Bagiku, angka tiga belas itu bukan simbol kesialan. Aku tidak percaya itu, sama seperti tidak percayanya aku dengan mitos-mitos yang ada di dunia ini.
Tapi... tiga belas jam bersama Fandy, itu jelas kesialan luar biasa dan percayalah, tidak ada seorang manusia pun yang sanggup hidup dengan bermodal senyuman palsu. Tapi aku menjalaninya.
Sudah hampir tiga minggu aku tidak bertemu Widi. Kurasa hubungan jarak jauh itu memang siksaan luar biasa. Karena ada Mawar, aku tidak bisa leluasa ke Suryapadi. Sebagai orang yang berada dalam posisi tersiksa batin dan tak bisa melampiaskannya, kurasa usiaku akan makin pendek saja.
Aku kangen Widi, aku ingin menyentuh perempuan itu dan bercinta entah itu di mana. Aku sudah tidak peduli dengan tempat, waktu, dan apa pun. Aku memohon dia untuk datang dia menjawab di pesan singkatnya:
Bln ini ak ga bsa cuti, sbr ya baby, luv u ^_^
Di saat seperti ini, aku ingin sekali punya kemampuan seperti Paul. Aku ingin tahu, apakah Widi pernah kecewa padaku. Aku selalu SMS dia setiap kali sedang bersama Mawar. Apakah dia menangis saat setiap malam kulalui bersama Mawar? Apakah dia juga menginginkanku? Mengapa dia tidak memperjuangkan aku seperti yang Mawar lakukan?
Aku menunggu saat yang tepat untuk bicara dengan Mawar, tapi Paul bilang jangan. Mawar sedang hamil dan tidak boleh stres. Sementara otakku isinya makin tak keruan.
“Kalau dia tahu soal hubunganmu dengan perempuan itu, buruk dampaknya, Hujan. Buat dia dan bayinya.” Paul menegaskan sambil menatapku tajam.
Aku membalas tatapannya tak kalah tajam. Jadi aku harus menunggu sampai kapan, Paul? Sampai anak itu lahir? Terlalu lama! Aku tidak sanggup menunggu selama itu. Aku punya hidup yang lain. Dan Mawar juga sudah tidak seharusnya mempertahankan aku.
“Besok Fandy datang.”
“Terus?” tanyaku heran.
“Dia bilang, dia ingin ngajak kamu jalan. Berdua aja. Besok, kita jemput dia di bandara, aku pulang naik taksi, terus selanjutnya terserah kalian.” Paul berkedip nakal lalu menyesap cappuccino-nya.
Aku benci melihat ekspresi nakalnya itu.
“Paul, nggak biasanya kamu selama ini di Indonesia. Nggak ada jadwal syuting? Lagi nggak laku?” tanyaku sinis.
Dia tertawa lepas hingga membuat pengunjung kafe ini menoleh ke meja kami, ingin tahu apa yang membuat aktor tampan itu tertawa. Aku tersenyum dan mendengus kesal.
“Aku kan masih kangen kamu, Hujan. Bagaimanapun, aku toh suatu saat nanti akan sama kamu. Oh ya, sekali-sekali ikut aku yuk? Ke tempat aku syuting di Hollywood. Sekalian ketemu Dimas. Udah cukup lama kan kamu nggak ketemu dia, kan?”
“Aku nggak mau membuat para fans wanitamu patah hati. Selama ini kau selalu mengaku jomblo kan?”
Paul tersenyum lalu mengangkat satu alisnya.
“Hey, aku juga manusia yang bisa jatuh cinta. Mereka pasti bisa ngerti kok. Jadi kapan? Pembangunan bengkel masih lama rampungnya, kontraktornya sudah orang kepercayaan Mama, jadi nggak harus kita awasi terus. Kamu udah nggak perlu kerja di minimarket itu, tinggal nunggu kafe dan... it’s your new life, Hujan.”
Aku tercenung. A new life? A new hell buatku.
Aroma parfum lelaki itu menyapa hidungku ketika kami masih berjarak beberapa langkah. Dengan senyuman simpatik, dia melangkah sambil mendorong troli berisi beberapa travel time tanpa bantuan porter. Paul maju menyambutnya dan mereka bersalaman erat khas para pria.
“Apa kabar, Bro? Sehat?” tanya Paul kemudian mengambil alih troli dari tangan Fandy yang pagi itu mengenakan kemeja cokelat dan celana jins biru tua. Di kakinya terpasang sepatu kets Adidas sewarna kemejanya. Pria ini selalu tampil energik meski perjalanan dari Amerika cukup panjang. Ia mampir sejenak di Singapura untuk bertemu rekan bisnisnya di sana sebelum melanjutkan perjalanan kemari.
“Sehat banget, Paul. Halo, Rain.” Fandy tanpa permisi mencium pipiku. Ya, Rain, aku. Dia memegang kedua bahuku lalu mengamati wajahku. Mengamati lingkaran hitam tipis di bawah mataku.
“Kurang tidur?” tanyanya. Ia lalu meminta jawabannya dengan menoleh ke arah Paul.
“Semalam ia kuajak main catur.” Jawaban penuh kebohongan Paul dipercaya Fandy begitu saja. “Oh ya Bro, barang-barangmu biar kubawakan ke rumah. Ini pakai mobilku saja.” Paul merogoh saku celananya lalu menyerahkan kunci mobil pada Fandy.
“Thanks ya, Bro!”
Aku mengamati mereka berdua. Mengapa aku merasa ada sesuatu yang mereka rencanakan? Mengapa Fandy tidak pulang dulu dan bertemu Mawar? Mengapa ia memilih jalan denganku ke tempat pembagunan bengkel? Aku tiba-tiba terserang rasa nervous? Sudah tahukah Fandy soal skandalku dengan Mawar? Yang namanya neraka adalah tempat yang sudah disediakan untuk orang-orang yang tidak pernah sadar akan masuk ke sana.
Welcome to the hell, and my name is Rain.
Perjalanan menuju lokasi pembangunan bengkel kalau dari bandara ditempuh hampir 2,5 jam. Cukup jauh dan kami baru bisa bernapas lega ketika sudah keluar dari wilayah kota yang padat kendaraan.
Fandy menyalakan video mobil dan video musik dengan lagu-lagu berbahasa Inggris pun mengalun.
“Rain, kamu sudah pernah melihat video klip yang dibintangi Paul?” tanya Fandy memecah kebekuan di antara kami. Ia menggulung lengan kemejanya bergantian.
“Belum,” jawabku sebenarnya tidak terlalu peduli.
Dia tersenyum kemudian mengganti video yang sedang diputar. “Ini, aku juga baru liat minggu lalu.”
Mataku melirik layar 7 inci yang terpasang di dashboard. Ya itu Paul, didandani ala kesatria Abad Pertengahan. Ia menunggangi kuda hitam yang gagah dan berlari kencang di dalam sebuah hutan belantara. Si penyanyi yang sepertinya berdarah Asia juga didandani ala putri khas Abad Pertengahan. Aku tidak mengenal siapa pemilik mata yang berwarna hijau cerah itu. Mungkin pendatang baru dan langsung bisa masuk industri rekaman di sana. Perempuan itu, dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam agak ikal, digambarkan sedang menunggu kedatangan Paul. Mimiknya pesimis karena sang kesatria tak juga datang dan membawanya keluar dari hutan yang dihuni hewan-hewan buas. Meski asing, tapi aku cukup menikmati musiknya, beraliran pop.
“Sebenarnya yang jadi model klip ini Dimas. Tapi dia bilang jadwal syutingnya sudah terlalu padat. Dia tawarin ke Paul, dan Paul mau. Keren. Kamu suka?” tanya Fandy.
Aku mengangguk.
“Oh soal bengkel, rasa kamu perlu megang ini....” Fandy mengambil dompet yang tersimpan di saku belakang celananya. Ia membuka dompet kulit ularnya itu lalu menyerahkan sebuah kartu padaku.
“Kartu kredit untuk kamu pakai kalau tukang sewaktu-waktu butuh material tambahan. Juga bisa kamu pakai belanja untuk kebutuhan keluargamu, Rain.”
Kartu itu sudah berpindah ke tanganku. Apa maksudnya ini?
“Mawar kan tidak bisa sering-sering ke bengkel, kasihan nanti dia kecapekan. Kamu yang nantinya akan jadi salah satu pengelola, jadi setidaknya seminggu tiga kali lihatlah perkembangannya. Kamu juga perlu berkenalan dengan orang-orang sekitar. Untuk karyawan, kamu bisa menawarkannya terlebih dahulu baru memasang iklan di koran.
Aku mengangguk paham. Apakah aku harus merasa tersinggung dengan kartu gesek ini?
“Rain, awalnya aku keberatan keberatan ketika Mawar minta pindah kemari di saat ia masih hamil muda. Ya, aku khawatir dengan kondisinya. Tapi, Paul bisa meyakinkanku jika di sini akan lebih baik buat dia. Kata Paul, kau akan menjaganya.”
Deg! Apa tadi dia bilang?
Kami mendatangi lokasi pembangunan bengkel yang sampai sekarang Fandy belum bisa menemukan nama yang cocok, sementara ia masih memakai nama FM Autocar. Fandy Mawar. Nama yang membuatku pingin muntah.
Bangunan ini cukup besar dan kurasa bengkel mobil yang terbesar di Anginrestu. Ketika datang, Pak Andre si kontraktor kepercayaan keluarga Mawar, langsung menyambut kedatangan kami. Dia kemudian membawa kami melihat perkembangan pembangunan bengkel.
Aku sengaja berjalan di belakang ketika mereka berdua sibuk membicarakan banyak hal. Aku mengirim SMS untuk Widi, sekadar mengabarkan keberadaanku. Kanget kamu bangettt... Itu kalimat terakhir di SMS sebelum kukirimkan.
Aku kemudian menjajari langkah mereka setelah memasukkan ponsel yang ku-silent ke dalam saku jaket. Mau tidak mau, aku perlu tahu perkembangan pembangunan bengkel ini. Apa yang masih kurang. Fandy menunjuk ke beberapa bangunan yang menurutnya belum dikerjakan maksimal. Dia yang membuat desain bangunan ini dan tahu pasti jika ada yang tidak sama dengan apa yang digambarnya.
Pak Andre manggut-manggut dan mengatakan akan memperbaikinya sesegera mungkin. Setengah tahun lagi, bangunan ini akan siap pakai dan aku harus mulai menyiapkan diri untuk masuk ke dunia bisnis. Bisnisku dengan Mawar. Aku menatap Fandy yang berdiri sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana. Seolah menyadari kuperhatikan, dia menoleh kemudian tersenyum. Apakah itu senyuman yang tulus, atau ia merasakan apa yang kurasakan sekarang? Apakah ia memberikan senyuman palsu seperti yang kuberikan? Apakah sebenarnya Fandy sudah tahu semuanya?
Kami makan siang agak terlambat. Sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari lokasi bengkel menjadi pilihan Fandy. Kami duduk berhadapan di sebuah meja berbentuk bulat dari bahan kayu jati. Menu makan siang kupasrahkan padanya. Aku sama sekali tidak pernah makan di sini. Aku hanya mendengar dia memesan nasi putih, cumi saus tiram, ayam ungkep, sup jagung, dan tumis buncis. Lalu jus jeruk dan jus stroberi.
Fandy sejenak menerima telepon dan kurasa itu dari Mawar. Dengan kalimat penutup, “Jaga anak kita ya, Sayang” cukup jelas bagiku. Dia lalu mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam dari dalam tas sandang kulit miliknya.
“Ini untuk kamu, Rain. Aku titip dibelikan sama Paul.”
Hape BlackBerry baru. Kurasa harganya cukup mahal.
“Aku tidak perlu BB, Fan,” ucapku sungkan.
“Aku masih harus ke sana-sini, Rain. Kalau butuh apa-apa kan lebih gampang kalau ku-BBM.”
Fandy memberi isyarat supaya aku menerima ponsel yang segelnya masih utuh. Dia tahu jika aku tidak tahu cara menggunakannya. Ia pun menunjukkannya. Lama ia sibuk dengan benda pipih bertombol banyak itu sampai kemudian menunjukkan layarnya padaku.
“Nah aku udah invite kamu, ya.”
Aku mengangguk lugu. Pasti aku sangat terlihat seperti orang kampung di matanya. Dia menyerahkan hape itu padaku.
“Jangan dimatikan ya, biar selalu gampang kuhubungi. Tenang, aku tidak akan mengganggumu kalau lagi pacaran sama Widi."
Bilang apa tadi dia?
Tidak hanya makan siang, makan malam pun lagi-lagi kami duduk semeja berdua. Dia kembali memesankan makanan untukku. Fandy memilih restoran yang tidak jauh dari Suryapadi. Restoran yang cukup ramai oleh pasangan-pasangan muda maupun keluarga muda.
“Widi ada di Suryapadi kan, Rain?” tanya Fandy saat kami sudah berada di dalam mobil lagi, siap melanjutkan perjalanan. Menurutku, ini sudah cukup larut dan pulang adalah satu-satunya pilihan. Aku sudah cukup lelah. Malam ini tentu aku akan tidur di rumah, dan Mawar bersama lelaki ini.
“Mau ketemu dia? Biar kuantar ke sana.”
Aku menatap Fandy. Kepalaku tenggangguk cepat. Ya, sangat mau. Tidak perlu lagi ditanya. Fandy pun mengarahkan mobil Paul ke pusat kota Suryapadi. Aku buru-buru mengabarkan pada Widi.
“Ajak dia ke hotel saja. Kupesankan kamar untuk kalian berdua. Besok pagi-pagi sekali kita check out. Aku sudah bilang Mawar kalau malam ini aku ada janji dengan klien jadi tidak pulang.
Pintu kamar kututup dan kukunci. Kini di hadapanku ada Widi. Aku menyentuh dagunya kemudian mengecup bibirnya pelan. Rasa rinduku padanya membuatku harus mengendalikan diri untuk tidak segera memulai percintaan ini. Aku ingin menikmati setiap detiknya, menitnya, sentuhan, pelukan, desahan, bisikan, dan rengkuhannya.
Adrenalinku mulai naik ketika Widi pun tidak sanggup menahan dorongan untuk tetap bermain dalam tempo yang lambat. Bayangan Mawar melintas di kepalaku, tak kuacuhkan. Aku ingin melampiaskan semuanya pada Widi, rasa sakit hati, cemburu, rindu, dan memiliki tubuh kekasihku sendiri. Aku punya Widi yang aku yakin dia takkan mengkhinatiku seperti cara Mawar mengkhianatiku.
Mungkin hanya kebetulan saja jika tiba-tiba hujan turun dengan derasnya setelah permainan cinta kami berakhir. Aku menggigiti pelan bibir kekasihku sambil memeluk tubuh telanjangnya yang basah oleh peluh kami berdua. Kami bertatapan, lalu dia mengangguk. Kami masih punya banyak waktu untuk memulai satu permainan lagi.
Melewati tiga belas jam bersama Fandy itu sama saja dengan di neraka, tapi dia tahu empat jamku bersama Widi itu begitu berarti. Ketika mobil kami sudah kembali mengarah ke Anginrestu di pagi-pagi buta, aku pun langsung terlelap karena lelahnya. Sebelum pergi, aku menyempatkan diri mandi. Aku tidak mau jika Mawar bisa mencium aroma parfum Widi yang menempel di tubuhku atau bahwa mencium aroma dosa yang kubuat dengan kekasihku itu.
Tapi... tiga belas jam bersama Fandy, itu jelas kesialan luar biasa dan percayalah, tidak ada seorang manusia pun yang sanggup hidup dengan bermodal senyuman palsu. Tapi aku menjalaninya.
Sudah hampir tiga minggu aku tidak bertemu Widi. Kurasa hubungan jarak jauh itu memang siksaan luar biasa. Karena ada Mawar, aku tidak bisa leluasa ke Suryapadi. Sebagai orang yang berada dalam posisi tersiksa batin dan tak bisa melampiaskannya, kurasa usiaku akan makin pendek saja.
Aku kangen Widi, aku ingin menyentuh perempuan itu dan bercinta entah itu di mana. Aku sudah tidak peduli dengan tempat, waktu, dan apa pun. Aku memohon dia untuk datang dia menjawab di pesan singkatnya:
Bln ini ak ga bsa cuti, sbr ya baby, luv u ^_^
Di saat seperti ini, aku ingin sekali punya kemampuan seperti Paul. Aku ingin tahu, apakah Widi pernah kecewa padaku. Aku selalu SMS dia setiap kali sedang bersama Mawar. Apakah dia menangis saat setiap malam kulalui bersama Mawar? Apakah dia juga menginginkanku? Mengapa dia tidak memperjuangkan aku seperti yang Mawar lakukan?
Aku menunggu saat yang tepat untuk bicara dengan Mawar, tapi Paul bilang jangan. Mawar sedang hamil dan tidak boleh stres. Sementara otakku isinya makin tak keruan.
“Kalau dia tahu soal hubunganmu dengan perempuan itu, buruk dampaknya, Hujan. Buat dia dan bayinya.” Paul menegaskan sambil menatapku tajam.
Aku membalas tatapannya tak kalah tajam. Jadi aku harus menunggu sampai kapan, Paul? Sampai anak itu lahir? Terlalu lama! Aku tidak sanggup menunggu selama itu. Aku punya hidup yang lain. Dan Mawar juga sudah tidak seharusnya mempertahankan aku.
“Besok Fandy datang.”
“Terus?” tanyaku heran.
“Dia bilang, dia ingin ngajak kamu jalan. Berdua aja. Besok, kita jemput dia di bandara, aku pulang naik taksi, terus selanjutnya terserah kalian.” Paul berkedip nakal lalu menyesap cappuccino-nya.
Aku benci melihat ekspresi nakalnya itu.
“Paul, nggak biasanya kamu selama ini di Indonesia. Nggak ada jadwal syuting? Lagi nggak laku?” tanyaku sinis.
Dia tertawa lepas hingga membuat pengunjung kafe ini menoleh ke meja kami, ingin tahu apa yang membuat aktor tampan itu tertawa. Aku tersenyum dan mendengus kesal.
“Aku kan masih kangen kamu, Hujan. Bagaimanapun, aku toh suatu saat nanti akan sama kamu. Oh ya, sekali-sekali ikut aku yuk? Ke tempat aku syuting di Hollywood. Sekalian ketemu Dimas. Udah cukup lama kan kamu nggak ketemu dia, kan?”
“Aku nggak mau membuat para fans wanitamu patah hati. Selama ini kau selalu mengaku jomblo kan?”
Paul tersenyum lalu mengangkat satu alisnya.
“Hey, aku juga manusia yang bisa jatuh cinta. Mereka pasti bisa ngerti kok. Jadi kapan? Pembangunan bengkel masih lama rampungnya, kontraktornya sudah orang kepercayaan Mama, jadi nggak harus kita awasi terus. Kamu udah nggak perlu kerja di minimarket itu, tinggal nunggu kafe dan... it’s your new life, Hujan.”
Aku tercenung. A new life? A new hell buatku.
Aroma parfum lelaki itu menyapa hidungku ketika kami masih berjarak beberapa langkah. Dengan senyuman simpatik, dia melangkah sambil mendorong troli berisi beberapa travel time tanpa bantuan porter. Paul maju menyambutnya dan mereka bersalaman erat khas para pria.
“Apa kabar, Bro? Sehat?” tanya Paul kemudian mengambil alih troli dari tangan Fandy yang pagi itu mengenakan kemeja cokelat dan celana jins biru tua. Di kakinya terpasang sepatu kets Adidas sewarna kemejanya. Pria ini selalu tampil energik meski perjalanan dari Amerika cukup panjang. Ia mampir sejenak di Singapura untuk bertemu rekan bisnisnya di sana sebelum melanjutkan perjalanan kemari.
“Sehat banget, Paul. Halo, Rain.” Fandy tanpa permisi mencium pipiku. Ya, Rain, aku. Dia memegang kedua bahuku lalu mengamati wajahku. Mengamati lingkaran hitam tipis di bawah mataku.
“Kurang tidur?” tanyanya. Ia lalu meminta jawabannya dengan menoleh ke arah Paul.
“Semalam ia kuajak main catur.” Jawaban penuh kebohongan Paul dipercaya Fandy begitu saja. “Oh ya Bro, barang-barangmu biar kubawakan ke rumah. Ini pakai mobilku saja.” Paul merogoh saku celananya lalu menyerahkan kunci mobil pada Fandy.
“Thanks ya, Bro!”
Aku mengamati mereka berdua. Mengapa aku merasa ada sesuatu yang mereka rencanakan? Mengapa Fandy tidak pulang dulu dan bertemu Mawar? Mengapa ia memilih jalan denganku ke tempat pembagunan bengkel? Aku tiba-tiba terserang rasa nervous? Sudah tahukah Fandy soal skandalku dengan Mawar? Yang namanya neraka adalah tempat yang sudah disediakan untuk orang-orang yang tidak pernah sadar akan masuk ke sana.
Welcome to the hell, and my name is Rain.
Perjalanan menuju lokasi pembangunan bengkel kalau dari bandara ditempuh hampir 2,5 jam. Cukup jauh dan kami baru bisa bernapas lega ketika sudah keluar dari wilayah kota yang padat kendaraan.
Fandy menyalakan video mobil dan video musik dengan lagu-lagu berbahasa Inggris pun mengalun.
“Rain, kamu sudah pernah melihat video klip yang dibintangi Paul?” tanya Fandy memecah kebekuan di antara kami. Ia menggulung lengan kemejanya bergantian.
“Belum,” jawabku sebenarnya tidak terlalu peduli.
Dia tersenyum kemudian mengganti video yang sedang diputar. “Ini, aku juga baru liat minggu lalu.”
Mataku melirik layar 7 inci yang terpasang di dashboard. Ya itu Paul, didandani ala kesatria Abad Pertengahan. Ia menunggangi kuda hitam yang gagah dan berlari kencang di dalam sebuah hutan belantara. Si penyanyi yang sepertinya berdarah Asia juga didandani ala putri khas Abad Pertengahan. Aku tidak mengenal siapa pemilik mata yang berwarna hijau cerah itu. Mungkin pendatang baru dan langsung bisa masuk industri rekaman di sana. Perempuan itu, dengan rambut panjangnya yang berwarna hitam agak ikal, digambarkan sedang menunggu kedatangan Paul. Mimiknya pesimis karena sang kesatria tak juga datang dan membawanya keluar dari hutan yang dihuni hewan-hewan buas. Meski asing, tapi aku cukup menikmati musiknya, beraliran pop.
“Sebenarnya yang jadi model klip ini Dimas. Tapi dia bilang jadwal syutingnya sudah terlalu padat. Dia tawarin ke Paul, dan Paul mau. Keren. Kamu suka?” tanya Fandy.
Aku mengangguk.
“Oh soal bengkel, rasa kamu perlu megang ini....” Fandy mengambil dompet yang tersimpan di saku belakang celananya. Ia membuka dompet kulit ularnya itu lalu menyerahkan sebuah kartu padaku.
“Kartu kredit untuk kamu pakai kalau tukang sewaktu-waktu butuh material tambahan. Juga bisa kamu pakai belanja untuk kebutuhan keluargamu, Rain.”
Kartu itu sudah berpindah ke tanganku. Apa maksudnya ini?
“Mawar kan tidak bisa sering-sering ke bengkel, kasihan nanti dia kecapekan. Kamu yang nantinya akan jadi salah satu pengelola, jadi setidaknya seminggu tiga kali lihatlah perkembangannya. Kamu juga perlu berkenalan dengan orang-orang sekitar. Untuk karyawan, kamu bisa menawarkannya terlebih dahulu baru memasang iklan di koran.
Aku mengangguk paham. Apakah aku harus merasa tersinggung dengan kartu gesek ini?
“Rain, awalnya aku keberatan keberatan ketika Mawar minta pindah kemari di saat ia masih hamil muda. Ya, aku khawatir dengan kondisinya. Tapi, Paul bisa meyakinkanku jika di sini akan lebih baik buat dia. Kata Paul, kau akan menjaganya.”
Deg! Apa tadi dia bilang?
Kami mendatangi lokasi pembangunan bengkel yang sampai sekarang Fandy belum bisa menemukan nama yang cocok, sementara ia masih memakai nama FM Autocar. Fandy Mawar. Nama yang membuatku pingin muntah.
Bangunan ini cukup besar dan kurasa bengkel mobil yang terbesar di Anginrestu. Ketika datang, Pak Andre si kontraktor kepercayaan keluarga Mawar, langsung menyambut kedatangan kami. Dia kemudian membawa kami melihat perkembangan pembangunan bengkel.
Aku sengaja berjalan di belakang ketika mereka berdua sibuk membicarakan banyak hal. Aku mengirim SMS untuk Widi, sekadar mengabarkan keberadaanku. Kanget kamu bangettt... Itu kalimat terakhir di SMS sebelum kukirimkan.
Aku kemudian menjajari langkah mereka setelah memasukkan ponsel yang ku-silent ke dalam saku jaket. Mau tidak mau, aku perlu tahu perkembangan pembangunan bengkel ini. Apa yang masih kurang. Fandy menunjuk ke beberapa bangunan yang menurutnya belum dikerjakan maksimal. Dia yang membuat desain bangunan ini dan tahu pasti jika ada yang tidak sama dengan apa yang digambarnya.
Pak Andre manggut-manggut dan mengatakan akan memperbaikinya sesegera mungkin. Setengah tahun lagi, bangunan ini akan siap pakai dan aku harus mulai menyiapkan diri untuk masuk ke dunia bisnis. Bisnisku dengan Mawar. Aku menatap Fandy yang berdiri sambil memasukkan tangan ke dalam saku celana. Seolah menyadari kuperhatikan, dia menoleh kemudian tersenyum. Apakah itu senyuman yang tulus, atau ia merasakan apa yang kurasakan sekarang? Apakah ia memberikan senyuman palsu seperti yang kuberikan? Apakah sebenarnya Fandy sudah tahu semuanya?
Kami makan siang agak terlambat. Sebuah restoran yang terletak tidak jauh dari lokasi bengkel menjadi pilihan Fandy. Kami duduk berhadapan di sebuah meja berbentuk bulat dari bahan kayu jati. Menu makan siang kupasrahkan padanya. Aku sama sekali tidak pernah makan di sini. Aku hanya mendengar dia memesan nasi putih, cumi saus tiram, ayam ungkep, sup jagung, dan tumis buncis. Lalu jus jeruk dan jus stroberi.
Fandy sejenak menerima telepon dan kurasa itu dari Mawar. Dengan kalimat penutup, “Jaga anak kita ya, Sayang” cukup jelas bagiku. Dia lalu mengeluarkan sebuah kotak berwarna hitam dari dalam tas sandang kulit miliknya.
“Ini untuk kamu, Rain. Aku titip dibelikan sama Paul.”
Hape BlackBerry baru. Kurasa harganya cukup mahal.
“Aku tidak perlu BB, Fan,” ucapku sungkan.
“Aku masih harus ke sana-sini, Rain. Kalau butuh apa-apa kan lebih gampang kalau ku-BBM.”
Fandy memberi isyarat supaya aku menerima ponsel yang segelnya masih utuh. Dia tahu jika aku tidak tahu cara menggunakannya. Ia pun menunjukkannya. Lama ia sibuk dengan benda pipih bertombol banyak itu sampai kemudian menunjukkan layarnya padaku.
“Nah aku udah invite kamu, ya.”
Aku mengangguk lugu. Pasti aku sangat terlihat seperti orang kampung di matanya. Dia menyerahkan hape itu padaku.
“Jangan dimatikan ya, biar selalu gampang kuhubungi. Tenang, aku tidak akan mengganggumu kalau lagi pacaran sama Widi."
Bilang apa tadi dia?
Tidak hanya makan siang, makan malam pun lagi-lagi kami duduk semeja berdua. Dia kembali memesankan makanan untukku. Fandy memilih restoran yang tidak jauh dari Suryapadi. Restoran yang cukup ramai oleh pasangan-pasangan muda maupun keluarga muda.
“Widi ada di Suryapadi kan, Rain?” tanya Fandy saat kami sudah berada di dalam mobil lagi, siap melanjutkan perjalanan. Menurutku, ini sudah cukup larut dan pulang adalah satu-satunya pilihan. Aku sudah cukup lelah. Malam ini tentu aku akan tidur di rumah, dan Mawar bersama lelaki ini.
“Mau ketemu dia? Biar kuantar ke sana.”
Aku menatap Fandy. Kepalaku tenggangguk cepat. Ya, sangat mau. Tidak perlu lagi ditanya. Fandy pun mengarahkan mobil Paul ke pusat kota Suryapadi. Aku buru-buru mengabarkan pada Widi.
“Ajak dia ke hotel saja. Kupesankan kamar untuk kalian berdua. Besok pagi-pagi sekali kita check out. Aku sudah bilang Mawar kalau malam ini aku ada janji dengan klien jadi tidak pulang.
Pintu kamar kututup dan kukunci. Kini di hadapanku ada Widi. Aku menyentuh dagunya kemudian mengecup bibirnya pelan. Rasa rinduku padanya membuatku harus mengendalikan diri untuk tidak segera memulai percintaan ini. Aku ingin menikmati setiap detiknya, menitnya, sentuhan, pelukan, desahan, bisikan, dan rengkuhannya.
Adrenalinku mulai naik ketika Widi pun tidak sanggup menahan dorongan untuk tetap bermain dalam tempo yang lambat. Bayangan Mawar melintas di kepalaku, tak kuacuhkan. Aku ingin melampiaskan semuanya pada Widi, rasa sakit hati, cemburu, rindu, dan memiliki tubuh kekasihku sendiri. Aku punya Widi yang aku yakin dia takkan mengkhinatiku seperti cara Mawar mengkhianatiku.
Mungkin hanya kebetulan saja jika tiba-tiba hujan turun dengan derasnya setelah permainan cinta kami berakhir. Aku menggigiti pelan bibir kekasihku sambil memeluk tubuh telanjangnya yang basah oleh peluh kami berdua. Kami bertatapan, lalu dia mengangguk. Kami masih punya banyak waktu untuk memulai satu permainan lagi.
Melewati tiga belas jam bersama Fandy itu sama saja dengan di neraka, tapi dia tahu empat jamku bersama Widi itu begitu berarti. Ketika mobil kami sudah kembali mengarah ke Anginrestu di pagi-pagi buta, aku pun langsung terlelap karena lelahnya. Sebelum pergi, aku menyempatkan diri mandi. Aku tidak mau jika Mawar bisa mencium aroma parfum Widi yang menempel di tubuhku atau bahwa mencium aroma dosa yang kubuat dengan kekasihku itu.
Jogja, 29 Juni 2013
Tags
Fiksi