Beberapa bulan lalu, seorang mahasiswa S2 Komunikasi UGM meminta saya untuk menjadi salah satu responden untuk tesis yang sedang ia kerjakan. Ia menemukan saya dari resensi buku Pengakuan Eks Parasit Lajang karangan Ayu Utami yang saya publish di blog ini. Saya tidak berpikir terlalu panjang untuk mempertimbangkan apakah akan menerima atau tidak, sebab sama sekali tidak ada gambaran. Lagi pula apa salahnya membantu sebuah penelitian akademik seperti ini? Kami kemudian berkenalan lebih lanjut via email dan baru benar-benar bertemu seminggu lalu.

Kami janji ketemuan lagi untuk memulai proses wawancara. Untuk memperkuat jawaban-jawaban saya, buku Pengakuan Eks Parasit Lajang saya baca kembali. Penelitian Mbak Meike ini berkaitan dengan teori resepsi pembaca. Dia memilih 6 responden 3 laki-laki dan 3 perempuan untuk digali lebih dalam pendapat masing-masing setelah membaca buku tersebut.
Mbak Meike mengajukan pertanyaan mulai dari hal-hal yang di luar teks dan lebih ke pribadi barulah memasuki teks itu sendiri. Wawancara secara garis besar ingin mengerucut kepada seberapa mendukungnya responden terhadap pemikiran Ayu Utami yang disampaikan dalam karyanya. Yang sudah pernah membaca buku ini, pasti paham bahwa Ayu Utami adalah salah satu penulis perempuan yang menolak dua sistem nilai yang ada di Indonesia, yaitu perkara keperawanan dan pernikahan, karena pertimbangan bahwa pernikahan adalah konstruksi yang akan membuat perempuan bergantung pada laki-laki.
Dalam hal ini, saya tidak terganggu dengan apa pun yang ada dalam pemikiran Ayu Utami. Bukankah orang bebas untuk memilih? Saya bukan orang yang anti dengan pernikahan, meski saya belum menikah. Saya sama sekali tidak punya alasan untuk punya pandangan ekstrem negatif terhadap pernikahan yang jelas-jelas bukan bentukan kultur tertentu. Pernikahan dalam pandangan agama Ayu Utami yang Katolik dan saya yang masih berislam adalah kurang lebih sama. Mengikat dua manusia ke dalam satu pertalian suci. Dengan menikah maka seseorang akan setia pada satu pasangan (jika dia tidak tergoda untuk poligami maupun poliandri). Teman-teman saya yang menikah tidak pernah mengeluhkan dirinya diperlakukan seperti golongan kelas dua oleh suaminya. Bahkan tidak jarang saya mendengar suami mereka tidak malu untuk mencuci baju, menyetrika, mengasuh anak, dan sebagainya di saat sang istri bekerja.
Mungkin perkara keperawanan itulah yang saya sepakat dengan dia. Keperawanan yang ditandai dengan utuhnya selaput dara, bagi sebagian masyarakat kita merupakan jaminan bahwa perempuan itu masih suci. Jika segel bawaan lahir itu robek, maka Anda otomatis dianggap pezina. Itu bagi masyarakat yang kurang banyak membaca referensi bahwa robeknya selaput dara tidak selalu ditandai dengan darah. Dan juga, selaput dara benar-benar benda tipis yang bisa robek dengan banyak cara, bahkan olahraga sekalipun. Atau mungkin naik motor juga seperti saya. Ada pula selaput dara yang baru robek ketika si perempuan akan melahirkan. Ya, saya tidak begitu ambil pusing dengan keperawanan seperti saya tidak pedulinya seorang lelaki masih perjaka atau tidak. Apa gunanya perjaka jika suka memukuli perempuan?
Toh pada akhirnya Ayu memilih menikah secara agama, masuk ke dalam sebuah konstruksi yang selama berpuluh-puluh tahun dia tentang dengan alasan menuntut kesetaraan gender, sebuah level yang mungkin sebelum menikah jarang ia lihat. Atau sebenarnya mau setara seperti apa sih sebenarnya perempuan dan lelaki itu? Apakah masing-masing feminis punya pencapaian yang sama mengenai kesetaraan gender? Ah sudahlah, tidak penting dibahas.
Bagi saya, pernikahan itu bukan sebuah kekalahan di pihak Ayu karena dia hanya punya pandangan berbeda dari masyarakat kebanyakan. Pada dasarnya Tuhan tidak pernah membedakan umatnya dari jenis kelamin, melainkan ibadahnya selama hidup kan? Buat saya, cukup itu dan mari menjalankan tugas di muka bumi ini seperti seharusnya dan sesuai porsinya masing-masing.
Buat Mbak Meike, semoga tesisnya selesai sesuai target dan semoga sukses!
Jogja, 8 Februari 2015
Tags
Catatan