7 garis, 7 perempuan, 7 pilihan.
Tujuh, angka yang kata orang keberuntungan. Ini adalah kisah cukup panjang yang kudengar dari seorang sahabat. Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan, tapi ada sesuatu yang membuatku akhirnya menyimak dengan lebih saksama kisah itu, atau lebih tepatnya kisah-kisah itu. Lalu kuceritakan lagi.
7 garis, 7 cerita, dan 7....
Tujuh, angka yang kata orang keberuntungan. Ini adalah kisah cukup panjang yang kudengar dari seorang sahabat. Awalnya, aku tidak terlalu memperhatikan, tapi ada sesuatu yang membuatku akhirnya menyimak dengan lebih saksama kisah itu, atau lebih tepatnya kisah-kisah itu. Lalu kuceritakan lagi.
7 garis, 7 cerita, dan 7....
Cerita ini dimulai dari Raynata, seorang gadis dua puluh tahun, mahasiswa salah satu perguruan tinggi negeri di kota Yogyakarta. Awalnya dia lolos seleksi masuk di jurusan psikologi, tapi di tahun berikutnya ia ikut ujian lagi dan sukses menjadi salah satu mahasiswi ekonomi.
Hobinya adalah nongkrong di kantin fakultas sebelah, Ilmu Budaya. Untuk nongkrong dan... menunggu sang gebetan muncul, si anak jurusan sastra Prancis.
Raynata bukan seorang mahasiswi yang istilahnya "sparkling". Dia tipe biasa-biasa saja, cenderung tomboy dengan kemeja tangan panjang yang dilipat sampai siku dan celana jins pensil. Sepatunya, kets merek Nevada nomor 39 yang nyaman di kaki untuk aktivitas hariannya yang sering ke sana-sini. Kadang setengah berlari jika ia datang terlambat ke kelas.
Ia datang ke kantin itu sesekali bersama teman-temannya, tapi lebih sering sendirian. Karena, dengan cara begitu ia leluasa mengamati sosok itu.
Aku lalu bertanya pada sahabatku, oh ya namanya Jeremy, yang tahu betul cerita selengkapnya, siapa mana orang itu. Ketika Jeremy menyebutkan satu nama, aku terdiam.
Serius nih?
Jeremy meyakinkanku, jika aku berhenti di tahap ini, maka aku hanya akan terus penasaran.
Stefani, mahasiswi sastra Prancis asal Bali. Wajahnya sangat khas gadis Pulau Dewata, eksotis, kulit cokelat. Tapi logat Balinya sudah hilang sama sekali dan logat Prancisnya membuat dia punya banyak teman pria asal negara tersebut. Saat Jeremy menceritakan padaku, Stef baru saja mulai menyusun skripsi. Katanya dia ingin mengupas salah satu novel karya Alexandre Dumas.
Jeremy melihat tampangku yang mulai kehilangan minat lalu menepuk-nepuk bahuku. Dia bilang, ada yang menarik dari sosok Stefani.
Mereka akhirnya berkenalan di suatu hari. Ketika saat itu, Ray tidak mendapatkan meja di kantin. Para mahasiswa FIB berbondong-bondong ke kantin setelah jam kuliah 2 SKS selesai, belum lagi mereka yang berasal dari kampus sebelah.
Dengan sopan, Ray bertanya apakah ia boleh menempati bangku yang kosong di sebelah Stefani.
"Iya silakan," jawab Stefani kemudian kembali memasang earphone di telinga kirinya. Kepalanya manggut-manggut mendengarkan musik. Kata Jeremy, di MP3 player Stef, semuanya lagu-lagu pop berbahasa Prancis.
Ray duduk lalu mengeluarkan ponsel Nokia jadulnya, mengecek pesan-pesan baru yang masuk saat ia masih di kelas. Tidak beberapa lama soto pesanannya pun diantarkan.
"Selamat makan," ujarnya pada Stefani. Gadis itu sepertinya tidak mendengar dan sibuk dengan bacaannya. Kata Jeremy, Stefani sedang asyik membaca novel Bel-Ami karya Guy de Maupassant.
Raynata mengangkat bahu lalu mulai makan dengan lahap. Sesekali ia memang melirik Stefani dan tanpa sengaja mereka saling tatap. Ray tersipu lalu melemparkan senyuman.
Stefani mengerutkan dahi kemudian melepas earphone di kedua telinganya, ia simpan ke dalam tas termasuk novel yang tengah dibacanya. Ia memasukkan pembatas buku untuk penanda bacaannya.
"Kamu adiknya Kak J, ya?" tebak Stefani dengan agak ragu. Ia lalu menyeruput jus stroberi di depannya.
Raynata melongo. Lama ia blank seperti itu hingga Stef melambai-lambaikan tangan di depan wajah Ray.
"Kenal kakak saya di mana?" tanyanya culun. Kakaknya memang terkenal, meski bukan seorang artis yang sering muncul di layar kaca. Dan ada sesuatu yang sontak membuat jantung Ray berdebar kencang.
"Tuh kan bener! Kamu mirip banget tau sama Kak J! Aku tuh sering liat kamu di sini. Kuliah di sini? Jurusan apa? Sastra Inggris? Jepang? Korea? Angkatan berapa? Oh ya nama kamu siapa? Aku Stefani."
Ray meletakkan sendok yang sejak tadi dipegangnya kemudian menjabat tangan Stefani yang begitu excited.
"Eh nggak papa, sambil makan aja. Oh ya, Kak J sekarang di mana?"
J? Kupikir J itu Jeremy, tapi Jeremy buru-buru klarifikasi. Ia bilang, ini adalah cerita tentang 7 perempuan, dia tidak mungkin masuk jadi bagian utama di sini. Aku lalu penasaran dengan J. Aku ingin tahu dulu siapa J baru dilanjut dengan kisah Raynata ini. Aku merayu-rayu Jeremy untuk jeda sejenak dari kisah Raynata dan Stefani dan cerita tentang si J.
Jeremy menurut. Ia pun bercerita tentang J. Hanya sedikit, karena dia bilang, dari sedikit cerita itu saja, aku bisa tahu dia tipe yang seperti apa. Aku mengangguk.
Dia lahir dengan nama Juanita, usianya 27 tahun. Seorang traveler yang sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan IT sebagai programmer. Gaji bulanannya dua digit, nyaris dua puluh juta sebulan. Dua tahun lalu, ia memutuskan untuk resign dan menjadi traveler sejati. Ia sudah tidak perlu lagi membatasi waktunya jalan-jalan. Bisa kapan saja. Ia juga dikontrak sebuah majalah traveling luar negeri sebagai travel writer, menulis selama ia melakukan perjalanan. Dari situlah ia semakin merasa traveling sebagai pilihan hidup. Ia sudah tidak berminat kerja kantoran.
Aku lalu teringat dengan sosok Trinity dengan Naked Traveler-nya. Jeremy tersenyum masam. Dia buru-buru menyalahkan pendapatku itu. Mereka sangat berbeda.
Juanita itu seorang traveler dengan gaya hidupnya yang sangat bebas.
Sebebas apa? Tanyaku penasaran pada Jeremy. Jeremy kemudian menceritakan salah satu contoh "kebebasan" yang dianut J.
Suatu hari, J menginjakkan kakinya di kota Malang. Sebenarnya ini kali ketiga kalinya ia datang ke sana, tapi baru sekarang tertarik untuk ke Segara Anakan sejak ditantang oleh seorang kawannya. Ia pun membuka lowongan di internet, barang siapa yang berminat menjadi teman seperjalanannya ketika menjelajahi Sempu nanti. Sebuah email ia terima. Pengirimnya bernama Wanda, seorang mahasiswi semester 2 asal Malang. Wanda ini sudah hapal dengan seluk-beluk Sempu dan Segara Anakan. Ia bisa meyakinkan J kalau mereka sudah tidak perlu menggunakan jasa guide. Ia juga mengirimkan beberapa foto saat ia dan teman-teman kuliahnya ke Segara Anakan dan berkemah di sana.
Mereka sepakat bertemu di Sendang Biru dan berangkat hari itu juga setelah melapor pada otoritas setempat. Mereka kemudian menuju Sempu dengan sebuah kapal nelayan yang berjalan dengan kecepatan sedang.
Sesampainya di tepi Sempu, mereka pun berdoa lalu memulai perjalanan. Kata Jeremy, perjalanan sampai ke tepi pantai di sisi lain Sempu sekitar 1,5 jam. Buat seorang traveler terlatih seperti J, sama sekali tidak melelahkan.
Mereka lalu sampai di sebuah pantai landai dengan air yang berwarna kehijauan dan tenang. Itulah Segara Anakan. Mereka kemudian mendirikan tenda dan baru menyadari kalau hanya mereka yang berada di sana.
Mereka lalu membongkar perbekalan, membuat api unggun, dan saling tukang pengalaman soal traveling. J yang lebih banyak bercerita karena sejak SMA sebenarnya ia sudah ke banyak tempat. Wanda baru ke seputar Jawa Timur.
Jeremy bilang, keduanya langsung akrab. J pun cerita kalau adiknya sebaya dengan Wanda dan tengah kuliah di Yogyakarta. Ia pun memperlihatkan foto Raynata di hape kepadanya.
Jeremy kemudian menghentikan ceritanya hingga membuatku bertanya-tanya. Apa ia lupa dengan kelanjutannya? Ia malah memandangku dengan ragu, antara mau bercerita dan tidak.
Dia lalu berdeham dan melanjutkan ceritanya. Sekitar pukul sebelas, mereka memutuskan tidur di dalam tenda. Suhu tidak begitu dingin, hanya angin pantai yang tidak begitu kencang. Wanda masih asyik bermain game di hape Android-nya.
"Kamu punya cowok?" tanya J yang saat itu tidur tengkurap dan tangannya menopang dagu, memperhatikan keasyikan Wanda yang berbaring sambil mengangkat hape hingga tegak lurus dengan wajahnya.
"Nggak, belum, entahlah," jawab Wanda tanpa menoleh.
Dan kata Jeremy, J lalu keluar dari kantong tidurnya lalu meninggalkan tenda.
Hobinya adalah nongkrong di kantin fakultas sebelah, Ilmu Budaya. Untuk nongkrong dan... menunggu sang gebetan muncul, si anak jurusan sastra Prancis.
Raynata bukan seorang mahasiswi yang istilahnya "sparkling". Dia tipe biasa-biasa saja, cenderung tomboy dengan kemeja tangan panjang yang dilipat sampai siku dan celana jins pensil. Sepatunya, kets merek Nevada nomor 39 yang nyaman di kaki untuk aktivitas hariannya yang sering ke sana-sini. Kadang setengah berlari jika ia datang terlambat ke kelas.
Ia datang ke kantin itu sesekali bersama teman-temannya, tapi lebih sering sendirian. Karena, dengan cara begitu ia leluasa mengamati sosok itu.
Aku lalu bertanya pada sahabatku, oh ya namanya Jeremy, yang tahu betul cerita selengkapnya, siapa mana orang itu. Ketika Jeremy menyebutkan satu nama, aku terdiam.
Serius nih?
Jeremy meyakinkanku, jika aku berhenti di tahap ini, maka aku hanya akan terus penasaran.
Stefani, mahasiswi sastra Prancis asal Bali. Wajahnya sangat khas gadis Pulau Dewata, eksotis, kulit cokelat. Tapi logat Balinya sudah hilang sama sekali dan logat Prancisnya membuat dia punya banyak teman pria asal negara tersebut. Saat Jeremy menceritakan padaku, Stef baru saja mulai menyusun skripsi. Katanya dia ingin mengupas salah satu novel karya Alexandre Dumas.
Jeremy melihat tampangku yang mulai kehilangan minat lalu menepuk-nepuk bahuku. Dia bilang, ada yang menarik dari sosok Stefani.
Mereka akhirnya berkenalan di suatu hari. Ketika saat itu, Ray tidak mendapatkan meja di kantin. Para mahasiswa FIB berbondong-bondong ke kantin setelah jam kuliah 2 SKS selesai, belum lagi mereka yang berasal dari kampus sebelah.
Dengan sopan, Ray bertanya apakah ia boleh menempati bangku yang kosong di sebelah Stefani.
"Iya silakan," jawab Stefani kemudian kembali memasang earphone di telinga kirinya. Kepalanya manggut-manggut mendengarkan musik. Kata Jeremy, di MP3 player Stef, semuanya lagu-lagu pop berbahasa Prancis.
Ray duduk lalu mengeluarkan ponsel Nokia jadulnya, mengecek pesan-pesan baru yang masuk saat ia masih di kelas. Tidak beberapa lama soto pesanannya pun diantarkan.
"Selamat makan," ujarnya pada Stefani. Gadis itu sepertinya tidak mendengar dan sibuk dengan bacaannya. Kata Jeremy, Stefani sedang asyik membaca novel Bel-Ami karya Guy de Maupassant.
Raynata mengangkat bahu lalu mulai makan dengan lahap. Sesekali ia memang melirik Stefani dan tanpa sengaja mereka saling tatap. Ray tersipu lalu melemparkan senyuman.
Stefani mengerutkan dahi kemudian melepas earphone di kedua telinganya, ia simpan ke dalam tas termasuk novel yang tengah dibacanya. Ia memasukkan pembatas buku untuk penanda bacaannya.
"Kamu adiknya Kak J, ya?" tebak Stefani dengan agak ragu. Ia lalu menyeruput jus stroberi di depannya.
Raynata melongo. Lama ia blank seperti itu hingga Stef melambai-lambaikan tangan di depan wajah Ray.
"Kenal kakak saya di mana?" tanyanya culun. Kakaknya memang terkenal, meski bukan seorang artis yang sering muncul di layar kaca. Dan ada sesuatu yang sontak membuat jantung Ray berdebar kencang.
"Tuh kan bener! Kamu mirip banget tau sama Kak J! Aku tuh sering liat kamu di sini. Kuliah di sini? Jurusan apa? Sastra Inggris? Jepang? Korea? Angkatan berapa? Oh ya nama kamu siapa? Aku Stefani."
Ray meletakkan sendok yang sejak tadi dipegangnya kemudian menjabat tangan Stefani yang begitu excited.
"Eh nggak papa, sambil makan aja. Oh ya, Kak J sekarang di mana?"
J? Kupikir J itu Jeremy, tapi Jeremy buru-buru klarifikasi. Ia bilang, ini adalah cerita tentang 7 perempuan, dia tidak mungkin masuk jadi bagian utama di sini. Aku lalu penasaran dengan J. Aku ingin tahu dulu siapa J baru dilanjut dengan kisah Raynata ini. Aku merayu-rayu Jeremy untuk jeda sejenak dari kisah Raynata dan Stefani dan cerita tentang si J.
Jeremy menurut. Ia pun bercerita tentang J. Hanya sedikit, karena dia bilang, dari sedikit cerita itu saja, aku bisa tahu dia tipe yang seperti apa. Aku mengangguk.
Dia lahir dengan nama Juanita, usianya 27 tahun. Seorang traveler yang sebelumnya bekerja di sebuah perusahaan IT sebagai programmer. Gaji bulanannya dua digit, nyaris dua puluh juta sebulan. Dua tahun lalu, ia memutuskan untuk resign dan menjadi traveler sejati. Ia sudah tidak perlu lagi membatasi waktunya jalan-jalan. Bisa kapan saja. Ia juga dikontrak sebuah majalah traveling luar negeri sebagai travel writer, menulis selama ia melakukan perjalanan. Dari situlah ia semakin merasa traveling sebagai pilihan hidup. Ia sudah tidak berminat kerja kantoran.
Aku lalu teringat dengan sosok Trinity dengan Naked Traveler-nya. Jeremy tersenyum masam. Dia buru-buru menyalahkan pendapatku itu. Mereka sangat berbeda.
Juanita itu seorang traveler dengan gaya hidupnya yang sangat bebas.
Sebebas apa? Tanyaku penasaran pada Jeremy. Jeremy kemudian menceritakan salah satu contoh "kebebasan" yang dianut J.
Suatu hari, J menginjakkan kakinya di kota Malang. Sebenarnya ini kali ketiga kalinya ia datang ke sana, tapi baru sekarang tertarik untuk ke Segara Anakan sejak ditantang oleh seorang kawannya. Ia pun membuka lowongan di internet, barang siapa yang berminat menjadi teman seperjalanannya ketika menjelajahi Sempu nanti. Sebuah email ia terima. Pengirimnya bernama Wanda, seorang mahasiswi semester 2 asal Malang. Wanda ini sudah hapal dengan seluk-beluk Sempu dan Segara Anakan. Ia bisa meyakinkan J kalau mereka sudah tidak perlu menggunakan jasa guide. Ia juga mengirimkan beberapa foto saat ia dan teman-teman kuliahnya ke Segara Anakan dan berkemah di sana.
Mereka sepakat bertemu di Sendang Biru dan berangkat hari itu juga setelah melapor pada otoritas setempat. Mereka kemudian menuju Sempu dengan sebuah kapal nelayan yang berjalan dengan kecepatan sedang.
Sesampainya di tepi Sempu, mereka pun berdoa lalu memulai perjalanan. Kata Jeremy, perjalanan sampai ke tepi pantai di sisi lain Sempu sekitar 1,5 jam. Buat seorang traveler terlatih seperti J, sama sekali tidak melelahkan.
Mereka lalu sampai di sebuah pantai landai dengan air yang berwarna kehijauan dan tenang. Itulah Segara Anakan. Mereka kemudian mendirikan tenda dan baru menyadari kalau hanya mereka yang berada di sana.
Mereka lalu membongkar perbekalan, membuat api unggun, dan saling tukang pengalaman soal traveling. J yang lebih banyak bercerita karena sejak SMA sebenarnya ia sudah ke banyak tempat. Wanda baru ke seputar Jawa Timur.
Jeremy bilang, keduanya langsung akrab. J pun cerita kalau adiknya sebaya dengan Wanda dan tengah kuliah di Yogyakarta. Ia pun memperlihatkan foto Raynata di hape kepadanya.
Jeremy kemudian menghentikan ceritanya hingga membuatku bertanya-tanya. Apa ia lupa dengan kelanjutannya? Ia malah memandangku dengan ragu, antara mau bercerita dan tidak.
Dia lalu berdeham dan melanjutkan ceritanya. Sekitar pukul sebelas, mereka memutuskan tidur di dalam tenda. Suhu tidak begitu dingin, hanya angin pantai yang tidak begitu kencang. Wanda masih asyik bermain game di hape Android-nya.
"Kamu punya cowok?" tanya J yang saat itu tidur tengkurap dan tangannya menopang dagu, memperhatikan keasyikan Wanda yang berbaring sambil mengangkat hape hingga tegak lurus dengan wajahnya.
"Nggak, belum, entahlah," jawab Wanda tanpa menoleh.
Dan kata Jeremy, J lalu keluar dari kantong tidurnya lalu meninggalkan tenda.
"J, mo ke mana?" tanya Wanda baru menoleh.
"Mandi!" jawab J dari kejauhan dan terdengar suara orang masuk ke dalam air.
Wanda menyusulnya keluar tenda dan melihat J sudah merendam setengah badannya. Ia melihat celana kargo dan T-shirt J dilemparkan begitu saja ke dekat tenda.
"Kemarilah! Kamu kan belum mandi juga!" ajak J sambil tertawa.
"Gila, ini hampir tengah malam, J!" Wanda menengadah dan melihat bulan purnama. Cukup terang sebenarnya kalau ingin berenang.
"Ayo deh!" lagi-lagi ajak J lalu menamparkan air tapi tidak mengenai Wanda karena jarak mereka cukup jauh.
Wanda menarik napas. Sepertinya seru juga dan toh tidak ada orang lain di pulau ini. Ia ikut-ikutan melepas baju hingga hanya tersisa yang di dalam saja. Ia menyusul J yang menunggunya di kejauhan sana.
"Dasar sinting! Kamu tuh...."
Sebuah tangan kemudian merengkuh pinggangnya kemudian menariknya mendekat pada J.
"Kamu takut?" tanya J lirih lalu menciumi Wanda.
Aku merinding mendengar cerita Jeremy. Hanya dari satu cerita saja, aku bisa menyimpulkan J itu orang yang seperti apa. Brengsek juga dia.
"Jangan-jangan Stefani juga...." Aku menebak-nebak.
Jeremy menggeleng cepat lalu dia menambahkan, "Tidak dengan Stefani, tapi kakaknya, namanya Amanda. Stefani mengira mereka berdua pacaran. J cukup dekat dengan keluarga Stefani. Ia sering ke Bali dan tidur sekamar dengan Amanda. Tapi, yang aku tahu, J masih single. Pacarnya sampai sekarang aku tidak tahu mana yang dianggapnya serius."
Kembali ke cerita Raynata. Ia bilang kalau kakaknya sedang ke Toraja. Selain menghadiri acara pernikahan salah seorang kawan, ia ingin mengeksplorasi Toraja dan lanjut ke Sorowako.
"Sorowako? Itu di mana?" tanya Stefani. Ia mengambil tempe goreng di atas piring plastik.
Raynata hanya mengatakan kalau Sorowako adalah tempat kelahiran J. Dari kota Makassar, bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama 12 jam. J bersama seorang temannya memilih untuk menyewa 1 unit Avanza dan mereka menyetir bergantian. Aku tidak perlu menanyakan dengan siapa J menempuh perjalanan karena itu sudah pasti orang yang berbeda dan perempuan.
"Kira-kira kapan baliknya?" kejar Stefani.
Ray menatapnya lalu menggeleng pelan. Ia berharap pertanyaan itu bukan berarti dari lubuk hati Stefani yang terdalam. Tidak, ia berharap kakaknya yang super player itu tidak menyentuh Stefani. Ia sudah telanjur jatuh cinta sejak hari pertama MOS.
"Entahlah. Oh ya, boleh minta nomor hapemu?" tanya Ray setelah menyelesaikan makannya. Ia mengelap mulutnya dengan tisu kotak yang tersedia di masing-masing meja.
"Ng... boleh deh." Stefani kemudian menyebutkan sederetan nomor untuk dicatat langsung oleh Ray di ponselnya yang setiap kali tombolnya dipencet akan keluar bunyi tit tut tit tut. Jadul.
"Mandi!" jawab J dari kejauhan dan terdengar suara orang masuk ke dalam air.
Wanda menyusulnya keluar tenda dan melihat J sudah merendam setengah badannya. Ia melihat celana kargo dan T-shirt J dilemparkan begitu saja ke dekat tenda.
"Kemarilah! Kamu kan belum mandi juga!" ajak J sambil tertawa.
"Gila, ini hampir tengah malam, J!" Wanda menengadah dan melihat bulan purnama. Cukup terang sebenarnya kalau ingin berenang.
"Ayo deh!" lagi-lagi ajak J lalu menamparkan air tapi tidak mengenai Wanda karena jarak mereka cukup jauh.
Wanda menarik napas. Sepertinya seru juga dan toh tidak ada orang lain di pulau ini. Ia ikut-ikutan melepas baju hingga hanya tersisa yang di dalam saja. Ia menyusul J yang menunggunya di kejauhan sana.
"Dasar sinting! Kamu tuh...."
Sebuah tangan kemudian merengkuh pinggangnya kemudian menariknya mendekat pada J.
"Kamu takut?" tanya J lirih lalu menciumi Wanda.
Aku merinding mendengar cerita Jeremy. Hanya dari satu cerita saja, aku bisa menyimpulkan J itu orang yang seperti apa. Brengsek juga dia.
"Jangan-jangan Stefani juga...." Aku menebak-nebak.
Jeremy menggeleng cepat lalu dia menambahkan, "Tidak dengan Stefani, tapi kakaknya, namanya Amanda. Stefani mengira mereka berdua pacaran. J cukup dekat dengan keluarga Stefani. Ia sering ke Bali dan tidur sekamar dengan Amanda. Tapi, yang aku tahu, J masih single. Pacarnya sampai sekarang aku tidak tahu mana yang dianggapnya serius."
Kembali ke cerita Raynata. Ia bilang kalau kakaknya sedang ke Toraja. Selain menghadiri acara pernikahan salah seorang kawan, ia ingin mengeksplorasi Toraja dan lanjut ke Sorowako.
"Sorowako? Itu di mana?" tanya Stefani. Ia mengambil tempe goreng di atas piring plastik.
Raynata hanya mengatakan kalau Sorowako adalah tempat kelahiran J. Dari kota Makassar, bisa ditempuh dengan perjalanan darat selama 12 jam. J bersama seorang temannya memilih untuk menyewa 1 unit Avanza dan mereka menyetir bergantian. Aku tidak perlu menanyakan dengan siapa J menempuh perjalanan karena itu sudah pasti orang yang berbeda dan perempuan.
"Kira-kira kapan baliknya?" kejar Stefani.
Ray menatapnya lalu menggeleng pelan. Ia berharap pertanyaan itu bukan berarti dari lubuk hati Stefani yang terdalam. Tidak, ia berharap kakaknya yang super player itu tidak menyentuh Stefani. Ia sudah telanjur jatuh cinta sejak hari pertama MOS.
"Entahlah. Oh ya, boleh minta nomor hapemu?" tanya Ray setelah menyelesaikan makannya. Ia mengelap mulutnya dengan tisu kotak yang tersedia di masing-masing meja.
"Ng... boleh deh." Stefani kemudian menyebutkan sederetan nomor untuk dicatat langsung oleh Ray di ponselnya yang setiap kali tombolnya dipencet akan keluar bunyi tit tut tit tut. Jadul.
Jogja, 30 Juni 2013
Tags
Fiksi