Proses Evaluasi Naskah

Dalam sebuah penerbitan buku, yang namanya naskah itu adalah "modal" awal yang harus ada. Naskah kemudian dipilah mana yang sekiranya layak terbit dan mana yang tidak. Bicara soal layak, standar di masing-masing penerbitan pastilah berbeda-beda, tergantung sudah sebesar apa penerbit tersebut. Semakin besar sebuah penerbit, maka semakin tinggi juga standar naskah yang ditetapkan.
Saya adalah salah satu penetap standar kelayakan naskah di DIVA Press. Saya memegang kewajiban untuk menyaring naskah-naskah bergenre teenlit untuk kemudian diproses menjadi buku yang siap dijual ke pasaran. Proses penyaringan itu disebut juga evaluasi.
Proses evaluasi naskah (berlaku di 5 divisi tema yang ada) lamanya sebulan. Maksimal segitu. Paling cepat 5 menit. Di teenlit, ada beberapa jenis naskah yang sudah pasti tidak akan diterima, salah satunya puisi. Jadi saya tidak butuh berpikir panjang ketika naskah puisi masuk. Tidak perlu ada evaluasi, akan langsung ditolak.
Mengenai proses evaluasi akan sedikit saya bahas di sini. Poin-poin apa saja yang saya gunakan untuk mengukur kelayakan sebuah naskah.
1. Sinopsis
Bagi saya, sinopsis adalah pintu utama yang seharusnya tidak dipandang sebelah mata oleh setiap penulis yang mengirimkan naskah. Saya mengulas seputar sinopsis pada artikel ini. Saya menempatkan sinopsis sebagai bagian vital karena saya perlu tahu, naskah apa yang sedang saya hadapi, novelkah atau nonfiksi. Seorang penulis cerita yang baik, seharusnya tahu membuat sinopsis yang bagus. Asumsinya, jika seorang penulis mampu membuat cerita hingga ratusan halaman, mengapa tidak sanggup membuat ringkasan sebanyak 3 halaman spasi 2?
Tapi, saya perlu menekankan, evaluasi itu murni menekan pada naskah. Jika sinopsis tidak dibuat secara benar, tidak otomatis naskah akan saya tandai "tolak".
2. Tema
Tema naskah bisa dianalisis dari sinopsis. Tema yang sangat umum masuk ke meja saya tentu saja cinta, baru kemudian komedi, fantasi, horor, dan sebagainya. Setiap bulan, lebih dari 50 naskah yang terkirim via email. Maka, tidak menutup kemungkinan, beberapa naskah memiliki tema yang sama. Tentu saja saya tidak mungkin mengambil 2 naskah dengan tema sama. Untuk apa?
Maka dari itu, tema-tema unik sangat dibutuhkan. Boleh memakai cinta sebagai tema utama, tapi modifikasilah sedemikian mungkin. Cinta segitiga anak SMA itu sudah biasa, cinta yang kemudian putus lalu tidak bisa move on apalagi. Nah, ciptakan inovasi baru. Mengapa tidak membuat kisah cinta romance antara seorang lelaki yang matanya buta dengan seorang anak tukang sayur? Mengapa tokoh-tokohnya selalu digambarkan cantik dan ganteng seperti di sinetron? Seberapa persen sih manusia di muka bumi ini yang wajahnya bisa masuk sampul majalah? Saya jadi ingat perkataan si Pimred Gagasmedia, Windy Ariestanty, di twitternya pagi ini: Cerita yang tak lekang tak melulu lahir dari peristiwa besar. Ya, hal-hal kecil dalam kehidupan kita sebenarnya banyak yang jauh lebih menarik.
3. Cara penyajian
Di poin ini merupakan analisis yang paling besar porsinya. Lebih mudahnya saya bagi ke dalam 3 sub.
a. Penyajian kalimat
Saya mengambil sampel untuk dianalisis dari beberapa bab secara acak, dimulai dari bab 1, lalu saya akan scroll down ke bab tengah, lalu dua bab menjelang akhir. Saya ingin melihat apakah si penulis mampu menghadirkan kalimat secara baik. Mengingat buku-buku teenlit adalah untuk konsumsi remaja, maka sangat penting jika gaya bahasanya pun yang dipahami remaja. Penggunaan bahasa yang puitis tentu lebih cocok untuk para pencinta sastra serius. Di sisi lain, bahasa yang terlalu men-Jakarta juga tidak baik mengingat tidak semua remaja berbicara dengan logat itu. Kalimat yang terlalu berbelit-belit juga jadi pertimbangan utama. Ini hubungannya dengan proses editing yang memakan waktu lebih lama. Sebuah naskah teenlit idealnya hanya memerlukan waktu editing 3-5 hari. Lebih dari itu, pasti ada masalah di dalam naskah.
b. Typo
Naskah-naskah yang masuk ke redaksi teenlit bisa dibilang sebagian besar adalah dari para penulis baru. Banyak yang belum berpengalaman dalam menulis novel sehingga hal-hal sepele seperti salah ketik penggunaan huruf besar kecil. Menurut saya, seorang penulis sangat perlu tahu kaidah umum penulisan dalam bahasa Indonesia. Dengan banyak membaca novel, otomatis otak akan menyimpan pola-pola umum untuk kemudian diterapkan saat menulis. Akan lebih bagus lagi, jika penulis sebelumnya membaca novel-novel teenlit DIVA sehingga tahu betul bagaimana menulis dialog, kapan harus menggunakan enter, kapan harus enter dua kali untuk pergantian setting.
c. Penggunaan tanda baca
Tanda baca itu seperti bumbu dalam masakan, gunanya buat memperjelas ekspresi dari seorang tokoh. Tanda baca yang dipakai dalam novel, tidak pernah jauh-jauh dari titik, koma, tanda seru, dan tanda tanya. Untuk memudahkan dalam pemakaian tanda baca, coba lafalkan sehingga nada yang pas pun didapatkan. Pembaca pun juga tidak dibuat bingung dengan nada-nada yang tidak tepat.
4. Logika cerita
Cerita yang bagus adalah jika unsur logika cerita benar-benar terjaga. Logika cerita ini sering kali dianggap menjadi sesuatu yang menyulitkan penulis sehingga akhirnya memilih genre fantasi sebagai pelarian. Mohon diingat, dalam novel fantasi pun, logika cerita sama pentingnya. 
5. Pesan moral
Di saat sekolah dulu, ketika pelajaran bahasa Indonesia, ketika menganalisis sebuah cerita, salah satu poin yang juga perlu dicari adalah pesan moral atau amanat. Saya rasa, setiap karya besar yang mendunia, tidak ada yang luput dari hadirnya pesan moral. Pesan moral tidak perlu tersurat, karena pembaca tentunya bisa menemukan sendiri.

Pengambilan keputusan
Setelah evaluasi, saya akan membuat semacam lembar hasil analisis setiap karya. Isinya sederhana saya, seperti berikut:
Judul:
Tebal:
Ringkasan:
Kelebihan:
Kekurangan:
Rekomendasi:

Semuanya harus saya isi, termasuk merekomendasikan apakah ditolak atau diterima. Hasil ini kemudian saya serahkan kepada Direktur untuk dimintakan acc. Untuk naskah-naskah yang diterima, saya tidak mengisi kekurangannya, sebaliknya untuk naskah-naskah yang ditolak, kelebihannya akan saya kosongkan. Apa yang biasa saya isi di kolom kelebihan adalah: tema dan cerita oke, penyajian rapi. Untuk kekurangan bisa berupa: tema sudah biasa, ceritanya membosankan, typo, tanda baca, bahasa terlalu kaku, dll.
Selain opsi terima/tolak, bisa juga opsi revisi. Ini untuk naskah-naskah yang dari konten sudah bagus, tapi ada beberapa kekurangan yang masih bisa diperbaiki penulis. Penulis yang baik adalah yang bisa membuka kemungkinan untuk merevisi naskah. Kadar revisi itu bisa yang berupa revisi ringan, hingga sampai mengubah cerita di dalam novel. Jika penulis tidak bersedia, saya tentunya juga tidak akan memaksa. Itu sepenuhnya otoritas penulis.
Okeyy, jadi begitulah tahap-tahap evaluasi naskah yang saya lakukan setiap bulan. Cukup rumit, tapi ketika sudah berjalan, menjadi menyenangkan.
Mudah-mudahan bermanfaat dan semoga menjadi penyemangat bagi para penulis muda untuk menghasilkan karya-karya yang lebih baik.

Yogya di malam hari, 23 Juni 2013.
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال