Aku berharap waktu tidak akan pernah berputar. Berhenti di sini saja. Atau kiamat datang lebih cepat dari apa yang sudah digariskan Tuhan. Atau kenapa tidak aku mati lebih cepat saja? Dengan begitu aku tidak perlu merasa harga diriku benar-benar hancur kan? Apa nama lainnya diintimidasi hingga sampai air mata pun aku bingung bagaimana cara menumpahkannya?
Jam dinding terus memutar jarumnya. Kalaupun baterenya sudah lemah, toh waktu terus berputar, menuju tengah malam, menuju dini hari, menuju subuh menuju pagi. Aku tidur, tidak, aku tidak bisa tidur. Kepalaku mulai terasa pusing dan tenggorokanku kering.
Benarkah hari sudah berganti? Ya, sudah berganti. Satu per satu adik-adikku sudah terbangun dan keluar dari kamarnya. Mereka mengucek-ngucek mata dan berjalan dengan malas untuk mandi ramai-ramai. Ibu menatapku, lalu mencium keningku.
“Kok tidur di sini?” Pertanyaan Ibu hanya kubalas senyuman getir yang kupaksakan agar terlihat manis. Kalau bukan gara-gara orang-orang di rumah ini, aku akan memutuskan pergi. Persetan aku tidak punya tempat tujuan. Aku marah, sangat marah. Sempat terpikir olehku mengetuk pintu rumah Witri ketika jam dinding tepat menunjuk pukul dua belas, tapi ah, aku hanya akan mengusiknya.
Matahari semakin menerangi langit. Hiruk-pikuk adik-adikku yang selesai mandi dan tengah menghabiskan sarapan mereka. Di piring mereka ada nasi dan telur dadar dan mi rebus. Cukup untuk mengganjal perut satu jam, setelah itu mereka lapar lagi dan untuk itulah aku selalu menyiapkan uang jajan buat mereka. Di kantin sekolah mereka ada lebih banyak pilihan menu yang bergizi.
Di antara mereka ada yang makan lagi sesampainya di sekolah, ada juga yang menyimpan jatah jajan sarapan mereka di celengan sekolah. Ketika awal masuk sekolah ini, wali kelas menawarkan masing-masing murid celengan bentuk semar dari bahan tanah liat sebagai simpanan pribadi murid. Tidak semua murid menggunakan fasilitas itu. Mereka lebih suka menghabiskan uang jajan yang jumlahnya berkali lipat dari yang kuberikan pada salah satu adikku. Endro salah satu adikku yang suka menabung. Meski ia tidak pernah menceritakannya, tapi Witri selalu mengatakannya padaku.
Tabungan Semar Endro hampir penuh. Mungkin beberapa bulan lagi bisa dipecah. Kalau memang isinya banyak, aku ingin membuatkan dia rekening sendiri, khusus pelajar yang saldo awalnya boleh hanya sepuluh ribu rupiah.
Di saat aku sibuk mencuci piring bekas sarapan adik-adikku, Witri datang. Pagi ini dia terlihat “ibu guru” sekali dengan setelan blus putih dan rok panjang cokelat muda. Kacamata bulatnya ia pakai dan membuat matanya yang sedikit sipit tampak berbeda. Rambutnya disanggul kecil dan beberapa helai berjatuhan. Taruhan deh, guru-guru di sekolah pasti makin naksir berat sama dia.
Witri mendatangiku yang sedang duduk bergelut dengan busa sabun cuci piring.Dengan hati-hati ia melangkah setelah kubilang licin. Ibu yang sedang menimba air sumur sekilas menatap kami dan meneruskan kegiatannya.
“Hujan, nanti malam temani aku ke Suryapadi, yuk! Ada sedikit urusan di sana dan kayaknya mending kamu temenin aku deh.”
Aku melirik Ibu. Suara Witri pasti juga terdengar olehnya. Sampai sekarang aku tidak tahu Ibu sebenarnya berpihak pada siapa. Ibu berutang budi banyak pada Ibu Rosa, tapi Ibu juga sayang pada anaknya yang satu ini.
“Pulangnya kapan?” tanyaku. Sambil membilas piring-piring di dalam ember lalu meletakkannya di nampan pengeringan.
“Besok. Siang. Kamu shift siang kan?”
Aku mengangguk.
“Bisa kan?” Witri kembali memutuskan. Aku mengangguk menyanggupi.
Aku tidak perlu berpikir ulang, malam ini aku naik bis menuju Suryapadi bersama Witri. Aku mengacuhkan semua SMS dari Paul dan Mawar yang memintaku datang ke rumah mereka sepulangnya aku kerja.
Aku tidak mau bertemu Mawar dan lelaki itu. Aku tidak sanggup. Begitu pun dengan Paul. Aku sedang tidak ingin bertemu keluarga itu. Titik! Aku sedang “melarikan diri” dengan Witri. Suryapadi itu memang tempat pelarian yang bagus. Meski jaraknya tidaklah jauh dari Anginrestu. Aku hanya ingin berada di jarak aman. Dan usahaku berhasil.
Witri duduk di sebelahku di dalam bus non-AC menuju Suryapadi. Perjalanan kami cukup panjang, tidak cukup untuk tidur, tapi cukup untuk mengabarkan padanya bahwa Mawar ada di rumahnya. Witri mengacak rambutku lalu tertawa pelan.
“Pantesan dari pagi mukanya masam gitu cup cup cup,” Witri menggodaku bak membujuk anak kecil.
Aku menghela napas lalu memiringkan kepalaku menjauhi pundak Witri yang dari tadi kusandari.
“Oke, sori, Hujan, aku bercanda,” ralatnya.
Aku ngambek beneran.
Aku mengeluarkan hp dari saku celana kemudian meletakkan di pangkuannya.
“Hm?” alisnya terangkat minta penjelasan kenapa benda mungil warna biru tua dan ketinggalan zaman itu kuletakkan di atas pahanya yang tertutupi selimut fasilitas dari bis malam yang kami tumpangi.
“Kamu tolong pegang dulu ya. Tapi jang….”
Witri dengan cueknya membuka record di HP-ku. Mulutnya berdecak-decak dan membuatku pasrah. Kumundurkan sandaran kursi dan memejamkan mata.
“Dari Paul, Paul, Paul, Mawar eh Kekasih itu Mawar kan? Oke pasti Mawar. Mawar, Mawar, Mawar. Missed calls ya Tuhan berkali-kali. Kamu dicariin loh, Hujan. Dijawab dong.”
Aku menggeleng jual mahal.
“Aku lagi ke Suryapadi. Besok kita ketemuan ya, Sayang. Send.”
Aku melongo seperti orang bodoh. Lalu aku menoleh dan merebut HP-ku dari tangan Witri. Aku mengecek rekaman SMS terkirim serta-merta menatapnya tajam.
“Soriiiiiii, Hujaaaan… nggak sengaja kekiriiim….” Witri dengan tampang tak berdosa menangkupkan tangan di dada dengan memperlihatkan wajah penuh penyesalan. Tapi setelah itu dia tersenyum jahil.
“Kamu gila ya! Aku itu udah dilarang ketemuan Mawar sama ibunya!”
“Yaaa, kalau dia pingin ketemu kamu, kan tinggal nyusul aja ke Suryapadi. Tinggal SMS-in alamatnya aja.”
“Kamu pikir wanita hamil bisa sesuka hatinya jalan-jalan?”
“Dan kamu percaya kalau dia hamil?” tanya Witri membuat keyakinanku sendiri goyah.
“Perjalanan dari Amerika itu butuh belasan jam, Hujan. Kalau memang dia sedang hamil muda, dia tidak akan sebegitu naifnya untuk penerbangan jarak jauh.”
“Mungkin dia sudah hamil besar,” jawabku asal-asalan tapi berharap tidak benar.
“Kamu bakal tahu jawabannya kalau dia benar-benar datang.”
Suryapadi selalu menjadi kota pelarian cinta nomor satu. Suryapadi memang tidak seromantis Paris, tapi suasana kota yang sering mendung tapi tak hujan membuat hati yang risau seakan menemukan pelabuhannya. Witri mengajakku menginap di rumah Widi, saudara kembarnya, yang justru pertama kali dengan dialah aku bertemu di minimarket. Dia yang meminjam kartu debit Witri dan juga mengisikan pulsa untuk sang adik kembar.
Widi ini berbeda, bukan dari fisik tentu saja, karena ia dan Witri kembar identik. Mereka tampak serupa. Sulit betul membedakan keduanya, kecuali dengan mengamati tingkah laku Widi yang rada “berbahaya”. Benar kata Paul, Widi ini player dan ya, tanpa kutanya aku sudah tahu ia pencinta sesama. Kami resmi berkenalan dan… aku tampak canggung.
“Jadi kita hanya sekali bertemu sebelumnya?” Aku memastikan. Sosok liar itu menjawab dengan mengangkat kedua alisnya sekejap.
“Aku terbahak-bahak ketika Witri mengatakan bahwa kau mengirim SMS padanya dan ia tidak mengerti apa maksudmu. Aku memaksanya untuk bertemu denganmu di tempatmu bekerja. Dan kalian pun ketemu.”
Aku manggut-manggut. Widi sosok manusia bebas yang mungkin karena kebutuhan ekonomi saja ia bekerja sebagai pelayan di Couple garden. Dia punya hobi berkemah di hutan sebelah barat kota Suryapadi. Sendirian. Ia suka menyendiri di sana sambil membuat puisi. Aku menatapnya setengah percaya ketika dia bilang suka menulis puisi.
Dia mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku celana pendeknya lalu menyerahkannya padaku. Ketika kubuka, kutemui berbagai puisi cinta dengan bahasa-bahasa yang tidak mudah kucerna.
“Coba sini, maksudku buku itu,” ralatnya ketika aku yang bergerak mendekat. Dia membuka halaman tengah kemudian menyerahkan lagi padaku.
Dia membuat sebuah puisi berjudul “Bertemu Hujan” dan ia berkata, “Kutulis setelah aku bertemu denganmu pertama kalinya.”
Aku tiba-tiba sulit berkata-kata. Selain Mawar, ternyata masih banyak perempuan di luar sana yang agresif dan membuka isi hatinya tanpa kenal istilah menunggu hingga waktu yang tepat.
Aku seketika lupa dengan Mawar.
Mana aku tahu jika orang-orang di rumah Mawar kalang kabut mencariku? Dan mengapa aku harus peduli dengan orang-orang yang hanya bisa memberikan kata-kata cinta tanpa peduli dengan perasaanku sebagai manusia yang butuh dihargai dan dianggap ada? Mawar dan Paul sama saja. Sampai sore ini, di mana seharusnya aku sudah pulang tadi siang, aku justru asyik ngobrol di Couple Garden dengan Widi.
Ketika pengunjung sedang sepi, dia datang ke mejaku dan menemaniku ngorol. Dia tipe orang menyenangkan, dan hangat. Aku seperti menemukan sosok yang ideal untuk menjadi kekasih, jika tidak terlalu dini untuk berpikir demikian.
Malam harinya, aku sudah sampai kembali di Anginrestu, sendirian. Witri sudah pulang lebih dahulu. Aku masuk ke dalam rumah dan Mawar di sana dengan mata sembab. Aku mendeham untuk melegakan tenggorokan yang kering tiba-tiba saja. Perempuan itu berdiri lalu berjalan ke arahku. Oke, Mawar, kamu mau apa sekarang?
Pandanganku kuturunkan ke arah perutnya lalu aku membuang muka. Ada calon manusia di sana hasil hubungan “cintanya” dengan lelaki itu. Aku mundur selangkah ketika dia sudah begitu dengan denganku. Tanganku disentuhnya.
“Mawar, jangan… aku… kita… pisah aja ya.”
Mawar memelukku erat lalu menangis begitu saja. Aku takut adik-adikku terbangun. Ini sama sekali bukan hal yang boleh mereka ketahui.
“Mawar, aku lelah. Aku mau istirahat dulu,” kataku setenang mungkin. Aku tidak bisa membiarkan ia lama-lama memelukku dan meluluhkan semua keputusanku.
“Mawar, pulanglah. Ibumu melarang kita ketemu,” pintaku dengan berat hati.
....
Sejenak kemudian, aku mendengar hujan turun dengan lebatnya, ketika Mawar menciumku dan aku tidak kuasa menolaknya. Separuh hatiku berontak tapi separuhnya lagi berkeinginan lain. Aku bisa merasakan rindu dari setiap gerakan bibirnya. Ini ciuman kami yang kedua dari sekian puluh tahun kami bersama. Rasanya, keberanian itu tumbuh semakin besar dan sejenak kebencianku padanya luntur begitu saja. Aku tak merasa perlu menanyakan keberadaan suaminya. Aku juga tidak perlu memikirkan perasaan Paul yang pasti bisa “melihat” semua ini. Yang kusisakan sedikit adalah cinta baru untuk Widi, tentu suatu saat nanti akan kujalin dengannya.
Jam dinding terus memutar jarumnya. Kalaupun baterenya sudah lemah, toh waktu terus berputar, menuju tengah malam, menuju dini hari, menuju subuh menuju pagi. Aku tidur, tidak, aku tidak bisa tidur. Kepalaku mulai terasa pusing dan tenggorokanku kering.
Benarkah hari sudah berganti? Ya, sudah berganti. Satu per satu adik-adikku sudah terbangun dan keluar dari kamarnya. Mereka mengucek-ngucek mata dan berjalan dengan malas untuk mandi ramai-ramai. Ibu menatapku, lalu mencium keningku.
“Kok tidur di sini?” Pertanyaan Ibu hanya kubalas senyuman getir yang kupaksakan agar terlihat manis. Kalau bukan gara-gara orang-orang di rumah ini, aku akan memutuskan pergi. Persetan aku tidak punya tempat tujuan. Aku marah, sangat marah. Sempat terpikir olehku mengetuk pintu rumah Witri ketika jam dinding tepat menunjuk pukul dua belas, tapi ah, aku hanya akan mengusiknya.
Matahari semakin menerangi langit. Hiruk-pikuk adik-adikku yang selesai mandi dan tengah menghabiskan sarapan mereka. Di piring mereka ada nasi dan telur dadar dan mi rebus. Cukup untuk mengganjal perut satu jam, setelah itu mereka lapar lagi dan untuk itulah aku selalu menyiapkan uang jajan buat mereka. Di kantin sekolah mereka ada lebih banyak pilihan menu yang bergizi.
Di antara mereka ada yang makan lagi sesampainya di sekolah, ada juga yang menyimpan jatah jajan sarapan mereka di celengan sekolah. Ketika awal masuk sekolah ini, wali kelas menawarkan masing-masing murid celengan bentuk semar dari bahan tanah liat sebagai simpanan pribadi murid. Tidak semua murid menggunakan fasilitas itu. Mereka lebih suka menghabiskan uang jajan yang jumlahnya berkali lipat dari yang kuberikan pada salah satu adikku. Endro salah satu adikku yang suka menabung. Meski ia tidak pernah menceritakannya, tapi Witri selalu mengatakannya padaku.
Tabungan Semar Endro hampir penuh. Mungkin beberapa bulan lagi bisa dipecah. Kalau memang isinya banyak, aku ingin membuatkan dia rekening sendiri, khusus pelajar yang saldo awalnya boleh hanya sepuluh ribu rupiah.
Di saat aku sibuk mencuci piring bekas sarapan adik-adikku, Witri datang. Pagi ini dia terlihat “ibu guru” sekali dengan setelan blus putih dan rok panjang cokelat muda. Kacamata bulatnya ia pakai dan membuat matanya yang sedikit sipit tampak berbeda. Rambutnya disanggul kecil dan beberapa helai berjatuhan. Taruhan deh, guru-guru di sekolah pasti makin naksir berat sama dia.
Witri mendatangiku yang sedang duduk bergelut dengan busa sabun cuci piring.Dengan hati-hati ia melangkah setelah kubilang licin. Ibu yang sedang menimba air sumur sekilas menatap kami dan meneruskan kegiatannya.
“Hujan, nanti malam temani aku ke Suryapadi, yuk! Ada sedikit urusan di sana dan kayaknya mending kamu temenin aku deh.”
Aku melirik Ibu. Suara Witri pasti juga terdengar olehnya. Sampai sekarang aku tidak tahu Ibu sebenarnya berpihak pada siapa. Ibu berutang budi banyak pada Ibu Rosa, tapi Ibu juga sayang pada anaknya yang satu ini.
“Pulangnya kapan?” tanyaku. Sambil membilas piring-piring di dalam ember lalu meletakkannya di nampan pengeringan.
“Besok. Siang. Kamu shift siang kan?”
Aku mengangguk.
“Bisa kan?” Witri kembali memutuskan. Aku mengangguk menyanggupi.
Aku tidak perlu berpikir ulang, malam ini aku naik bis menuju Suryapadi bersama Witri. Aku mengacuhkan semua SMS dari Paul dan Mawar yang memintaku datang ke rumah mereka sepulangnya aku kerja.
Aku tidak mau bertemu Mawar dan lelaki itu. Aku tidak sanggup. Begitu pun dengan Paul. Aku sedang tidak ingin bertemu keluarga itu. Titik! Aku sedang “melarikan diri” dengan Witri. Suryapadi itu memang tempat pelarian yang bagus. Meski jaraknya tidaklah jauh dari Anginrestu. Aku hanya ingin berada di jarak aman. Dan usahaku berhasil.
Witri duduk di sebelahku di dalam bus non-AC menuju Suryapadi. Perjalanan kami cukup panjang, tidak cukup untuk tidur, tapi cukup untuk mengabarkan padanya bahwa Mawar ada di rumahnya. Witri mengacak rambutku lalu tertawa pelan.
“Pantesan dari pagi mukanya masam gitu cup cup cup,” Witri menggodaku bak membujuk anak kecil.
Aku menghela napas lalu memiringkan kepalaku menjauhi pundak Witri yang dari tadi kusandari.
“Oke, sori, Hujan, aku bercanda,” ralatnya.
Aku ngambek beneran.
Aku mengeluarkan hp dari saku celana kemudian meletakkan di pangkuannya.
“Hm?” alisnya terangkat minta penjelasan kenapa benda mungil warna biru tua dan ketinggalan zaman itu kuletakkan di atas pahanya yang tertutupi selimut fasilitas dari bis malam yang kami tumpangi.
“Kamu tolong pegang dulu ya. Tapi jang….”
Witri dengan cueknya membuka record di HP-ku. Mulutnya berdecak-decak dan membuatku pasrah. Kumundurkan sandaran kursi dan memejamkan mata.
“Dari Paul, Paul, Paul, Mawar eh Kekasih itu Mawar kan? Oke pasti Mawar. Mawar, Mawar, Mawar. Missed calls ya Tuhan berkali-kali. Kamu dicariin loh, Hujan. Dijawab dong.”
Aku menggeleng jual mahal.
“Aku lagi ke Suryapadi. Besok kita ketemuan ya, Sayang. Send.”
Aku melongo seperti orang bodoh. Lalu aku menoleh dan merebut HP-ku dari tangan Witri. Aku mengecek rekaman SMS terkirim serta-merta menatapnya tajam.
“Soriiiiiii, Hujaaaan… nggak sengaja kekiriiim….” Witri dengan tampang tak berdosa menangkupkan tangan di dada dengan memperlihatkan wajah penuh penyesalan. Tapi setelah itu dia tersenyum jahil.
“Kamu gila ya! Aku itu udah dilarang ketemuan Mawar sama ibunya!”
“Yaaa, kalau dia pingin ketemu kamu, kan tinggal nyusul aja ke Suryapadi. Tinggal SMS-in alamatnya aja.”
“Kamu pikir wanita hamil bisa sesuka hatinya jalan-jalan?”
“Dan kamu percaya kalau dia hamil?” tanya Witri membuat keyakinanku sendiri goyah.
“Perjalanan dari Amerika itu butuh belasan jam, Hujan. Kalau memang dia sedang hamil muda, dia tidak akan sebegitu naifnya untuk penerbangan jarak jauh.”
“Mungkin dia sudah hamil besar,” jawabku asal-asalan tapi berharap tidak benar.
“Kamu bakal tahu jawabannya kalau dia benar-benar datang.”
Suryapadi selalu menjadi kota pelarian cinta nomor satu. Suryapadi memang tidak seromantis Paris, tapi suasana kota yang sering mendung tapi tak hujan membuat hati yang risau seakan menemukan pelabuhannya. Witri mengajakku menginap di rumah Widi, saudara kembarnya, yang justru pertama kali dengan dialah aku bertemu di minimarket. Dia yang meminjam kartu debit Witri dan juga mengisikan pulsa untuk sang adik kembar.
Widi ini berbeda, bukan dari fisik tentu saja, karena ia dan Witri kembar identik. Mereka tampak serupa. Sulit betul membedakan keduanya, kecuali dengan mengamati tingkah laku Widi yang rada “berbahaya”. Benar kata Paul, Widi ini player dan ya, tanpa kutanya aku sudah tahu ia pencinta sesama. Kami resmi berkenalan dan… aku tampak canggung.
“Jadi kita hanya sekali bertemu sebelumnya?” Aku memastikan. Sosok liar itu menjawab dengan mengangkat kedua alisnya sekejap.
“Aku terbahak-bahak ketika Witri mengatakan bahwa kau mengirim SMS padanya dan ia tidak mengerti apa maksudmu. Aku memaksanya untuk bertemu denganmu di tempatmu bekerja. Dan kalian pun ketemu.”
Aku manggut-manggut. Widi sosok manusia bebas yang mungkin karena kebutuhan ekonomi saja ia bekerja sebagai pelayan di Couple garden. Dia punya hobi berkemah di hutan sebelah barat kota Suryapadi. Sendirian. Ia suka menyendiri di sana sambil membuat puisi. Aku menatapnya setengah percaya ketika dia bilang suka menulis puisi.
Dia mengeluarkan sebuah buku kecil dari saku celana pendeknya lalu menyerahkannya padaku. Ketika kubuka, kutemui berbagai puisi cinta dengan bahasa-bahasa yang tidak mudah kucerna.
“Coba sini, maksudku buku itu,” ralatnya ketika aku yang bergerak mendekat. Dia membuka halaman tengah kemudian menyerahkan lagi padaku.
Dia membuat sebuah puisi berjudul “Bertemu Hujan” dan ia berkata, “Kutulis setelah aku bertemu denganmu pertama kalinya.”
Aku tiba-tiba sulit berkata-kata. Selain Mawar, ternyata masih banyak perempuan di luar sana yang agresif dan membuka isi hatinya tanpa kenal istilah menunggu hingga waktu yang tepat.
Aku seketika lupa dengan Mawar.
Mana aku tahu jika orang-orang di rumah Mawar kalang kabut mencariku? Dan mengapa aku harus peduli dengan orang-orang yang hanya bisa memberikan kata-kata cinta tanpa peduli dengan perasaanku sebagai manusia yang butuh dihargai dan dianggap ada? Mawar dan Paul sama saja. Sampai sore ini, di mana seharusnya aku sudah pulang tadi siang, aku justru asyik ngobrol di Couple Garden dengan Widi.
Ketika pengunjung sedang sepi, dia datang ke mejaku dan menemaniku ngorol. Dia tipe orang menyenangkan, dan hangat. Aku seperti menemukan sosok yang ideal untuk menjadi kekasih, jika tidak terlalu dini untuk berpikir demikian.
Malam harinya, aku sudah sampai kembali di Anginrestu, sendirian. Witri sudah pulang lebih dahulu. Aku masuk ke dalam rumah dan Mawar di sana dengan mata sembab. Aku mendeham untuk melegakan tenggorokan yang kering tiba-tiba saja. Perempuan itu berdiri lalu berjalan ke arahku. Oke, Mawar, kamu mau apa sekarang?
Pandanganku kuturunkan ke arah perutnya lalu aku membuang muka. Ada calon manusia di sana hasil hubungan “cintanya” dengan lelaki itu. Aku mundur selangkah ketika dia sudah begitu dengan denganku. Tanganku disentuhnya.
“Mawar, jangan… aku… kita… pisah aja ya.”
Mawar memelukku erat lalu menangis begitu saja. Aku takut adik-adikku terbangun. Ini sama sekali bukan hal yang boleh mereka ketahui.
“Mawar, aku lelah. Aku mau istirahat dulu,” kataku setenang mungkin. Aku tidak bisa membiarkan ia lama-lama memelukku dan meluluhkan semua keputusanku.
“Mawar, pulanglah. Ibumu melarang kita ketemu,” pintaku dengan berat hati.
....
Sejenak kemudian, aku mendengar hujan turun dengan lebatnya, ketika Mawar menciumku dan aku tidak kuasa menolaknya. Separuh hatiku berontak tapi separuhnya lagi berkeinginan lain. Aku bisa merasakan rindu dari setiap gerakan bibirnya. Ini ciuman kami yang kedua dari sekian puluh tahun kami bersama. Rasanya, keberanian itu tumbuh semakin besar dan sejenak kebencianku padanya luntur begitu saja. Aku tak merasa perlu menanyakan keberadaan suaminya. Aku juga tidak perlu memikirkan perasaan Paul yang pasti bisa “melihat” semua ini. Yang kusisakan sedikit adalah cinta baru untuk Widi, tentu suatu saat nanti akan kujalin dengannya.
Tags
Fiksi