Hujan (18)

Punya lima belas adik bagiku sama saja dengan punya satu kekasih yang tengah berkhianat, repot. Apalagi mereka semakin besar. Memang, para donatur tidak pernah lalai menjalankan kewajiban mentransfer sejumlah uang sesuai dengan yang mereka sanggupi sejak awal, setiap bulannya. Tapi semakin lama-karena kebutuhan kami terus bertambah-berapa pun terasa kurang.

Usia adik-adikku semakin dewasa. Imah akan masuk SMA tahun ini, Cici tahun depan. Nilai kelulusan Imah tidak begitu bagus sehingga harus masuk sekolah swasta. Dia rencananya akan disekolahkan di Kencanajaya, kota kecil yang jaraknya empat jam perjalanan dari Anginrestu. Kota yang cukup jauh dari Suryapadi, tapi di sanalah sekolah yang dipilih Imah. Apa boleh buat. Tapi aku tahu, itu adalah sekolah yang bagus. Beberapa anak tetangga menjatukan pilihannya di sana. Fasilitasnya jauh lebih lengkap, disiplin para gurunya sangat tinggi. Selepas dari sana, lulusannya akan lebih mudah masuk universitas nomor satu di Anginrestu, tempat Mawar kuliah dulu. Aku ingin adik-adikku bisa sesukses Mawar.

Di suatu malam ketika mereka semuanya sudah terlelap, hanya aku dan Ibu yang masih terjaga. Kami duduk di ruang tengah, saling berhadapan. Ibu di kursi, aku bersila di lantai. Ada meja di tengah-tengah kami. Aku mencoret-coret kertas, banyak sudah angka yang mengisi kertas bergaris yang kuminta dari buku tulis bekas Endro.

Sejak tadi kami menghitung dengan coretan kertas atau menekan-nekan tombol kalkulator. Kudengar beberapa kali Ibu menghela napas berat, seberat biaya yang harus kami tanggung untuk sekolah baru Imah kelak. Bukan hanya sekolah, ia juga harus kos. Belum lagi biaya makan, transportasi, keperluan sekolah dan lainnya. Kami menghitung berapa juta yang harus dikeluarkan untuk memasuki SMA Kencanajaya hingga biaya bulannya hingga tiga tahun ke depan. Keningku berkerut. Aku tidak pernah membayangkan pengeluaran akan sebesar itu. Kulirik Ibu, mungkin ia sudah bisa menebak nominalnya akan setinggi itu atau sebenarnya sama terkejutnya denganku, hanya saja disembunyikan.

“Coba kamu tanya Mawar, apa dia bisa bantu kita,” kata Ibu akhirnya, yang membuat gerakan tanganku yang sedang asyik mencorat-coret kertas yang hampir penuh angka, seakan kaku. "Tidak mungkin kita meminta bantuan dana pada para donatur. Mereka akan keberatan, Hujan."

Ibu meneguk teh tawar yang mulai dingin. Ampas tehnya sudah menjadi endapan di dasar gelas bening setinggi satu jengkal tangan orang dewasa itu. Tehku tidak berampas, telah kubuang begitu air sudah berwarna coklat pekat.

Aku tercenung lama sambil menatap kertas di hadapanku.

“Kita masih bisa mengusahakan sendiri, Bu. Lagipula Fandy....” Sedang ke Amerika. Itu kalimatku yang selengkapnya jika tidak dipotong Ibu.

“Mawar, Hujan, Bukan Nak Fandy. Mawar pasti mau bantu.” Ibu menegaskan, seakan aku ini punya pemikiran yang keliru. "Mawar itu kan saudaramu. Dan selama ini dia selalu menawarkan uang sewaktu-waktu kamu butuh. Iya kan? Kamu nggak perlu sungkan sama dia, Hujan."

Aku menggeleng. “Aku tidak mau merasa berutang pada Mawar. Bukankah selama ini kita sudah cukup banyak berutang pada keluarga Ibu Rosa? Kalau Fandy, aku nggak keberatan meminjam beberapa juta, toh nanti aku juga akan bekerja padanya. Bisa kucicil kalau usaha bengkel sudah balik modal.”

“Tidak masalah kalau memang Fandy nantinya sudah menikah sama Mawar. Kita butuh sekarang. Adik-adikmu semakin besar, Mawar. Mereka tidak boleh tidak sekolah. Semuanya harus jadi sarjana. Tapi kita bukan orang kaya. Uang dari para donatur tidak akan cukup untuk menutupi semua kebutuhan kita. Ini baru untuk Imah, tahun depan kita akan kembali pusing mengumpulkan uang untuk biaya sekolah Cici. Kalau nanti adik-adikmu kuliah semua, apa yang sudah kita hitung ini akan berlipat-lipat. Mawar itu bisa bantu, pasti bisa.”

Aku yang tidak bisa melakukannya. Menemuinya lalu membuka diri soal kekurangan ini. Tidakkah Ibu menyadari bahwa di antara aku dan Mawar ada masalah personal yang begitu berat semenjak Mawar hamil dan akan menikah? Tidakkah Ibu membaca rasa ketidaknyamananku jika berdekatan dengan Mawar, meski aku masih terlihat begitu intim dengannya? Tidakkah wajahku yang murung ini diterjemahkan Ibu sebagai dampak dari segalanya? Tidakkah...?

"Hujan...."

“Gimana kalau aku nikah aja sama Paul? Toh Paul juga sama kayanya dengan Mawar.” Jawabanku terdengar apatis.

Ibu menghela napas berat. “Kamu ini ngomong apa tho, Hujan? Paul itu kan tahu kamu sama kakaknya, dia mana tega kayak gitu?”

Jadi perlu aku jelaskan soal “masa depanku” yang sudah diketahui Paul pada Ibu? Ibu pasti akan menganggapku mengada-ada. Percuma kuceritakan panjang lebar. Ibu hanya akan menganggap itu sebuah lelucon, dan garing. Sementara aku menganggapnya sebagai masa depan yang sebisa mungkin kutunda bahkan kubelokkan dengan menjalin hubungan yang lebih gila dengan Widi.

“Paul itu kan cocoknya sama artis luar negeri sana. Mana mau dia sama kamu, Hujan? Ada-ada saja kamu ini.” Ibu geleng-geleng kepala.

Aku kembali mencoret-coret di kertas dengan pena murahan yang harganya di pasaran hanya seribu rupiah. Tintanya sudah mulai tipis. Pena ini punya Imah yang kupinjam sebentar. Mawar atau Paul? Tanpa sadar itulah yang kutulis di kertas dan Ibu mendeham. Mungkin membaca tulisan itu. Aku menyilang tulisan itu dengan kesal.

“Pokoknya besok, kalau kamu nggak ada urusan ngawasin bengkelnya Fandy, temui itu Mawar. Oh ya, jangan lupa kamu tanyakan ke dia, kapan harus periksa kehamilannya ke dokter. Kalau dia minta diantar, ya kamu antarkan dia. Kan kamu sudah diajari Paul nyetir sebelum dia kembali ke Amerika kan? Udah punya SIM juga kan? Hayo, nggak boleh cuek sama Mawar. Dia itu kan saudara kamu juga.”

“Ibu nggak tahu sih gimana sikap Ibu Rosa ke Hujan kalau aku nggak lagi ditemani Mawar di rumah sana. Aku nggak betah lama-lama di sana sejak Paul udah nggak di sini.” Dan itu memang benar. Ibu tidak kunjung paham bahwa aku merasa diperlakukan berbeda dari yang dulu. Ibu Rosa begitu dingin. Jauh sekali perubahan sikapnya. Mungkin aku pun sudah tidak dianggap sebagai anaknya lagi.

Ibu menyentuh punggung tanganku, menghentikan coretanku di kertas. Tatapannya membuatku tanpa sadar menahan napas lalu aku memilih memandang ke arah pintu yang tertutup dan terkunci dari dalam.

“Ibu Rosa hanya belum bisa menerima kamu, Hujan. Kamu dan Mawar terlalu lama menyembunyikan ini. Dia tetap sayang sama kamu. Kamu itu anak yang baik, Hujan. Luka itu memang tidak akan sembuh dengan mudah. Ibu juga kecewa waktu tahu soal hubungan kalian, tapi Ibu sadar, rasa cinta yang tumbuh di antara kalian itu tuimbuh tanpa ada paksaan, bukan pula seperti cerita yang kalian karang seenaknya. Andai kamu bukan seorang perempuan, Ibu Rosa pasti merestui sepenuhnya hubunganmu dengan Mawar.”

Aku ingin sekali menangis di pelukan Ibu dan menumpahkan semua sesak yang menyiksaku selama ini. Aku tak tahan. Aku butuh tempat yang nyaman untuk membuang semua lara ini. Dan satu hal paling menyakitkan adalah karena aku bukan seorang laki-laki. Mengapa cinta yang direstui itu hanya jika lelaki dan perempuan? Apakah Tuhan salah menuliskan takdirku sejak aku lahir ke dunia ini hingga usiaku sekarang menjelang kepala tiga? Mengapa Tuhan menciptakan cinta jika pada akhirnya dibiarkan mengambang tanpa jelas arahnya?

Aku menatap Ibu yang masih penuh harap aku mengangguki permintaannya.

Aku menimang-nimang kartu kredit pemberian Fandy. Dia bilang kartu ini boleh kugunakan belanja. Apa itu termasuk membayar biaya sekolah adik-adikku? Pandanganku teralih ke BB—pemberian Fandy juga. Apa ku-BBM saja dia? Jam berapa sekarang di sana? Jam setengah tujuh malam?Apakah dia sedang sibuk?

“Kak Hujan! Imah nganterin Endro ke sekolah dulu yaaa!!!”

Aku terkesiap hingga kartu berwarna silver dengan nama lengkap Fandy tertera di sana jatuh ke lantai. Kupungut sebelum beranjak dari tepi tempat tidur. Kutatap sekilas jam dinding. Lama juga aku tercenung bodoh seperti ini.

Kusingkap gorden lalu kulihat Imah baru saja keluar sambil menggandeng tangan Endro yang mengenakan seragam SD dan topi. Adik-adikku yang lain sudah pergi, dan aku tidak mendengar mereka pamitan. Sebegitu parahnyakah bengongku?

Di dapur, Ibu tengah mengecek stok beras kami. Sudah menipis. Aku tahu ketika ikut melongok ke dalam. Tanggal tua, stok makanan pun menipis. Para donatur juga tidak ada yang memberikan hartanya di penghujung bulan.

“Nanti biar aku yang belanja, Bu. Tapi harus ke supermarket, karena bayarnya pakai kartu kredit yang diberikan Fandy mungkin sekitar....”

“Ajar Mawar sekalian ya, Hujan. Siapa tahu dia juga mau belanja.” Ibu kemudian membawa piring kotor ke dekat sumur. Aku membawa sisa piring kotor lainnya plus gelas-gelas adik-adikku. Ibu sudah duduk di atas dingklik bulat warna putih. Aku menggulung lengan T-shirt lalu mengisikan ember hitam besar untuk tempat bilasan. Setelah ember terisi, aku kemudian mengisi bak kamar mandi dengan beberapa kali mengatrol air dari sumur yang terlihat airnya berwarna hitam dan beriak pelan. Kulihat Ibu mencolek sabun cuci lalu menempelkannya di spons warna kuning yang mulai berwarna kehitaman. Dicampurkannya dengan sedikit air lalu meremas-remas spons sampai berbusa.

“Lebih baik kamu pinjam uang saja sama Mawar, Hujan. Kamu itu belum kenal Fandy. Nanti kalau dia pamrih, terus gimana? Nggak banyak orang kaya yang hatinya tulus.” Ibu mulai menyabuni piring demi piring dengan cekatan.

Aku memang tidak bisa membaca isi hati Fandy, tapi selama aku jalan dengannya, dia adalah teman yang cukup menyenangkan. Kalaupun pamrih, apa itu mungkin? Dari berbagai segi, aku jauh tertinggal. Apa yang dia harapkan dariku? Justru sejak ia mempertemukanku dengan Widi, aku menghilangkan semua prasangka buruk tentangnya. Fandy tidak main-main membuatkan bisnis baru untukku, meski itu juga untuk Mawar. Aku juga tidak mau membuat dia kecewa dengan tidak menaruh perhatian pada pembangunan bengkel. Masih beberapa bulan lagi sebelum beroperasi.

“Nanti aku ajak Mawar. Siapa tahu dia mau ikut, Bu,” ujarku dengan berat hati.

Cuaca hari ini kurang enak, mendung tapi suhunya panas. Aku merasakan itu sambil duduk di belakang kemudi. AC kumatikan atas permintaan perempuan-yang mengenakan baju hamil warna krem dan aroma wangi merebak mengalahkan pengharum mobil Paul yang barusan kuganti-di sampingku. Dia bilang sedang tidak ingin kena AC dan akulah yang jadinya kepanasan.

Mawar sibuk dengan ponselnya. Jemarinya sibuk mengetik di ponsel pintar tanpa tombol bermerek sama dengan yang diberikan Fandy padaku. Tapi kami jarang menggunakan fasilitas BBM, karena aku tidak tahu apa yang harus kukatakan via BBM.

Sepertinya ia chatting karena seperti selalu menunggu jawaban dari lawan bicaranya. Dia chatting sama siapa? Fandy? Terus aku dicuekin gitu aja?

“Jadwal periksa kapan, Mawar?” tanyaku basa-basi. Aku menoleh sekilas dan masih saja dia sibuk mengetik. Pertanyaanku tidak dijawabnya. Dia ini lagi nggak mood atau apa? Tadi saat kujemput dia ceria. Sekarang berbeda, padahal belum seperempat jam mobil ini meluncur.

“Tadi pagi sarapan apa?” pancingku lagi. Ini pertanyaan yang tidak pernah kutanyakan. Karena menu sarapannya pasti roti tawar dengan keju atau selai kacang di dalamnya. Hanya itu menu yang ia sukai sejak dulu.

Kudengar Mawar tertawa pelan. Gara-gara sesuatu yang ia baca di layar ponselnya. Aku tidak suka melihatnya memberi perhatian lebih ke orang lain saat aku ada di sampingnya. Cemburu? Manusiawi, kan? Status kami masih saling mencintai, meski kata pujangga tidak harus selalu berujung dengan saling memiliki.

Mawar lalu merespons kalimat-kalimatku dengan kata-kata yang singkat. Sebenarnya ada apa? Aku mendengus kesal dan dia tetap begitu.

Mobil kutepikan di satu bagian jalan yang cukup sepi. Mesinnya kumatikan dan kulihat dia terusik dengan hal ini. Sabuk pengaman kulepaskan dengan tangan kiri. Benda itu membuat punggungku menempel di jok pengemudi sejak mobil Paul kukeluarkan dari garasi rumah Mawar.

“Kenapa berhenti?” tanyanya.

Tempat tujuan kami memang masih jauh, supermarket yang baru dibangun di Suryapadi, milik seorang pengusaha yang berasal dari Anginrestu. Bangunan berlantai tiga dan memiliki arena permainan di lantai teratas. Semua barang kebutuhan kami tersedia di sana, mulai dari sayuran, buah-buahan, beras, sampai alat-alat elektronik.

Aku melepaskan sabuk pengaman Mawar dan meletakkan ponselnya-yang terasa hangat karena dipegang terus-di atas dashboard.

"Apa kita ada masalah?" tanyaku langsung. Aku berharap ia menatapku, bukannya membuang muka seperti sekarang. "Mawar, aku sedang bicara padamu. Ada apa sih?"

Dia diam, dan aku benci dengan sikap seperti itu. Bagaimana aku bisa tahu apa yang ia rasakan jika ia hanya diam?

Aku mencekal lengannya, menariknya mendekat padaku. Aku memencet tombol untuk menaikkan kaca jendela. Trrrrttt! Kami terkurung dalam mobil berkapasitas delapan orang ini. Dia menatapku penuh tanda tanya, berusaha menepis tanganku yang justru semakin kuat mencekalnya. Aku menyeberangi batas jok lalu menciumnya, dengan sedikit memaksa. Aku tidak pernah begini kasar padanya, tapi kulakukan sekarang, karena terpicu oleh sikapnya yang membuatku tersinggung.

Kudengar tetes-tetes hujan mengenai atap dan kap mobil ini, disusul hujan deras tak lama kemudian, begitu bebas, tanpa kendali. Aku suka dengan cara Sang Penguasa Langit menciptakan soundtrack cinta untuk dua makhluk-Nya ini. Mengiringi detak jantungku yang semakin kencang. Malaikat kebaikan mungkin muak lalu meninggalkanku begitu saja sehingga bisa kudengar jelas bagaimana iblis dengan leluasa mendekatiku dan menguasai aliran darahku. Ia merayuku untuk bertindak liar seperti saat aku bersama Widi.

Tapi Mawar bukanlah Widi.

Mawar mungkin gerah dan kurasakan ia berusaha menolak, mendorong tubuhku meski tangannya tak bebas bergerak. Yang lebih kuat akan menang dan aku yakin dia jauh lebih lemah dariku. Mawar adalah seorang gadis yang lebih banyak menggunakan otak ketimbang kekuatannya, dan aku sebaliknya.

"Hujan, udah!!! Gila ya kamu!!!" teriaknya dan berhasil membebaskan tangannya lalu menamparku begitu keras dua kali di tempat yang sama. Plakkk! Plakkk!

Aku berhenti. Dia menamparku? Tangan yang sama dengan yang selalu mengusap wajahku dengan mesra itukah yang menciptakan rasa panas di pipiku saat ini? Aku melihat rasa bersalah tersirat di matanya. Aku pun merasa bersalah memperlakukannya dengan tidak hormat seperti itu. Aku yang memulainya sehingga harus minta maaf lebih dulu. Dia mengusap pipi kiriku yang terasa perih lalu membelai rambutku.

"Kamu kenapa, Sayang? Aku nggak suka Hujan yang seperti ini, bukan Hujan yang aku kenal. Pacar aku yang namanya Hujan itu baik hati, penyayang, romantis, dan ciumannya tidak seperti ini...."

Dia mengembalikanku menjadi Hujan-yang berjanji setia kepadanya, si pemalu yang begitu lama memberinya jawaban cinta, kakak dari belasan adik-adiknya yang hidup lurus, makhluk Tuhan yang tak banyak menuntut-dengan ciumannya. Dia memberikannya tanpa kuminta, dengan sepenuh rasa. Dia membawaku ke dunia yang lain, yang hanya makhluk Tuhan bernama Hujan dan Mawar yang tahu.

Jika bukan karena kami berada di dalam mobil-meski berkaca gelap dan yang berhenti sejenak di tepi jalan-aku ingin lebih lama berciuman lalu memeluknya erat, memiliki hatinya, memenangkan cintanya sepanjang hari. Bukankah sebenarnya aku memang masih menjadi pemenang hatinya?

"Kapan kamu bisa mulai belajar bersabar, Sayang?" tanya Mawar ketika kami merasa harus mengakhiri kemesraan itu. "Itu tadi Fandy, dia bertanya soal kamar anak kami."

Aku menyalakan mesin sambil memasang sabuk pengaman. Mawar pun memakai sabuk pengaman. Roda mobil berputar pelan lalu mencapai kecepatan sedang.

"Laki-laki atau perempuan, Mawar?" tanyaku.

Mawar membiarkan ponselnya tergeletak di dashboard. Ia tidak mau memancing kemarahanku lagi.

"Kalau aku pinginnya perempuan."

"Kalau nanti anakmu jadi seperti kita, kamu bakal marah?" tanyaku iseng sambil tersenyum.

Mawar tertawa lalu mencubit lenganku. "Tidak dong, Sayang. Waktu ngebuatnya aja aku mikirin kamu terus kok. Tapi jangan bilang-bilang Fandy lho. Aku pingin banget anakku mirip sama kamu, biar aku inget terus sama kamu."

Mawar meletakkan tangannya di pangkuanku. Masih begitu percayakah dia padaku? Tidakkah dia merasa aku berubah karena telah memberikan sebagian cintaku pada orang lain? Atau sebenarnya dia tahu tapi tidak keberatan dengan hal itu asalkan cintaku kepadanya tidak hilang? Apakah episode berbagi hati benar-benar telah dimulai?


Jogja 29 Juli 2013

Post a Comment

Previous Post Next Post