Kucing

Deretan angka yang tertera di layar kalkulator tua, enam juta enam ratus ribu, mengundang helaan napas berat pria itu—si pemilik alis yang kerap berkerut-kerut dan senyuman yang begitu gersang di wajahnya, di dini hari yang beku. Lima hari lagi, uang itu harus ada di tangannya, untuk diserahkan pada pemilik rumah kontrakan, atau dia harus angkat kaki dengan sangat berat dari kontrakan mungil di daerah Banguntapan, masuk Kabupaten Bantul, walaupun tidak jauh dari Gembiraloka.

Masalahnya, sisa uang di tabungannya tinggal dua ratus ribu. Honor tulisannya dari koran belum juga ditransfer. Tidak ada dayanya untuk menagih, karena aturannya baru tiga minggu lagi bisa cair. Disesalinya juga kebaikan hati meminjamkan uang pada adiknya yang merengek-rengek ingin punya ponsel pintar berlogo buah yang tergigit. Padahal apalah guna barang mahal untuk anak kelas 1 SMA. Paling hanya untuk facebook atau twitteran. Ponselnya sendiri tak canggih, dibelinya pun sudah tangan kedua, casingnya sudah banyak lecetnya, belasan kali terbanting dari atas meja kerjanya karena tersenggol atau terselip di antara tumpukan koran.

Ah, tapi apa salahnya membuat adik bungsunya yang tinggal di desa itu senang, memamerkan ponsel yang katanya bisa dibengkokkan agar pas di saku? Ah ada-ada saja.

Uang enam juta sekian itu dicarinya di mana? Teman-temannya kebanyakan enggan meminjamkan lagi uang padanya. Utangnya sendiri banyak yang belum dicicil. Salahnya juga punya kontrakan semahal itu. Tidak, tidak begitu mahal. Murah bahkan, untuk ukuran di pinggiran kota Yogyakarta. Makannya sehari-hari tidak mahal. Bukan Yogya namanya kalau bikin perut kenyang harus keluar sampai dua puluh ribu. Dia mulai mencari strategi ketika uang untuk mengisap tembakau linting sudah makin menipis. Mana ada Marlboro, ganti saja dengan Bintang Buana ketika bibir sudah teramat pahit.

Bruum!

Kepalanya melongok ke jendela. Mazda3 putih berhenti, lampu depannya dimatikan. Dua orang duduk di jok depan, berbicara sesuatu, berciuman, lalu yang di jok sebelah kanan keluar dan melambaikan tangan. Mobil itu berlalu dengan suara bruum yang lebih halus.

Diperhatikannya sosok itu masuk ke dalam rumah sebelah, dengan jalan tidak tegap hampir-hampir mau jatuh, mencari-cari kunci rumah, kunci itu jatuh, dipungutnya, dicobanya memasukkan ke lubang kunci, gagal, dicobanya lagi, gagal, yang kelima kali baru berhasil. Sarafnya ditidurkan sejenak oleh tunggakan demi tenggakan White Russian di pesta privat temannya. Alas sepatunya agak licin ketika masuk ke dalam rumah, hampir saja terpeleset. Si pengintip menutup jendelanya kembali dengan malas. Tak perlu dirasanya menunggu tetangga sebelah mematikan lampu.

Dia merenung dengan dagu bertopang. Tetangganya pun bukan pekerja kantoran seperti dirinya. Tapi lembaran-lembaran uang mudah saja masuk tersulap hadir di hadapannya. Jam kerjanya hanya sesaat, mulai pukul sebelas sampai dua dini hari, tidak ada apa-apanya dibandingkan dirinya yang harus berjam-jam untuk menulis hanya untuk menyelesaikan sebuah cerpen atau opini.

Si tetangga sebelah, pagi hari dia tidur, menghilangkan lelah dan racun alkohol yang berenang gaya bebas di aliran darahnya—cepat dan melelahkan. Kerjanya sangat mudah, hanya menawarkan bokong untuk memuaskan pejantan-pejantan di klub malam. Tarifnya sudah tetap, bisa ditawar tapi tidak terlalu jauh dari standar. Harga deal, tinggal eksekusinya.

Dia merengut, tersenyum masam membandingkan dirinya dengan si tetangga sebelah yang bergelimang harta. Manalah pernah pusing dengan perkara uang kontrakan yang tidak boleh menunggak meski sehari. Maka dua hari kemudian, datanglah si dia ke rumah tetangganya saat jam makan siang orang kantoran, ketika lima menit di bawah terik matahari akan menyebabkan kulit main gelap dua level.

Biasanya, si tetangga sebelah sudah mulai melek dan berberes rumah. Si tetangga sebelah—tapi jika kau bosan dengan sebutan itu—panggil saja Rhino, tapi jangan bayangkan tampangnya mirip seorang DJ dengan karisma mematikan ketika sibuk dengan turn table sekaligus siaran di Geronimo FM. Lelaki bersinglet dan celana boxer cokelat itu membukakan pintu, menyilakan duduk, membuatkan es teh manis, menyajikan kue-kue mentega dalam toples, dan menanyakan kabarnya. Mereka tidak berkenalan, toh sudah bertetangga lama tapi tidak akrab karena… suatu alasan.

Takut terlalu bertele-tele, dia pun menceritakan kebutuhannya pada Rhino. Seperlunya, tidak panjang, agak lebar.

“Hendak meminjam uang maksudmu kemari?” Rhino yang loyal sudah siap beranjak ke kamar, mengambil uang simpanan di bawah tempat tidur, yang disisihkan selain yang masuk ke dalam rekening bank BCA-nya, untuk persiapan jalan-jalan keliling Eropa tahun depan, bersama pacar gelapnya, lelaki negro bernama Smith.

“Bukan, bukan itu maksudku. Kumohon duduklah,” cegah dia cepat-cepat. Ragu-ragunya seperti bangkai yang harus ditutupi tanah sebaik mungkin agar tidak menyebarkan bau busuk beberapa hari kemudian. Kepalanya terkulai, lantai membalas tatapannya yang nanar, lantai tak dapat bicara, tapi seolah kepada lantailah dia berkata, “Aku ingin jadi kucing.”

Rhino terbahak, menggeleng-geleng, mengibas-ngibaskan tangannya di depan wajah, garuk-garuk kepala, lalu menarik napas panjang. “Kau tak ada tampang jadi kucing, lihat rambutmu, disisir pun kurasa jarang, tidak pernah kau creambath? Tidak, tidak, lebih baik rambutmu pendek. Lalu wajahmu, bercukurmu asal-asalan, jenggotmu pun kayak penceramah di televisi. Pakaianmu, kau sudah mandi? Kau tahu yang namanya deodorant dan parfum? Lihat aku baik-baik.” Rhino mengomentari penampilan jauh dari standar yang ada dan menutupnya dengan membuang muka sekilas ke arah dapur.

Rhino punya lengan yang tidak bergelambir, bahunya pas untuk lelaki mellow yang ingin bersandar di sana sambil mengelus-elus punggungnya yang tegap bak prajurit muda. Jangan mencari sehelai rambut pun di dada, ketiak, dan area bawah perutnya, rutin di salon langganannya rambut-rambut itu dicabut sampai ke akar. Tubuhnya beraroma eksklusif. Inilah bisnis portable termahal yang oleh pemerintah disikapi dari dua sisi, terlarang tapi menjanjikan. Banyak yang ingin sebuah lokalisasi pelacuran ditutup, tapi tidak kalah banyak dengan mereka yang takut kehilangan pemasukan. Polisi, pemerintah, yang mendukung dan menolak bercampur baur.
Dia didandani. Rhino membawanya ke salon, memodalinya untuk memulai karier sebagai kucing, gigolo, PSK, apa pun namanya. Seharian mengubah lelaki yang berpenampilan seniman acak adut, menjadi rupa model yang siap bermain ranjang. Rhino bersiul puas, menurutnya, tetangganya tidak terlalu buruk rupa. Dia pun mengagumi dirinya sendiri.

“Untuk yang pertama kali, pasang tarif dua ratus dulu.” Rhino membekali dia dengan sejumlah hal sebelum terjun ke “dunia kerja” para kucing.

“Pakai pengaman?” Dia kemudian mengajukan pertanyaan standar calon kucing baru yang akan dimasukinya mulai nanti malam.

Rhino mengangkat alis. Ini seperti dirinya dahulu yang minta diajari menjadi kucing sekitar empat silam. Semua harus detail dijelaskan. “Kau yang siapkan, harus pakai, paksa, sebutkan itu sebelum deal. Nanti kita mampir di Alfamart, cari yang murah, agak tipis memang. Nanti kupinjamkan lubricant. Oh ya, kau sudah pernah main dengan laki-laki?”

Dia hampir berubah pikiran, jika tidak teringat enam juta sekian yang harus disediakannya dalam waktu singkat. Rhino mengajarkannya cara kerja seorang kucing, dan rasanya untuk pertama kali sakit sekali. Karena mereka langsung praktik saat itu juga. Rhino meyakinkannya. “Berikut-berikutnya juga sakit, tapi dibawa enak saja. Kalau klienmu suka, sejuta pun sehari bisa. Bokongmu lumayan. Kalau nanti uangmu masih kurang, biar kupinjamkan, tinggal cicil saja per bulan.” Rhino menaikkan ritsletingnya kembali sementara dia masih tengkurap di ranjang dengan napas tersengal-segal.

Dia memulai hari pertamanya dengan payah, hanya satu klien, itu pun anak SMA, yang menawar harga sampai seratus lima puluh ribu. Dia pulang ke rumah, mandi, lalu tidur. Dia tidak mendengar kapan Rhino pulang. Tidur dengan posisi tengkurap, bokongnya perih. Tidak ada nikmatnya sama sekali. Pakai pelumas masih saja terasa sakit.

“Tidak coba dengan perempuan?” tanya Rhino keesokan harinya. “Biasanya sudah berumur, tapi jika Dewi Fortuna di belakangmu, segepok uang bisa dibayarkannya. Aku pun juga main dengan perempuan. Tapi sekarang agak jarang. Bosan.”

Dia menimbang-nimbang. Begitu-begitu, dia masih setia dengan istrinya di kampung, meski kata dokter tidak bisa memberikannya anak. Keberadaannya di kota adalah mencari kehidupan lain, ketimbang hanya menjajakan hasil anyaman dari rumah ke rumah. Berapalah harga sebuah topi caping atau keranjang sampah. Honor menulisnya jauh lebih besar, tapi menulis pun juga terkadang tersendat. Dia punya vertigo, kalau kambuh, payahlah dia untuk menuangkan ide.

“Tidak, tidak dengan perempuan,” putusnya saat itu juga.

Di kampung, dia bernama Dodi, kini dikenal dengan nama Darren. Kucing yang sudah punya jam terbang tinggi, simpanan seorang pejabat dewan gaek. Sudah ada rumah dan mobil dari si pejabat mesum itu atas nama Dodi, untuk mengikatnya dari pemburu kucing di luar sana. Ah, tapi bukanlah Darren yang punya jam terbang tinggi jika jadi kacang yang lupa pada kulitnya. Pada Rhino. Sang guru yang membantunya melunasi utang kontrakan, menyelamatkannya di saat-saat terakhir. Sukarela dia memberikan tubuhnya pada lelaki muda itu sebagai ucapan terima kasih, terlebih merasakan jika Rhino memperlakukannya sebagai manusia yang ingin disayangi. Mulai dari situ, satu perkara terselesaikan, dan dimulainya perkara-perkara lain. Hanya Tuhan yang tahu ujungnya akan seperti apa.


Yogyakarta, 21 Oktober 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post