Sebuah tempat akan menjadi istimewa, tanpa perlu yang menghidangkan menu berbahan impor, dimasak oleh chef berpengalaman dengan pendapatan bulanan mencapai lima puluh juta setelah terpotong pajak. Tak perlu pula harus terletak di sebuah resor pribadi yang segalanya tak terjangkau tangan orang asing. Istimewa itu adalah ketika kita bisa melewati waktu hampir setengah hari di sebuah kedai kopi.
Kau ingat saat itu?
Aku masih ingat. Kecuali tanggalnya. Jika kau mencatatnya, tolong kasih tahu aku. Dan aku berjanji tidak akan melupakannya untuk yang kedua kali.
Kedai kopi yang sepi dan kau suka. Bentuknya seperti rumah dengan dinding kaca yang bening, dilap dengan rutin oleh si cleaning service. Jika dihitung, jumlah pegawai kedai kopi ini hanya lima. Tiga sebagai pelayan, salah satunya merangkap koki. Satu orang menjaga kasir, dia pun merangkap pelayan. Dan satu lagi cleaning service, seorang pria tak banyak omong yang wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu.
Kau selalu datang lebih dulu. Untuk menghabiskan dua batang rokok dan setengah gelas iced cappuccino andalan kedai ini. Gula cair tak berkurang dari wadah berbahan keramik menyerupai teko tapi mini. Kopi seninya ada pada rasa pahit yang menyisa lama di indra pengecap. Gula hanya akan menyamarkan estetika rasa yang sesungguhnya. Kopi yang manis tak ada bedanya dengan teh manis, susu manis, jus apel manis. Dan berbagai minuman manis lainnya. Kau ini takut gula atau apa?
Kau sudah menempati meja paling timur bernomor 1. Asbakmu sudah dihuni satu puntung rokok. Lagi tak berselera mengisap nikotin? Tak kutanyakan. Pertanyaan yang tidak berbobot dan tak akan kau jawab dengan jawaban sesungguhnya.
Tanganmu melambai ke arahku dengan bibirmu yang mengepulkan asap tipis mengucap tanpa suara: langsung pesen ya, Say. Acungan ibu jariku kau balas dengan satu senyuman ringan, dan nikotin kembali terisap kuat menuju paru-parumu.
Kedai kopi ini sebenarnya menyediakan sepuluh rasa gelato juga, dengan topping cokelat hingga irisan buah. Gelato original, bukan yang beberapa menit dibiarkan, langsung meleleh, tak ubahnya es krim yang dijual keliling dan lagu jingle-nya, sewaktu masih SD, sering aku dan teman-teman menyanyikannya jadi: Beli dong! Beli dong!
Di etalase, pastry western disusun berjejer, mulai dari macaroni schotel, red welvet, rainbow cake, brownies, muffin dengan topping almond, dan banyak lagi.
Seorang pelayan mendekat, berdiri di belakang etalase, melemparkan senyum. Kami tak pernah berkenalan, tapi name tag di seragamnya, terbaca jelas olehku. Dian. Huruf-huruf sama untuk namaku.
Kusebutkan iced chocolate lalu hendak membayar di kasir. Dia berkata, “Nanti dibayar sama mbak di meja nomor 1.”
Kebiasaanmu, memesan pada pelayan kedai kopi ini agar jangan ada yang membayar sendiri. Dompet kulit yang kubeli di Madinah dengan diskon setengah harga, dengan catatan rela digoda si penjual yang mengaku keturunan Indonesia begitu tahu negara asalku. Dan aku tak peduli. Dompet itu menarik perhatianku, tampak dari kulit asli meskipun aku bukan pakar yang bisa membedakan mana asli dan bukan.
Aku duduk di sampingmu, hingga leluasa melihat jalan, yang di siang hari lengang, sebagaimana malam harinya. Tanganmu mengibas pelan, agar asap rokokmu tak mengenai wajahku. Toh tetap terhirup.
Kami terdiam cukup lama. Bukan canggung, tapi kami suka hal itu. Diam dan terdiam. Kita sepakat menyukainya.
"Semalam punggung ini seperti mati rasa, padahal habis dipijat. Tadi pagi cek ke rumah sakit."
"Apa kata dokter?" Aku menggeser nomor meja ke tepi kananku tanpa tujuan. Tukang parkir mengangkat tangan pada seorang pengendara Vario putih berhelm hitam yang mengurangi kecepatan untuk menyelipkan kendaraannya di tengah-tengah SupraX 125R milikku dan satunya milik pengunjung lain. Pembeda motor kami hanyalah stiker angka 99 di bagian spakbor depan dan belakang.
"Kurang tidur."
"Kau tak pernah tidur."
"Tentu saja aku tidur! Jam lima pagi."
"Rezekimu selalu dipatuk ayam."
Kau mencibir. "Aku dikasih obat. Kurasa obat tidur. Jadi tidak kuminum."
"Bandel," gerutuku memancing tawamu.
Sejam kemudian, dua kawanmu datang dan membuatmu sibuk menggambar sesuatu di buku agendamu. Mereka memesan americano, yang tidak pernah kusukai sejak pertama kali mencicipinya, membuat dahiku mengernyit dengan kemurnian kopi di dalamnya.
Aku beranjak ke toilet sejenak. Dan begitu kembali, mereka bersiap-siap pergi.
"Aku baru beli tanah, dekat pantai."
"Mau bikin resor?"
"Hasyuh, nggak, lah! Di sana ada pondok, buat teman-teman kalau main ke sana."
"Kalau pacarmu datang juga akan kau ajak ke sana?" tanyaku dengan alis terangkat.
Kau mengisap rokok batang kelima dalam-dalam, mengembuskan asapnya dengan sedikit mendongak.
"Pondoknya mau kurenovasi, supaya cukup buat anak-anak kantor kalau main ke sana."
Kau selalu tidak pernah tertarik melibatkan seseorang yang sedang jauh dari dirimu. Tapi jika aku tak bertanya tentangnya, kau sendiri yang menyebut-nyebutnya. Aneh kau ini.
Sore beranjak, kami berdua tak beranjak. Kau minta tolong si tukang parkir membelikan dua bungkus Marlboro, kau banyak bertanya tentang kura-kura brazil yang kutemukan sekitar lima tahun lalu di depan rumahmu, tak bergerak, kau kira sudah mati dan ketika kuangkat dia bereaksi, lalu kau menyumbangkan nama Maya, gabungan nama kita berdua.
"Ada pejantan yang mau kukawinkan dengannya, seusia Maya, dan tidak galak."
"Lalu anaknya mau kau yang urus?" Kau meremehkan kelembutanku dalam merawat binatang? Hey, buktinya kura-kura itu suka padaku, dan bandingkan dengan bagaimana ia sebegitu galaknya padamu. Kau masih ingat gigitannya yang begitu kuat, kan, hingga kau pikir kulit telunjukmu sobek karenanya?
"Akan kucarikan tempat yang lebih besar nantinya."
"Pacarmu tak suka kura-kura itu."
"Aku tak peduli."
Lalu menjelang pukul tujuh, pacarmu menelepon dengan suaranya yang manja setengah merengek, berbumbu cemburu begitu tahu aku yang berada di sampingmu, di sebuah kafe sejak berjam-jam lalu. Dengan nada keibuan, kau menenangkannya, meyakinkannya bahwa antara kau dan aku hanya pertemanan saja.
Dia habiskan menit-menitmu dengan sikap kekanak-kanakannya sampai aku tak habis pikir, kenapa bisa dulu kau terima ia jadi kekasihmu? Usianya lebih muda dariku, dan kau mencubitku dengan kejam ketika kusebut dia sebagai objek eksperimen cinta kesekianmu yang selalu putus di tengah jalan. Hey akuilah, kau punya kepentingan di balik hubungan itu.
Kau tidak mencintainya, setidaknya itu yang kusimpulkan secara egois karena kau, tidak pernah dengan gamblang menjawab pertanyaan prinsipil yang seharusnya seorang kekasih simpan dan harus dikeluarkan jika ditanya oleh teman, keluarga, selingkuhan, atau siapa pun; kau cinta dia? Sikapmu hanya mengelak dan terus mengelak, membuat keningku terus berkerut melihatmu, apa arti hubungan yang sudah lam kau jalani itu? Seberapa lama kau akan bermain-main dengannya? Seberapa lama dia kuat kau permainkan? Dua pertanyaan yang rasanya aku harus sabar menunggu jawabannya muncul di saat kalian berdua sudah sama-sama lelah bermain-main.
“Ayolah, bahas yang lain.”
Kuturuti permintaanmu, ya karena perkara percintaanmu itu buntu. Lama sudah kita tidak bertemu, tiga setengah, empat, empat tahun kurasa kita tidak saling memberi kabar karena, kurasa bukan karena aku yang pura-pura tenggelam dengan pekerjaan, tapi kau yang, selalu berusaha menghilangkan jejak, mungkin?
Kau sebenarnya tahu, kenapa kita lama tidak bertemu karena temanmu yang satu ini menyimpan kemarahan luar biasa padamu dan ia simpan rapat-rapat, dipaksakannya untuk dilupakan dengan berbagai cara, dan butuh sekian tahun hingga benar terlupakan. Dan segalanya mengambang termakan waktu sehingga tanpa terasa kemarahan itu rupanya mengkristal dan tidak kunjung menguap ditelan perubahan musim. Aku menyebutmu dengan sebegitu banyak ungkapan kemarahan, dan tak pernah kuungkapkan karena seharusnya ada cara lebih kejam untuk bisa membuatmu sadar dalam seketika, Kawan, dan aku sempat menyesal menjadikanmu seseorang di posisi “kawan” dalam hidupku. Aku tidak pernah tahu siapa yang berbicara benar dan siapa yang menutupi kesalahan dengan kebenaran fana. Dia atau kau. Dia menyukaimu, terlihat dari caranya memanggilmu, dan dia ingin aku tahu hal itu. Dia membuat fantasinya sendiri tentangmu dan aku berakting semua itu hanya sampah yang tak perlu kudengarkan. Tapi tahukah kau, serapat-rapatnya telinga ini tertutup, aku tidaklah tuli? Dia terus membakarku dan aku tersenyum, tersenyum menuju kematian sebuah memori, tentang cinta.
Aku menduga, kau sengaja melakukan itu, mencuri perhatiannya, membuat ia tergila-gila padamu, di depan mataku. Mengapa kau begitu kejam, apa salahku padamu? Waktu itu pun aku belum lama mengenalmu, sebagai sosok yang mengagumkan, karismatik, sensual, dan misterius. Dan kesan itu kau hancurkan dengan begitu mudahnya, mengubah semuanya jadi bibit ketidaksukaan.
“Apa kabar dia?”
“Bukannya dia sering berkabar denganmu?”
“Dia pernah meneleponku sekali, bertemu denganku sekali, itu saja.”
“Sekali?”
Sebatang rokok yang baru kau nyalakan, pandanganmu aneh, lebih tepatnya tidak suka, mungkin pandanganku juga, aku butuh cermin untuk memastikan. Akhirnya sampai juga pada pembicaraan itu. Kau tahu, ingin membahasnya, hanya untuk menyelesaikan semua ini, menuntaskan praduga yang membunuh sarafku perlahan-lahan hingga jangan tanya selama beberapa tahun belakang berapa kali aku menjalin hubungan baru, tidak pernah, itu semua karena dampak negatif perbuatanmu. Aku trauma, kehilangan kekuatanku untuk bisa mempercayai orang lain, kehilangan segalanya, dan aku sepenuhnya remuk. Tak terobati. Tak pernah kuceritakan pada siapa pun, darah yang mengaliri tubuhku berganti warna hitam pekat karena begitu hebatnya racun sakit hati itu mencampuri jantungku, kubiarkan terus di sana, semakin memperpendek usiaku, aku tahu itu.
“Tak ada sesuatu yang istimewa di antara kami, dan syukurlah kau sudah tidak dengannya, dia tak baik buatmu.”
“Jadi kau bisa mengatur siapa yang baik dan tidak baik untukmu, atas dasar apa? Mendominasi....”
“Aku tidak berusaha mendominasi!” Hey kau marah? Aku berbicara sesuai kenyataan. Kau mendominasi, kau mengaturku! Kau bukan Tuhan!
“Aku bukan Tuhan,” ujarmu kalem.
Aku melirik meja-meja yang mulai dirapikan oleh pegawai kafe, sebentar lagi tutup. Hampir jam sebelas malam. Jalanan begitu sepi, seorang perempuan kurang waras dengan rambut bergelombang sebahu, melintas, melihat ke arah kita, sejak siang tadi sudah berapa kali ia melintas dari arah berlawanan, mau ke mana dan siapa dia?
“Kuantar kau pulang.”
“Kau baik.” Kutunggu kau menghabiskan rokok barulah kita beranjak. Lampu-lampu kafe sepenuhnya dimatikan ketika aku membawamu pergi. Aku perlu mengisi bensin setelah mengantarkanmu nanti. Aku menunggu lampu berganti hijau di perempatan Tugu, lampu sign menunjuk ke kanan, orang-orang ramai di Tugu, mengambil gambar meskipun hasilnya tidak begitu bagus, kita pernah mencobanya dengan kameramu yang bagus, hasilnya jelek, tapi orang-orang ini tidak peduli, mereka ingin mengabadikan kenangan, bukan gambar berkualitas bagus.
“Kabari kalau sudah sampai rumah.”
“Selamat malam, pagi maksudku.”
Kau menepuk pundakku lalu membuka pintu pagar, aku berbalik arah menuju pom bensin terdekat. Pukul 00.15. Selamat pagi..., jawabku kemudian, pada pagi yang masih belia.
Yogyakarta, 6 Agustus 2014
Kau ingat saat itu?
Aku masih ingat. Kecuali tanggalnya. Jika kau mencatatnya, tolong kasih tahu aku. Dan aku berjanji tidak akan melupakannya untuk yang kedua kali.
Kedai kopi yang sepi dan kau suka. Bentuknya seperti rumah dengan dinding kaca yang bening, dilap dengan rutin oleh si cleaning service. Jika dihitung, jumlah pegawai kedai kopi ini hanya lima. Tiga sebagai pelayan, salah satunya merangkap koki. Satu orang menjaga kasir, dia pun merangkap pelayan. Dan satu lagi cleaning service, seorang pria tak banyak omong yang wajahnya seperti menyembunyikan sesuatu.
Kau selalu datang lebih dulu. Untuk menghabiskan dua batang rokok dan setengah gelas iced cappuccino andalan kedai ini. Gula cair tak berkurang dari wadah berbahan keramik menyerupai teko tapi mini. Kopi seninya ada pada rasa pahit yang menyisa lama di indra pengecap. Gula hanya akan menyamarkan estetika rasa yang sesungguhnya. Kopi yang manis tak ada bedanya dengan teh manis, susu manis, jus apel manis. Dan berbagai minuman manis lainnya. Kau ini takut gula atau apa?
Kau sudah menempati meja paling timur bernomor 1. Asbakmu sudah dihuni satu puntung rokok. Lagi tak berselera mengisap nikotin? Tak kutanyakan. Pertanyaan yang tidak berbobot dan tak akan kau jawab dengan jawaban sesungguhnya.
Tanganmu melambai ke arahku dengan bibirmu yang mengepulkan asap tipis mengucap tanpa suara: langsung pesen ya, Say. Acungan ibu jariku kau balas dengan satu senyuman ringan, dan nikotin kembali terisap kuat menuju paru-parumu.
Kedai kopi ini sebenarnya menyediakan sepuluh rasa gelato juga, dengan topping cokelat hingga irisan buah. Gelato original, bukan yang beberapa menit dibiarkan, langsung meleleh, tak ubahnya es krim yang dijual keliling dan lagu jingle-nya, sewaktu masih SD, sering aku dan teman-teman menyanyikannya jadi: Beli dong! Beli dong!
Di etalase, pastry western disusun berjejer, mulai dari macaroni schotel, red welvet, rainbow cake, brownies, muffin dengan topping almond, dan banyak lagi.
Seorang pelayan mendekat, berdiri di belakang etalase, melemparkan senyum. Kami tak pernah berkenalan, tapi name tag di seragamnya, terbaca jelas olehku. Dian. Huruf-huruf sama untuk namaku.
Kusebutkan iced chocolate lalu hendak membayar di kasir. Dia berkata, “Nanti dibayar sama mbak di meja nomor 1.”
Kebiasaanmu, memesan pada pelayan kedai kopi ini agar jangan ada yang membayar sendiri. Dompet kulit yang kubeli di Madinah dengan diskon setengah harga, dengan catatan rela digoda si penjual yang mengaku keturunan Indonesia begitu tahu negara asalku. Dan aku tak peduli. Dompet itu menarik perhatianku, tampak dari kulit asli meskipun aku bukan pakar yang bisa membedakan mana asli dan bukan.
Aku duduk di sampingmu, hingga leluasa melihat jalan, yang di siang hari lengang, sebagaimana malam harinya. Tanganmu mengibas pelan, agar asap rokokmu tak mengenai wajahku. Toh tetap terhirup.
Kami terdiam cukup lama. Bukan canggung, tapi kami suka hal itu. Diam dan terdiam. Kita sepakat menyukainya.
"Semalam punggung ini seperti mati rasa, padahal habis dipijat. Tadi pagi cek ke rumah sakit."
"Apa kata dokter?" Aku menggeser nomor meja ke tepi kananku tanpa tujuan. Tukang parkir mengangkat tangan pada seorang pengendara Vario putih berhelm hitam yang mengurangi kecepatan untuk menyelipkan kendaraannya di tengah-tengah SupraX 125R milikku dan satunya milik pengunjung lain. Pembeda motor kami hanyalah stiker angka 99 di bagian spakbor depan dan belakang.
"Kurang tidur."
"Kau tak pernah tidur."
"Tentu saja aku tidur! Jam lima pagi."
"Rezekimu selalu dipatuk ayam."
Kau mencibir. "Aku dikasih obat. Kurasa obat tidur. Jadi tidak kuminum."
"Bandel," gerutuku memancing tawamu.
Sejam kemudian, dua kawanmu datang dan membuatmu sibuk menggambar sesuatu di buku agendamu. Mereka memesan americano, yang tidak pernah kusukai sejak pertama kali mencicipinya, membuat dahiku mengernyit dengan kemurnian kopi di dalamnya.
Aku beranjak ke toilet sejenak. Dan begitu kembali, mereka bersiap-siap pergi.
"Aku baru beli tanah, dekat pantai."
"Mau bikin resor?"
"Hasyuh, nggak, lah! Di sana ada pondok, buat teman-teman kalau main ke sana."
"Kalau pacarmu datang juga akan kau ajak ke sana?" tanyaku dengan alis terangkat.
Kau mengisap rokok batang kelima dalam-dalam, mengembuskan asapnya dengan sedikit mendongak.
"Pondoknya mau kurenovasi, supaya cukup buat anak-anak kantor kalau main ke sana."
Kau selalu tidak pernah tertarik melibatkan seseorang yang sedang jauh dari dirimu. Tapi jika aku tak bertanya tentangnya, kau sendiri yang menyebut-nyebutnya. Aneh kau ini.
Sore beranjak, kami berdua tak beranjak. Kau minta tolong si tukang parkir membelikan dua bungkus Marlboro, kau banyak bertanya tentang kura-kura brazil yang kutemukan sekitar lima tahun lalu di depan rumahmu, tak bergerak, kau kira sudah mati dan ketika kuangkat dia bereaksi, lalu kau menyumbangkan nama Maya, gabungan nama kita berdua.
"Ada pejantan yang mau kukawinkan dengannya, seusia Maya, dan tidak galak."
"Lalu anaknya mau kau yang urus?" Kau meremehkan kelembutanku dalam merawat binatang? Hey, buktinya kura-kura itu suka padaku, dan bandingkan dengan bagaimana ia sebegitu galaknya padamu. Kau masih ingat gigitannya yang begitu kuat, kan, hingga kau pikir kulit telunjukmu sobek karenanya?
"Akan kucarikan tempat yang lebih besar nantinya."
"Pacarmu tak suka kura-kura itu."
"Aku tak peduli."
Lalu menjelang pukul tujuh, pacarmu menelepon dengan suaranya yang manja setengah merengek, berbumbu cemburu begitu tahu aku yang berada di sampingmu, di sebuah kafe sejak berjam-jam lalu. Dengan nada keibuan, kau menenangkannya, meyakinkannya bahwa antara kau dan aku hanya pertemanan saja.
Dia habiskan menit-menitmu dengan sikap kekanak-kanakannya sampai aku tak habis pikir, kenapa bisa dulu kau terima ia jadi kekasihmu? Usianya lebih muda dariku, dan kau mencubitku dengan kejam ketika kusebut dia sebagai objek eksperimen cinta kesekianmu yang selalu putus di tengah jalan. Hey akuilah, kau punya kepentingan di balik hubungan itu.
Kau tidak mencintainya, setidaknya itu yang kusimpulkan secara egois karena kau, tidak pernah dengan gamblang menjawab pertanyaan prinsipil yang seharusnya seorang kekasih simpan dan harus dikeluarkan jika ditanya oleh teman, keluarga, selingkuhan, atau siapa pun; kau cinta dia? Sikapmu hanya mengelak dan terus mengelak, membuat keningku terus berkerut melihatmu, apa arti hubungan yang sudah lam kau jalani itu? Seberapa lama kau akan bermain-main dengannya? Seberapa lama dia kuat kau permainkan? Dua pertanyaan yang rasanya aku harus sabar menunggu jawabannya muncul di saat kalian berdua sudah sama-sama lelah bermain-main.
“Ayolah, bahas yang lain.”
Kuturuti permintaanmu, ya karena perkara percintaanmu itu buntu. Lama sudah kita tidak bertemu, tiga setengah, empat, empat tahun kurasa kita tidak saling memberi kabar karena, kurasa bukan karena aku yang pura-pura tenggelam dengan pekerjaan, tapi kau yang, selalu berusaha menghilangkan jejak, mungkin?
Kau sebenarnya tahu, kenapa kita lama tidak bertemu karena temanmu yang satu ini menyimpan kemarahan luar biasa padamu dan ia simpan rapat-rapat, dipaksakannya untuk dilupakan dengan berbagai cara, dan butuh sekian tahun hingga benar terlupakan. Dan segalanya mengambang termakan waktu sehingga tanpa terasa kemarahan itu rupanya mengkristal dan tidak kunjung menguap ditelan perubahan musim. Aku menyebutmu dengan sebegitu banyak ungkapan kemarahan, dan tak pernah kuungkapkan karena seharusnya ada cara lebih kejam untuk bisa membuatmu sadar dalam seketika, Kawan, dan aku sempat menyesal menjadikanmu seseorang di posisi “kawan” dalam hidupku. Aku tidak pernah tahu siapa yang berbicara benar dan siapa yang menutupi kesalahan dengan kebenaran fana. Dia atau kau. Dia menyukaimu, terlihat dari caranya memanggilmu, dan dia ingin aku tahu hal itu. Dia membuat fantasinya sendiri tentangmu dan aku berakting semua itu hanya sampah yang tak perlu kudengarkan. Tapi tahukah kau, serapat-rapatnya telinga ini tertutup, aku tidaklah tuli? Dia terus membakarku dan aku tersenyum, tersenyum menuju kematian sebuah memori, tentang cinta.
Aku menduga, kau sengaja melakukan itu, mencuri perhatiannya, membuat ia tergila-gila padamu, di depan mataku. Mengapa kau begitu kejam, apa salahku padamu? Waktu itu pun aku belum lama mengenalmu, sebagai sosok yang mengagumkan, karismatik, sensual, dan misterius. Dan kesan itu kau hancurkan dengan begitu mudahnya, mengubah semuanya jadi bibit ketidaksukaan.
“Apa kabar dia?”
“Bukannya dia sering berkabar denganmu?”
“Dia pernah meneleponku sekali, bertemu denganku sekali, itu saja.”
“Sekali?”
Sebatang rokok yang baru kau nyalakan, pandanganmu aneh, lebih tepatnya tidak suka, mungkin pandanganku juga, aku butuh cermin untuk memastikan. Akhirnya sampai juga pada pembicaraan itu. Kau tahu, ingin membahasnya, hanya untuk menyelesaikan semua ini, menuntaskan praduga yang membunuh sarafku perlahan-lahan hingga jangan tanya selama beberapa tahun belakang berapa kali aku menjalin hubungan baru, tidak pernah, itu semua karena dampak negatif perbuatanmu. Aku trauma, kehilangan kekuatanku untuk bisa mempercayai orang lain, kehilangan segalanya, dan aku sepenuhnya remuk. Tak terobati. Tak pernah kuceritakan pada siapa pun, darah yang mengaliri tubuhku berganti warna hitam pekat karena begitu hebatnya racun sakit hati itu mencampuri jantungku, kubiarkan terus di sana, semakin memperpendek usiaku, aku tahu itu.
“Tak ada sesuatu yang istimewa di antara kami, dan syukurlah kau sudah tidak dengannya, dia tak baik buatmu.”
“Jadi kau bisa mengatur siapa yang baik dan tidak baik untukmu, atas dasar apa? Mendominasi....”
“Aku tidak berusaha mendominasi!” Hey kau marah? Aku berbicara sesuai kenyataan. Kau mendominasi, kau mengaturku! Kau bukan Tuhan!
“Aku bukan Tuhan,” ujarmu kalem.
Aku melirik meja-meja yang mulai dirapikan oleh pegawai kafe, sebentar lagi tutup. Hampir jam sebelas malam. Jalanan begitu sepi, seorang perempuan kurang waras dengan rambut bergelombang sebahu, melintas, melihat ke arah kita, sejak siang tadi sudah berapa kali ia melintas dari arah berlawanan, mau ke mana dan siapa dia?
“Kuantar kau pulang.”
“Kau baik.” Kutunggu kau menghabiskan rokok barulah kita beranjak. Lampu-lampu kafe sepenuhnya dimatikan ketika aku membawamu pergi. Aku perlu mengisi bensin setelah mengantarkanmu nanti. Aku menunggu lampu berganti hijau di perempatan Tugu, lampu sign menunjuk ke kanan, orang-orang ramai di Tugu, mengambil gambar meskipun hasilnya tidak begitu bagus, kita pernah mencobanya dengan kameramu yang bagus, hasilnya jelek, tapi orang-orang ini tidak peduli, mereka ingin mengabadikan kenangan, bukan gambar berkualitas bagus.
“Kabari kalau sudah sampai rumah.”
“Selamat malam, pagi maksudku.”
Kau menepuk pundakku lalu membuka pintu pagar, aku berbalik arah menuju pom bensin terdekat. Pukul 00.15. Selamat pagi..., jawabku kemudian, pada pagi yang masih belia.
Yogyakarta, 6 Agustus 2014
Tags
Fiksi