan muka merah padam. Aku menatap mata itu dan dengan sengaja memperlihatkan sebuah luka yang tersimpan. Ya aku pun seorang pembunuh. Egolah yang jadi korbanku. Dan aku berhenti berjuang begitu kulihat jenazah Maya dikuburkan. Jika aku mencintainya, mengapa aku tidak marah pada orang-orang yang membuat dia pergi begitu cepat? Mengapa aku hanya diam dan membiarkan praktik pembunuhan manusia masih terus berlangsung?
“Bu Andi yang cerita padaku. Jauh sebelum kita bertemu. Dia bilang, di desa ini ada satu perempuan yang harus aku temui. Harus kubantu karena aku pasti bisa membantu orang itu. Aku tahu, ketika pertama kali bertemu denganmu, kamulah yang dia maksud. Aku menunggumu datang, Ta. Dan aku janji akan membantumu.”
Aku kembali duduk dan melabuhkan pandanganku ke lantai.
“Kamu tidak akan bisa melawan orang-orang desa ini.” Aku menggeleng pelan. “Mereka bukan manusia yang bisa dengan mudah kamu ubah. Jika nanti risetmu selesai, kamu pegang data itu, lalu apa? Mau kamu laporkan ke polisi? Mau memenjarakan mereka? Itu tujuanmu?”
“Aku seorang dokter, aku manusia, dan aku punya hati. Janin-janin itu seharusnya dibiarkan hidup dan jadi penduduk baru di desa ini, bukan dibunuh! Percuma aku memberikan mereka penyuluhan. Wajah pria-pria di desa ini jauh lebih bahagia ketika tahu janin-janin hasil hubungan luar nikah mereka sudah keluar dan dikuburkan di belakang rumah seorang dukun beranak. Mereka sama sekali tidak punya rasa bersalah.”
Aku menyandarkan tubuh ke punggung kursi. Mataku terpejam. Sekian tahun lalu, aku ingat. Diam-diam, Maya menemuiku. Dia minta izinku untuk aborsi. Aku tidak tahu dengan siapa dia melakukannya, sampai sekarang aku tidak pernah tahu. Maya baru lima belas tahun, terlalu muda untuk sebuah aborsi yang aku tahu betul sebesar apa risikonya nanti. Dan aku baru dua puluh tahun di mana untuk memperjuangkan cinta langka seperti itu pun aku berpikir seribu kali.
Aku bersumpah, tidak pernah mengizinkan Maya melakukan aborsi, karena takut kehilangan dia. Kami berdebat, dan tidak menemukan jalan keluar. Tiga hari setelah itu, aku mendengar kabar dia sudah tiada. Malam harinya, aku pergi dari desa ini. Tak tahu harus ke mana. Aku menahan air mata agar tidak jatuh. Setiap kali bus yang kutumpangi melewati jembatan, ingin rasanya aku turun dan melompat saja dari sana. Tapi bukankah itu sama saja aku senaif Maya? Tidakkah jika nanti kami bertemu di alam baka, dia akan menertawakan kotololanku?
“Ta, hanya kamu yang bisa kuandalkan di desa ini. Aku butuh beberapa minggu lagi untuk mengambil data. Tolong temani aku. Orang-orang di sini menghormatimu dan tidak ada orang yang tahu soal cerita cintamu. Bahkan Mbak Rasti. Aku sudah memastikannya tadi.”
Benarkah? Alisku terangkat lalu memandang wajah itu untuk memastikan dia tidak sedang mengarang cerita. Kepalanya terangguk untuk memastikannya. Dia menyentuh bahuku lalu menepuknya. Sebuah energi baru seolah masuk ke dalam tubuhku lalu menjalar hingga simpul-simpul saraf otakku pun memerintahkan untuk mengangguk mantap menjawab permintaannya. “Aku akan menjagamu,” ucapku di hadapan perempuan dengan rambut lurus sebahu itu. Kalimat serupa yang kubisikkan ke telinga Maya sebelum kami menghabiskan malam-malam yang indah di puncak Bukit Nirwana, di bawah langit yang selalu bertabur bintang.
Yogyakarta, 29 Mei 2013; 19.48
Setibanya di Terminal Syamsuddin Saleh, aku menunggu kedatangan Handoko dengan motor Honda butut yang knalpotnya berisik dan asapnya tebal. Dia adalah putra dari Pak Andi, kerabatku yang sama sekali tidak berminat untuk hijrah mencari hidup lebih baik di luar Desa Tunggalrasa. Perjalanan dari terminal ke desa hampir sejam. Kami memutuskan makan soto dan minum kopi hitam sebelum melanjutkan perjalanan.
Jalanan yang kami lewati jauh dari kata mulus, aspal saja hanya separuh perjalanan. Sisanya jalan berbatu yang sangat tidak nyaman saat dilewati motor ceper dengan jok tipis. Shock breaker? Jangan harap. Belum lagi aku membawa tas punggung berisi beberapa potong baju dan oleh-oleh untuk keluarga Pak Andi sebagai tuan rumah selama aku di sana. Aku memang hanya menumpang selama dua minggu. Melepaskan kangen dengan desa indah yang punya sungai begitu jernihnya dan jagungnya yang sangat manis. Itu hanya sebagian kecil yang dimiliki alam Tunggalrasa.
Perjalananku diisi celotehan Handoko, pemuda kekar berkulit gelap, pertengahan kepala tiga, dengan bekas luka di pipi kirinya. Rambutnya yang ikal terbungkus helm dengan tempelan stiker-stiker yang tak ada satu pun bisa kubaca apa saja tulisan atau gambarnya.
“Si Marni udah kawin Ta, sama Pak Lurah.” Handoko mengganti objek pembicaraan yang tadinya seputar panen padi sawah keluarga mereka.
Aku tertegun. Istri lima belum cukup sepertinya buat lelaki yang mengaku keturunan ningrat itu. Marni baru lulus SMA sudah kawin, atau lebih tepatnya dipaksa kawin. Begitulah gadis-gadis di desa ini, nikah muda adalah pilihan. Mau apalagi? Mereka terlalu takut keluar desa dan mencari nasib lebih baik. Aku orang yang pertama dan sepertinya satu-satunya yang terpikir untuk bekerja dan menunda pernikahan.
“Sekarang sudah hamil.”
“Bakal anak kesembilan Pak Lurah tuh,” sahutku.
“Sepuluh,” ralat Handoko, “Mbak Desi kan seminggu lalu melahirkan."
“Oh jadi kamu masih curiga, itu anak dia sama Pak Lurah?” Mbak Desi itu janda dan digosipkan dekat dengan Pak Lurah.
“Anaknya mirip banget sama Pak Lurah, semua orang yakin itu anak Pak Lurah.”
Handoko meneruskan gosip-gosip seputar penduduk desa. Dia bak infotainment berjalan dan ia kujamin lebih update dari ibu-ibu yang senang bergunjing saat acara pengajian bulanan di Mushala Ar-Rahman, di sebelah kosanku di Jakarta.
Pak Andi sedang tak di rumah ketika kami sampai. Hampir pukul sebelas siang. Sebagai seorang petani, sangat janggal jika berada di rumah jam segitu. Hanya ada Bu Andi yang menyambutku dengan hangat, mencium pipiku lalu membelai rambutku. Dia sudah menganggapku sebagai anak sendiri.
“Makan dulu, Ta. Kamu kok kurus sih sekarang? Kerja keras kamu ya di Jakarta?” Bu Andi memperhatikan tubuhku yang memang sedikit lebih kurus dari terakhir aku kemari. Mungkin juga dia ingat pipiku tidak secekung sekarang.
“Namanya juga harus ke sana-sini, Bu. Kadang kerja sampai tengah malam. Tapi kan yang penting Dita sekarang sudah bisa nabung. Bisa ngirim uang juga buat Ibu.”
“Ibu kan sudah bilang, uang hasil kerja kamu itu nggak usah dikasih ke Ibu. Kamu kan juga butuh. Di sini kan ada Handoko sama bapaknya yang nyari duit.”
Aku tersenyum. Bagaimana lagi aku membalas kebaikannya kalau bukan dengan membagi materi yang kupunya untuk dia belikan bahan pokok bahkan baju baru untuk hari raya?
Bu Andi menarikku lalu mendudukkanku di kursi meja makan. Ikan nila goreng, sambal bawang bakar, ca kangkung, dan pepaya potong, tersaji di atas meja persegi yang ditutup taplak motif kotak-kotak warna hitam putih seperti papan catur saja. Handoko mengisi gelas kaca setinggi satu jengkal lalu meletakkan di dekat piring putih datar dan kosong di depanku. Lelaki lulusan STM ini lalu menarik kursi kemudian duduk di sampingku. Hanya kami berdua yang makan. Bu Andi akan makan dengan suaminya di sawah.
Kedatanganku di sini memang hanya untuk santai. Di Jakarta mana bisa aku punya waktu luang di warung kopi lalu duduk berjam-jam ngobrol tanpa topik yang jelas seenaknya? Kala aku bekerja sebagai seorang asisten make up artist, aku harus membawakan tas make up ke mana pun si make up artis berada. Dia seorang pria yang gayanya kewanita-wanitaan dan tak suka wanita.
Saat bekerja sebagai baby sitter di rumah seorang pengusaha klub malam, aku jarang bertemu sang majikan. Selama tiga bulan bekerja di sana, hanya sekali aku bertemu, itu pun tak sengaja, kami berpapasan di ruang tamu. Dan dia tersenyum kepadaku sambil menggandeng kekasihnya yang mabuk. Mereka masuk ke kamar tidur besar dengan salah satu sisi dindingnya terbuat dari kaca dan bisa melihat langsung ke taman. Pintunya merupakan pintu geser seperti di rumah orang jepang. Waktu itu aku mau ke dapur untuk membuatkan susu buat Indy Junior. Saat melewati kamar itu sambil membawa botol susu, aku mendengar suara-suara tamparan. Tidak, bukan karena mereka bertengkar. Begitulah cara mereka sebelum bercinta.
Jakarta memang dipenuhi orang-orang yang bervariasi. Dan itu menjalar ke desa. Dahulu penduduk Tunggalrasa hanya tahu mengolah tanah dan menghabiskan bergelas-gelas kopi sambil main kartu di kedai Mbak Rasti. Sekarang... ah desa ini sudah banyak berubah.
Di kedai kopi, aku dan Handoko duduk di sebuah meja kayu dengan salah satu dari tiga kakinya yang pincang. Kursinya adalah kayu gelondongan yang dipotong-potong setinggi 60 sentimeter. Di atas meja itu terhidang pisang goreng dingin berbalut tepung dan ada pula asbak kaca yang siap menampung puntung-puntung rokok kami berdua.
Aku mengeluarkan Gudang Garam merah dari saku jaketku. Handoko seleranya rokok kretek. Kami sama-sama menyulut rokok masing-masing dan mengembuskan asap tebal ke udara. Kami menikmati ritual itu hingga datang seseorang ke meja kami.
“Eh Mbak Dita kapan datang?” sapa ringan si pemilik kedai kopi yang suka selalu mengenakan bandana di kepalanya. Mbak Rasti.
“Tadi siang, Mbak. Saya kopi satu yang biasa ya,” kataku sambil menjentikkan ujung rokok di asbak.
“Saya juga, Mbak.” Handoko membeo. Tanpa perlu kupesan ini itu, Mbak Rasti hafal dengan seleraku. Tanpa gula dan pekat. Kopi kampung yang bikin rasa kantukku pergi tanpa aku perlu tidur.
Aku memperhatikan Mbak Rasti yang masuk ke ruang kecil di mana ada kompor gas dengan tabung 3 kilogram, berada tepat di bawah jendela, juga meja panjang persegi panjang dengan gula, teko, kopi dalam setoples, teh yang sudah diseduh dalam cerek besar, cangkir-cangkir yang disusun berjajar sampai dua tingkat, lalu tempat sendok. Ada seorang perempuan bertubuh pendek dan agak gempal sedang mengaduk kopi. Bajunya bermotif bunga yang sudah agak lusuh. Roknya panjang semata kaki. Rambutnya diikat dengan karet gelang murahan. Sandal jepitnya merek Swallow warna hijau. Sama sekali bukan gadis yang menarik perhatian laki-laki.
“Indah, buatkan dua kopi, kopinya dua sendok tanpa gula. Kasih sama tamu yang duduk di pojokan,” perintah Mbak Rasti, samar-samar terdengar olehku.
“Iya, Mbak,” jawab gadis itu dengan sigap. Indah meracik kopi pesanan lalu menyeduhnya dengan air mendidih. Diletakkannya kedua gelas di atas nampan lalu dibawanya ke meja yang dimaksud Mbak Rasti. Meja kami.
“Hai, Indah. Sibuk banget dari tadi nih, sampai Mas Han nggak disapa,” goda Handoko begitu Indah meletakkan nampan di meja dan menaruh kopi di hadapan kami. Yang digoda tampak tersipu .
“Iya, Mas. Kedai jam segini kan rame. Kalau kelamaan ngobrol sama pelanggan, bisa diomelin Mbak Rasti,” jawab Indah malu-malu membalas tatapan Handoko.
Di antara mereka mungkin ada hubungan khusus. Aku tidak mengenal gadis ini. Dulu, hanya Mbak Rasti saja yang melayani para pelanggannya. Mungkin karena kewalahan dengan pelanggan yang makin banyak. Aku memang melihat wajah-wajah baru di desa ini, entah siapa mereka. Mungkin para pedagang dari desa lain. Aku dengar, penduduk desa ini semakin konsumtif, entah darimana mereka dapat uang banyak. Mereka membeli barang-barang untuk menemuhi rumah mereka yang sempit. Apa ada sesuatu yang terjadi di desa ini yang luput dari perhatianku? Mengapa Handoko belum menceritakan padaku?
“Indah, besok mau nggak Mas Han ajak jalan-jalan ke pasar malam di kecamatan?” Handoko memegang tangan Indah sebelah kiri.
Gadis itu tersenyum malu-malu. Pandangannya mengarah kepadaku sekilas. Manis sebenarnya kalau dia mau sedikit memperhatikan penampilan. Sebagai asisten make-up artist, aku tahu caranya membuat seseorang jadi menarik meski tertutupi dengan sikap lugunya.
“Mau, Mas,” jawab Indah lalu ia pun minta izin berlalu.
“Ah perempuan, gampang banget ya buat diajak tidur,” ucap Handoko dengan enteng.
Aku menyesap kopi, menyembunyikan senyum sinis. Kebutuhan biologis tidak berbeda antara desa dan kota. Bagi para pemuda semacam Handoko yang masih enggan menikah, maka pelampiasannya adalah pada gadis-gadis desa yang luput dari jamahan Pak Lurah dan pria-pria berumur lainnya. Remaja yang masih duduk di bangku SMP pun sudah bisa jadi target pemuda macam dia.
Keesokan hari...
Indah dan Handoko pergi berdua sejak sore tadi. Aku sendiri di rumah dan bermalas-malasan di atas dipan rotan dan sesekali menggaruk tengkukku yang gatal akibat digigit nyamuk. Di meja makan ada gorengan, tapi aku malas menyentuhnya.
“Assalamu’alaikum. Permisi!” Dan kudengar pintu diketuk dari luar.
Keningku berkerut. Siapa? Aku beranjak dengan malas. Jam dinding menunjuk pukul lima. Ibu dan Bapak belum kembali. Kubukakan pintu lalu melihat seorang perempuan berjas putih dengan rok pendek, memegang tas, berdiri di hadapanku. Kami sama-sama terdiam.
“Ada yang bisa saya bantu? Dok?” tanyaku. Seragamnya seperti seorang dokter. Entah mungkin dokter di puskesmas, yang pasti aku belum pernah melihat dia di desa ini.
“Oh, iya, saya mau mengantarkan obat buat Bu Andi. Saya ambilkan di apotek kabupaten,” ujarnya.Dia mengeluarkan kantong kresek kecil dari dalam tas kulit yang ditentengnya lalu diserahkan padaku.
“Diminum sesudah makan tiga kali sehari,” ucapnya sebelum menyerahkan sepenuhnya padaku.
“Iya, nanti saya sampaikan…, Dok….” Ria Anggraini. Aku melirik nama yang tertera di jasnya.
“Kalau begitu saya permisi,” pamitnya sopan. Dia berbalik badan lalu berjalan menjauhiku, menyusuri jalanan yang becek. Dia berjalan berhati-hati agar tidak kepeleset. Lalu aku melihat apa isi di dalam kantong kresek itu. Obat apa ini?
“Ibu sering sakit kepala. Kata Dokter Ria, obat ini bisa mengurangi rasa sakit kepala, tapi jangan sering-sering diminum.”
Aku menanyakan perihal obat itu kepada Ibu Andi di malam harinya. Aku tidak tahu Ibu ada penyakit apa. Selama ini ia jarang mengeluh. Orang desa menganggap semua sakit itu tidak berbahaya dan bisa disembuhkan dengan sembarang obat. Padahal, sejak berada di kota, aku tahu bahwa penyakit itu bermacam-macam. Pengobatannya pun begitu. Dan, mengapa Dokter Ria begitu mudah memberikan obat yang entah untuk penyembuhan apa?
“Handoko pulang jam berapa ya, Ta? Sudah larut begini,” tanya Ibu Andi dengan agak khawatir.
Aku mengangkat bahu. Mungkin dia masih asyik bermain cinta dengan pelayan di kedai kopi itu. Sudah pukul sebelas malam. Desa sudah sepi. Sebaiknya aku nongkrong di kedai kopi saja.
Aku menuju kedai kopi, melewati jalanan setapak yang sepi. Kedai kopi bisa dibilang menjadi dominasi kaum lelaki. Aku mulai suka ke kedai kopi ini sejak sebuah peristiwa. Ah, tapi aku tidak ingin membahasnya. Sungguh tidak ingin.
Aku memesan kopi dan duduk menyendiri. Kunyalakan rokok terakhirku dan menikmatinya sambil memperhatikan orang-orang di meja sebelah yang asyik main judi.
“Nah kali ini pasti aku yang menang,” kata pria berkumis tebal dengan kepala botak dan dada penuh bulu. Maklum dia hanya mengenakan singlet melar hingga bulu dadanya pun menyembul.
“Ah kau mana pernah menang sih?” cela temannya yang setia dengan botol birnya. Dia memang terkenal selalu menang judi dan itu tanpa pernah main curang.
“Aku kan pernah menang, memenangkan hati Dokter Ria hahahaha!” tawa si pria berkumis tebal lalu membanting satu kartu.
Dokter Ria? Pria ini pacar Dokter Ria? Ada-ada saja. Perempuan kota seperti dia mana mau dengan orang desa yang tidak punya pekerjaan tetap dan usianya sudah lewat setengah abad itu?
Untuk mengisi waktu di pagi hari, aku biasanya berjalan-jalan menyusuri desa. Udara sejuk kuhirup dalam-dalam. Ini tak ada di Jakarta. Di ibu kota, bernapas pun seakan juga harus tergesa-gesa. Hari libur pun begitu.
Dari arah berlawanan, aku melihat seorang wanita dengan celana training panjang dan kaus putih tanpa lengan joging ke arahku. Handuk kecil tersampir di tengkuk hampir melingkari lehernya. Aku melihat earphone menempel di telinganya, kabelnya bermuara di saku celananya. Mungkin ada MP3 player atau ponsel yang memutar musik. Dia melambatkan larinya kemudian berjalan semakin mendekatiku.
“Hai, kamu lagi,” sapanya ramah. Ia mengelap wajah dan lengannya yang berkeringat dengan handuk kecilnya.
“Halo Dokter,” sapaku sambil menganggukkan kepala.
“Sendirian?” tanya Dokter Ria. Dia mengeluarkan ponsel dari saku celana lalu menekan sebuah tombol. Mungkin mematikan musik yang sedari tadi mengalun ke telinganya. Sepatu olahraganya terlihat agak kotor. Dia mungkin melewati pematang sawah.
“Iya. Dokter juga sendirian?”
Kepalanya terangguk. “Mau pulang atau gimana? Mampir di rumahku sebentar yuk! Aku buatin kopi. Kamu sering nongkrong di kedai kopi kan?”
Entah dia tahu dari mana jika aku suka ke kedai kopi. Aku baru beberapa hari di sini dan baru bertemu dia beberapa hari lalu. itu pun hanya sekali. Aku tidak pernah melihatnya melintas di kedai kopi saat aku di sana.
Aku pun mengikuti langkahnya menuju sebuah rumah mungil sederhana, sekitar dua ratus meter dari tempat kami berdiri. Tinggi dokter ini sekitar 170 sentimeter, hanya selisih sedikit dariku.
Dia membuka pintu dengan sebuah kunci yang disimpan di saku celana trainingnya. Isi dari rumah mungil itu tertata sangat rapi. Aku sungkan untuk masuk. Rasanya tidak pantas. Jangan-jangan sepatu yang kugunakan akan serta-merta mengotori lantai rumahnya meski sepatu putih merek Adidas miliknya lebih kotor lagi. "Yuk masuk! Dita kan nama kamu? Aku Ria. Aku buatkan kamu kopi dulu ya. Mau roti bakar?” Dia bersikap ramah hingga sungkanku pun hilang seketika.
Ria, begitu aku memanggilnya, seperti seorang teman, bukan pasien kepada dokternya. Seorang dokter muda yang mendapat tugas di desa ini. Kami banyak bertukar cerita sampai pada akhirnya kuketahui bahwa dia tengah melakukan riset seputar....
“Aborsi?” ulangku dengan kedua alis terangkat. Dia menceritakan—mungkin hanya kepadaku—betapa ia tertarik untuk mengumpulkan data seputar penduduk desa yang melakukan aborsi karena hamil di luar nikah. Aborsi bisa dilakukan oleh beberapa dukun beranak tepercaya di desa ini maupun di kecamatan. Dukun di kecamatan biasanya minta bayaran lebih tinggi tapi fasilitasnya memang berbeda. Mereka punya obat-obatan dan peralatan lebih lengkap ketimbang dukun di desa. Dan jejaknya sulit terlacak.
Dokter Ria bercerita panjang lebar bahwa ia tertarik untuk mencari tahu kebenaran bahwa sembilan puluh persen perempuan di desa ini pernah melakukan aborsi.
“Kalau kamu, Ta? Pernah?” Akhirnya pertanyaan itu terucap juga olehnya kepadaku.
“Jangan jadikan aku objek penelitianmu. Apa sebenarnya untungnya data-data itu? Kalau penduduk desa tahu, habis kamu, Ria. Sama sekali ini bukan urusanmu.”
Ria tertawa kecil melihat ekspresi seriusku. Nyalinya tidak ciut begitu saja dengan sikap berhati-hatiku. Di sini, aku bukan melindungi penduduk desa dengan perbuatan mereka. Aku hanya tidak mau terjadi sesuatu atas Ria. Dia orang asing di Tunggalrasa.
Ria menyilangkan kaki dengan santai di atas kursi lalu menegakkan punggungnya. Kepalanya sedikit dimiringkan lalu bersuara, “Aku yakin, kamu bahkan belum pernah tidur dengan lelaki mana pun.”
Aku berdiri dan berjalan ke jendela rumahnya yang kecil dan terbuka lebar. Kebun jagung kulihat di kejauhan, batangnya sudah setinggi tubuh Bu Andi. Siap dipanen dan biasanya dijual ke pasar kecamatan sebelum nanti diborong penjual jagung bakar dan rebus keliling. Tanganku menyentuh terali jendela lalu menggenggamnya.
Dokter Ria terdiam.
“Lupakan soal penelitianmu. Di Jakarta, penelitian itu tidak akan jadi masalah. Di sini beda. Tidak ada satu pun penduduk desa yang suka hal buruk tentang mereka tersebar dan menjadi cemooh orang lan. Kamu jangan nekat, Ria.”
Ria menghela napas. “Kamu jangan jadi penakut, Ta. Aborsi di desa ini dilegalkan. Apa yang ada di dalam benak penduduk? Aborsi bisa membahayakan si ibu. Mereka membunuh makhluk hidup lalu setelah itu mereka kembali berbuat, lalu aborsi sampai berulang kali tanpa rasa bersalah. Apa yang ada di dalam pikiranmu? Kamu tidak peduli dengan mereka atau bagaimana?”
Aku membalikkan badan dan menatapnya kesal. Tanganku mengepal kencang. Dia seolah memojokkanku dan memandangku salah. Aku sudah tidak menetap lagi di desa ini. Sama dengannya yang hanya punya waktu praktik beberapa tahun. Lalu dia ingin seolah menjadi pahlawan dengan membongkar aib desa ini untuk sebuah pencapaian? Apa dia ingin foto dan beritanya masuk koran? Apa maunya dokter ini sebenarnya?
“Aku hanya akan memperingatkanmu sekali saja.” Aku sudah putus asa berbicara dengan perempuan ini.
Keberadaanku di desa ini kuperpanjang, hanya karena, terus terang saja, aku mencemaskan Dokter Ria. Dia benar-benar tidak mendengarkanku. Risetnya berlanjut. Aku tahu karena dia mulai mendatangi rumah-rumah penduduk yang aku tahu betul anak perempuan di dalam rumah itu pernah menggugurkan kandungan. Tidaklah sulit mendapatkan informasi itu.
Di suatu malam, ia datang ke kedai kopi lalu mengobrol lama dengan Mbak Rasti. Si pemilik kedai tentu saja tahu semua informasi kecil yang dibutuhkan Dokter Ria. Aku melihat keduanya berbicara dengan suara pelan di bawah lampu temaram. Indah akhirnya lebih sibuk melayani para pengunjung yang memesan kopi.
Begitu Dokter Ria selesai bicara dengan Mbak Rasti, aku beranjak mencegat langkahnya. Kupegang pergelangan tangannya kuat-kuat tapi dia sama sekali tidak melawan. Orang-orang di kedai kopi memperhatikan kami sekilas lalu sibuk main judi atau catur dengan kawan-kawannya. Dia duduk di sebelah kursi yang kududuki kemudian memesan secangkir kopi seperti yang kupesan.
“Aku harus berterima kasih karena kamu selalu mengawasiku gerak-gerikku. Tapi kalau kamu berharap dengan cara itu aku akan berubah pikiran dan membatalkan riset mulia ini, maaf aku mengecewakanmu. Dataku masih belum seberapa, Ta. Baru tiga puluh persennya mungkin.”
Aku menarik napas dalam-dalam. Kunyalakan sebatang rokok. Sepasang mata agak sipit di balik kacamata bulan itu menatapku dengan bersahabat. Kepercayaan dirinya tinggi dan entah apa yang bisa membuat rasa takut bisa menghampirinya. Dia menyesap kopi yang baru diantarkan Mbak Rasti lalu meletakkan cangkir di atas piring kecil berwarna cokelat transparan berbahan kaca tahan panas.
“Oh ya mengapa kamu meninggalkan desa ini, Ta? Selain karena alasan ingin mencari uang di ibu kota? Kenapa kamu berbeda dari kaum perempuan di desa ini? Aku bertanya tentangmu pada Mbak Rasti tadi.”
Tenggorokanku tercekat. Dudukku mulai terasa tidak nyaman. Udara di tempat ini seakan naik sepuluh derajat seakan ada yang membakarku. Aku menghindari tatapan mata Dokter Ria yang terus mengejarku, seolah ada jawaban yang akan mudah didapatkannya saat aku berusaha menutup-nutupinya. Mbak Rasti dan keluarga Pak Andi mungkinkah tahu rahasiaku?
“Ta, kamu bukan objek risetku. Jangan takut seperti itu. Aku paham, di ibu kota kamu bisa mencari apa yang kamu butuhkan. Aku hanya minta satu hal, biarkan aku menyelesaikan riset ini tanpa halangan apa-apa, termasuk darimu. Kita berteman kan?” Ria memiringkan kepala meminta kepastian dariku.
“Gosip apa yang kamu dengar tentangku? Semua orang di desa ini tahu kalau apa yang didengar dari Mbak Rasti tidak semuanya benar. Dan apa yang dia ceritakan tentangku termasuk salah satunya.”
Dokter Ria tersenyum dengan wajah tenang dan membuatku semakin salah tingkah. Aku menelan ludah kemudian membuang pandanganku ke meja seberang, di mana sekelompok bapak-bapak asyik bermain kartu remi sambil mengisap rokok. Tawa mereka pecah ketika permainan berakhir dan satu pihak menang telak. Permainan itu akan dimulai lagi sampai tengah malam.
“Aku pulang dulu, Ria. Mau kuantar atau pulang sendiri?” tanyaku lalu beranjak dari kursi dan membayar kopiku dan kopi Ria pada Mbak Rasti yang baru saja mengangkat pisang goreng dari kuali.
Ria beranjak kemudian berjalan di sampingku. Kami meninggalkan kedai kopi menuju rumah mungil Ria. Kami melewati jalanan tanpa penerangan seperti di Jakarta, untung ada cahaya bulan purnama. Obrolan kami ringan-ringan saja, tidak sama sekali membahas riset atau tentang “rahasia”-ku.
Lima menit kemudian kami sampai. Ria merogoh saku jaket jinsnya kemudian mengeluarkan kunci. Dia membuka pintu dengan tangan kiri lalu mendorong daun pintu hingga terbuka lebar.
“Aku tidak memaksamu untuk mampir, tapi ini masih jam sembilan. Belum terlalu larut untuk ngobrol kan? Aku ingin tahu banyak tentangmu.”
Aku memandang lurus, melihat isi rumahnya karena pintu yang terbuka lebar. Kakiku melangkah dengan berat, padahal aku senang dengan ajakannya. Kulempar rokokku ke tanah kemudian menginjaknya dengan kaki kiri. Dia menutup pintu di belakangku kemudian berjalan mendahuluiku memasuki kamarnya.
“Duduk dulu, Ta, aku mau ganti baju.”
Aku mengangguk. Kulihat ada beberapa buku tebal tergeletak di atas meja. Buku-buku ilmiah berbahasa Inggris. Ria punya selera baca yang tinggi. Dia bilang, di rumahnya di ibu kota, koleksi buku berbahasa asingnya jauh lebih banyak ketimbang berbahasa Indonesia. Pantas jika wawasannya sangat luas. Aku mengambil salah satu buku dan membukanya. Tulisan kecil-kecil dan rapat segera mengisi ruang pandangku.
“Mau minum jus nggak?” tanya Ria keluar dari kamar lalu masuk ke dapur. Kudengar dia membuka kulkas. Suara lain yang kudengar adalah gelas yang berdenting sejenak lalu suara air dituangkan ke dalam gelas yang berisi es batu, dua kali. Dia lalu muncul dengan dua gelas jus jeruk di tangannya dan duduk di sampingku.
“Ta, kamu kenapa sih tegang gitu?” tanya Ria dengan santai. Ia menyalakan TV dengan remote.
“Aku nggak tegang,” sangkalku. Aku ingin memastikan wajahku tidak pucat tapi tidak ada kaca di ruangan ini. Tapi kalau aku berkeringat dingin, itu tidak perlu pembuktian. Aku mengalaminya sekarang.
“Aku bohong tadi,” ujarnya lalu mengambil buku yang sedang kupegang lalu meletakkannya di meja. “Aku sama sekali tidak bertanya apa-apa tentangmu pada Mbak Rasti.”
Dia membesarkan volume TV kemudian melipat tangan di dada.
“Tanpa kutanya pada orang lain pun, aku sudah tahu.”
Aku menunggu kalimat dia selanjutnya.
“Kamu pergi dari desa ini karena ingin melupakan seseorang, bukan? Dia dimakamkan tidak jauh dari kedai Mbak Rasti. Aku pernah melihatmu termenung lama di sana sampai kamu tidak menyadari kehadiranku.”
Aku menggeleng. Ria terus saja mengoceh.
“Di antara para pelaku aborsi di desa ini, ada satu yang meninggal karena kehabisan darah lalu mengalami komplikasi. Perempuan itu yang membuatmu pergi dari desa ini kan, Ta? Tapi kamu juga tidak mungkin tidak kembali karena kenanganmu dengannya ada di desa ini. Aku ingin membantumu, Ta. Aku ingin menghentikan kejahatan ini. Jangan sampai ada korban lagi setelah Maya.”
Aku tertegun. Nama itu disebut saat aku sama sekali tidak siap. Nama yang tertulis di salah satu nisan yang selalu kubersihkan dan kutaburi bunga agar harumnya selalu ada. Ria benar, aku kemari hanya untuk melihat pusara itu, melepaskan kerinduanku pada sosok yang dimakamkan di sana lima tahun lalu.
“Tunggu!” cegah Ria begitu melihatku beranjak dengan muka merah padam. Aku menatap mata itu dan dengan sengaja memperlihatkan sebuah luka yang tersimpan. Ya aku pun seorang pembunuh. Egolah yang jadi korbanku. Dan aku berhenti berjuang begitu kulihat jenazah Maya dikuburkan. Jika aku mencintainya, mengapa aku tidak marah pada orang-orang yang membuat dia pergi begitu cepat? Mengapa aku hanya diam dan membiarkan praktik pembunuhan manusia masih terus berlangsung?
“Bu Andi yang cerita padaku. Jauh sebelum kita bertemu. Dia bilang, di desa ini ada satu perempuan yang harus aku temui. Harus kubantu karena aku pasti bisa membantu orang itu. Aku tahu, ketika pertama kali bertemu denganmu, kamulah yang dia maksud. Aku menunggumu datang, Ta. Dan aku janji akan membantumu.”
Aku kembali duduk dan melabuhkan pandanganku ke lantai.
“Kamu tidak akan bisa melawan orang-orang desa ini.” Aku menggeleng pelan. “Mereka bukan manusia yang bisa dengan mudah kamu ubah. Jika nanti risetmu selesai, kamu pegang data itu, lalu apa? Mau kamu laporkan ke polisi? Mau memenjarakan mereka? Itu tujuanmu?”
“Aku seorang dokter, aku manusia, dan aku punya hati. Janin-janin itu seharusnya dibiarkan hidup dan jadi penduduk baru di desa ini, bukan dibunuh! Percuma aku memberikan mereka penyuluhan. Wajah pria-pria di desa ini jauh lebih bahagia ketika tahu janin-janin hasil hubungan luar nikah mereka sudah keluar dan dikuburkan di belakang rumah seorang dukun beranak. Mereka sama sekali tidak punya rasa bersalah.”
Aku menyandarkan tubuh ke punggung kursi. Mataku terpejam. Sekian tahun lalu, aku ingat. Diam-diam, Maya menemuiku. Dia minta izinku untuk aborsi. Aku tidak tahu dengan siapa dia melakukannya, sampai sekarang aku tidak pernah tahu. Maya baru lima belas tahun, terlalu muda untuk sebuah aborsi yang aku tahu betul sebesar apa risikonya nanti. Dan aku baru dua puluh tahun di mana untuk memperjuangkan cinta langka seperti itu pun aku berpikir seribu kali.
Aku bersumpah, tidak pernah mengizinkan Maya melakukan aborsi, karena takut kehilangan dia. Kami berdebat, dan tidak menemukan jalan keluar. Tiga hari setelah itu, aku mendengar kabar dia sudah tiada. Malam harinya, aku pergi dari desa ini. Tak tahu harus ke mana. Aku menahan air mata agar tidak jatuh. Setiap kali bus yang kutumpangi melewati jembatan, ingin rasanya aku turun dan melompat saja dari sana. Tapi bukankah itu sama saja aku senaif Maya? Tidakkah jika nanti kami bertemu di alam baka, dia akan menertawakan kotololanku?
“Ta, hanya kamu yang bisa kuandalkan di desa ini. Aku butuh beberapa minggu lagi untuk mengambil data. Tolong temani aku. Orang-orang di sini menghormatimu dan tidak ada orang yang tahu soal cerita cintamu. Bahkan Mbak Rasti. Aku sudah memastikannya tadi.”
Benarkah? Alisku terangkat lalu memandang wajah itu untuk memastikan dia tidak sedang mengarang cerita. Kepalanya terangguk untuk memastikannya. Dia menyentuh bahuku lalu menepuknya. Sebuah energi baru seolah masuk ke dalam tubuhku lalu menjalar hingga simpul-simpul saraf otakku pun memerintahkan untuk mengangguk mantap menjawab permintaannya. “Aku akan menjagamu,” ucapku di hadapan perempuan dengan rambut lurus sebahu itu. Kalimat serupa yang kubisikkan ke telinga Maya sebelum kami menghabiskan malam-malam yang indah di puncak Bukit Nirwana, di bawah langit yang selalu bertabur bintang.
Yogyakarta, 29 Mei 2013; 19.48
Tags
Fiksi