Hujan (12)

Okey, aku memikirkan kembali niatku untuk memutuskan Mawar dan berhenti mengharapkan Witri. Bukan berarti Witri menolakku, tapi dia juga tidak memberiku sinyal untuk maju. Dia tidak pernah membiarkan aku tahu tentang perasaannya.

Aku masih sering datang ke rumahnya, berduaan di dapurnya, menonton TV berdua, mengisi TTS bersama-sama, tapi hanya sebatas itu. Aku pernah menciumnya, dan dia menganggap itu sesuatu yang biasa. Dan tidak ada hujan deras sesudah itu seperti ketika pertama kali aku mencium Mawar. Mungkin ini jawaban alam bahwa aku dan dia tidak akan bersama?

Aku mencoba menebak-nebak, Witri tahu ia bukan saingan Mawar. Dia tidak mau dijadikan pelarianku untuk sementara. Tapi aku tidak pernah berniat menjadikannya tempat pelarian. Aku sudah cukup sabar dengan kelakuan Mawar di luar negeri sana. Aku harus bersikap bagaimana jika kekasihku terang-terangan mengatakan ia sudah tidur dengan calon suaminya?

Aku mual membayangkan tubuh Mawar yang hampir dua dekade menjadi kekasihku disentuh pria sementara selama ini aku tidak pernah macam-macam dengannya. Apa seumur hidup aku harus terlilit rasa cemburu?

“Hujan, tuh hape bunyi. Nggak diangkat?” Witri menyikutku dan membuyarkan lamunanku.

“Oh iya,” jawabku gugup sambil meraih hape warna merah model kuno yang suaranya masih nyaring.

“Hayo, siapa tuh perempuan?” suara renyah dari seberang sana langsung menyerangku.

Aku melihat layar ponsel. Ini bukan nomor yang biasa Paul gunakan saat meneleponku. Ah sial! Dia langsung tahu. Aku beranjak dari sisi Witri lalu berjalan menjauh.

“Hmmm, punya pacar baru nggak bilang-bilang,” goda Paul lalu terbahak dengan khas. Aku yakin dia sedang berada di dalam kamar apertemennya sendirian.

“Belum, okey? Belum. Dimas mana?”

Kudengar tawa Paul yang renyah dari seberang masih juga belum berhenti.

“Dimas sedang syuting iklan di Slovenia dan sebulan dia akan mulai syuting film di Dublin. Jadi, jangan mengalihkan pembicaraan. Siapa wanitamu itu? Aku tidak kenal. Hm namanya… Vitri.”

“Witri,” ralatku sedang suara lirih. Meski aku sudah berdiri di depan rumah, tetap saja aku rikuh berbicara dengan suara keras.

“Dia tidak akan lama denganmu.”

“Paul….”

“Okey, sori. Aku hanya tidak mau kamu terlalu menaruh harapan padanya. Dia bukan sepertimu dan Mawar. Ngerti? Kamu salah orang,” ujar Paul memberi jeda.

Aku menoleh ke belakang. Memastikan Witri tidak berdiri di dekat pintu yang sengaja kubiarkan terbuka hingga aku bisa melihatnya duduk sambil menonton televisi dan membelakangiku.

“Salah orang gimana?” tanyaku tak paham.

“Dia punya saudara kembar, ya… kembar identik. Dia yang sebenarnya kamu temui, bukan Witri. Kembarannya tinggal di Suryapadi.”

Aku menelan ludah. Aku salah jatuh cinta? Konyol!

“Aku tidak bisa memberi tahu lebih banyak tentang dia, Hujan. Kamu cari tahu saja sendiri. Tapi hati-hati dengan kembarannya. Dia agak player. Dan Mawar tidak akan suka dengannya. Kamu tahu maksudku, kan? Kakakku sangat mencintaimu.”

Aku mual mendengar kalimat itu. Dan Paul lagi-lagi berbicara, “Jangan salah sangka, Hujan. Itu semua demi kesehatannya. Kamu tahu itu satu-satunya cara untuk….”

Aku menarik napas, mencoba memahami keadaan yang membuat posisiku harus sedikit bergeser dengan adanya “kepentingan” lain. Mawar harus melahirkan untuk menghilangkan kista. Dan aku rasa—tanpa Mawar mengajakku berdiskusi—dia ingin secepatnya lepas dari penderitaannya.

“Hujan, minggu depan aku pulang untuk beberapa hari. Aku akan coba bicara dengan Mama.”

“Paul, dia marah padaku.”

“Tapi kemarahan itu harus berakhir, Hujan. Mama marah karena kamu menyembunyikan ini terlalu lama. Bukan karena hubunganmu dengan Mawar. Mama tahu kalau Mawar punya pacar sejak lama tapi tidak pernah tahu siapa orangnya. Okey, kita bicarakan ini saat aku pulang. Salam untuk kembaran calon pacarmu ya.”

Klik! Paul keburu menutup telepon sebelum aku berkata-kata lagi. Dan aku sepertinya perlu menyendiri ini mencerna semuanya.




Hari demi hari sepertinya berganti dengan lambat. Aku menghabiskan waktu lebih banyak sepulang bekerja di rumah Witri. Kami tepatnya disebut sahabat. Aku menemaninya mengoreksi PR murid-murid sampai malam dan bahkan sesekali membuatkannya omelet atau mi goreng.

Aku sama sekali tidak membahas soal saudara kembarnya. Dia pun tidak pernah menceritakannya. Perasaanku padanya sudah tidak menggebu seperti sebelumnya. Ada saatnya kami begitu dekat tapi bukan ciuman yang ingin kulayangkan padanya. Sungguh. Tatapannya padaku adalah sebatas sahabat dan aku harus menghargai itu.

Mencintai Witri itu berbeda dengan mencintai Mawar. Witri lebih cocok kuanggap sebagai adik, yang selalu mendukung kakaknya. Dia seorang pendengar yang baik dan guru masak yang menyenangkan. Kata dia suatu kali, “Hujan, Mawar pasti bakal tambah cinta sama kamu kalau kamu bisa masak.”

Baiklah, aku akan belajar memasak.


Ibu Rosa datang ke rumah, di saat hanya ada aku di sana. Ibu sedang ke kantor pos untuk mencairkan uang yang dikirim via Western Union oleh seorang donatur. Letak kantor pos cukup jauh, dekat dengan Suryapadi. Pulang pergi jika macet bisa sampai sejam.

Ketika membuka pintu, pandanganku langsung tertunduk. Aku tidak berani menatap mata itu. Takut jika dia membaca sesuatu yang aku tidak ingin dia tahu. Sosoknya yang berkarisma itu berdiri hanya kurang dari semeter.

Aroma parfum Ibu Rosa tercium dengan jelas olehku. Ia tidak pernah mengganti aroma parfumnya. Kata Paul, parfum itu dikirim ayahnya rutin dan Prancis. Itu atas sepengetahuan ibu tirinya.

“Si…silakan masuk,” kataku masih dengan kepala tertunduk. Sebelum-sebelum ini, tak pernah aku bersikap bak pembantu bertemu majikannya. Ibu Mawar selalu bersikap hangat. Dia mencium pipiku lalu merangkul pundakku.

Kakiku mundur beberapa langkah untuk memberi Ibu Rosa jalan. Dia berjalan melewatiku sambil mendengus kesal. Masih sebegitu marahkah ia?

Ibu Rosa duduk tanpa kupersilakan. Dia memerintahku untuk duduk di depannya. Dengan nada penuh tekanan. Sungguh ia berbeda dari yang dahulu. Sebegitu kecewakah ia padalu?

“S…saya buatkan minum… dulu…,” kataku mau beranjak lagi tapi dia memerintahku untuk tetap duduk.

“Besok Paul datang, apa kamu sudah tahu?” tanya Ibu Mawar. “Hey jangan nunduk!” hardiknya kasar.

Aku mengangkat wajah sesuai permintaannya. Pandangannya begitu tajam dan membuatku takut. Dalam hati aku berharap semoga ia tidak berpikir untuk memukuliku atau apa.

“Kamu sudah tahu?” tanyanya lagi.

Aku mengangguk pelan. Keringat dinginku mulai keluar. Situasi ini membuatku sungguh tidak nyaman. Kursi yang kududuki seolah-olah kursi listrik yang sewaktu-waktu akan mencabut nyawaku.

“Mawar akan ikut dan saya minta, jangan temui dia. Ngerti?”

Jantungku berdegup kencang. Benarkah? Benarkah kekasihku akan datang? Tidak, tidak, aku tidak seharusnya senang seperti ini. Aku tidak bisa mencegah sudut bibirku untuk membentuk seulas senyuman.

“Bersama calon suaminya. Untuk membicarakan pernikahan mereka karena Mawar hamil. Seharusnya tidak secepat ini, tapi apa boleh buat. Dan kamu, Hujan, lupakan hubungan kalian berdua. Setelah menikah, Mawar akan tinggal di sini. Jangan pernah ganggu dia lagi.”

Aku mengangguk. Mawar hamil? Secepat itu? Rasanya seluruh tulang di tubuhku ini terlepas begitu saja. Mawar, andaikan dua puluh tahun lalu aku tahu kau akan menghancurkan hatiku dengan cara seperti ini, aku takkan pernah mau menerima cintamu. Semua yang kamu lakukan tidak bisa kuterima dengan akal sehat. Sungguh. Masihkah kau pantas disebut kekasih dan pantas kucintai seumur hidup?

“Saya tidak akan melarang kamu berpacaran dengan siapa pun juga, silakan. Dan sekali lagi, jangan coba-coba untuk merayu Mawar dengan cara apa pun juga.”

Ibu Rosa beranjak dan pergi begitu saja. Aku menarik napas dalam-dalam dan di kursi itu aku tak tahan untuk tidak menangis dan memukul tangan kursi sekuat tenagaku. Kurasakan panas menjalari tanganku, tapi itu tak seberapa dibandingkan buncah emosi di hatiku. Sungguh luar biasa hingga seperti merasa jantungku berdetak sebegitu cepatnya.


Jogja 27 April 2013

Post a Comment

Previous Post Next Post