“Gen, ada tamu tuh.”
Kepalaku menyembul dari bilik kerjaku. Axel berdecak saat melihat mejaku penuh dengan tumpukan naskah di sisi kanan meja, lalu camilan di sisi kiri, monitor LED yang tepat menghadap ke mukaku dan dua gadget yang ada di tangan kanan dan kiriku.
“Kenapa?” tanyaku ulang, tak begitu mendengar apa yang diucapkan si pria pengunyah permen karet Doublemint itu.
“Ada tamu, emang nggak janjian?” tanya Axel lalu mengarahkan kepalanya ke ruang khusus tamu. Aku sedikit berdiri dan melihat ke arah di mana seorang wanita sekitar usia 30 tahunan duduk sambil membaca majalah. Di sebelahnya duduk anak perempuan sekitar usia sepuluh tahun, rambutnya dikucir dua dengan pita merah. Duduk manis sambil bermain HP.
“Okeyy, siap. Tolong buatin minum. Teh aja kali ya,” pesanku pada Axel yang merangkap asisten sekretaris plus OB.
Axel mengangguk kemudian berlalu. Aku melepas kacamata minus setengah yang hanya kupakai saat membaca naskah yang masuk ke kantor redaksi. Untuk hal-hal lain aku memutuskan tanpa kacamata. Saran dari dokterku seperti itu.
Jarak dari bilikku ke ruang tamu redaksi hanya sekitar sepuluh langkah orang dewasa. Ruangan itu dibuat kedap dan tentu ber-AC karena biasanya tamu-tamu itu jika bertemu dengan staf editor suka keasyikan ngobrol dan tertawa lepas semaunya, tidak melihat bahwa pekerja di penerbitan itu hidupnya tidak sesantai para penulis. Aku pernah berada di posisi itu dan wajar bila aku mengusulkan pembuatan ruang tamu khusus.
Ketika aku memutar kenop pintu, kedua wajah itu terangkat. Si ibu meletakkan majalah di meja kemudian berdiri dan mengulurkan tangan.
“Halo, saya Ananda R. Nasution.”
“Panggil saja saya Gen.” sahutku sambil menjawab uluran tangannya. “Silakan duduk.”
Dia kembali duduk dan memperkenalkan putrinya yang bernama Patricia. Dia tunarungu dan berbicara bahasa isyarat dengan ibunya. Ibunya menjadi penerjemah saat aku menyapanya.
“Saya mau nawarin naskah, Mbak Gen,” kata Ananda sambil mengeluarkan sebundel print-out kertas A4 dengan ketebalan yang kutaksir sekitar 300 halaman.
“Gen, tanpa Mbak. Saya masih muda lho,” candaku dan dia tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Dia meletakkan naskah itu di atas meja.
“Oke, Gen. Saya punya naskah novel. Ceritanya tentang seorang anak yatim piatu dari pedalaman yang diangkat oleh seorang guru honorer. Lalu anak ini dibawa ke kota tempat tinggal si guru. Anak yang pada awalnya nakal dan pemberontak, akhirnya mau belajar apa yang namanya sopan santun dan juga mau sekolah. Si guru ini membiayai sekolah anak ini sampai kuliah. Dia selain menjadi guru, diam-diam menjadi pekerja malam. Sampai suatu hari si anak tahu pekerjaan ibu angkatnya. Muncullah konflik. Ketika….”
Pembicaraan terputus ketika Axel datang membawakan tiga cangkir teh dan kue-kue tradisional yang dibelinya di kantin kantor. Setelah pria itu berlalu, Ananda melanjutkan ceritanya.
“Ketika itu, anak ini melakukan riset tugas kampusnya di sebuah lokalisasi. Dia melihat ibunya di sana. Dia marah dan menyebut ibunya dengan sebutan tidak pantas. Lalu anak ini kabur dari rumah. Hilang entah ke mana. Si anak pun mulai mempertanyakan jati diri sebenarnya. Awalnya dia berpikir kalau dia itu anak haram hasil hubungan ibunya dengan lelaki tak dikenal. Tapi, sedikit demi sedikit, dia mulai tahu bahwa dia adalah anak angkat dan dia dibawa oleh ibu angkatnya demi masa depan si anak.”
“Maaf, diminum dulu, Mbak.” Aku menyela. Aku juga menawarkan hal yang sama pada Patricia dengan bahasa semampuku. Ibunya menerjemahkan kepadaku. Mereka menyesap teh buatan Axel dan Ananda mengambilkan lumpia untuk Patricia.
“Saya lanjut ya. Anak ini mencoba mencari keberadaan ibu angkatnya. Tapi sayang, si ibu menjadi korban tabrak lari dan tewas di tempat. Si anak baru tahu beberapa hari kemudian dan dia sangat menyesal karena sikap salah sangkanya.”
Aku mengangguk-angguk. Aku tidak begitu terkesan dengan isi novelnya, tapi sebagai pekerja kreatif, di kepalaku ada ide-ide yang bermunculan. Jam dinding menunjukkan pukul 12.09. Sudah waktunya makan siang.
“Kita lanjut sambil makan siang yuk! Di dekat kantor ini ada warung masakan khas Sumatra. Nggak cuma masakan Padang, kok. Mbak ke sini naik apa?”
“Kami naik taksi, tadi kami ada keperluan dulu di pusat kota dan langsung kemari. Tapi apa tidak merepotkan Gen? Saya bisa datang lagi besok kalau memang Gen masih banyak kerjaan lain. Saya tidak mau ganggu.”
Aku melihat ekspresi yang sungkan. Aku sama sekali tidak berbasa-basi. Mengajak tamu makan siang dan membicarakan seputar pekerjaan sering kulakukan. Tidak masalah.
“Saya lebih suka kalau makan ada temannya. Sebentar saya ambil kunci mobil dulu.”
“Baiklah.”
Perkenalan dengan Ananda hari itu cukup berkesan. Dia punya usaha pernak-pernik yang biasanya suka dicari para ABG dan dipasarkan secara online. Rekannya ada dua orang yang bergantian melayani pesanan pelanggan. Setelah makan siang, aku mengantarkan dia pulang. Rumahnya tidak begitu jauh dari kantorku. Di sana, mereka hanya tinggal berdua.
Oh ya, Patricia itu sebenarnya anak dari kakak tiri Ananda. Sejak kecil, Ananda yang merawat dia karena orang tua Patty merasa malu punya anak keterbatasan. Orang tua Patty bahkan tidak mau belajar bahasa isyarat. Aku paham bahwa di dunia ini ada orang yang tidak bisa menerima kekurangan, meski itu kekurangan anaknya sendiri.
Aku mulai membaca naskah yang ditawarkan Ananda. Ada beberapa bagian yang menurutku harus diubah dan itu yang membuatku hampir seminggu tiga kali datang ke rumah Ananda untuk berdiskusi.
Dia perempuan yang sangat terbuka dengan berbagai usulanku. Tipe penulis seperti ini aku suka. Dia cerdas dan mempercayakan semuanya kepadaku. Jadi, kalau kami kemudian bersahabat, itu wajar.
Aku bersahabat dengan banyak penulis, mulai dari yang masih baru selesai menikmati masa puber, sampai yang jauh di atas Ananda. Kami menjaga komunikasi dengan baik. Juga aku sering diundang makan siang bersama seorang penulis. Semuanya wajar dan ada dalam batas profesionalisme.
Tapi kalau kemudian, aku merasa kangen, itu tidak wajar. Aku baru sebulan putus dari seseorang yang sudah kupacari hampir empat tahun. Dan aku menutup diri dari siapa pun yang datang. Mungkin juga ada semacam ketakutan akan tersakiti lagi.
Nda, sibuk ngapain? Begitu bunyi pesan yang kukirimkan lewat LINE. Tak lama dia membalasnya, mengatakan kalau dia sedang ke dokter. Memeriksakan Patricia yang badannya agak panas karena kemarin hujan-hujanan.
Dokter mana? Praktik Dokter Soebroto letaknya di selatan kantor ini. Sekitar 200 meter, setelah perempatan. Aku melihat jam dinding. Ah masak anaknya lagi sakit malah aku ngajakin makan siang? Hmm, apa take away aja ya?
Udah makan? Pesanku tidak dibalas. Kutunggu sampai jam makan siang habis, Ananda juga tidak membalas. Aku lalu memesan semangkuk soto daging lewat Axel yang baru saja kembali ke mejanya.
Aku kembali menekuri pekerjaan rutinku dan berusaha menepati sejumlah dateline dengan atasan. Setelah itu, menjelang pukul 4 sore, seorang staf marketing mengirimkan laporan hasil penjualan bulan lalu untuk kuanalisis. Aku punya tim kecil di redaksi yang punya job desk analisis data-data ini. Namanya bisnis, omzet ya jadi nomor satu.
Laporan ini akan kugandakan lalu kubagikan pada timku untuk dipelajari. Dua atau tiga hari ke depan kami akan meeting lalu setelah itu aku bertemu marketing untuk membahas rencana buku-buku yang bakal terbit. Jadi begitulah hidupku. Padat. Meski aku tidak mau disebut workaholic. Aku putus pun gara-gara aku sering mementingkan pekerjaan.
Apa itu salah?
Dan pekerjaan kembali menyita hidupku....
Ada saatnya aku benar-benar melupakan orang-orang di sekitarku.
Axel berdiri di depan bilikku lalu mengetuk dindingnya. Aku mendongak. Dia meletakkan sebuah kotak dalam kantong kresek putih di atas mejaku, di atas tumpukan naskah.
“Dari… Mbak… Ananda.” Axel sengaja menjeda kalimatnya supaya terkesan dramatis.
“Siapa?” tanyaku sambil melepas kacamata. Aku mengamati bungkusan itu. Ada tulisan toko roti yang letaknya di seberang kantor ini. Toko roti yang kue-kuenya enak semua.
“Ya elah! Pikun bener dah ni orang. Ananda yang penulis itu. Tadi dia ke sini, tapi katanya takut ganggu kamu, jadi cuma nitip roti aja.”
“Oh, oke. Tolong masukin kulkas dong, atau bagiin ke temen-temen deh. Aku harus menyelesaikan kerjaan dulu.” Aku mengenakan kacamataku kembali. Axel masih berdiri di sana. “Iya? Ada apa lagi?” Aku mendongak.
“Nggak mau dibuka dulu isinya apa? Dia kayaknya tadi lagi kurang sehat. Agak pilek kalau kudengar dari suaranya. Takut nularin kamu kali makanya nggak mau langsung ketemu.”
Aku mengangguk. Kukeluarkan kotak itu lalu membukanya. Ada sebuah black forest dan tulisan:
Met kerja ya, Gen ^_^
luv,
Nda & Patty
Aku tersenyum. Berapa hari sudah aku tidak menghubungi Ananda? Seminggu? Nggak, dua minggu. Payah banget aku ini. Aku bahkan tidak menanyakan lagi kabar Patty, apakah dia sudah sembuh atau belum. Okeyy, malam ini aku akan menyempatkan diri ke rumah mereka, Itu niatku. Aku bahkan mencatatnya di to do list HP, lengkap dengan jamnya.
Tapi....
Meeting dadakan membuatku lupa sendiri dengan niatku. Jam 10 baru Pak George membubarkan kami dari ruang rapat dan sudah terlalu larut rasanya untuk bertemu. Nda, makasih ya, kuenya enak:). Kukirim pesan lewat LINE sebelum menyetir mobilku meninggalkan area kantor. Tak lama, aku menerima kiriman gambar, Ananda dan Patty dan kue itu. We miss you, Gen. Begitu pesan yang tertulis setelah kiriman gambar itu. Aku terpaku lama ketika membacanya. Dan aku merasa... baru saja jatuh cinta.
Merindukan itu bisa diobati dengan pertemuan dan perhatian. Sederhana tapi aku sering mengabaikannya. Manusia hidup dari dua hal, jantung yang berdetak dan hati yang selalu merasakan rindu. Aku hanya mengandalkan satu, jantung yang berdetak. Wajar jika merasa hidupku tidak pernah sempurna meski aku punya segalanya. Hatiku tertutup karena ulahku sendiri. Malam itu, aku menangis sambil mengemudi.
Keesokan harinya dan sejak itu, sebelum ke kantor, aku selalu mampir di rumah Ananda. Melihat kesibukan ibu dan anak itu. Melihat Ananda membuatkan sarapan untukku, untuk kami bertiga maksudku. Aku sesekali menyuapi Patty dan dia kemudian berbicara dengan bahasanya, satu kalimat yang sama: We love you, Gen.
Ananda mengecup pipiku kemudian Patty mengecupku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Ah, kenapa baru sekarang aku bertemu mereka yang begitu hangat?
Roda mobilku pun meluncur menuju kantor dan aku duduk di balik kemudi bagai seseorang yang terlahir kembali meski bukan dari titik nol.
Jika manusia diberi kesempatan hidup untuk kedua kalinya, pasti dia akan memilih hidup yang lebih baik dan bersama orang-orang yang mencintainya….
My room, 12 Mei 2013, 21.40 WIB
Kepalaku menyembul dari bilik kerjaku. Axel berdecak saat melihat mejaku penuh dengan tumpukan naskah di sisi kanan meja, lalu camilan di sisi kiri, monitor LED yang tepat menghadap ke mukaku dan dua gadget yang ada di tangan kanan dan kiriku.
“Kenapa?” tanyaku ulang, tak begitu mendengar apa yang diucapkan si pria pengunyah permen karet Doublemint itu.
“Ada tamu, emang nggak janjian?” tanya Axel lalu mengarahkan kepalanya ke ruang khusus tamu. Aku sedikit berdiri dan melihat ke arah di mana seorang wanita sekitar usia 30 tahunan duduk sambil membaca majalah. Di sebelahnya duduk anak perempuan sekitar usia sepuluh tahun, rambutnya dikucir dua dengan pita merah. Duduk manis sambil bermain HP.
“Okeyy, siap. Tolong buatin minum. Teh aja kali ya,” pesanku pada Axel yang merangkap asisten sekretaris plus OB.
Axel mengangguk kemudian berlalu. Aku melepas kacamata minus setengah yang hanya kupakai saat membaca naskah yang masuk ke kantor redaksi. Untuk hal-hal lain aku memutuskan tanpa kacamata. Saran dari dokterku seperti itu.
Jarak dari bilikku ke ruang tamu redaksi hanya sekitar sepuluh langkah orang dewasa. Ruangan itu dibuat kedap dan tentu ber-AC karena biasanya tamu-tamu itu jika bertemu dengan staf editor suka keasyikan ngobrol dan tertawa lepas semaunya, tidak melihat bahwa pekerja di penerbitan itu hidupnya tidak sesantai para penulis. Aku pernah berada di posisi itu dan wajar bila aku mengusulkan pembuatan ruang tamu khusus.
Ketika aku memutar kenop pintu, kedua wajah itu terangkat. Si ibu meletakkan majalah di meja kemudian berdiri dan mengulurkan tangan.
“Halo, saya Ananda R. Nasution.”
“Panggil saja saya Gen.” sahutku sambil menjawab uluran tangannya. “Silakan duduk.”
Dia kembali duduk dan memperkenalkan putrinya yang bernama Patricia. Dia tunarungu dan berbicara bahasa isyarat dengan ibunya. Ibunya menjadi penerjemah saat aku menyapanya.
“Saya mau nawarin naskah, Mbak Gen,” kata Ananda sambil mengeluarkan sebundel print-out kertas A4 dengan ketebalan yang kutaksir sekitar 300 halaman.
“Gen, tanpa Mbak. Saya masih muda lho,” candaku dan dia tersenyum memperlihatkan lesung pipinya. Dia meletakkan naskah itu di atas meja.
“Oke, Gen. Saya punya naskah novel. Ceritanya tentang seorang anak yatim piatu dari pedalaman yang diangkat oleh seorang guru honorer. Lalu anak ini dibawa ke kota tempat tinggal si guru. Anak yang pada awalnya nakal dan pemberontak, akhirnya mau belajar apa yang namanya sopan santun dan juga mau sekolah. Si guru ini membiayai sekolah anak ini sampai kuliah. Dia selain menjadi guru, diam-diam menjadi pekerja malam. Sampai suatu hari si anak tahu pekerjaan ibu angkatnya. Muncullah konflik. Ketika….”
Pembicaraan terputus ketika Axel datang membawakan tiga cangkir teh dan kue-kue tradisional yang dibelinya di kantin kantor. Setelah pria itu berlalu, Ananda melanjutkan ceritanya.
“Ketika itu, anak ini melakukan riset tugas kampusnya di sebuah lokalisasi. Dia melihat ibunya di sana. Dia marah dan menyebut ibunya dengan sebutan tidak pantas. Lalu anak ini kabur dari rumah. Hilang entah ke mana. Si anak pun mulai mempertanyakan jati diri sebenarnya. Awalnya dia berpikir kalau dia itu anak haram hasil hubungan ibunya dengan lelaki tak dikenal. Tapi, sedikit demi sedikit, dia mulai tahu bahwa dia adalah anak angkat dan dia dibawa oleh ibu angkatnya demi masa depan si anak.”
“Maaf, diminum dulu, Mbak.” Aku menyela. Aku juga menawarkan hal yang sama pada Patricia dengan bahasa semampuku. Ibunya menerjemahkan kepadaku. Mereka menyesap teh buatan Axel dan Ananda mengambilkan lumpia untuk Patricia.
“Saya lanjut ya. Anak ini mencoba mencari keberadaan ibu angkatnya. Tapi sayang, si ibu menjadi korban tabrak lari dan tewas di tempat. Si anak baru tahu beberapa hari kemudian dan dia sangat menyesal karena sikap salah sangkanya.”
Aku mengangguk-angguk. Aku tidak begitu terkesan dengan isi novelnya, tapi sebagai pekerja kreatif, di kepalaku ada ide-ide yang bermunculan. Jam dinding menunjukkan pukul 12.09. Sudah waktunya makan siang.
“Kita lanjut sambil makan siang yuk! Di dekat kantor ini ada warung masakan khas Sumatra. Nggak cuma masakan Padang, kok. Mbak ke sini naik apa?”
“Kami naik taksi, tadi kami ada keperluan dulu di pusat kota dan langsung kemari. Tapi apa tidak merepotkan Gen? Saya bisa datang lagi besok kalau memang Gen masih banyak kerjaan lain. Saya tidak mau ganggu.”
Aku melihat ekspresi yang sungkan. Aku sama sekali tidak berbasa-basi. Mengajak tamu makan siang dan membicarakan seputar pekerjaan sering kulakukan. Tidak masalah.
“Saya lebih suka kalau makan ada temannya. Sebentar saya ambil kunci mobil dulu.”
“Baiklah.”
Perkenalan dengan Ananda hari itu cukup berkesan. Dia punya usaha pernak-pernik yang biasanya suka dicari para ABG dan dipasarkan secara online. Rekannya ada dua orang yang bergantian melayani pesanan pelanggan. Setelah makan siang, aku mengantarkan dia pulang. Rumahnya tidak begitu jauh dari kantorku. Di sana, mereka hanya tinggal berdua.
Oh ya, Patricia itu sebenarnya anak dari kakak tiri Ananda. Sejak kecil, Ananda yang merawat dia karena orang tua Patty merasa malu punya anak keterbatasan. Orang tua Patty bahkan tidak mau belajar bahasa isyarat. Aku paham bahwa di dunia ini ada orang yang tidak bisa menerima kekurangan, meski itu kekurangan anaknya sendiri.
Aku mulai membaca naskah yang ditawarkan Ananda. Ada beberapa bagian yang menurutku harus diubah dan itu yang membuatku hampir seminggu tiga kali datang ke rumah Ananda untuk berdiskusi.
Dia perempuan yang sangat terbuka dengan berbagai usulanku. Tipe penulis seperti ini aku suka. Dia cerdas dan mempercayakan semuanya kepadaku. Jadi, kalau kami kemudian bersahabat, itu wajar.
Aku bersahabat dengan banyak penulis, mulai dari yang masih baru selesai menikmati masa puber, sampai yang jauh di atas Ananda. Kami menjaga komunikasi dengan baik. Juga aku sering diundang makan siang bersama seorang penulis. Semuanya wajar dan ada dalam batas profesionalisme.
Tapi kalau kemudian, aku merasa kangen, itu tidak wajar. Aku baru sebulan putus dari seseorang yang sudah kupacari hampir empat tahun. Dan aku menutup diri dari siapa pun yang datang. Mungkin juga ada semacam ketakutan akan tersakiti lagi.
Nda, sibuk ngapain? Begitu bunyi pesan yang kukirimkan lewat LINE. Tak lama dia membalasnya, mengatakan kalau dia sedang ke dokter. Memeriksakan Patricia yang badannya agak panas karena kemarin hujan-hujanan.
Dokter mana? Praktik Dokter Soebroto letaknya di selatan kantor ini. Sekitar 200 meter, setelah perempatan. Aku melihat jam dinding. Ah masak anaknya lagi sakit malah aku ngajakin makan siang? Hmm, apa take away aja ya?
Udah makan? Pesanku tidak dibalas. Kutunggu sampai jam makan siang habis, Ananda juga tidak membalas. Aku lalu memesan semangkuk soto daging lewat Axel yang baru saja kembali ke mejanya.
Aku kembali menekuri pekerjaan rutinku dan berusaha menepati sejumlah dateline dengan atasan. Setelah itu, menjelang pukul 4 sore, seorang staf marketing mengirimkan laporan hasil penjualan bulan lalu untuk kuanalisis. Aku punya tim kecil di redaksi yang punya job desk analisis data-data ini. Namanya bisnis, omzet ya jadi nomor satu.
Laporan ini akan kugandakan lalu kubagikan pada timku untuk dipelajari. Dua atau tiga hari ke depan kami akan meeting lalu setelah itu aku bertemu marketing untuk membahas rencana buku-buku yang bakal terbit. Jadi begitulah hidupku. Padat. Meski aku tidak mau disebut workaholic. Aku putus pun gara-gara aku sering mementingkan pekerjaan.
Apa itu salah?
Dan pekerjaan kembali menyita hidupku....
Ada saatnya aku benar-benar melupakan orang-orang di sekitarku.
Axel berdiri di depan bilikku lalu mengetuk dindingnya. Aku mendongak. Dia meletakkan sebuah kotak dalam kantong kresek putih di atas mejaku, di atas tumpukan naskah.
“Dari… Mbak… Ananda.” Axel sengaja menjeda kalimatnya supaya terkesan dramatis.
“Siapa?” tanyaku sambil melepas kacamata. Aku mengamati bungkusan itu. Ada tulisan toko roti yang letaknya di seberang kantor ini. Toko roti yang kue-kuenya enak semua.
“Ya elah! Pikun bener dah ni orang. Ananda yang penulis itu. Tadi dia ke sini, tapi katanya takut ganggu kamu, jadi cuma nitip roti aja.”
“Oh, oke. Tolong masukin kulkas dong, atau bagiin ke temen-temen deh. Aku harus menyelesaikan kerjaan dulu.” Aku mengenakan kacamataku kembali. Axel masih berdiri di sana. “Iya? Ada apa lagi?” Aku mendongak.
“Nggak mau dibuka dulu isinya apa? Dia kayaknya tadi lagi kurang sehat. Agak pilek kalau kudengar dari suaranya. Takut nularin kamu kali makanya nggak mau langsung ketemu.”
Aku mengangguk. Kukeluarkan kotak itu lalu membukanya. Ada sebuah black forest dan tulisan:
Met kerja ya, Gen ^_^
luv,
Nda & Patty
Aku tersenyum. Berapa hari sudah aku tidak menghubungi Ananda? Seminggu? Nggak, dua minggu. Payah banget aku ini. Aku bahkan tidak menanyakan lagi kabar Patty, apakah dia sudah sembuh atau belum. Okeyy, malam ini aku akan menyempatkan diri ke rumah mereka, Itu niatku. Aku bahkan mencatatnya di to do list HP, lengkap dengan jamnya.
Tapi....
Meeting dadakan membuatku lupa sendiri dengan niatku. Jam 10 baru Pak George membubarkan kami dari ruang rapat dan sudah terlalu larut rasanya untuk bertemu. Nda, makasih ya, kuenya enak:). Kukirim pesan lewat LINE sebelum menyetir mobilku meninggalkan area kantor. Tak lama, aku menerima kiriman gambar, Ananda dan Patty dan kue itu. We miss you, Gen. Begitu pesan yang tertulis setelah kiriman gambar itu. Aku terpaku lama ketika membacanya. Dan aku merasa... baru saja jatuh cinta.
Merindukan itu bisa diobati dengan pertemuan dan perhatian. Sederhana tapi aku sering mengabaikannya. Manusia hidup dari dua hal, jantung yang berdetak dan hati yang selalu merasakan rindu. Aku hanya mengandalkan satu, jantung yang berdetak. Wajar jika merasa hidupku tidak pernah sempurna meski aku punya segalanya. Hatiku tertutup karena ulahku sendiri. Malam itu, aku menangis sambil mengemudi.
Keesokan harinya dan sejak itu, sebelum ke kantor, aku selalu mampir di rumah Ananda. Melihat kesibukan ibu dan anak itu. Melihat Ananda membuatkan sarapan untukku, untuk kami bertiga maksudku. Aku sesekali menyuapi Patty dan dia kemudian berbicara dengan bahasanya, satu kalimat yang sama: We love you, Gen.
Ananda mengecup pipiku kemudian Patty mengecupku sebelum aku masuk ke dalam mobil. Ah, kenapa baru sekarang aku bertemu mereka yang begitu hangat?
Roda mobilku pun meluncur menuju kantor dan aku duduk di balik kemudi bagai seseorang yang terlahir kembali meski bukan dari titik nol.
Jika manusia diberi kesempatan hidup untuk kedua kalinya, pasti dia akan memilih hidup yang lebih baik dan bersama orang-orang yang mencintainya….
My room, 12 Mei 2013, 21.40 WIB
Tags
Fiksi