Pertama kali kita bertemu, aku membencimu, dan semua orang di sini.
Mengapa uang tidak bisa membuatku lolos dari hukuman? Di mana kuasa Om Ryan? Katanya dia punya koneksi yang siap membelaku kapan saja. Lalu mengapa tetap saja keputusan hakim tidak berpihak padaku?
Aku memang tidak sendiri, bersama mereka. Inu dan Vena. Aku segera diamankan setelah hakim mengetukkan palu ke meja sidang. Kutendang kursi sekuat tenagaku hingga mengagetkan semua orang yang hadir dan menyaksikan aku positif sebagai tahanan.
"Ini selmu. Setiap pagi, semua sel di sini akan dibuka, lalu ditutup pukul sembilan malam. Ini jadwal harian dan giliran untuk piket per blok."
"Ngapain? Piket?"
Endang, nama sipir itu, menatapku. Hey aku bertanya soal piket. Memangnya ini sekolahan sampai harus ada piket segala? Dan ya ampun, selku kenapa sesempit ini? Ada dua ranjang? Jadi aku harus berbagi sel dengan orang lain? Dengan wastafel dan kloset duduk yang mulai berkerak.
"Jatah piket blokmu setiap hari Kamis di ruang laundry dan Minggu di halaman. Oh ya, kau berada di blok F, sel 3. Hafalkan, gedung ini sangat luas dan kau orang baru. Orang yang tinggal sel ini baru saja dipindahkan ke tahanan lain. Jadi untuk sementara kamu sendiri. Ketua di blok F adalah Helen, dia di sel 4. Masing-masing blok terdiri dari 5 kamar, 2 penghuni. Semua orang harus ikut piket."
"Tunggu dulu!"
"Ini seragammu, ada dua stel, dipakai setiap hari. Dilarang membawa HP atau alat komunikasi, gadget, dan lainnya. Sarapan setiap pukul tujuh, makan siang pukul dua belas, dan makan malam pukul tujuh. Ruang makan tadi sudah kita lewati, dua pintu setelah ruangan Sipir Kepala, Jika kamu membuat masalah, kamu akan dimasukkan ke Ruang Isolasi, minimal seminggu, tergantung seberat apa ulahmu."
"Terserah. Oh ya, teman-temanku di mana?"
"Maaf?"
"Yaelah, saya kan ditahan bertiga. Teman-teman saya mana?"
"Nanti kamu akan tahu. Dan tolong tidak membuat ulah macam-macam."
Sipir itu melenggang setelah melepaskan borgol di tanganku. Belum lama melangkah, ia berpapasan dengan seorang tahanan jangkung dengan kaus tank top putih bercelana panjang hijau. Seragam penjara ini. Memamerkan otot lengannya yang terbentuk karena latihan rutin. Mereka bercakap-cakap lalu pandangan keduanya mengarah padaku. Dingin cara dia memandangku. Sipir itu lalu meneruskan langkahku dan si jangkung melangkah ke arahku.
"Barbie namamu?"
"Iya. Kamu?"
"Helen. Ketua di blok F. Kamu sudah dijelaskan semua peraturan di blok ini?"
"Ya Tuhan peraturan apa lagi sih? Kamis di laundry dan Minggu di halaman. Nggak boleh bawa HP...."
"Bukan itu."
"Oke, lalu apa? Peraturan yang kamu buat sendiri? Dan aku harus patuh? Aku harus jadi pesuruh kamu?"
Pundakku lalu dicekal dari belakang. Kurasakan telapak tangan yang kasar menyentuhku. Ketika berbalik dan kulihat seorang tahanan dengan muka ndeso. Ada tahi lalat di sudut bibirnya. Tubuhnya pendek, gempal.
"Heh yang sopan kalau ngomong sama Helen!" Dia membentak dengan logat Jawa Timur yang medok lalu menjambak rambutku.
Aku jelas berontak diperlakukan seperti itu.
"Diem dulu! Masih kecil nggak ada sopan santun! Helen, biar gue yang jelasin sama kimchil satu ini. Aturan khusus di blok F. Dalam semua hal, jangan mendahului Helen. Makan, mandi, dan semuanya. Ngerti? Jangan ribut di saat Helen sedang istirahat. Jangan pernah masuk ke selnya Helen. Jangan memakai barang-barang Helen."
"Oke, ada lagi?" Selamat datang di area kediktatoran. Senioritas. Yang tua yang berkuasa. Cih!
Helen kemudian berlalu begitu saja. Masuk ke dalam selnya. Aku mengira sudah selesai, ternyata perempuan ini kembali mencekal pundakku.
"Kenapa kamu bisa masuk sini?"
"Lagi sial, ketangkep basah lagi pake heroin di mobil sama dua teman."
"Helen itu satu-satunya tahanan yang dihukum seumur hidup di sini. Dia berbahaya. Cari masalah dengannya, tanggung sendiri akibatnya. Paham?!"
Aku menelan ludah. Yang benar aja? Sebelah kamarku pembunuh? Setahuku penjara ini isinya tahanan kasus narkotika semua. Aku harus ngomong sama Om Ryan supaya pindah sel. Aku harus satu blok sama Inu dan Vena. Mana bisa aku tidur nyenyak kalau sewaktu-waktu Helen bisa menghabisiku? Tampangnya saja kayak gitu. Udah tangannya tatoan. Bener-bener deh, harus pindah!
Menghubungi Om Ryan tidak mudah. Fasilitas telepon umum hanya boleh digunakan pada jam-jam tertentu dan aku harus mendaftarkan nomornya dulu ke bagian Humas. Kantornya terletak di seberang gedung ini. Syukurlah hanya satu lantai, tidak seperti selku di lantai 3. Maklum saja blok A-J terletak di sana. Tidak ada lift. Dan tiap hari, rata-rata sepuluh kali aku harus naik turun. Termasuk untuk hang out dengan Inu dan Vina di blok I, lantai 1. Orang-orang di sini nggak ada yang asyik diajak ngobrol. Udah tua-tua semua. Dan mereka menatapku seperti mau memangsa. Hih!
"Silakan mengisi form ini, lalu ini, lalu ini." Si petugas dari Departemen Humas menyerahkan tiga lembar kertas yang kurasa harus kuisi semua. Bedebah birokrasi ini.
Dia meninggalkan ruangannya sejenak sementara aku mengisi lembar demi lembar. Dia kembali dengan setumpuk map, diletakkannya di sisi kanan meja kerjanya, menambah tinggi tumpukan map semula. Dia menerima lembaran yang sudah kuisi dan mengeceknya satu per satu.
"Oke, hanya ada dua nomor telepon yang bisa kamu daftarkan untuk bisa dihubungi selama kamu ditahan. Keduanya akan dimasukkan ke dalam sistem. Jika kamu menghubungi nomor lain, tidak akan pernah tersambungkan."
"Dua? Hey, mana cukup selama di sini aku hanya bisa teleponan dengan dua orang?"
"Maaf, sudah peraturan. Nomor-nomor mana yang bisa saya coret?"
Aku menuliskan sepuluh nomor. Itu pun yang kuingat. Sisanya harus kucek di HP yang sudah disita petugas saat memasuki tahanan ini. Ada birokrasi lagi untuk bisa menyentuh semua gadget-ku yang ditahan. Ah lain kali saja.
"Ryan Farhan dan ibuku. Yang ini dan ini."
Aku hanya bisa pasrah melihatnya mencoret nomor-nomor lain.
"Nomor mana ini?" Dia menunjukkan nomor telepon ibuku.
"Amerika. Semua keluargaku tinggal di sana."
"Maaf, hanya untuk panggilan lokal saja." Dia mencoret nomor ibuku tanpa perasaan. Mampus!
"Kalau kunjungan, apa juga dibatasi jumlahnya?" Aku bisa membayangkan betapa terisolasinya aku di sini. Ibuku tentu tidak bisa sering-sering datang mengunjungiku. Om Ryan satu-satunya orang yang kuharapkan akan rutin melihat keadaanku di sini.
"Setiap kunjungan hanya boleh tiga orang,.boleh siapa saja. Hanya setengah jam saja waktunya."
"Bagus deh. Jadi, kapan saya bisa memakai telepon umum?"
"Besok."
Kalau tidak ingat, setiap tindakan buruk yang kulakukan di sini akan memperberat hukumanku, sudah kulempar cangkir kopi ke mukanya. Hufft! Duh kenapa aku bisa ketangkep sih? Begooo!!! Berarti nanti malam aku masih tidur di sebelah sel pembunuh itu? Bagaimana kalau dia diam-diam punya lubang ke selku lalu membunuhku di saat aku tidur?
Tidaaakkk!!!
Inu dan Vena tidak berada satu blok denganku. Ketua mereka, Agnes, sedikit galak, tapi dia bukan pembunuh. Hanya bandar narkoba, seperti Sri, teman satu sel Helen. Sama tikus saja takut. Dan di depan Helen, dia tampak begitu hormat. Usianya lebih tua dari Helen. Helen mungkin sekitar tiga puluh tahun. Sampai sekarang, aku belum pernah melihat mukanya dengan jelas, selalu tertutup topi pet hitamnya. Dia selalu punya tatapan yang sama. Dingin. Tersenyum, tidak pernah padaku. Karena aku selalu menghindari berinteraksi dengannya. Dan kurasa, dia pun tidak menyukaiku.
"Kalau mau 'barang bagus', Kak Agnes jual`lho. Banyak pilihannya lagi." Inu memamerkan bungkusan putih di depan wajahku. Profesi bandar sepertinya tetap dilakoninya, dan konsumennya banyak.
"Dia selalu sedia 'barang', tapi pesan dia, gunakan dalam dosis rendah, biar nggak ketahuan. Dulu pernah ada yg sampai OD. Hampir aja petugas curiga ke Kak Agnes. Tapi nggak ada yang berani buka mulut. Backingnya kuat di luar sana."
Aku menoleh ke Vena. Mereka enak betul punya ketua yang pengertian seperti itu. Mereka tidak merasakan bagaimana seramnya berada di blok F. Aku meraih bungkusan berisi bubuk putih itu dari tangan Inu. "Ini buatku ya, nanti uangnya kukasih kalau Om Ryan sudah kemari."
"Beres."
Kami mengabiskan sisa waktu setelah makan siang halaman. Ada sebuah pohon rindang dengan akar besar menonjol untuk kami duduk. Inu menawarkan rokok. Kuambil. Seingatku, rokok pun termasuk barang yang terlarang, kenapa Inu bisa memilikinya? Dari Agnes?Apa syaratnya biar bisa memasukkan barang-barang terlarang ke dalam penjara ini? Aku seperti idiot, hidup tanpa HP. Rick, pacarku di New York, pasti mencemaskanku di sini.
"Eh, kalian sudah dapat giliran piket?"
"Yup, capek banget tuh. Tiap Rabu dan Jum'at itu kalau bisa, aku pingin ngumpet aja di toilet. Di ruang laundry itu sumpeknya bukan main, dan baju yang harus dicuci-meskipun dengan mesin-banyak banget. Dan bersihin halaman katanya juga bikin badan pegel semalaman." Inu melemparkan pandangannya, searah dengan pandanganku, Di kejauhan, aku melihat Helen bersama seorang tahanan dari blok J, seingatku itu seragam blok J, berciuman.
Sebentar... CIUMAN?! Aku melotot, itu memang adegan bibir ketemu bibir yang cukup jelas kulihat.
"Itu siapa sih?" tanyaku mau tahu. Aku belum banyak kenal orang-orang di sini.
"Tantriana, dari blok J sel 2. Yang paling seksi dan bikin Kak Agnes jatuh cinta. Hoho, tapi ternyata dia maunya sama Kak Helen." Vena geleng-geleng kepala.
Pandanganku masih ke sana. Tangan Helen bergerak mengusap pipi Tantriana. Mungkinkah dia menangis? Helen kemudian mendekap sembari mengelus punggungnya. Apa yang terjadi? Mengapa sepertinya mereka tengah menghadapi kesedihan?
"Aku dengar, Tantri besok akan menjalani tahanan kota. Mungkin itu perpisahan mereka." Inu mengangkat bahu.
Kamis. Hari pertama piketku. Helen menggiring kami ke ruang laundry di lantai 1 setelah sarapan. Masing-masing tahanan sudah tahu tugasnya, kecuali aku, Aku hanya berdiri dekat pintu menunggu perintah.
"Heh anak baru, itu pisahin selimut sama seprainya!" Sri memerintahku sambil menunjuk tumpukan tinggi selimut dan seprai kosong. Dia mendorongku sampai hampir terjerembab. Asem ni orang! Nggak bisa ya kalau nggak kasar?! Dan aku sendirian di bagian ini? Yang lain sudah ada yang menyeterika, menjahit jika ada yang sobek, sementara Kak Helen, eh, kok aku ikut-ikutan manggil "Kakak" sih? Hm, tapi kayaknya lebih enak kalau pakai "Kakak", kan dia udah tua. Sepuluh tahun selisihnya denganku.
"Cepetan kerjanya!" Lagi-lagi Sri mencerewetiku. Dia bertolak pinggang dengan angkuhnya di hadapanku, mengawasiku. Kenapa sih orang ini? Dia lalu mendekati Kak Helen dan berbicara sesuatu, Kak Helen tersenyum padanya. Aku bisa melihat lesung pipinya. Setelah senyum itu berakhir, dia menoleh ke arahku. Dengan tatapan: aku-siap-melahapmu-kapan-saja-kamu-lengah.
Sampai makan siang, kami berada di ruangan ini, mencuci begitu banyak seprai, selimut, sarung bantal, seragam-seragam kotor dari blok lain. Hadehhh! Tidak semua blok mendapatkan piket laundry. Sebagian lain ditugaskan di dapur untuk memasak. Itu tidak kalah beratnya. Ada sekitar seratus mulut yang tiap hari harus diberi makan. Ada pula yang ditugaskan piket mengepel lantai gedung ini. Pokoknya gedung ini menjadi tanggung jawab kami. Pihak penjara tidak mau membayar petugas untuk hal-hal itu.
Setelah piket, masih ada sedikit waktu untuk menelepon Om Ryan. Aku menggunakan sepuluh menit untuk memaksanya datang. Persetan dengan rapat di Gedung DPR yang sedang dijalaninya. Dia berjanji akan mengusahakan perpindahan sel. Lusa. Ya, dua hari lagi.
Aku kembali ke sel sebelum turun ke ruang makan. Semua pintu sel terbuka. Tidak ada yang menempati selnya. Dan tidak ada yang berani memasuki sel orang lain tanpa seizin penghuninya, terlebih sel Kak Helen. Itu aturan tak tertulis dan dipatuhi semua tahanan dari blok A-J. Aku sebenarnya sangat penasaran dengan isi sel Kak Helen.
Kepalaku celingukan. Aman. Mumpung tidak ada orang. Seingatku tadi, Kak Helen dan Sri sudah masuk ke ruang makan bersama yang lainnya. Mereka langsung dari ruangan laundry. Kakiku ragu untuk melangkah dari ambang pintu selnya. Seprai tempat tidurnya rapi. Dia di atas, dan Sri di ranjang bawah. Selimutnya juga rapi. Di meja, kulihat ada beberapa buku. Kurasa milik Kak Helen, Sri mana suka baca. Dia mungkin juga menjual narkoba ke tahanan lain seperti halnya tahanan lain.
"Kamu tidak seharusnya masuk ke sini."
Suara itu.... Mampus gue! Bukan suara Mbak Sri. Kakiku gemetar. Ketangkap basah. Jaraknya denganku tidak jauh, mungkin hanya tiga langkah. Langkahnya sama sekali tidak kudengar tadi. Itulah suara Kak Helen.
"Cari apa? Heroin? Tidak ada di sini."
Aku berbalik. Sosok jangkung itu tanpa topi yang menutupi wajahnya. Aku bisa melihat wajahnya, tatapannya selalu menusuk seperti biasa. Dia mungkin tidak menyukaiku. Terlebih aku sudah tak sopan melanggar batas privasinya. Dia meletakkan topi di tempat tidurnya lalu mencuci muka. Dalam ruangan sempit ini, dalam jarak begitu dekat, anehnya, aku tidak merasa takut padanya. Dia membelakangiku, tangannya memegang tepian wastafel. Membiarkan air menetes dari dagunya. Dia melihatku dari cermin. Lalu diambilnya handuk kecil yang tergantung di paku sebelah cermin, mengeringkan wajah.
"Aku dengar kamu ingin minta pindah." Dia mengenakan topi lalu meninggalkan selnya. Aku mengekor langkahnya, plus kaget. "Ada masalah? Ada yang ganggu kamu di sini?" Dia bicara tanpa menatapku.
"Ng... iya, Kak... Kak Helen." Pasti dari Kak Agnes, mungkin Inu atau Vena cerita padanya. Semoga tidak terlalu detail kalau aku takut pada ketuaku sendiri.
"Siapa? Kenapa? Kamu diganggu gimana?"
"Nggak, Kak, cuma kalau bisa, saya tinggal di lantai 1 saja."
"Di blok J tidak ada sel kosong."
"Tapi katanya ada yang akan keluar untuk tahanan kota."
Langkahnya berhenti.
"Apa yang kamu takutkan dariku hm? Ini blok yang paling aman buatmu, Barbie. Tapi jika kamu tetap memaksa untuk pindah, aku akan membantumu. Aku akan bicara dengan Sipir Kepala."
Aku menelan ludah. Sosok itu meneruskan langkahnya tanpa sedikit pun menoleh. Dia bilang ini blok yang paling aman? Tapi bagaimana aku bisa merasa nyaman kalau dia pernah menghilangkan sebuah nyawa dengan mudahnya?
Yogyakarta, 4 Mei 2014
Mengapa uang tidak bisa membuatku lolos dari hukuman? Di mana kuasa Om Ryan? Katanya dia punya koneksi yang siap membelaku kapan saja. Lalu mengapa tetap saja keputusan hakim tidak berpihak padaku?
Aku memang tidak sendiri, bersama mereka. Inu dan Vena. Aku segera diamankan setelah hakim mengetukkan palu ke meja sidang. Kutendang kursi sekuat tenagaku hingga mengagetkan semua orang yang hadir dan menyaksikan aku positif sebagai tahanan.
"Ini selmu. Setiap pagi, semua sel di sini akan dibuka, lalu ditutup pukul sembilan malam. Ini jadwal harian dan giliran untuk piket per blok."
"Ngapain? Piket?"
Endang, nama sipir itu, menatapku. Hey aku bertanya soal piket. Memangnya ini sekolahan sampai harus ada piket segala? Dan ya ampun, selku kenapa sesempit ini? Ada dua ranjang? Jadi aku harus berbagi sel dengan orang lain? Dengan wastafel dan kloset duduk yang mulai berkerak.
"Jatah piket blokmu setiap hari Kamis di ruang laundry dan Minggu di halaman. Oh ya, kau berada di blok F, sel 3. Hafalkan, gedung ini sangat luas dan kau orang baru. Orang yang tinggal sel ini baru saja dipindahkan ke tahanan lain. Jadi untuk sementara kamu sendiri. Ketua di blok F adalah Helen, dia di sel 4. Masing-masing blok terdiri dari 5 kamar, 2 penghuni. Semua orang harus ikut piket."
"Tunggu dulu!"
"Ini seragammu, ada dua stel, dipakai setiap hari. Dilarang membawa HP atau alat komunikasi, gadget, dan lainnya. Sarapan setiap pukul tujuh, makan siang pukul dua belas, dan makan malam pukul tujuh. Ruang makan tadi sudah kita lewati, dua pintu setelah ruangan Sipir Kepala, Jika kamu membuat masalah, kamu akan dimasukkan ke Ruang Isolasi, minimal seminggu, tergantung seberat apa ulahmu."
"Terserah. Oh ya, teman-temanku di mana?"
"Maaf?"
"Yaelah, saya kan ditahan bertiga. Teman-teman saya mana?"
"Nanti kamu akan tahu. Dan tolong tidak membuat ulah macam-macam."
Sipir itu melenggang setelah melepaskan borgol di tanganku. Belum lama melangkah, ia berpapasan dengan seorang tahanan jangkung dengan kaus tank top putih bercelana panjang hijau. Seragam penjara ini. Memamerkan otot lengannya yang terbentuk karena latihan rutin. Mereka bercakap-cakap lalu pandangan keduanya mengarah padaku. Dingin cara dia memandangku. Sipir itu lalu meneruskan langkahku dan si jangkung melangkah ke arahku.
"Barbie namamu?"
"Iya. Kamu?"
"Helen. Ketua di blok F. Kamu sudah dijelaskan semua peraturan di blok ini?"
"Ya Tuhan peraturan apa lagi sih? Kamis di laundry dan Minggu di halaman. Nggak boleh bawa HP...."
"Bukan itu."
"Oke, lalu apa? Peraturan yang kamu buat sendiri? Dan aku harus patuh? Aku harus jadi pesuruh kamu?"
Pundakku lalu dicekal dari belakang. Kurasakan telapak tangan yang kasar menyentuhku. Ketika berbalik dan kulihat seorang tahanan dengan muka ndeso. Ada tahi lalat di sudut bibirnya. Tubuhnya pendek, gempal.
"Heh yang sopan kalau ngomong sama Helen!" Dia membentak dengan logat Jawa Timur yang medok lalu menjambak rambutku.
Aku jelas berontak diperlakukan seperti itu.
"Diem dulu! Masih kecil nggak ada sopan santun! Helen, biar gue yang jelasin sama kimchil satu ini. Aturan khusus di blok F. Dalam semua hal, jangan mendahului Helen. Makan, mandi, dan semuanya. Ngerti? Jangan ribut di saat Helen sedang istirahat. Jangan pernah masuk ke selnya Helen. Jangan memakai barang-barang Helen."
"Oke, ada lagi?" Selamat datang di area kediktatoran. Senioritas. Yang tua yang berkuasa. Cih!
Helen kemudian berlalu begitu saja. Masuk ke dalam selnya. Aku mengira sudah selesai, ternyata perempuan ini kembali mencekal pundakku.
"Kenapa kamu bisa masuk sini?"
"Lagi sial, ketangkep basah lagi pake heroin di mobil sama dua teman."
"Helen itu satu-satunya tahanan yang dihukum seumur hidup di sini. Dia berbahaya. Cari masalah dengannya, tanggung sendiri akibatnya. Paham?!"
Aku menelan ludah. Yang benar aja? Sebelah kamarku pembunuh? Setahuku penjara ini isinya tahanan kasus narkotika semua. Aku harus ngomong sama Om Ryan supaya pindah sel. Aku harus satu blok sama Inu dan Vena. Mana bisa aku tidur nyenyak kalau sewaktu-waktu Helen bisa menghabisiku? Tampangnya saja kayak gitu. Udah tangannya tatoan. Bener-bener deh, harus pindah!
Menghubungi Om Ryan tidak mudah. Fasilitas telepon umum hanya boleh digunakan pada jam-jam tertentu dan aku harus mendaftarkan nomornya dulu ke bagian Humas. Kantornya terletak di seberang gedung ini. Syukurlah hanya satu lantai, tidak seperti selku di lantai 3. Maklum saja blok A-J terletak di sana. Tidak ada lift. Dan tiap hari, rata-rata sepuluh kali aku harus naik turun. Termasuk untuk hang out dengan Inu dan Vina di blok I, lantai 1. Orang-orang di sini nggak ada yang asyik diajak ngobrol. Udah tua-tua semua. Dan mereka menatapku seperti mau memangsa. Hih!
"Silakan mengisi form ini, lalu ini, lalu ini." Si petugas dari Departemen Humas menyerahkan tiga lembar kertas yang kurasa harus kuisi semua. Bedebah birokrasi ini.
Dia meninggalkan ruangannya sejenak sementara aku mengisi lembar demi lembar. Dia kembali dengan setumpuk map, diletakkannya di sisi kanan meja kerjanya, menambah tinggi tumpukan map semula. Dia menerima lembaran yang sudah kuisi dan mengeceknya satu per satu.
"Oke, hanya ada dua nomor telepon yang bisa kamu daftarkan untuk bisa dihubungi selama kamu ditahan. Keduanya akan dimasukkan ke dalam sistem. Jika kamu menghubungi nomor lain, tidak akan pernah tersambungkan."
"Dua? Hey, mana cukup selama di sini aku hanya bisa teleponan dengan dua orang?"
"Maaf, sudah peraturan. Nomor-nomor mana yang bisa saya coret?"
Aku menuliskan sepuluh nomor. Itu pun yang kuingat. Sisanya harus kucek di HP yang sudah disita petugas saat memasuki tahanan ini. Ada birokrasi lagi untuk bisa menyentuh semua gadget-ku yang ditahan. Ah lain kali saja.
"Ryan Farhan dan ibuku. Yang ini dan ini."
Aku hanya bisa pasrah melihatnya mencoret nomor-nomor lain.
"Nomor mana ini?" Dia menunjukkan nomor telepon ibuku.
"Amerika. Semua keluargaku tinggal di sana."
"Maaf, hanya untuk panggilan lokal saja." Dia mencoret nomor ibuku tanpa perasaan. Mampus!
"Kalau kunjungan, apa juga dibatasi jumlahnya?" Aku bisa membayangkan betapa terisolasinya aku di sini. Ibuku tentu tidak bisa sering-sering datang mengunjungiku. Om Ryan satu-satunya orang yang kuharapkan akan rutin melihat keadaanku di sini.
"Setiap kunjungan hanya boleh tiga orang,.boleh siapa saja. Hanya setengah jam saja waktunya."
"Bagus deh. Jadi, kapan saya bisa memakai telepon umum?"
"Besok."
Kalau tidak ingat, setiap tindakan buruk yang kulakukan di sini akan memperberat hukumanku, sudah kulempar cangkir kopi ke mukanya. Hufft! Duh kenapa aku bisa ketangkep sih? Begooo!!! Berarti nanti malam aku masih tidur di sebelah sel pembunuh itu? Bagaimana kalau dia diam-diam punya lubang ke selku lalu membunuhku di saat aku tidur?
Tidaaakkk!!!
Inu dan Vena tidak berada satu blok denganku. Ketua mereka, Agnes, sedikit galak, tapi dia bukan pembunuh. Hanya bandar narkoba, seperti Sri, teman satu sel Helen. Sama tikus saja takut. Dan di depan Helen, dia tampak begitu hormat. Usianya lebih tua dari Helen. Helen mungkin sekitar tiga puluh tahun. Sampai sekarang, aku belum pernah melihat mukanya dengan jelas, selalu tertutup topi pet hitamnya. Dia selalu punya tatapan yang sama. Dingin. Tersenyum, tidak pernah padaku. Karena aku selalu menghindari berinteraksi dengannya. Dan kurasa, dia pun tidak menyukaiku.
"Kalau mau 'barang bagus', Kak Agnes jual`lho. Banyak pilihannya lagi." Inu memamerkan bungkusan putih di depan wajahku. Profesi bandar sepertinya tetap dilakoninya, dan konsumennya banyak.
"Dia selalu sedia 'barang', tapi pesan dia, gunakan dalam dosis rendah, biar nggak ketahuan. Dulu pernah ada yg sampai OD. Hampir aja petugas curiga ke Kak Agnes. Tapi nggak ada yang berani buka mulut. Backingnya kuat di luar sana."
Aku menoleh ke Vena. Mereka enak betul punya ketua yang pengertian seperti itu. Mereka tidak merasakan bagaimana seramnya berada di blok F. Aku meraih bungkusan berisi bubuk putih itu dari tangan Inu. "Ini buatku ya, nanti uangnya kukasih kalau Om Ryan sudah kemari."
"Beres."
Kami mengabiskan sisa waktu setelah makan siang halaman. Ada sebuah pohon rindang dengan akar besar menonjol untuk kami duduk. Inu menawarkan rokok. Kuambil. Seingatku, rokok pun termasuk barang yang terlarang, kenapa Inu bisa memilikinya? Dari Agnes?Apa syaratnya biar bisa memasukkan barang-barang terlarang ke dalam penjara ini? Aku seperti idiot, hidup tanpa HP. Rick, pacarku di New York, pasti mencemaskanku di sini.
"Eh, kalian sudah dapat giliran piket?"
"Yup, capek banget tuh. Tiap Rabu dan Jum'at itu kalau bisa, aku pingin ngumpet aja di toilet. Di ruang laundry itu sumpeknya bukan main, dan baju yang harus dicuci-meskipun dengan mesin-banyak banget. Dan bersihin halaman katanya juga bikin badan pegel semalaman." Inu melemparkan pandangannya, searah dengan pandanganku, Di kejauhan, aku melihat Helen bersama seorang tahanan dari blok J, seingatku itu seragam blok J, berciuman.
Sebentar... CIUMAN?! Aku melotot, itu memang adegan bibir ketemu bibir yang cukup jelas kulihat.
"Itu siapa sih?" tanyaku mau tahu. Aku belum banyak kenal orang-orang di sini.
"Tantriana, dari blok J sel 2. Yang paling seksi dan bikin Kak Agnes jatuh cinta. Hoho, tapi ternyata dia maunya sama Kak Helen." Vena geleng-geleng kepala.
Pandanganku masih ke sana. Tangan Helen bergerak mengusap pipi Tantriana. Mungkinkah dia menangis? Helen kemudian mendekap sembari mengelus punggungnya. Apa yang terjadi? Mengapa sepertinya mereka tengah menghadapi kesedihan?
"Aku dengar, Tantri besok akan menjalani tahanan kota. Mungkin itu perpisahan mereka." Inu mengangkat bahu.
Kamis. Hari pertama piketku. Helen menggiring kami ke ruang laundry di lantai 1 setelah sarapan. Masing-masing tahanan sudah tahu tugasnya, kecuali aku, Aku hanya berdiri dekat pintu menunggu perintah.
"Heh anak baru, itu pisahin selimut sama seprainya!" Sri memerintahku sambil menunjuk tumpukan tinggi selimut dan seprai kosong. Dia mendorongku sampai hampir terjerembab. Asem ni orang! Nggak bisa ya kalau nggak kasar?! Dan aku sendirian di bagian ini? Yang lain sudah ada yang menyeterika, menjahit jika ada yang sobek, sementara Kak Helen, eh, kok aku ikut-ikutan manggil "Kakak" sih? Hm, tapi kayaknya lebih enak kalau pakai "Kakak", kan dia udah tua. Sepuluh tahun selisihnya denganku.
"Cepetan kerjanya!" Lagi-lagi Sri mencerewetiku. Dia bertolak pinggang dengan angkuhnya di hadapanku, mengawasiku. Kenapa sih orang ini? Dia lalu mendekati Kak Helen dan berbicara sesuatu, Kak Helen tersenyum padanya. Aku bisa melihat lesung pipinya. Setelah senyum itu berakhir, dia menoleh ke arahku. Dengan tatapan: aku-siap-melahapmu-kapan-saja-kamu-lengah.
Sampai makan siang, kami berada di ruangan ini, mencuci begitu banyak seprai, selimut, sarung bantal, seragam-seragam kotor dari blok lain. Hadehhh! Tidak semua blok mendapatkan piket laundry. Sebagian lain ditugaskan di dapur untuk memasak. Itu tidak kalah beratnya. Ada sekitar seratus mulut yang tiap hari harus diberi makan. Ada pula yang ditugaskan piket mengepel lantai gedung ini. Pokoknya gedung ini menjadi tanggung jawab kami. Pihak penjara tidak mau membayar petugas untuk hal-hal itu.
Setelah piket, masih ada sedikit waktu untuk menelepon Om Ryan. Aku menggunakan sepuluh menit untuk memaksanya datang. Persetan dengan rapat di Gedung DPR yang sedang dijalaninya. Dia berjanji akan mengusahakan perpindahan sel. Lusa. Ya, dua hari lagi.
Aku kembali ke sel sebelum turun ke ruang makan. Semua pintu sel terbuka. Tidak ada yang menempati selnya. Dan tidak ada yang berani memasuki sel orang lain tanpa seizin penghuninya, terlebih sel Kak Helen. Itu aturan tak tertulis dan dipatuhi semua tahanan dari blok A-J. Aku sebenarnya sangat penasaran dengan isi sel Kak Helen.
Kepalaku celingukan. Aman. Mumpung tidak ada orang. Seingatku tadi, Kak Helen dan Sri sudah masuk ke ruang makan bersama yang lainnya. Mereka langsung dari ruangan laundry. Kakiku ragu untuk melangkah dari ambang pintu selnya. Seprai tempat tidurnya rapi. Dia di atas, dan Sri di ranjang bawah. Selimutnya juga rapi. Di meja, kulihat ada beberapa buku. Kurasa milik Kak Helen, Sri mana suka baca. Dia mungkin juga menjual narkoba ke tahanan lain seperti halnya tahanan lain.
"Kamu tidak seharusnya masuk ke sini."
Suara itu.... Mampus gue! Bukan suara Mbak Sri. Kakiku gemetar. Ketangkap basah. Jaraknya denganku tidak jauh, mungkin hanya tiga langkah. Langkahnya sama sekali tidak kudengar tadi. Itulah suara Kak Helen.
"Cari apa? Heroin? Tidak ada di sini."
Aku berbalik. Sosok jangkung itu tanpa topi yang menutupi wajahnya. Aku bisa melihat wajahnya, tatapannya selalu menusuk seperti biasa. Dia mungkin tidak menyukaiku. Terlebih aku sudah tak sopan melanggar batas privasinya. Dia meletakkan topi di tempat tidurnya lalu mencuci muka. Dalam ruangan sempit ini, dalam jarak begitu dekat, anehnya, aku tidak merasa takut padanya. Dia membelakangiku, tangannya memegang tepian wastafel. Membiarkan air menetes dari dagunya. Dia melihatku dari cermin. Lalu diambilnya handuk kecil yang tergantung di paku sebelah cermin, mengeringkan wajah.
"Aku dengar kamu ingin minta pindah." Dia mengenakan topi lalu meninggalkan selnya. Aku mengekor langkahnya, plus kaget. "Ada masalah? Ada yang ganggu kamu di sini?" Dia bicara tanpa menatapku.
"Ng... iya, Kak... Kak Helen." Pasti dari Kak Agnes, mungkin Inu atau Vena cerita padanya. Semoga tidak terlalu detail kalau aku takut pada ketuaku sendiri.
"Siapa? Kenapa? Kamu diganggu gimana?"
"Nggak, Kak, cuma kalau bisa, saya tinggal di lantai 1 saja."
"Di blok J tidak ada sel kosong."
"Tapi katanya ada yang akan keluar untuk tahanan kota."
Langkahnya berhenti.
"Apa yang kamu takutkan dariku hm? Ini blok yang paling aman buatmu, Barbie. Tapi jika kamu tetap memaksa untuk pindah, aku akan membantumu. Aku akan bicara dengan Sipir Kepala."
Aku menelan ludah. Sosok itu meneruskan langkahnya tanpa sedikit pun menoleh. Dia bilang ini blok yang paling aman? Tapi bagaimana aku bisa merasa nyaman kalau dia pernah menghilangkan sebuah nyawa dengan mudahnya?
Yogyakarta, 4 Mei 2014
Tags
Fiksi