Hujan (16)

“Sayang….”

Panggilan halus itu begitu dekat dengan telinga kiriku. Bahkan aku bisa merasakan embusan napas yang tidak kalah halusnya. Dia menyentuh pipiku dengan ujung hidungnya kemudian mengecup pipiku sekilas.

“Sayang, bangun dong,” suaranya manja lalu aku merasakan kecupan ringan tepat di cuping telingaku.

Mataku terbuka perlahan kemudian melihat wajah itu begitu dekat kemudian menatapku dengan memelas.

“Beliin sate ya, Sayang.”

Telingaku rasanya langsung berdengung hebat mendengar kalimat itu. Kupejamkan mataku kembali sambil mendengus ringan. Aku berusaha mengira-ngira waktu sekarang. Mungkin masih tengah malam. Kami tertidur sekitar pukul sepuluh.

Karena aku tidak juga beranjak, tubuhku pun diguncang-guncangnya sambil mengulang-ngulang permintaan itu. Huff! Kali ini aku menyerah. Baiklah, oke, oke! Aku menatapnya, dan masih memelas seperti tadi. Aku memiringkan wajah saat ia akan mengecup bibirku. Jangan, Mawar, please! Aku melirik jam meja dengan mata menyipit. Tuh kan, ini masih jam dua dini hari.

“Sayang, mana ada yang jual sate jam segini?” kataku sambil menarik selimut yang dia renggut dariku. Kamar ini dingin, mungkin Mawar mengubah suhu pendingin ruangan menjadi lebih rendah. Dia tahu aku tidak suka tidur dalam ruangan terlalu dingin.

“Aku nggak mau tahu, Hujan. Pokoknya aku pingin. Cariin!” Dia mulai terdengar galak.


Aku angkat tangan. Dengan mata yang masih berat aku pun duduk lalu menguap lebar. Dasar ibu hamil! Si Fandy juga malah sibuk ngurus bisnis keluar negeri bukannya nemenin calon istri ngidam kayak gini!

“Aku mau sate yang dagingnya aja, nggak ada campuran lemaknya,” pesan Mawar sambil menungguiku mengenakan celana jins panjang dan jaket sport biru garis-garis.

“Apa nggak bisa nunggu besok?” tawarku. Aku sama sekali tidak tahu ke mana sebenarnya harus pergi. Di dekat-dekat sini tidak ada penjual sate sama sekali. Rumah Cak Amat si penjual sate madura itu jaraknya dua kilo dari sini, dan ia hanya jualan sampai jam sembilan.

Mawar menggeleng sambil mengelus-ngelus perutnya. Oh ya, kamu mau bilang kalau itu permintaan dari si jabang bayi? Selain harus menemani ibunya tidur, aku juga masih harus peduli dengan permintaan konyol macam ini? Ah ngomel-ngomel dalam hati percuma juga.

“Pake syal aku nih,” Mawar mengalungkan syal merah jambu ke leherku. “Duh cakepnya pacar aku nih.”

“Simpanan,” jawabku dingin.

Dia tergelak kemudian mencubit pinggangku gemas. Dia tidak tahu aku mengucapkan kata “simpanan” supaya dia paham, kami tidak mungkin bisa seperti ini terus. Jika mereka sudah menikah, apa boleh aku masuk ke kamar tidur mereka dan menemani Mawar tidur? Apa boleh kami tidur berpelukan dengan busana begitu minim? Mungkin Mawar berpikiran itu boleh, tapi aku lebih baik tidak melakukannya. Aku merasa ini sudah tidak benar.

“Sini, rambutnya berantakan lagi tuh.” Mawar merapikan rambutku, yang baru saja kusisir rapi. Mungkin aku salah karena membiarkan ia mengubah sisiran rambutku, sama salahnya dengan tidak mendengarkan larangan Paul untuk tetap mempertahankan hubungan ini.

“Aku udah BBM Paul, nanti kamu biar diantar dia.”

“Kamu bilang aku di sini?” Aku melotot galak padanya.

Mawar mengangkat bahu lalu memperlihatkan isi BBM Paul padaku.

Mati aku!

Mobil ini berjalan dengan kecepatan 50 km/jam. Jalanan lengang dan kami tahu tidak banyak orang-orang yang suka keluar malam kecuali menjelang kecamatan nanti. Di sana ada beberapa warung kopi juga warung makanan yang buka sampai pagi.

Kaca mobil diturunkan Paul dan angin malam masuk menerpa kami. Musik-musik hits tahun dua ribuan mengiringi perjalanan kami.

“Paul, di sini nggak dilarang ngomong kan?” tanyaku setengah bercanda. Aku menoleh, menatap wajahnya cukup lama.

Paul sama sekali tidak tersenyum menanggapi ucapanku. Dia marah? Marah karena pagi-pagi begini harus keluar mencari sesuatu yang kemungkinan besar tidak ada atau karena dia tahu aku sekamar dengan kakaknya?

“Paul, jangan kayak anak kecil. Cemburu ya?” pancingku seakan kalimat itu kukeluarkan tanpa kupikirkan terlebih dahulu.

“Kalau kamu sudah tahu aku cemburu dengan hubungan kalian berdua, kenapa masih tanya? Kak Mawar itu tidak bisa sama kamu lagi. Dia sudah punya kehidupan yang lain. Kamu tidak harus menuruti dia, Hujan.” Jawaban itu sudah kuduga. Tapi setidaknya itu cara paling efektif untuk memancingnya bicara. Sungguh tidak enak keheningan ini.

Aku berdecak lalu menyandarkan kepalaku ke jendela kaca.

“Dia masih mencintaiku, Paul. Dia masih membutuhkan aku. Aku tidak juga tiba-tiba menjauh dari Mawar. Bukan begitu caranya. Kamu akan sulit memahami hubungan ini, Paul. Kamu tidak pernah mengalaminya.” Apa yang Paul rasakan adalah dicintai banyak wanita. Bukan saling mencintai. Saling memiliki.

“Seharusnya gampang karena kamu tidak pernah bercinta dengannya!” bentak Paul penuh emosi.

Paul, ah, aku sudah kehabisan cara menjelaskan prinsip mencintai padamu. Dalam dua puluh tahun, sudah lebih dari cukup untuk saling mengikat hati. Meskipun aku memiliki kekasih yang lain, Mawar tidak begitu saja hilang dari ingatanku. Atau aku harus amnesia?

“Tidak ada yang jualan sate. Biar aku telepon Kak Mawar.”

Aku mencekal tangannya yang hendak meraih ponsel di saku jaketnya.

“Kita ngak boleh pulang dengan tangan kosong. Kita cari sampai ketemu, Paul.”

Paul menurut. Dia urung mengubungi Mawar lalu kembali konsentrasi menyetir. Aku sungguh tidak akan tega melihat Mawar kecewa.

Kami akhirnya berhasil mendapatkan seporsi sate daging, di sebuah warung kaki lima dekat pasar kecamatan. Kami adalah pembeli terakhir dan mendapatkan bonus dua tusuk sate. Paul juga minta dibungkuskan teh panas. Harganya? Gratis. Si pemilik sate hanya minta foto bareng dengan Paul dan langsung ia upload di akun facebook-nya.

Kami pun pulang dengan lega. Paul pun juga sudah tidak pelit bicara. Dia tidak habis pikir kenapa si tukang sate memilih kehilangan lima belas ribu rupiah hanya karena bertemu bintang idola para ABG.

Sesampainya di rumah, aku lalu menghidangkan sate pesanan Mawar di piring. Aku menemaninya makan di balkon.

“Sayang, aku boleh nge-wine? Sedikit aja,” pintanya lagi-lagi dengan muka memelas. Kalau yang ini aku yakin buat permintaan si jabang bayi, tapi kemauan Mawar.

“Kamu milih wine atau aku? Aku nggak akan mau kamu ajak nginep di sini kalau kamu minum itu.”

Mawar mendekatkan kursinya padaku. Masih ada tiga tusuk sate yang belum ia habiskan.

“Hujan, kamu tahu, andai aku nggak sakit, aku nggak akan menduakan kamu, aku nggak akan membagi tubuhku dengan orang lain. Andai aku bisa dengan mudahnya minta pisah dengan Fandy setelah anak ini lahir, aku akan melakukannya. Tapi aku tahu, anak ini tidak mungkin kutelantarkan. Dia butuh aku.”

Aku terdiam. Inikah saat yang tepat untuk bercerita tentang Widi? Siapkah ia dengan kondisiku yang sudah memberikan hati untuk orang lain? Dari cara merangkulku di saat kami terlelap, yang aku rasakan, aku yakin Mawar tidak akan siap.

Tapi masalahnya, aku sudah terlalu jauh dengan Widi dan kali ini, aku tidak ingn sembunyi-sembunyi lagi. Aku ingin memperkenalkan dia sebagai kekasihku.


Jogja, 27 Juni 2013

Post a Comment

Previous Post Next Post