Menunggumu di Kuta

Kuta tak punya sunrise, Sanur yang diinginkan banyak orang untuk melihat momen yang berulang setiap hari itu. Tapi aku ke Pulau Bali bukan untuk melihat adegan munculnya matahari yang semalaman terlelap dengan nyenyaknya. Toh sejak lahir aku tinggal di sini, rumah orang tuaku dulu pun tak jauh dari Sanur. Aku bukan pencinta sunrise atau sunset sekalipun. Aku pecinta pantai dengan ombak-ombak liarnya.

I miss you so much

BBM dari Todd baru kubuka pagi ini. Kepalaksu pusing, T-shirt putihku beraroma rokok. Aku seperti orang stres semalam tadi. Aku ke bar, memesan vodka dan menenggak beberapa gelas. Aku duduk di depan meja bar dan tidak mengacuhkan beberapa lelaki yang menawariku minuman gratis atau perempuan-perempuan genit yang meraba-rabaku ingin mengajakku tidur. Ayolah, meski mabuk, aku tidak berniat mengkhianati Todd.

Kepalaku sudah makin berat hingga kuhentikan minuman beralkohol kadar tinggi dan isapan rokokku. Aku tidak peduli dengan orang-orang di bar ini, musik yang mengajakku lepas kendali di dance floor.

Aku menyeberang jalan, bersandar di dinding sebuah butik yang sudah tutup beberapa jam lalu sejenak. Orang-orang masih sibuk berpesta sampai nanti dini hari. Hotelku masih dua ratus meter di depan sana.
Aku menyalakan rokok dan melempar bungkus yang sudah kosong ke dalam tong sampah. Tukk!! Mengenai bagian pinggir lalu mental keluar. Payah! Aku memungutnya lalu kali ini membuang dari jarak dekat.

Aku tidak ingin berpikir. Satu-satunya cara adalah membuat otakku tidak bisa berpikir. Alkohol adalah solusi terbaik. Rokok, ah ini bukan apa-apa.

Sampai juga di hotel. Aku ingin cepat-cepat tidur.

Alexandra duduk di pasir pantai, gulungan ombak membuatnya betah di sana. Ia sedang berusaha menghilangkan pengaruh alkohol semalam. Di bibirnya terselip rokok. Pikirannya mulai bekerja dengan normal.

Ia marah. Sangat. Karena Tannia tak menemuinya di bandara, menjemputnya di terminal kedatangan Ngurah Rai, jam 09.40 WITA. Alexandra padahal susah payah mencari tiket ke Bali di musim liburan seperti sekarang, untuk apa kalau bukan menemui Tannia, sahabat masa kecilnya itu?

Ia menunggu sampai dua jam. Gelisah di sebuah kedai kopi. Berkali-kali ia menghela napas kesal dan Tannia sama sekali tidak mengabarinya. Ia ingin mengirim DM tapi Tannia tak juga mem-folbeknya.

Karena, Alexandra tidak tahu betapa Tannia kaget membaca mention darinya. Sesuatu yang tidak pernah diharapkan Tannia terjadi, menyambung sebuah hubungan yang terputus cukup lama. Dan bukan sorot bahagia yang terlihat di raut wajahnya, tapi ketakutan. Ia tidak mau bertemu langsung dengan Alexandra. Ia cemas, bahkan membuatnya mengurung diri dan hampir tak mau makan jika Mbok Dar tidak terus-menerus membujuknya. Tannia harus minum obat, ia harus makan sebelumnya.

Alexandra tidak tahu itu semua. Ia pun berjalan dengan malas meninggalkan kedai kopi. Ia kehilangan semangat.

Ketika ia sudah memasuki taksi yang akan membawanya ke hotel di daerah Legian, satu notifikasi twitternya masuk.

@Ale_surfergirl: Aku liat kamu. Cukup gitu aja, Le. Maaf....

Dukk!! Ale memukul pintu taksi dengan kesal. Si sopir taksi melirik dari kaca pengintip.

"Maaf, Pak," ucapnya sungkan.
"Ada apa, Gek?" tanyanya ramah.

"Tidak apa-apa, Bli. Saya sepertinya datang di waktu yang tidak tepat." Ale memberi alasan.

Legian di pagi hari tidak seheboh di malam harinya. Bar-bar dan klub sudah tutup, berganti dengan toko suvenir, toko baju, toko perlengkapan selancar, warung makan, kedai kopi, dan sebagainya. Si pemilik hotel tempatnya menginap adalah ayah dari seorang kenalannya yang juga peselancar bernama Tomy. Mereka kawan akrab dan sesekali Tomy bergabung dengan teman-teman segeng Alexandra saat kumpul di Kuta. Kamar yang dihuni Alexandra gratisan dari Tomy, padahal itu kamar bintang empat.

Jika Alexandra melampiaskan kekesalannya dengan semalaman di bar, itu ada alasannya. Tannia yang mendorongnya seperti itu.

Tapi, Alexandra tetap berharap, ia bisa bertemu dengan Tannia. Di Kuta.

Hari ini, Alexandra gagal menemui Tannia. Dia tidak melihat sosok itu dan juga Mbok Darmi. Padahal, seharusnya Tannia ada di sana, mengamatinya dari kejauhan. Sampai matahari semakin terik dan membakar semangat para peselancar untuk bermain ombak, tak ada tanda-tanda keberadaan Tannia. Sengajakah ia menghindar?

Alexandra dengan mobil pinjaman Tomy memutuskan sejenak ke Ubud. Ada seorang sepupu Todd yang buka kafe di sana, Becky namanya. Sejak pertama kenal Todd, Becky dan Alexandra sudah cukup dekat. Mereka punya kegemaran main catur dan keduanya bergantian saling mengalahkan.

Siang itu, Becky baru saja membuka kafe yang ia kelola bersama tunangannya, Amy Chang. Begitu melihat kedatangan Alexandra, ia langsung menyambutnya.

"Heyyy, Alex!" Ia merangkul lalu mencium pipi Alexandra. Dari kejauhan Alexandra melihat Amy melambaikan tangan. Ia sedang bicara sengan seorang pelayan laki-laki berseragam putih-biru laut.

"Todd mana?" Becky melihat ke belakang, mengira sepupunya ikut.

"Dia udah balik ke Surabaya duluan," jawab Alexandra enteng.

Becky menatap Alexandra curiga. Biasanya mereka ke mana-mana pasti berdua.

"No, kami baik-baik aja. Susah kali nyari yang kayak dia," canda Alexandra.

Becky mengajak Alexandra masuk ke dalam kafe kecil yang di-setting dengan nuansa Cina dan Yahudi. Kedua orangtua Amy memang berdarah campuran. Keluarga yang sangat religius, tapi Amy memilih liberal. Hanya simbol-simbol agama saja yang masih dipakainya, soal ibadah sudah ditinggalkannya.

Sejenak Becky masuk ke dapur untuk membuatkan Alex kopi. Kopi buatannya pasti beraroma rempah, itu yang dari khas kafenya.

Belum lama mereka ngobrol, Amy pun bergabung. Dia tampak cantik dengan rambutnya yang mulai sepunggung. Dia sosok perempuan yang santun, seorang vegetarian, dan tidak suka minuman beralkohol. Melihat mereka, Alexandra pun teringat dengan sosok Tannia. Dia bertanya-tanya, apa rasanya pacaran dengan perempuan? Seaneh apa pun cara ia bercinta dengan Todd, ia tidak pernah sekalipun pacaran dengan sesama. Di matanya, hubungannya dengan Todd jauh lebih bisa diterima.

Sekian tahun lalu....

Suatu malam di Surabaya, Todd dan Alexandra baru pulang dugem. Mereka pulang naik taksi lalu sepakat bermalam di sebuah hotel. Mereka sudah resmi setahun jadian, malam ini keduanya sepakat untuk tidur bersama pertama kalinya.

Mereka masuk ke dalam kamar lalu berciuman di pintu. Lebih tepatnya, Alexandra yang dipaksa untuk menciumi Todd. Lelaki itu lalu menariknya ke tempat tidur.

"Tunggu, Sayang. Tunggu dulu." Todd menghentikan keasyikan keduanya.

"Todd?" Alexandra bergeser dari atas tubuh sang kekasih dengan wajah heran.

Dilihatnya Todd mengeluarkan pakaian perempuan dari ransel yang dibawanya.

"Oh okeyy, berarti kamu minta aku memakai pakaian itu? Sini." Alexandra beranjak mendekati Todd. Banyak lelaki suka dengan perempuan bergaun seksi sebelum bercinta.

"Bukan, tunggu, ini untuk kupakai."

Perkataan Todd seakan menggema di telinga Alexandra. Ia lalu melihat bagaimana Todd melepas semua pakaiannya lalu mengenakan gaun. Tidak hanya itu, Todd pun mengenakan rambut palsu dan berdandan hingga seorang wanitalah yang kini berada di hadapan Alexandra.

"Aku malu bilang sama kamu, Alex, kalau inilah aku yang sebenarnya. Aku cinta banget sama kamu,

tapi kalau kamu keberatan dengan keadaanku yang seperti ini, tinggalkanlah aku."

Alexandra menelan ludah. Todd yang tampil keseharian begitu macho, berubah menjadi.... 

"Todd, kenapa baru sekarang kamu bilang?"

Todd tampak salah tingkah, ya dia terlalu lama menyembunyikan rahasia ini.

"Aku siap kalau kamu mau ninggalin saat ini juga," ujar Todd pasrah. "Aku sudah sudah biasa ditinggalkan oleh wanita yang menganggapku tidak normal."

Alexandra bengong sejenak. Bingung apa yang harus dilakukannya. Tapi kemudian, ia mendekat kemudian mencium bibir kekasihnya dengan penuh kelembutan. Ia tahu harus bagaimana. Setiap sentuhannya yang agresif direspons dengan desahan-desahan Todd. Todd berbaring dan membiarkan Alexandra mencumbuinya perlahan-lahan, seperti perlakukan seorang lelaki pada wanita.

"Sayang, biarkan aku tetap mengenakan busana ini," cegah Todd ketika Alexandra membalikkan tubuhnya kemudian menurunkan resleting gaun putih yang dikenakan Todd. Alexandra mengangguk. Ia paham, Todd ingin tetap merasa dirinya sebagai wanita selama mereka bercinta.

Mereka terhanyut, hingga Alexandra tertegun ketika Todd menyerahkan sebuah benda yang membuatya menelan ludah. Ia harus melakukannya karena itulah penutup dari percintaan mereka malam ini. Ini klimaksnya. Sebagai lelaki, dia harus melakukannya.

"Please do it, my love," pinta Todd lalu membalikkan badan membelakangi Alexandra.

Benda itu pernah dilihat Alexandra di sebuah sex toys di Singapura. Todd bahkan mengajaknya masuk toko itu dan memilih-milih lalu membeli dua buah fake things, begitu Alexandra mengistilahkan. Alexandra tidak berpikir macam-macam tentang benda itu dan ia tidak menanyakannya pada Todd.

Todd mengerang tapi di sisi lain ia memohon supaya Alexandra meneruskannya hingga mereka sampai pada satu titik pencapaian yang sama. Terengah-engah di akhir percintaan itu. Alexandra menciumi leher Todd lalu berbaring di samping kekasihnya yang tersenyum puas. Ia pun telah memuaskan dirinya sendiri tanpa bantuan Todd.

Setelah menikmati kopi dan ngobrol santai dengan Becky dan Amy, Alexandra memutuskan untuk berjalan-jalan sejenak. Ia mampir di sebuah galeri lukisan yang dimiliki Jerry, masih terhitung saudara jauh Todd. Pria yang membuatkan tato salib di punggung Alexandra itu sedang memberi pengarahan pada seorang pekerjanya untuk menggantung sebuah lukisan besar di dinding bercat warna chiffon. Galeri lukisan Todd dibangun menyambung dengan tempat pembuatan tato yang cukup familiar di Ubud itu.

Alexandra dan Todd punya selera tato berbeda. Todd punya simbol feminin-maskulin di dada kirinya. Latarnya adalah daun maple berlapis tiga. Ia berencana menambah dua tato lagi, salah satunya adalah wajah Alexandra di lengan kanannya.

Sementara Alexandra, tato salibnya sama sekali tidak melambangkan keyakinan yang dianutnya sampai hari ini. Ia sudah tidak pernah lagi ke gereja tiap Minggu. Di punggung bawahnya, ada sebuah tato belati yang tertancap di tanah, dekat sebuah batu nisan. Cukup angker tapi baginya itu tidak lebih dari sebuah simbol pemberontakan.

"Tatomu tak mau ditambah lagi, Lex? Apa tidak berminat meniruku?" goda Jerry yang tubuhnya hampir dipenuhi oleh tato dengan beragam tema.

Jerry memang nyeleneh, di mata Alexandra. Tidak hanya tato, ia pun tidak ragu menambah sensasi dengan tindikan di pusar, alis kanan-kiri, telinga kiri, dan lidah. Alexandra pernah memasang tindikan di lidahnya. Baru sehari, Todd langsung menyampaikan keberatannya dengan merajuk minta supaya dilepas saja.

"Aku terpikir membuat couple tattoo, di sini," kata Alexandra sambil menyentuh lengannya. "Untuk anniversary kami yang kelima."

"That's cool, Alex. Kalian berdua itu memang pasangan serasi."

Keduanya tertawa. Jerry mengajak Alexandra masuk ke dalam studio tato di mana terdapat sebuah mini bar di sana. Alexandra memilih sendiri minumannya. Ia tidak ingin minuman beralkohol. Air putih cukup untuknya.

Kedatangan Alex ke sana sebenarnya ada maksud. Ada sesuatu yang ditanyakannya pada Jerry sehubungan dengan kecelakaan pesawaat enam belas tahun lalu. Pria separuh baya itu sudah tinggal di bali sejak dua puluh tahun lalu, sedikit banyak pasti tahu tentang kecelakaan yang mengenaskan itu. Dan benar saja.

"Waktu itu aku dan beberapa teman menjadi sukarelawan. Aku masih tinggal di Denpasar, jadi mudah bolak-balik ke rumah sakit. Ada banyak korban yang harus dirawat secara intensif, salah satunya yang kau tanyakan di telepon kemarin. Ya, namanya benar Britannia Dezyanti. Dia hanya beberapa hari di sana lalu dibawa ke Singapura oleh kerabatnya. Dia katanya harus menjalani serangkaian operasi, termasuk amputasi kaki. Aku minta bantuan seorang teman untuk mencarikan alamatnya."

Jerry mengangkat tangan seperti isyarat: tunggu sebentar di sini. Ia kemudian beranjak dan mengambil ponselnya di ruang sebelah. Ia kembali tidak lama kemudian lalu memperlihatkan layar monitor ponselnya.

"Di sini dia tinggal, kadang di sini."

Alexandra melihat lebih dekat ke layar monitor. Satu alamat dikenalnya, rumah Tannia semenjak kecil, satunya dekat dengan Kuta. Ia berspekulasi, belakangan ini Tannia tingal di alamat yang kedua dengan begitu akan mudah berada di pantai pagi hari.

"Ku-forward aja ya. Tapi apa kau yakin ingin nemenuinya? Kau bilang dia menghindarimu."

Alexandra tersenyum mantap. Dia tidak peduli jika Tannia menghindarinya. Tweet-tweet Tannia sudah menjadi bukti betapa sebenarnya ia ingin berdekatan dengan Alexandra. Alexandra menduga, itu berawal dari sebuah ciuman di masa lalu, ketika mereka masih kecil.

"Tannia, maaf."

"Ale jahat hu hu hu hu!"

"Di sini nggak ada hantunya, Tannia. Aku nggak mungkin ngurung kamu di sini kalau ada hantunya. Ayo jangan nangis dong."

"Pokoknya aku benci Ale! Aku nggak mau ketemu Ale lagi!"

Alexandra kebingungan cara menghentikan Tannia yang masih menangis akibat ulah isengnya mengurung Tannia di gudang rumah yang kata Mbok Dar berhantu. Tak sampai lima menit, Tannia di dalam sana tapi sudah cukup membuat mukanya pucat lalu menangis kencang, dan menyalahkan Alexandra.

"Tannia, apa tadi kau lihat hantu?"

"Aku benci kamu, Ale! Benci!"

Alexandra mengguncang bahu Tannia, bingung harus berbuat apa. Itu memang salahnya, tapi dia sudah minta maaf. Mencium Tannia, itu yang dilakukannya kemudian. Bibir mereka bersentuhan dengan kaku. Alexandra adalah orang yang pertama kali mencium bibir Tannia dan itu terkenang hingga dewasa. Kalau bukan karena itu, mana mungkin berulang kali Tannia mengatakan bahwa ia cinta pada Alexandra di twitter? Mereka terpisah begitu lama, belasan tahun. Cinta itu tidak tumbuh seperti ilalang.

"Hubungi saja aku kalau kau butuh sesuatu, Lex," kata Jerry kemudian.

Alexandra mengangguk gamang.

Pagi hari, Tannia sudah bangun, mandi, sarapan, kemudian bersiap ke Kuta. Pak Amir sudah memanaskan mesin mobil. Mbok Dar sudah menyiapkan semua kebutuhan majikannya. Ia tahu, Tannia berharap bisa melihat Alexandra di Kuta, dari kejauhan, lalu ia akan berceloteh betapa mengagumkannya Alexandra. Betapa sempurnanya ia.

Pak Amir membukakan pintu tengah. Ia lalu membantu Tannia naik ke atas mobil. Mbok Dar memasukkan barang ke bagasi belakang lalu duduk di samping majikannya. Memasang sabuk pengaman bersamaan dengan Tannia. Roda mobil kemudian meluncur pelan, menuju pantai yang amat dicintai Tannia dan Alexandra, Kuta.

Tiba di sana, penjual minuman dan makanan sudah siap menunggu para pengunjung yang ingin minum dan makan. Matahari jam setengah tujuh belum lagi tinggi. Tannia sudah terlihat duduk di kursi rodanya. Seperti biasa, ia menurunkan selendang di kepalanya sampai wajah agar tidak mudah terlihat oleh orang lain. Kakinya ditutupi selimut tipis.

Mbok Dar mendorong kursi roda ke arah yang Tannia minta. Majikannya itu mengedarkan pandangan, mencari Alexandra, yang ia yakin betul pasti hadir di mana. Pandangannya ke sana kemari, tapi tidak mudah dilihatnya sosok itu. Mungkinkah Ale sudah kembali ke Surabaya dan marah kepadanya? Meski begitu banyak orang di sini, tapi Ale seakan bersinar sehingga mudah untukku melihatnya. Tapi di mana dia sekarang?

"Mbok, tolong cariin Ale, Mbok."

"Apa Mbok cari ke tepi pantai aja, Non? Mungin Non Ale ada di sana lagi selancar," kata Mbok Dar.

"Iya, Mbok. Kasih tahu ya, Mbok, kalau sudah ketemu."

"Iya, Non." Mbok Dar menoleh. Ale sudah berdiri di sampingnya dan mengangguk pelan.

Ketika Mbok Dar berjalan ke tepi pantai, Alexandra berdiri di belakang kursi roda Tannia. Tangannya masuk ke saku celana. Ia memperhatikan Tannia dari belakang. Jerry memang begitu banyak membantu Ale menemukan Tannia kembali. Ia semalam bicara banyak pada Mbok Dar, menanyakan keadaannya. Ale terenyuh, Tannia punya harapan kuat untuk hidup demi dia. Tannia menunggu sepanjang tahun dan kerinduannya terbayar ketika Ale datang untuk berselancar. Seharusnya Tannia tidak perlu menunggu selama itu seandainya dia tidak menyembunyikan diri.

"Ale...," lirih Tannia yang merindukan sosok itu.

"Tannia...."

Tannia tanpak tersentak mendengar suara itu. Ia menoleh dan mendapati Ale tersenyum kepadanya.

"Kita selalu ke pantai ini untuk bermain-main dengan pasir, dengan air laut, dengan hewan-hewan kecil yang bermunculan dari dalam pasir. Kamu ingat itu semua, Tannia? Aku selalu lari di sana, di pasir yang terbasahi air laut. Kita tidak pernah menunggu matahari terbit atau tenggelam, karena kita punya yang lebih berharga dari itu."

"Ale, aku sudah kehilangan semuanya. Termasuk kamu. Bertahun-tahun aku mencoba menerima kenyataan itu, memaksa diriku melupakan ada seseorang yang menjadi bagian terindah dalam hidupku. Kau dan pria kau cium itu tampak begitu bahagia, sementara aku hanya melihat dari kejauhan dan menangis."

Alexandra berdeham pelan. Ia teringat akan Todd yang menunggunya di Surabaya menunggu kabar apakah ia sudah berhasil menemukan Tannia atau belum. Dan ia berbohong. Harus ia lakukan supaya bisa lebih lama di Bali dan melepas kerinduannya pada Tannia terlebih dahulu.

Alexandra menyentuh lengan kiri Tannia yang kasar. Bekas luka bakar yang tidak akan bisa hilang selamanya. Ditatapnya lekat-lekat wajah yang begitu berbeda. Apa hanya segini yang bisa dokter bedah plastik lakukan? batin Alexandra? Tidak bisakan mereka mengembalikan wajah Tannia yang dahulu begitu manis, dengan bibirnya yang merah muda, kulitnya yang halus seperti bayi?

Tannia membuang muka diperhatikan seperti itu. Ia menarik selandang untuk menutupi wajahnya, namun Alexandra menahan tangannya.

"Al..Ale... pergilah, aku tidak apa-apa."

Alexandra menaikkan alis dan tersenyum. Ia menarik napas dalam-dalam lalu terdiam sejenak. Kepalanya lalu terangguk-angguk.

"Aku akan pergi, jika memang kamu yang minta."

"Kamu tidak mungkin bersamaku, Ale. Pergilah dengan lelaki itu."

Alexandra beranjak lalu menepiskan pasir-pasir yang melekat di celana pendeknya. Ia melangkah pergi tanpa menoleh ke belakang, berbaur dengan orang-orang yang mulai memadati Kuta.

Tannia memperhatikan sosok itu hingga semakin jauh. Ia memukul tangan kursi rodanya dengan emosional. Mengapa aku begitu keras kepala?! makinya dalam hati.

Tiga bulan kemudian...

Bandara kembali mempertemukan sepasang kekasih yang di mata orang sangat ideal itu, Todd dan Alexandra. Mereka berciuman tanpa peduli orang-orang yang lalu-lalang di sekitar mereka. Beberapa gadis ABG memperhatikan Todd dan memuji otot lengannya yang padat lalu memandang Alexandra dengan sinis. Alexandra tersenyum santai. Sudah biasa ia mendapat tatapan seperti itu. Risiko punya pacar bule muda, ganteng pula.

"Makan yuk," ajak Alexandra sambil menggandeng Todd menuju parkiran.

"Jangan yang pedes ya, Sayang, perutku lagi nggak enak," kata Todd dengan memelas. Setiap naik pesawat, Todd memang sering mengalami gangguan pencernaan. Minum sejenis Antimo tidak banyak membantu mengurangi mabuk udaranya.

"Aku nggak bakal ngajakin ke restoran ayam betutu kok, tenang aja," jawab Alexandra sambil membelai mesra leher kekasihnya.

Alexandra memutuskan untuk tinggal di Bali. Ia mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja di Surabaya dan memilih membuka usaha penyewaan papan selancar sekaligus melatih orang-orang yang ingin bisa selancar. Setiap hari di Kuta, ia bertemu dengan orang-orang baru, punya kehidupan yang baru. Setiap hari pula ia leluasa melihat Tannia, meski sebatas memperhatikannya dari kejauhan. Alexandra tidak pernah benar-benar pergi, dia hanya memberi waktu Tannia untuk bisa bersikap lebih terbuka, menerimanya sebagai teman, berhenti menjaga jarak, dan bersahabat seperti ketika mereka dulu. Tannia butuh waktu dan Alexandra berjanji untuk menunggunya. Ia tidak mau terlalu jauh memikirkan hubungan mereka apakah akan menjadi cinta dan harus dibaginya dengan Todd. Ia hanya merasa bahagia menemukan kembali Tannia.


Sore hari di Yogyakarta, 23 Juni 2013

Post a Comment

Previous Post Next Post