Pengantar
Konya, kota ini dikenal oleh para pencinta Rumi dan orang-orang yang tertarik melihat pertunjukan tari sema oleh para darwis. Letaknya jauh dari Indonesia, ditempuh dari Jakarta menuju Ankara selama kurang lebih 17–18 jam. Si tokoh Kimya mendetailkan perjalanan tersebut ditambah dengan transit selama sejam lebih. Perjalanan yang dilakukan Kimya bersama Tante Alma ke negara Turki, menjadi titik terang atas rasa penasaran Kimya akan tokoh Zohal yang sering mendatanginya di dalam mimpi kemudian berucap: hamdim, pistim, yandim dan memintanya datang ke Konya pada tanggal 17 Desember.
Perpindahan setting dari Indonesia ke Turki dimulai dari halaman 83 hingga 253, bisa dikatakan inilah inti dari Hamdim, Pistim, Yandim karangan Ayun Qee, novel yang terbit pada bulan Desember 2013 oleh DIVA Press.
Mencari Zohal. Segala sesuatu yang terjadi di dalam novel ini merupakan rangkaian sebab akibat yang signifikan, dibantu dengan sejumlah kebetulan dalam tingkatan wajar. Zohal tidak akan muncul jika Kimya tidak memiliki masalah. Pria Seljuk bermata biru ini memasuki alam bawah sadar Kimya, mensugesti dengan perulangan statis sampai Kimya merasa bahwa Zohal adalah seseorang yang patut dia temui setelah dirinya mengalami hantaman keras dari pihak ayah dan kekasihnya.
Kimya diceritakan sebagai seorang penderita skizofrenia ringan, dia sudah mendapatkan penanganan dari seorang dokter atas gangguan suara-suara yang selalu memprovokasinya hingga selalu dibayangi kecemasan akan keselamatan dirinya juga orang-orang di sekitarnya. Terlebih setelah dia mengetahui persoalan selingkuh yang dilakukan sang ayah dengan kekasih di masa lalunya, Mel.
Konflik internal yang dihadapi Kimya lama-kelamaan membuat Galang, kekasihnya, mulai mengambil jarak. Bisa dikatakan, dia lelah menghadapi kekonyolan Kimya atas dirinya, ketakutan-ketakutan yang semakin sulit Galang pahami semakin memperlihatkan kualitas diri pria itu di hadapan Kimya. Hingga akhirnya Galang mengakui bahwa dia telah memiliki kekasih lagi.
Terpojok, ditinggalkan orang-orang yang disayangi, dan tidak dimengerti. Semakin membuat Kimya menutup diri dan di saat itulah Zohal hadir. Kekecewaannya pada dunia nyata membuat Kimya terobsesi untuk memenuhi panggilan Zohal, pria yang begitu asing baginya. Terjadi dialog-dialog singkat dengan nuansa musim dingin, diiringi luruhan salju. Zohal menyebutkan secara detail di mana mereka akan bertemu kelak.
Hamdim pistim yandim. Jika tiga kata ini diketikkan ke dalam kolom pencarian google, maka akan merujuk pada sema, tarian spritual sufi yang pertama kali diperkenalkan oleh Maulana Jalaluddin Rumi. Berasal dari bahasa Arab, yaitu sama’ artinya mendengar. Tarian ini dibawakan oleh para pria (yang disebut darwis) dengan melakukan gerakan berputar dari pelan menjadi cepat diiringi oleh musik. Pakaian yang dikenakan berwarna putih dengan celana panjang yang dilapisi lagi dengan semacam rok, ketika si penari berputar, rok itu akan mengembang seperti payung.[1] Dalam tarian sema, merepresentasikan tiga fase yang pasti akan dilalui manusia, yang diciptakan dari tanah, menjalani kehidupan, lalu kembali ke asalnya lagi. Dari situlah terbukti keberadaan Sang Pencipta.[2]
Novel ini pada dasarnya bukanlah bermaksud untuk membawa pembaca lebih dalam memahami proses bagaimana Rumi menciptakan tarian sema kemudian menemukan kenyataan bahwa dunia itu fana. Tetapi antara filosofi ini dipertemukan oleh sosok Zohal yang meminta Kimya menemuinya pada saat perhelatan Shebi Arus di Konya. Makna mendalam dari hamdim, pistim, yandim tidak pernah sempat dijelaskan oleh Zohal sendiri, tetapi melalui Kiral, sosok pria yang menjadi teman baru Kimya di Turki. Dari penjelasan Kiral inilah, pembaca bisa mendapatkan pemahaman dari simbolis dari pertunjukan tari sema:
“Turban dervish berbentuk nisan melambangkan kematian, yaitu kematian ego.” Suara Kiral mengiringi bayangan di benakku. “Jubah hitam adalah lambang ego itu sendiri. Sedangkan baju putih melambangkan kain kafan ego. Perjalanan spiritual tidak akan berlangsung jika seseorang belum mematikan egonya. Kamu ingat kan, sebelum berputar, mereka meninggalkan jubah hitam?” (hlm. 241).
Penokohan
Kimya
Kimya merupakan tokoh sentral protagonis dalam novel ini. Seorang mahasiswi yang mengidap skizofrenia sehingga sering mengalami halusinasi dan mimpi-mimpi buruk. Gangguan itu dialaminya semenjak mengetahui adanya perselingkuhan antara ayahnya dengan Mel, mantan kekasihnya. Untuk sembuh dari skizofrenia, Kimya menjalani terapi bersama Dokter Liana. Menurut Dokter Liana, Kimya menderita skizofrenia paranoid, yang termasuk dalam kategori ringan.
Secara sekilas, para penderita skizofrenia paranoid merasakan waham atau halusinasi auditori, tetapi tidak ada gangguan pemikiran, perilaku yang tidak teratur, atau ketumpulan afektif. Waham yang ada merupakan waham menyiksa dan/atau waham kebesaran, tetapi sebagai tambahan, dapat juga hadir tema-tema lain seperti kecemburuan, religiusitas, atau somatisasi. (Kode DSM 295.3/kode ICD F20.0).[3]
Kimya mengalami insomnia yang berujung pada kecemasan akan sosok yang dicintainya, yaitu Galang. (hlm. 33–34):
“Tepatnya, aku mengkhawatirkannya. Entah firasat, bisikan, atau apalah namanya, aku merasa Galang dalam bahaya.”
Kecemasan yang tidak teratasi oleh Kimya, mendorongnya untuk bertindak tanpa mempertimbangkan logika:
“Aku tak punya pilihan lain, kecuali mendatangi Galang di kosnya atau membiarkannya dalam bahaya.” (hlm. 34).
Jika paranoia yang dialami Kimya tidak ditangani dengan baik, bisa saja berkembang menjadi skizofrenia disorganized bahkan katatonik. (hlm. 46). Demikian kata Dokter Liana setelah mengecek kondisi kejiwaan Kimya. Sang dokter kemudian memberikan sejumlah obat-obatan yang dapat ditebus di apotek. (hlm. 46). Tidak banyak eksplorasi yang dihadirkan seputar gangguan skizofrenia dalam novel ini, misalnya obat-obatan apa saja yang harus dikonsumsi oleh Kimya, seberapa sering dia harus mengonsumsi obat-obatan, berapa lama pengobatan itu berjalan, hingga efek sampingnya terhadap psikis pasien.
Selama proses pengobatan itu, Kimya mendapat dukungan dari orang-orang terdekatnya, kecuali Galang. Meski pada awalnya pria ini ditampilkan sebagai sosok yang pengertian, dia lalu memperlihatkan sikap menarik diri dan sibuk dengan urusannya sendiri, terakhir mengakui hubungannya dengan perempuan lain, yaitu Ratih. (hlm. 50).
Kemunculan sosok Zohal perlahan membuat gangguan skizofrenia Kimya hilang dengan sendirinya. Semenjak bertemu di dalam mimpi, kecurigaan-kecurigaan tak beralasan Kimya terhadap orang lain, semakin jarang. Jika dia sempat mencurigai Galang terlibat konspirasi dengan sosok Mel untuk mencelakai dirinya. Kepada Zohal, hal itu tidak terjadi, demikian halnya pada Kiral.
Kiral
Kiral adalah pria Turki pada umumnya, pastinya bukan berasal dari bangsa Seljuk dengan keterangan yang dia berikan seputar evil eyes dan bagaimana mitos tersebut terpelihara di sana hingga saat ini.
Dia berbicara dengan bahasa Inggris cukup fasih karena kuliah di Swiss. Menurut sebuah sumber, pada umumnya penduduk di Swiss sehari-hari menggunakan bahasa Jerman, sisanya Prancis, Italia, dan Roman.[4] Sayangnya, Kiral tidak menjelaskan di universitas manakah dia kuliah dengan bahasa pengantar bahasa Inggris, padahal ini akan sangat berguna untuk memperkuat penokohan.
Kiral adalah putra seorang dosen di Universitas Ankara. Ibunya bernama Shanaz yang juga teman baik Alma, tante Kimya. Kiral merupakan jembatan bagi Kimya untuk mengenal budaya yang ada di Turki, khususnya Ankara dan Konya.
Zohal
Sosok ini muncul dalam alam bawah sadar Kimya selama beberapa kali, memberikan sugesti yang kuat agar Kimya datang ke Turki—tepatnya ke Rose Garden—pada tanggal 17 Desember. Dialah menjadi tokoh yang sangat berpengaruh dalam mengubah sosok Kimya yang selalu bersedih menjadi lebih tabah. Dia mengucapkan hamdim, pistim, yandim berulang-ulang seperti sebuah mantra yang sulit dilupakan Kimya dalam benaknya.
Zohal diceritakan sebagai salah satu keturunan Seljuk. Cukup beragam informasi mengenai bangsa itu yang bisa didapatkan dari internet. Termasuk di antaranya tentang mata setan atau nazar bunjuğu. Zohal memiliki mata biru cemerlang dengan iris berwarna hitam. Konon, jika memiliki niat jahat, saking kuatnya keinginan mereka, akan terlaksana.[5] Nazar bunjuğu digunakan sebagai penangkal niat jahat, mudahnya, seperti halnya memantulkan kejahatan dengan kejahatan. Di beberapa negara, warna mata hijau dan biru sering diidentikkan dengan keinginan jahat. Tentu saja lagi-lagi hanya mitos.
Kemunculan Zohal tidak begitu banyak di novel ini, tetapi menjadi salah satu tokoh berpengaruh terhadap alur cerita. Dia lebih banyak datang ke dalam alam bawah sadar Kimya saat masih berada di Indonesia dibandingkan ketika sudah tiba di Turki.
Misteri mengenai Zohal akhirnya terungkap di bagian akhir buku namun perasaan Kimya terhadap lelaki itu mulai teralihkan dengan hadirnya Kiral yang memberikan perhatian khusus Kimya semenjak mereka pertama kali bertemu.
Beberapa tokoh pendukung lain dalam novel ini antara lain ibu dan ayah Kimya, Galang, Ziva, Alma, Shanaz, Mel, Sevilin, dan Mosa.
Setting
Novel ini mengambil setting awal di Yogyakarta (Indonesia), kemudian berpindah ke Turki, antara lain Ankara, Konya, dan Cappadocia bertepatan dengan musim dingin bulan Desember. Agenda jalan-jalan yang dilakukan Kiral dan Kimya adalah di sekitar Ankara, Konya, dan Cappadocia. Meski tidak mengunggulkan kota Istanbul, namun dengan detail yang cukup kuat, cukup menghanyutkan pembaca dan ikut melihat seperti apakah Kizilay Square, Menara Atakule, Mevlana Kultur Merkezi, Rose Garden, dan Pigeon Valley. Keberadaan Kimya di Turki sebenarnya cukup lama, yaitu sebulan. Pembaca tentunya berharap, akan lebih banyak lagi tempat yang didatangi, lebih banyak hal seputar Turki yang dieksplorasi lebih jauh oleh tokoh-tokohnya.
Konflik
Novel ini dibuka dengan sebuah adegan yang menegangkan di saat Mel mengancam Kimya dengan sebuah belati karena Kimya sudah membeberkan perihal hubungan gelap ayahnya selama setahun terakhir kepada sang ibu. Meski tidak terima dengan perilaku ayahnya, Kimya tidak dapat berbuat banyak, terlebih sang ayah memang sangat mencintai Mel ketimbang Balqis, ibu Kimya.
Konflik keluarga itu mempengaruhi kejiwaan Kimya hingga sering berhalusinasi hingga terdiagnosis mengidap skizofrenia ringan. Di tengah-tengah gangguan jiwa yang dialaminya, muncullah Zohal, seorang pria Turki bermata biru dan berparas tampan, memintanya datang ke Rose Garden pada tanggal 17 Desember.
Pertemuan sebenarnya antara Zohal dan Kimya tidak kunjung terwujud meskipun jarak di antara mereka semakin dekat. Tujuan utama Kimya datang ke Konya tidak serta-merta membuat rasa penasarannya terjawab. Di Rose Garden pun, Zohal tidak juga memperlihatkan sosok “nyata”nya seperti yang diharapkan Kimya semenjak dia bersikeras ke Turki dengan cara apa pun.
Hadirnya sosok Kiral yang baik dan menemaninya menyusuri kota Ankara, Konya, dan Cappadocia, sedikit banyak memberikan rasa nyaman bagi Kimya. Hadirnya Sevilin yang mencintai Kiral, tidak banyak berpengaruh terhadap cerita karena gadis itu akan bertunangan dengan Fatih. Ditambah lagi bahwa Kiral pun terlihat cukup akrab dengan Kimya.
Klimaks dari cerita ini terjadi di Konya tepat setelah Kimya dan Kiral menghadiri Shebi Arus lalu pingsan setelah bertemu Zohal di Rose Garden. Di pertemuan yang sangat singkat, Zohal memberikan tiga boneka darwis, yang melambangkan hamdim, pistim, yandim. (hlm. 192–193). Dramatisasi dari pertemuan keduanya tidak ditampilkan maksimal dan emosional. Aura magis yang sempat terbangun semenjak kehadiran Zohal di dalam mimpi-mimpi Kiral berlangsung begitu cepat.
Setelah klimaks, cerita diarahkan pada antiklimaks sekaligus ending yang bagi sebagian pembaca mungkin telah menebaknya semenjak awal kedatangan Kimya di Ankara.
Hamdim, Pistim, Yastim bukanlah sebuah novel religi walaupun banyak menyinggung tentang tarian sema yang identik dengan sufi, Rumi, kecintaan Tuhan pada makhluk-Nya, serta kekuatan hamba Tuhan yang diberi cobaan hidup. Novel ini lebih tepat dikatakan bergenre romance dengan target pembaca kalangan menjelang dewasa/young adult.
Konflik utama novel ini diawali dari permasalahan keluarga, dipicu oleh perselingkuhan sang ayah dengan Mel yang diketahui oleh Kimya, perginya Galang dari kehidupan Kimya, disambung dengan munculnya Zohal, dan diakhiri oleh sebuah pernyataan cinta yang manis dan jujur.
Novel ini ditulis dengan bahasa Indonesia, dengan selipan sepatah dua patah percakapan dalam bahasa Inggris dan Turki, meskipun sebenarnya tidak mengandung tendensi yang begitu berarti, mengingat sejak awal sudah dijelaskan dalam narasi jika Kimya tidak bisa berbahasa Turki dan Kiral tidak bisa berbahasa Indonesia, sehingga bahasa Inggris dipilih sebagai penyambung komunikasi antara dua pihak. Ini kemudian turut mengundang satu pertanyaan sederhana: dengan bahasa apa Kimya berbicara pada Zohal?
Banyak hal seputar tradisi Turki yang dimasukkan ke dalam novel ini namun tidak dijelaskan baik eksplisit maupun implisit sebagai pengetahuan baru pembaca, antara lain pemakaian sebutan abla di belakang nama Kimya dan abi di belakang nama Kiral. Kapan abla dan abi itu dilekatkan pada seseorang dan apakah semua orang bisa dilekatkan dengan sebutan itu atau tidak. Dengan keakraban sedemikian rupa, menjadi sebuah pertanyaan mengapa Kimya memanggil Shanaz dengan sebutan aunty?
Lalu mengenai nazar bunjuğu atau mata setan yang menjadi mitos bagi orang-orang Turki untuk menolak kejahatan. Penjelasan Kiral (hlm. 112) mengenai mata setan terasa kurang mendalam. Sebagai seorang traveler, sangat wajar apabila dia tahu bahwa mata setan bukan hanya sesuatu yang ada di Turki, tapi ada juga tersebar di Timur Tengah, Amerika Latin, Afrika Barat, Afrika Timur, Amerika Tengah, dan Eropa khususnya wilayah Mediterania.[6] Di Cappadocia, bahkan ada sebuah pohon unik yang dipenuhi oleh nazar bunjuğu. Sayang sekali hal itu tidak dia jelaskan pada Kimya dan pohon tersebut tidak ditunjukkan pada Kimya ketika mereka ke sana. Dan Kimya yang awalnya begitu penasaran, tidak banyak bertanya lebih jauh lagi dan cukup puas dengan penjelasan Kiral yang terbilang singkat.
Mengenai makna hamdim, pistim, yandim sudah diketahui oleh Kimya, yaitu mentah, masak, terbakar (hlm. 77) namun dia mengatakan belum memahami apa makna filosofisnya. Padahal, jika browsing lebih mendalam, Kimya bisa setidaknya mendapat penjelasan yang memadai dalam beberapa artikel berbahasa Turki, salah satunya ditulis oleh Katrin Baskiotis di tahun 2010[7].
Beralih ke penyebutan orang bule atau orang Barat. Turki yang merupakan negara Eurasia (Eropa dan Asia) membuat komposisi orang-orang Eropa dan Asia seimbang. Kimya menceritakan bahwa orang-orang yang dia temui di Turki adalah mereka yang berwajah Timur dan Barat. Konsep Barat dan Timur sampai sekarang sulit didefinisikan secara gamblang. Barat bisa dimaknai orang-orang berkulit putih, bertubuh tinggi, berhidung mancung, dan berambut pirang. Bisa juga merujuk sesuai dengan pembagian belahan bujur bumi.
Negara-negara yang termasuk di dalam wilayah Bujur Barat (BB) antara lain: sebagian Eropa, sebagian Afrika, Amerika Utara, Amerika Tengah, Amerika Selatan, serta beberapa negara di Lautan Pasifik. Sedangkan negara-negara yang masuk di dalam wilayah Bujur Timur (BT) antara lain: Sebagian besar Eropa, sebagian besar Asia (termasuk Indonesia), Australia, dan beberapa negara di Kepulauan Pasifik seperti Selandia Baru dan Fiji.[8] Penyebutan yang lebih spesifik akan menghindarkan salah multipersepsi pembaca. Tujuannya tentu saja agar apa yang ada di dalam pikiran penulis selaras dengan apa yang ditangkap oleh pembaca.
Secara keseluruhan, novel ini terbilang ringan dengan memuat pesan moral yang disampaikan secara tersurat oleh Kiral kepada Kimya.
Penulis: Ayun Qee
Penerbit: DIVA Press
Tebal: 256 hlm
Genre: romance
Yogyakarta, 18 September 2014
[1] Koran-sindo.com/node/322012.
[2] Choiriyah. 2009. Refleksi Jalaluddin Rumi Terhadap Tari Mistis Sema pada Tarikat Naqsyabandiyah Haqqani. Skripsi S1 pada FIB UI Jakarta: tidak diterbitkan.
[3] Id.wikipedia.org/wiki/Skizofrenia.
[4] En.wikipedia.org/wiki/Switzerland.
[5] Najiajim.blogspot.com/2012/12/13-mata-setan-ayu-utami-dan-rumi.html.
[6] En.wikipedia.org/wiki/Evil_eye.
[7] Derindusunce.org/2010/04/07/hamdim-pistim-yandim.
[8] Edukasi.kompasiana.com/2011/08/24/orang-barat-dan-orang-timur-390706.html.