Beberapa hari sebelum hari Minggu ini, di mana aku kebetulan mendapat jatah libur, Fandy sudah heboh mengajak “keluarga besar”-ku ke Kacawarna. Dia akan menyewakan minibus untuk kami bertujuh belas, sementara dia dan keluarga Mawar naik Nissan Juke milik Paul. Paul yang menyetir mini busnya.
Pertama kali mendengar ajakan itu dari mulut Mawar, perutku tiba-tiba mual. Ada angin apa laki-laki itu mengajak keluargaku liburan bahkan akan mentraktir adikku di semua wahana?
“Fandy itu pingin kenal sama keluarga kamu, Hujan. Aku kan bilang sama dia kalau keluargamu itu juga bagian keluargaku. Dan kamu tahu sendiri, di Amerika, Fandy nggak tinggal bareng keluarganya. Wajar kalau antusias begitu tahu aku punya keluarga besar.” Penjelasan Mawar setengah masuk telingaku setengah sisanya melayang-layang begitu saja dan perutku mual, padahal jelas-jelas Mawar yang hamil muda.
“Hujan, jangan kayak anak kecil ah! Kamu harus ikut karena adik-adik kamu nggak mungkin pergi tanpa kamu.”
“Kamu maksa apa ngajak sih?” tanyaku sinis. Aku menggeser posisi dudukku saat kurasakan Mawar duduk terlalu menempel padaku. Dulu itu biasa buatku, tapi tidak dengan sekarang. Udah berubah semuanya.
Mawar kembali merapatkan duduknya padaku hingga hanya dengusan kesal yang kuperdengarkan. Dia menyentuh pahaku kemudian mencium pipiku dan aku memiringkan kepala menjauhinya.
“Cemburumu itu berlebihan, Hujan. Selama aku hamil, aku nggak pernah gituan kok sama Fandy. Aku bilang, aku takut nanti janinnya kenapa-napa. Dia sih nggak masalah. Dia pengertian banget, Hujan.”
Aku menggaruk kepala kemudian menenggak air putih di dalam gelas warna cokelat. Apa aku perlu tahu urusan ranjang mereka? Punya pacar nggak pengertian banget sih!
“Sayangku…,” bisiknya lirih dan membuatku menahan napas dan menahan diri untuk tidak menatap mata itu, mata yang membuatku jatuh cinta dan bibir yang membuat cinta itu bertahan lama. “Hujan, kamu bakal ikut kan?” Dia memastikan. Suaranya sudah kembali biasa.
Rumah ini sedang kosong. Hanya kami berdua. Pintu sudah terkunci dan rasanya tidak akan ada yang datang kemari. Paul sedang menemani Fandy mencari ruko yang bisa disewa untuk bisnis Fandy ketika pindah ke sini. Ibu sedang ada pertemuan PKK. Sementara setan sudah sejak tadi merayuku untuk sedikit menggunakan kesempatan berduaan ini dan meminta hakku sebagai pacar. Mawar pun tidak akan keberatan jika aku memintanya.
Tapi tidak. Level cintaku pada mawar sudah melewati tahap hawa nafsu. Kami sudah terlalu jauh melangkah. Kalaupun aku menciumnya, itu karena aku ingin mendengar suara hujan meski bukan musimnya. Aku Hujan yang menyukai hujan.
Ciuman yang bisa memanggil hujan. Mungkin bagi orang hanya lelucon yang tak perlu dipercaya. Hanya kami berdua yang percaya.
“Hujan, aku pingin deh ke Couple Garden. Tempat bersejarah kita.” Mawar menyuapkanku sepotong kue mangkuk ke mulutku lalu menggigit sisanya dari bibirku. Aku yang pertama kali mengajarinya begitu dan Mawar menyukainya. Widi yang mengajariku "nakal" begitu. Sensual kata Widi.
Untung Mawar memejamkan mata hingga tak sempat melihat ekspresi kagetku. Mampus! Jangan sampe itu terjadi! Aku harus pura-pura nggak kenal Widi, gitu?
Aku menelan kue itu dengan susah payah lalu tersenyum palsu.
“Kapan yuk!” ajaknya cerita. Dia mengelap ujung bibirku dengan sehelai tisu lembut dan harum.
“Perjalanan ke sana jauh, Mawar. Kamu lagi hamil,” ujarku penuh perhatian.
“Anak ini kuat, Mawar. Kan anak kamu.”
“Ng… sebentar ya, kayaknya aku lupa matiin kompor deh.”
Aku segera beranjak ke belakang, bukan ke dapur tapi kamar mandi. Aku menyalakan keran air lalu serta-merta muntah ke lubang WC. Napasku tersengal. Ya Tuhan, aku bisa cepat mati kalau begini caranya. Anakku katanya? Dia pikir aku senang dengan ucapan seperti itu?
Piknik ke Pantai Kacawarna jadi topik heboh di rumah. Adik-adikku tidak sabar menunggu hari Minggu. Mereka pingin main ini-itulah. Semua permainan bakal mereka coba. Permainan yang dahulu mereka hanya bisa berangan-angan menikmati keseruannya.
Menjelang sore, aku masuk ke dapur dan melihat Ibu sedang menggoreng ayam, dari Paul. Ia juga membelikan kulkas baru merek Something, dua pintu, warna biru dan harganya sudah tentu mahal. Kulkas itu diletakkan di dapur hingga makin sempitlah dapur ini. Kini, kulkas kami sudah berisi sayuran dan bahan mentah lauk-pauk di mana Paul juga yang membelikan.
“Sesekali kamu undang Nak Paul kemari. Dia udah baik banget lho sama kita. Yaa, makanannya memang cuma begini-begini aja,” kata Ibu sambil mengelus punggungku.
Aku mengangguk.
“Kamu itu beruntung lho, Hujan. Dicintai sama kakaknya, sama adiknya juga. Tuhan emang adil kok.”
Tenggorokanku kering mendengar kalimat itu. Apa ini maksudnya?
“Kamu ngalah ya sama Nak Fandy.”
“Bu.”
“Ibu memang tidak bisa membaca isi hati kamu apalagi memahami hubungan kamu dengan Mawar, tapi demi kebaikan Mawar, demi kesehatan dia, biarkan dia dengan Nak Fandy.”
Aku lama baru bisa mengangguk. Okelah, aku akan mengorbankan banyak hal. Toh Tuhan tahu mana cinta yang sejati mana yang tumbuh karena dipaksakan.
Pemandangan Pantai Kacawarna dengan pasir putih lembutnya dan air yang sebiru langit membuat semua orang. Fandy membelikan tiket masuk dan membagi-bagikannya kepada adikku. Mereka melonjak-lonjak riang dan tidak sabar untuk masuk ke dalam dan mencoba berbagai wahana. Paul mengawal mereka tanpa kuminta.
Selama perjalanan, Paul banyak bercerita tentang kehidupannya di Hollywood dan membuat adik-adikku ber-“wow” ria. Mereka memang tidak pernah menonton satu pun film yang pernah dibintangi Paul, tapi mereka mengidolakan Paul dan Dimas secara berlebihan.
Ibu ikut dengan mobil yang ditumpangi Fandy, Mawar, dan Ibu Rosa. Ketika kami berhenti di lampu merah dan mobil kami sejajar, kulihat Mawar sedang bercanda dengan Fandy. Pernah kami saling tatap lalu Paul dengan sengaja membungkukkan tubuhnya hingga menutupi jendela dan aku mencubit lengannya karena kesal dengan tingkahnya.
Kami memilih sebuah pondok yang agak besar. Di sanalah kami beristirahat sejenak dari perjalanan. Ada aku, Ibu, Ibu Rosa, Mawar, dan Fandy tentu saja.
“Hujan, temenin aku yuk nyoba gokart!” ajak Fandy ketika melihat ada arena gokart yang tidak terlalu besar.
“Ng.. oke, ” jawabku gugup. Aku berpamitan pada mereka bertiga yang memilih tetap di pondok ketimbang berpanas-panas.
“Kamu pernah naik gokart?” tanya Fandy saat kami tiba di tempat pembelian tiket.
Aku menggeleng dan aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengendarainya.
“Ini cuma buat cowok deh,” kataku lugu sambil melihat tak ada perempuan yang mencoba wahana ini.
Fandy tertawa dan meninju lenganku. Dia menarik tanganku ke loket untuk membeli dua tiket. Dia membayari tiketku dan aku menurut saja ketika dia mengajakku ke tempat pengambilan helm. Aku memilih yang sesuai dengan ukuran kepalaku. Kulihat Fandy juga memilih-milih helm untuk dikenakannya.
“Pilih mobilmu,” perintah Fandy ketika aku hanya bengong melihatnya.
Aku melihat begitu banyak gokart yang terparkir berjejer. Bentuknya sama, hanya stiker yang tertempel di bodi mobil yang membedakan.
“Pak, saya yang nomor 3.” Fandy menunjuk gokart warna hijau bernomor 3. Diparkir paling ujung sana.
Seorang petugas kemudian mengikuti Fandy menuju gokart pilihannya.
“S..saya nomor… 12.” Aku memilih gokart warna hitam yang baru saja diparkir. Aku pun berjalan ke gokart yang hanya bersela 5 gokart dari Fandy.
“Kita tanding ya!” seru Fandy.
Mampus! Tapi aku malah menganggukkan kepala dengan pede. Fandy melajukan gokart menuju garis start, dia menungguku di sana.
Aku masuk ke dalam gokart. Mobil ini sangat rendah dan aneh bentuknya.
“Kanan untuk gas, kiri untuk rem. Lima putaran ya,” terang si petugas padaku.
Aku menelan ludah. Aku harus memutari sirkuit dengan pembatas tumpukan ban ini lima kali?
Si petugas membantuku menyalakan mesin karena aku tidak tahu sama sekali bagaimana melakukannya. Dia lalu memberikan instruksi lebih lanjut dan membantuku menuju garis start karena aku terus-menerus menginjak pedal rem dan gas bersamaan.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Are you ready, Rain?!” Fandy menantangku dan memanggilku Rain seolah aku sahabat kentalnya.
Aku mengangguk pelan.
And go!
Fandy langsung menekan pedal gas dan meninggalkanku sementara aku memulai dengan lambat dan kaku. Aku tidak berani menginjak pedal gas dalam-dalam, takut menabrak pembatas. Oke, injak gasnya, Hujan. Ayolah!
Aku perlahan mulai berani menaikkan kecepatan meski sudah jauh ketinggalan dari Fandy. Dia bahkan tiba-tiba saja datang dari belakangku lalu melewatiku dengan mudah.
Permainan ini memang tidak seimbang, tapi lama-lama menikmatinya. Berkali-kali aku menabrak pembatas dan membuat petugas harus menarik gokart-ku agar dalam posisi siap meluncur lagi.
Lima putaran terasa lama. Entah berapa lama Fandy menungguku menyelesaikan semua lap. Aku lalu keluar dari gokart dengan keringat bercucuran. Sirkuit memang sangat panas.
“Gimana? Asyik kan?” tanya Fandy lalu menepuk pundakku.
Aku tersenyum terpaksa.
“Mawar kalau lagi nggak hamil juga pingin kuajak main. Dia jagoan lho. Pembalap dia. Eh kita beli minuman dulu yuk!
Fandy mengajakku ke sebuah stan minuman dingin. Dia membelikan dua botol jus jeruk kemasan untuk kami berdua. Aku mereguk isinya dengan rakus untuk mengusir hausku. Kami menempati kursi dengan payung besar menaungi kami. Aku mengedarkan pandangan, mencari keberadaan adik-adikku. Aku hanya melihat Paul di kejauhan. Dia sudah bertelanjang dada memamerkan tubuhnya yang berotot. Hanya celana pendek khas pantai ia kenakan. Untuk menyamarkan identitas, ia mengenakan topi dan kacamata hitam.
“Hujan, aku minta tolong jagain Mawar selama aku pergi ya. Minggu depan aku akan balik ke Washington untuk membereskan beberapa urusan di sana.”
“Oke, pasti.”
“Thanks. Mawar ketika di Washington dengan ketika ia di sini, jauh berbeda. Dia di sini sangat ceria dan aku rasa memang di sinilah seharusnya dia tinggal. Dekat dengan keluarganya.”
Aku mengangguk mengiyakan.
“Oh ya, aku dan Paul ada rencana membuka bisnis bengkel mobil di sini. Kamu tertarik buat ikutan?”
“Apa?” Aku cukup terkejut dengan kalimatnya barusan.
“Iya, sebagai pengelola bersama Mawar. Aku dan Paul akan sering pergi-pergi. Aku juga punya beberapa bisnis di tempat lain sementara Paul masih punya kontrak dengan produser film. Cuma kamu dan Mawar yang bisa kami harapkan. Nanti biar Mawar yang mengajarimu dari nol.”
Aku menenggak minumanku. Pasti ini ide bodoh dari Paul. Orang semacam Fandy pasti gampang mencari orang yang memang sudah profesional di bidangnya. Sementara aku tahu apa? Dan Mawar? Sejak kapan dia tahu bisnis?
Tiba-tiba aku merasa ada tepukan di bahuku.
“Sejak melihatmu pertama kali, aku tahu kamu itu istimewa, Hujan. Dan suatu saat aku pasti akan tahu di mana letak keistimewaanmu.”
Laki-laki ini ngomong apa sih?
Pertama kali mendengar ajakan itu dari mulut Mawar, perutku tiba-tiba mual. Ada angin apa laki-laki itu mengajak keluargaku liburan bahkan akan mentraktir adikku di semua wahana?
“Fandy itu pingin kenal sama keluarga kamu, Hujan. Aku kan bilang sama dia kalau keluargamu itu juga bagian keluargaku. Dan kamu tahu sendiri, di Amerika, Fandy nggak tinggal bareng keluarganya. Wajar kalau antusias begitu tahu aku punya keluarga besar.” Penjelasan Mawar setengah masuk telingaku setengah sisanya melayang-layang begitu saja dan perutku mual, padahal jelas-jelas Mawar yang hamil muda.
“Hujan, jangan kayak anak kecil ah! Kamu harus ikut karena adik-adik kamu nggak mungkin pergi tanpa kamu.”
“Kamu maksa apa ngajak sih?” tanyaku sinis. Aku menggeser posisi dudukku saat kurasakan Mawar duduk terlalu menempel padaku. Dulu itu biasa buatku, tapi tidak dengan sekarang. Udah berubah semuanya.
Mawar kembali merapatkan duduknya padaku hingga hanya dengusan kesal yang kuperdengarkan. Dia menyentuh pahaku kemudian mencium pipiku dan aku memiringkan kepala menjauhinya.
“Cemburumu itu berlebihan, Hujan. Selama aku hamil, aku nggak pernah gituan kok sama Fandy. Aku bilang, aku takut nanti janinnya kenapa-napa. Dia sih nggak masalah. Dia pengertian banget, Hujan.”
Aku menggaruk kepala kemudian menenggak air putih di dalam gelas warna cokelat. Apa aku perlu tahu urusan ranjang mereka? Punya pacar nggak pengertian banget sih!
“Sayangku…,” bisiknya lirih dan membuatku menahan napas dan menahan diri untuk tidak menatap mata itu, mata yang membuatku jatuh cinta dan bibir yang membuat cinta itu bertahan lama. “Hujan, kamu bakal ikut kan?” Dia memastikan. Suaranya sudah kembali biasa.
Rumah ini sedang kosong. Hanya kami berdua. Pintu sudah terkunci dan rasanya tidak akan ada yang datang kemari. Paul sedang menemani Fandy mencari ruko yang bisa disewa untuk bisnis Fandy ketika pindah ke sini. Ibu sedang ada pertemuan PKK. Sementara setan sudah sejak tadi merayuku untuk sedikit menggunakan kesempatan berduaan ini dan meminta hakku sebagai pacar. Mawar pun tidak akan keberatan jika aku memintanya.
Tapi tidak. Level cintaku pada mawar sudah melewati tahap hawa nafsu. Kami sudah terlalu jauh melangkah. Kalaupun aku menciumnya, itu karena aku ingin mendengar suara hujan meski bukan musimnya. Aku Hujan yang menyukai hujan.
Ciuman yang bisa memanggil hujan. Mungkin bagi orang hanya lelucon yang tak perlu dipercaya. Hanya kami berdua yang percaya.
“Hujan, aku pingin deh ke Couple Garden. Tempat bersejarah kita.” Mawar menyuapkanku sepotong kue mangkuk ke mulutku lalu menggigit sisanya dari bibirku. Aku yang pertama kali mengajarinya begitu dan Mawar menyukainya. Widi yang mengajariku "nakal" begitu. Sensual kata Widi.
Untung Mawar memejamkan mata hingga tak sempat melihat ekspresi kagetku. Mampus! Jangan sampe itu terjadi! Aku harus pura-pura nggak kenal Widi, gitu?
Aku menelan kue itu dengan susah payah lalu tersenyum palsu.
“Kapan yuk!” ajaknya cerita. Dia mengelap ujung bibirku dengan sehelai tisu lembut dan harum.
“Perjalanan ke sana jauh, Mawar. Kamu lagi hamil,” ujarku penuh perhatian.
“Anak ini kuat, Mawar. Kan anak kamu.”
“Ng… sebentar ya, kayaknya aku lupa matiin kompor deh.”
Aku segera beranjak ke belakang, bukan ke dapur tapi kamar mandi. Aku menyalakan keran air lalu serta-merta muntah ke lubang WC. Napasku tersengal. Ya Tuhan, aku bisa cepat mati kalau begini caranya. Anakku katanya? Dia pikir aku senang dengan ucapan seperti itu?
Piknik ke Pantai Kacawarna jadi topik heboh di rumah. Adik-adikku tidak sabar menunggu hari Minggu. Mereka pingin main ini-itulah. Semua permainan bakal mereka coba. Permainan yang dahulu mereka hanya bisa berangan-angan menikmati keseruannya.
Menjelang sore, aku masuk ke dapur dan melihat Ibu sedang menggoreng ayam, dari Paul. Ia juga membelikan kulkas baru merek Something, dua pintu, warna biru dan harganya sudah tentu mahal. Kulkas itu diletakkan di dapur hingga makin sempitlah dapur ini. Kini, kulkas kami sudah berisi sayuran dan bahan mentah lauk-pauk di mana Paul juga yang membelikan.
“Sesekali kamu undang Nak Paul kemari. Dia udah baik banget lho sama kita. Yaa, makanannya memang cuma begini-begini aja,” kata Ibu sambil mengelus punggungku.
Aku mengangguk.
“Kamu itu beruntung lho, Hujan. Dicintai sama kakaknya, sama adiknya juga. Tuhan emang adil kok.”
Tenggorokanku kering mendengar kalimat itu. Apa ini maksudnya?
“Kamu ngalah ya sama Nak Fandy.”
“Bu.”
“Ibu memang tidak bisa membaca isi hati kamu apalagi memahami hubungan kamu dengan Mawar, tapi demi kebaikan Mawar, demi kesehatan dia, biarkan dia dengan Nak Fandy.”
Aku lama baru bisa mengangguk. Okelah, aku akan mengorbankan banyak hal. Toh Tuhan tahu mana cinta yang sejati mana yang tumbuh karena dipaksakan.
Pemandangan Pantai Kacawarna dengan pasir putih lembutnya dan air yang sebiru langit membuat semua orang. Fandy membelikan tiket masuk dan membagi-bagikannya kepada adikku. Mereka melonjak-lonjak riang dan tidak sabar untuk masuk ke dalam dan mencoba berbagai wahana. Paul mengawal mereka tanpa kuminta.
Selama perjalanan, Paul banyak bercerita tentang kehidupannya di Hollywood dan membuat adik-adikku ber-“wow” ria. Mereka memang tidak pernah menonton satu pun film yang pernah dibintangi Paul, tapi mereka mengidolakan Paul dan Dimas secara berlebihan.
Ibu ikut dengan mobil yang ditumpangi Fandy, Mawar, dan Ibu Rosa. Ketika kami berhenti di lampu merah dan mobil kami sejajar, kulihat Mawar sedang bercanda dengan Fandy. Pernah kami saling tatap lalu Paul dengan sengaja membungkukkan tubuhnya hingga menutupi jendela dan aku mencubit lengannya karena kesal dengan tingkahnya.
Kami memilih sebuah pondok yang agak besar. Di sanalah kami beristirahat sejenak dari perjalanan. Ada aku, Ibu, Ibu Rosa, Mawar, dan Fandy tentu saja.
“Hujan, temenin aku yuk nyoba gokart!” ajak Fandy ketika melihat ada arena gokart yang tidak terlalu besar.
“Ng.. oke, ” jawabku gugup. Aku berpamitan pada mereka bertiga yang memilih tetap di pondok ketimbang berpanas-panas.
“Kamu pernah naik gokart?” tanya Fandy saat kami tiba di tempat pembelian tiket.
Aku menggeleng dan aku bahkan tidak tahu bagaimana cara mengendarainya.
“Ini cuma buat cowok deh,” kataku lugu sambil melihat tak ada perempuan yang mencoba wahana ini.
Fandy tertawa dan meninju lenganku. Dia menarik tanganku ke loket untuk membeli dua tiket. Dia membayari tiketku dan aku menurut saja ketika dia mengajakku ke tempat pengambilan helm. Aku memilih yang sesuai dengan ukuran kepalaku. Kulihat Fandy juga memilih-milih helm untuk dikenakannya.
“Pilih mobilmu,” perintah Fandy ketika aku hanya bengong melihatnya.
Aku melihat begitu banyak gokart yang terparkir berjejer. Bentuknya sama, hanya stiker yang tertempel di bodi mobil yang membedakan.
“Pak, saya yang nomor 3.” Fandy menunjuk gokart warna hijau bernomor 3. Diparkir paling ujung sana.
Seorang petugas kemudian mengikuti Fandy menuju gokart pilihannya.
“S..saya nomor… 12.” Aku memilih gokart warna hitam yang baru saja diparkir. Aku pun berjalan ke gokart yang hanya bersela 5 gokart dari Fandy.
“Kita tanding ya!” seru Fandy.
Mampus! Tapi aku malah menganggukkan kepala dengan pede. Fandy melajukan gokart menuju garis start, dia menungguku di sana.
Aku masuk ke dalam gokart. Mobil ini sangat rendah dan aneh bentuknya.
“Kanan untuk gas, kiri untuk rem. Lima putaran ya,” terang si petugas padaku.
Aku menelan ludah. Aku harus memutari sirkuit dengan pembatas tumpukan ban ini lima kali?
Si petugas membantuku menyalakan mesin karena aku tidak tahu sama sekali bagaimana melakukannya. Dia lalu memberikan instruksi lebih lanjut dan membantuku menuju garis start karena aku terus-menerus menginjak pedal rem dan gas bersamaan.
Aku menarik napas dalam-dalam.
“Are you ready, Rain?!” Fandy menantangku dan memanggilku Rain seolah aku sahabat kentalnya.
Aku mengangguk pelan.
And go!
Fandy langsung menekan pedal gas dan meninggalkanku sementara aku memulai dengan lambat dan kaku. Aku tidak berani menginjak pedal gas dalam-dalam, takut menabrak pembatas. Oke, injak gasnya, Hujan. Ayolah!
Aku perlahan mulai berani menaikkan kecepatan meski sudah jauh ketinggalan dari Fandy. Dia bahkan tiba-tiba saja datang dari belakangku lalu melewatiku dengan mudah.
Permainan ini memang tidak seimbang, tapi lama-lama menikmatinya. Berkali-kali aku menabrak pembatas dan membuat petugas harus menarik gokart-ku agar dalam posisi siap meluncur lagi.
Lima putaran terasa lama. Entah berapa lama Fandy menungguku menyelesaikan semua lap. Aku lalu keluar dari gokart dengan keringat bercucuran. Sirkuit memang sangat panas.
“Gimana? Asyik kan?” tanya Fandy lalu menepuk pundakku.
Aku tersenyum terpaksa.
“Mawar kalau lagi nggak hamil juga pingin kuajak main. Dia jagoan lho. Pembalap dia. Eh kita beli minuman dulu yuk!
Fandy mengajakku ke sebuah stan minuman dingin. Dia membelikan dua botol jus jeruk kemasan untuk kami berdua. Aku mereguk isinya dengan rakus untuk mengusir hausku. Kami menempati kursi dengan payung besar menaungi kami. Aku mengedarkan pandangan, mencari keberadaan adik-adikku. Aku hanya melihat Paul di kejauhan. Dia sudah bertelanjang dada memamerkan tubuhnya yang berotot. Hanya celana pendek khas pantai ia kenakan. Untuk menyamarkan identitas, ia mengenakan topi dan kacamata hitam.
“Hujan, aku minta tolong jagain Mawar selama aku pergi ya. Minggu depan aku akan balik ke Washington untuk membereskan beberapa urusan di sana.”
“Oke, pasti.”
“Thanks. Mawar ketika di Washington dengan ketika ia di sini, jauh berbeda. Dia di sini sangat ceria dan aku rasa memang di sinilah seharusnya dia tinggal. Dekat dengan keluarganya.”
Aku mengangguk mengiyakan.
“Oh ya, aku dan Paul ada rencana membuka bisnis bengkel mobil di sini. Kamu tertarik buat ikutan?”
“Apa?” Aku cukup terkejut dengan kalimatnya barusan.
“Iya, sebagai pengelola bersama Mawar. Aku dan Paul akan sering pergi-pergi. Aku juga punya beberapa bisnis di tempat lain sementara Paul masih punya kontrak dengan produser film. Cuma kamu dan Mawar yang bisa kami harapkan. Nanti biar Mawar yang mengajarimu dari nol.”
Aku menenggak minumanku. Pasti ini ide bodoh dari Paul. Orang semacam Fandy pasti gampang mencari orang yang memang sudah profesional di bidangnya. Sementara aku tahu apa? Dan Mawar? Sejak kapan dia tahu bisnis?
Tiba-tiba aku merasa ada tepukan di bahuku.
“Sejak melihatmu pertama kali, aku tahu kamu itu istimewa, Hujan. Dan suatu saat aku pasti akan tahu di mana letak keistimewaanmu.”
Laki-laki ini ngomong apa sih?
Tags
Fiksi