Dalam setahun, ada satu hari yang paling kubenci. Hari keseratus enam puluh. Secerah apa pun matahari, sebanyak apa pun klien yang tertarik membeli lembaran-lembaran saham, sehebat apa pun permainan ranjang dengan pelacur termahal di kota ini semalam, selalu berharap aku bisa menghindari hari itu. Kado besar di atas meja itu bukan untukku.
Ponsel yang hanya menyimpan satu nomor itu mendengking-dengking di meja kerja, melenggak-lenggok sesukanya karena vibrasi yang panjang-panjang. Seminggu sebelum hari yang paling kubenci. Sederet nomor yang kuhafal luar kepala. Aku tahu undangan itu pasti datang. Dan aku tidak punya alasan apa pun untuk absen.
“Cara,” setelah berdeham kuterima panggilannya. “apa kabar?”
“Aku di resepsionis, boleh masuk?” Suaranya lalu agak mengecil dan dia aku yakin berbicara pada resepsionis, “Mbak, saya ditunggu di atas. Permisi.” Telepon terputus dan beberapa menit lagi dia akan mengetuk pintu, membukanya, mendekat ke meja kerjaku, menciumku, mengajakku bercinta di sofa, lalu mengatakan, “Kamu ingat kan minggu depan ulang tahun Didi?”
Cara lebih menakutkan ketimbang hantu gentayangan. Semua hantu bisa diusir dengan rapalan doa, tapi dia dengan elegan membuat vertigoku kambuh sampai Dokter Albert mengira perlu melakukan MRI di kepala ini yang mulai ditumbuhi uban lebih awal dari seharusnya.
Didi adalah alasan Cara untuk datang. Bocah berkulit cokelat dengan cekungan senyum di pipi kanan dan dagu runcing seperti Cara. Kedua matanya berwarna toska yang langka dimiliki anak Indonesia kecuali blasteran. Soal kami yang bergumul di sofa sama sekali tidak ada hubungannya. Putus hubungan darinya belum bisa membuatku menolak tubuh yang mulai bertambah beberapa kilo setelah melahirkan. Cara selalu memberikan dirinya gratis. Giselle tak pernah lupa menghitung per menit layanannya.
Suami yang jauh adalah penderitaan bagi istri yang setia, tapi kesempatan bagi istri brengsek macam Cara. Didi tak mungkin kubelikan mainan asal-asalan. Dia mengenalku sebagai si pemberi hadiah termahal. Beberapa kontakku mengirimkan foto sejumlah permainan terbaru. Kehadiran Cara sama sekali tak membuatku mudah membuat keputusan. Sudah kubilang, dia terkadang pantas disebut perempuan penggoda ketimbang istri seorang prajurit.
“Didi akan suka itu,” tunjuknya pada foto kapal motor berwarna merah menyala di sebuah katalog mainan anak-anak borjuis. Ini sih bukan untuk anak-anak. Bentuknya yang seperti kano sama sekali bukan untuk Didi yang tingginya masih sepahaku. Kulihat harganya. Busyet!
Didi membuka kado yang kubungkus sendiri dengan tergesa-gesa. Dirobeknya dengan wajah ceria dan penasaran. Cara melirikku, bahuku terangkat. Hey, aku tidak mungkin membelikan kapal itu, toh dia bukan anakku! Didi menyukai mainan impor yang bisa terbang sampai ke atap rumah yang kupesan langsung dari seorang kenalan lama. Anak ini memang belum punya dosa.
Kupikir setelah hari ulang tahun Didi lewat, hariku akan kembali seperti semula. Joging delapan kilometer di pagi hari. Meyakinkan klien-klien yang masih meragukan benefit investasi saham. Bergumul tanpa busana dengan Giselle yang masih belum mau memberiku harga diskon menitannya yang selangit itu. Hari menyebalkan itu sudah lewat, masih tahun depan lagi.
Cara dan bermacam caranya. Datang lagi dengan ritual yang tak kurang suatu apa. Kali ini dia mau meminjam uang. Jumlah yang membuat keningku berkerut. Dengan uang segitu, aku bisa membayar Giselle untuk lima belas menit untuk terikat di tempat tidur dan mengaduh saat kucambuki.
“Akan kukembalikan dengan cicilan,” janjinya dengan raut penuh sandiwara.
“Cara, akan kau gunakan untuk apa uang itu?”
“Aku mau pindah kontrakan. Dan Didi kan harus sekolah.”
“Pindah? Bukankah itu rumah suamimu? Suamimu tak mengirim uang? Dia masih hidup kan?”
Tamparan telak mengenai wajahku. Lancangkah mulutku? Salahkah pertanyaanku? Putusnya hubungan kami semuanya adalah keegoisan Cara. Dia menikah dengan seorang pria tegap keturunan seorang jenderal besar di negeri ini yang sering ditugaskan ke negara konflik. Pulangnya tak menentu. Aku sudah bukan lagi teman satu selimutnya. Susah betul mengatakan itu di depan mukanya.
“Ketimbang uangmu itu kau pakai untuk membayar mahal perek rendahan!” bentaknya histeris.
Aku heran, kenapa sih dia? Cemburukah? Seks itu suatu kebutuhan alami. Giselle adalah rekomendasi terbaik di luar sana. Tubuhnya tanpa silikon, rambutnya hitam berkilau, dia hafal isi kitab kamasutra. Sempurna bukan untuk pemuas hasrat?
“Kenapa setiap tahun kau berikan kado untuk Didi dan tak pernah ingat ulang tahunku?! Apa kau berusaha melupakanku? Apa kau tak pernah punya waktu menghubungiku setiap 31 Desember?”
Asap rokokku mengenai wajahnya. Matanya mengerjap-ngerjap. Lima tahun kamar ini tak pernah dimasuki orang lain. Kenangan di dalamnya hanya berputar-putar seperti debu yang ditiup kipas angin. Cara dan segala macam cara. Ah, jangan salah memanggil namanya. Bukan Cara, tapi Kara.
Di malam tahun baru, aku selalu membuat perayaan dengan seluruh staf kantor. Hingga selalu ada alasanku untuk lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada seorang mantan kekasih yang tujuh tahun menjadi milikku. Aku tahu dia menunggu ponsel rahasianya berbunyi. Ponsel yang bentuknya sama seperti milikku. Hanya ada satu nomor di sana. Nomorku.
Aku tak punya keberanian. Hingga membiarkan Cara menunggu sampai Tahun Baru tiba. Bagaimana jika suaminya ternyata sedang di rumah dan menjawab panggilan telepon dariku? Aku rahasia masa lalunya. Disembunyikan seperti bangkai yang berbau busuk dan membuat muntah. Aku terbungkus rapat dan terasing jauh. Maka coba kulewatkan 31 Desember begitu saja.
Cara tak pernah merawat tubuhnya seperti Giselle. Kulitnya tak pernah disuntik kolagen bertarif delapan juta rupiah hanya demi mengusir kerutan-kerutan usia. Sabun mandinya pun dijual di warung-warung kelontong bukan impor dari Prancis yang wanginya tahan lama. Giselle punya vagina yang berasuransi hingga tak bisa disentuh sesukanya apalagi sampai meneteskan darah, Cara justru suka caraku yang terbilang kasar. Sekali pernah mencicip darah dengan ujung lidahmu, kau akan menginginkannya lagi.
Didi sama sekali bukan suatu kesalahan. Hanya saja aku merasa dosaku begitu besar saat menyentuh kulitnya. Bocah perempuan yang sebatas tahu bahwa aku sepupu ibunya, bukan mantan kekasih yang masih memendam rasa di balik penyangkalan demi penyangkalan. Sungguh jahat aku ini yang mengharap suami Cara mati dalam penugasannya. Tapi sungguh baik Tuhan yang tak kunjung mengabulkannya.
Membanding-bandingkan seseorang yang kau cintai karena batin yang saling menerima dengan seseorang yang sengaja kau tarik ke dalam hidupmu semata mengalihkan kemarahan atas ketidakadilan kodrati sama saja seperti mencari ujungnya bumi. Memintanya kembali sama sekali bukan penyelesaian. Bohong besar jika waktu-waktu bersama Giselle tak membekas di kepala. Maka selalu kubiarkan Cara memasuki kantorku dan melakukan ritual kami tanpa perlu minta izin orang tua. Omong-omong, ayahku menjadi penghulu di pernikahan Cara dan Raka. Pernikahan tolol yang sampai-sampai aku jungkir balik merayu Tuhan agar pernikahan itu batal, meski di detik-detik terakhir. Aku mendoakan laki-laki itu kena serangan jantung sebelum sempat mengucapkan nama lengkap Cara di depan ayahku. Atau lidahnya terbelah hingga hanya suara desisan yang terdengar di depan para saksi. Lalu mereka berlarian karena panik melihat si pemuda tegap yang sudah membayar mahar tinggi permintaan Alan Nasution untuk sang putri satu-satunya, menjadi siluman berlidah ular.
Sendi kakiku melemas ketika pernikahan itu berstatus resmi. Lepaslah Cara dari pelukanku. Kulihat kening lalu bibirnya dikecup ringan. Tanganku mengepal kuat. Lalu yang lebih menyakitkan adalah tatapan ayahku dari celah tubuh dua pengantin baru itu. Dia sengaja memisahkan kami dengan cara itu. Mendesak adiknya untuk segera menikahkan putrinya dengan putra teman kuliahnya yang sudah pernah menikah sebelumnya. Puas dia. Picik!
“Aku hamil, dua bulan,” katanya di suatu hari yang menentukan sikapku padanya untuk hari-hari selanjutnya.
Tubuhku menggigil. Kumundur sampai tepi ranjang hingga nyaring terjengkang ke lantai apartemenku. Baju-baju kami berserakan di lantai. Sama berserakannya dengan ranjang ini. Lalu hatiku seolah ikut merasa berserakan. Entah bagaimana menggambarkannya lagi.
“Kau bilang, kau tak pernah tidur dengannya….”
“Dia suamiku, masa aku selalu menolak?” Dipukulnya bantal dengan kesal. Ditinggalkannya ranjang tanpa memunguti lingerie dan pemberianku, hadiah ulang tahunnya. “Kau mau dia curiga?”
“Kau janji padaku!” sentakku marah. “Kalau begitu, jangan larang aku bercinta dengan orang lain!”
Maka teman-teman dekatku dengan senang hati memberikan nomor-nomor perempuan yang bersedia menjadi escort sampai teman tidur. Semua perempuan mandailing kucoret dari daftarku. Mereka yang bergolongan darah B juga kulupakan. Ada seseorang sebelum Giselle yang menarik perhatianku, tapi sayang, zodiaknya aquarius. Maka, tersisalah Gisselle. Kami punya kontrak jangka panjang yang hanya akan berakhir jika aku sudah jenuh padanya. Aku pelanggan terkaya di antara yang lain. Aku pelanggan perempuan satu-satunya.
Jalinan hubunganku dengan Cara hampir kembali utuh seperti semula jika Raka tidak mengabari bahwa penugasannya tidak lama lagi berakhir. Dia akan kembali untuk sementara waktu dan mengatakan tidak sabar untuk program anak kedua. Dan aku kembali menjadi pihak yang tersingkir. Tapi ada saja yang membuatku memaafkan Cara. Didi. Dia meneleponku dengan ponsel yang hanya ada nomor saja di phonebook-nya.
“Tante, nanti malam ke rumah ya. Didi kangen sama Tante.”
Mengapa lebih sulit berbohong kepada orang dewasa ketimbang seorang anak? Didi belum kenal kebohongan dan aku tak mau menjadi orang yang pertama kalinya mengenalkan pada suatu kemunafikan.
Maka kutekan bel pintu dan gugup merapikan kemeja tangan panjang yang baik-baik saja, tidak terlipat sedikit pun. Pintu dibuka dari dalam dan untunglah Didi yang membukanya, dibantu Raka. Aku sampai lupa bagaimana caranya mengatakan “halo” tanpa terbata.
Raka lebih kurus ketika terakhir bertemu dengannya. Didi di gendongannya menggapa-gapaiku, “Tante Gina!” Dan bocah itu berpindah gendongan.
Cara tampak sehat. Masakan demi masakan terhidang di meja, semua buatannya. Sambal goreng pete kesukaan Raka, sambal goreng ikan asin kesukaan suaminya, gulai daun singkong kesukaan lelaki itu, ikan mas goreng garing… ah… untuk apa aku di sini sebenarnya?
Lalu sesi makan malam lebih tepat disebut sebagai ajang pamer pengalaman menjadi pasukan perdamaian yang sama sekali tidak benar-benar angkat senjata karena tugas mereka bukan memuntahkan peluru. Aku hanya memakan salad yang dibuat Cara belakangan dan tak menyentuh sedikit pun menu di meja.
“Menginap di sini saja, Didi kan masih kangen.”
Aku tahu tersenyum masam hanya akan menyakiti hati Cara. Lagi-lagi dia mengatasnamakan putrinya, bukan dirinya sendiri.
“Aku juga lama nggak ngobrol sama kamu. Sok sibuk terus sih!” celetuk Cara menyambung omelan batinku. “Bales SMS aja males.” Dan dia membuatku seakan menjadi sosok yang tak peduli selain pada pekerjaan dan harta bendaku. Raka mempercayai itu semua.
“Dia sering mengeluhkanmu, Gina. Jangan sungkan-sungkan datang kemari.”
Dering telepon terkadang jadi pengganggu, kali ini penyelamatku. Foto Giselle terpampang di layar. Dengan satu isyarat tangan aku menjauh dari meja makan dan di seberang Giselle menggerutu karena menemukan apartemenku kosong. Dengan sengaja, aku mengeraskan suara ketika berkata, “Sebentar lagi aku pulang, Giselle.”
Cara membuang muka ketika aku kembali duduk dan menghabiskan sisa salad buatannya. Raka tak bertanya siapa itu Giselle. Didi memainkan sendok garpu yang dilengketi nasi putih.
“Kenapa tidak aku ajak saja temanmu kemari, Gin? Kita bisa main catur di lantai dua,” tawar Cara dengan nekat.
Maksudnya adalah balkon lantai dua. Jika langit cerah, kami bisa melihat bintang-bintang dengan leluasa.
Aku terbahak garing dengan tawarannya. “Giselle terlalu lelah untuk main catur. Dia baru saja pulang pemotretan di Milan. Aku sama sekali lupa sudah membuat janji padanya.”
Aku beranjak dari rumah itu. Diantarkan tatap Cara yang dingin seakan menusuk punggungku. Mobilku perlahan meninggalkan kompleks perumahan yang banyak dihuni keluarga TNI. Melihat langit, itu seperti melihat Tuhan. Ah kali ini aku harus meminta apa lagi? Maukah Dia mendengarku? Aku memang hanyamendekat jika butuh
Yogyakarta, 30 Maret 2015
Ponsel yang hanya menyimpan satu nomor itu mendengking-dengking di meja kerja, melenggak-lenggok sesukanya karena vibrasi yang panjang-panjang. Seminggu sebelum hari yang paling kubenci. Sederet nomor yang kuhafal luar kepala. Aku tahu undangan itu pasti datang. Dan aku tidak punya alasan apa pun untuk absen.
“Cara,” setelah berdeham kuterima panggilannya. “apa kabar?”
“Aku di resepsionis, boleh masuk?” Suaranya lalu agak mengecil dan dia aku yakin berbicara pada resepsionis, “Mbak, saya ditunggu di atas. Permisi.” Telepon terputus dan beberapa menit lagi dia akan mengetuk pintu, membukanya, mendekat ke meja kerjaku, menciumku, mengajakku bercinta di sofa, lalu mengatakan, “Kamu ingat kan minggu depan ulang tahun Didi?”
Cara lebih menakutkan ketimbang hantu gentayangan. Semua hantu bisa diusir dengan rapalan doa, tapi dia dengan elegan membuat vertigoku kambuh sampai Dokter Albert mengira perlu melakukan MRI di kepala ini yang mulai ditumbuhi uban lebih awal dari seharusnya.
Didi adalah alasan Cara untuk datang. Bocah berkulit cokelat dengan cekungan senyum di pipi kanan dan dagu runcing seperti Cara. Kedua matanya berwarna toska yang langka dimiliki anak Indonesia kecuali blasteran. Soal kami yang bergumul di sofa sama sekali tidak ada hubungannya. Putus hubungan darinya belum bisa membuatku menolak tubuh yang mulai bertambah beberapa kilo setelah melahirkan. Cara selalu memberikan dirinya gratis. Giselle tak pernah lupa menghitung per menit layanannya.
Suami yang jauh adalah penderitaan bagi istri yang setia, tapi kesempatan bagi istri brengsek macam Cara. Didi tak mungkin kubelikan mainan asal-asalan. Dia mengenalku sebagai si pemberi hadiah termahal. Beberapa kontakku mengirimkan foto sejumlah permainan terbaru. Kehadiran Cara sama sekali tak membuatku mudah membuat keputusan. Sudah kubilang, dia terkadang pantas disebut perempuan penggoda ketimbang istri seorang prajurit.
“Didi akan suka itu,” tunjuknya pada foto kapal motor berwarna merah menyala di sebuah katalog mainan anak-anak borjuis. Ini sih bukan untuk anak-anak. Bentuknya yang seperti kano sama sekali bukan untuk Didi yang tingginya masih sepahaku. Kulihat harganya. Busyet!
Didi membuka kado yang kubungkus sendiri dengan tergesa-gesa. Dirobeknya dengan wajah ceria dan penasaran. Cara melirikku, bahuku terangkat. Hey, aku tidak mungkin membelikan kapal itu, toh dia bukan anakku! Didi menyukai mainan impor yang bisa terbang sampai ke atap rumah yang kupesan langsung dari seorang kenalan lama. Anak ini memang belum punya dosa.
Kupikir setelah hari ulang tahun Didi lewat, hariku akan kembali seperti semula. Joging delapan kilometer di pagi hari. Meyakinkan klien-klien yang masih meragukan benefit investasi saham. Bergumul tanpa busana dengan Giselle yang masih belum mau memberiku harga diskon menitannya yang selangit itu. Hari menyebalkan itu sudah lewat, masih tahun depan lagi.
Cara dan bermacam caranya. Datang lagi dengan ritual yang tak kurang suatu apa. Kali ini dia mau meminjam uang. Jumlah yang membuat keningku berkerut. Dengan uang segitu, aku bisa membayar Giselle untuk lima belas menit untuk terikat di tempat tidur dan mengaduh saat kucambuki.
“Akan kukembalikan dengan cicilan,” janjinya dengan raut penuh sandiwara.
“Cara, akan kau gunakan untuk apa uang itu?”
“Aku mau pindah kontrakan. Dan Didi kan harus sekolah.”
“Pindah? Bukankah itu rumah suamimu? Suamimu tak mengirim uang? Dia masih hidup kan?”
Tamparan telak mengenai wajahku. Lancangkah mulutku? Salahkah pertanyaanku? Putusnya hubungan kami semuanya adalah keegoisan Cara. Dia menikah dengan seorang pria tegap keturunan seorang jenderal besar di negeri ini yang sering ditugaskan ke negara konflik. Pulangnya tak menentu. Aku sudah bukan lagi teman satu selimutnya. Susah betul mengatakan itu di depan mukanya.
“Ketimbang uangmu itu kau pakai untuk membayar mahal perek rendahan!” bentaknya histeris.
Aku heran, kenapa sih dia? Cemburukah? Seks itu suatu kebutuhan alami. Giselle adalah rekomendasi terbaik di luar sana. Tubuhnya tanpa silikon, rambutnya hitam berkilau, dia hafal isi kitab kamasutra. Sempurna bukan untuk pemuas hasrat?
“Kenapa setiap tahun kau berikan kado untuk Didi dan tak pernah ingat ulang tahunku?! Apa kau berusaha melupakanku? Apa kau tak pernah punya waktu menghubungiku setiap 31 Desember?”
Asap rokokku mengenai wajahnya. Matanya mengerjap-ngerjap. Lima tahun kamar ini tak pernah dimasuki orang lain. Kenangan di dalamnya hanya berputar-putar seperti debu yang ditiup kipas angin. Cara dan segala macam cara. Ah, jangan salah memanggil namanya. Bukan Cara, tapi Kara.
Di malam tahun baru, aku selalu membuat perayaan dengan seluruh staf kantor. Hingga selalu ada alasanku untuk lupa mengucapkan selamat ulang tahun pada seorang mantan kekasih yang tujuh tahun menjadi milikku. Aku tahu dia menunggu ponsel rahasianya berbunyi. Ponsel yang bentuknya sama seperti milikku. Hanya ada satu nomor di sana. Nomorku.
Aku tak punya keberanian. Hingga membiarkan Cara menunggu sampai Tahun Baru tiba. Bagaimana jika suaminya ternyata sedang di rumah dan menjawab panggilan telepon dariku? Aku rahasia masa lalunya. Disembunyikan seperti bangkai yang berbau busuk dan membuat muntah. Aku terbungkus rapat dan terasing jauh. Maka coba kulewatkan 31 Desember begitu saja.
Cara tak pernah merawat tubuhnya seperti Giselle. Kulitnya tak pernah disuntik kolagen bertarif delapan juta rupiah hanya demi mengusir kerutan-kerutan usia. Sabun mandinya pun dijual di warung-warung kelontong bukan impor dari Prancis yang wanginya tahan lama. Giselle punya vagina yang berasuransi hingga tak bisa disentuh sesukanya apalagi sampai meneteskan darah, Cara justru suka caraku yang terbilang kasar. Sekali pernah mencicip darah dengan ujung lidahmu, kau akan menginginkannya lagi.
Didi sama sekali bukan suatu kesalahan. Hanya saja aku merasa dosaku begitu besar saat menyentuh kulitnya. Bocah perempuan yang sebatas tahu bahwa aku sepupu ibunya, bukan mantan kekasih yang masih memendam rasa di balik penyangkalan demi penyangkalan. Sungguh jahat aku ini yang mengharap suami Cara mati dalam penugasannya. Tapi sungguh baik Tuhan yang tak kunjung mengabulkannya.
Membanding-bandingkan seseorang yang kau cintai karena batin yang saling menerima dengan seseorang yang sengaja kau tarik ke dalam hidupmu semata mengalihkan kemarahan atas ketidakadilan kodrati sama saja seperti mencari ujungnya bumi. Memintanya kembali sama sekali bukan penyelesaian. Bohong besar jika waktu-waktu bersama Giselle tak membekas di kepala. Maka selalu kubiarkan Cara memasuki kantorku dan melakukan ritual kami tanpa perlu minta izin orang tua. Omong-omong, ayahku menjadi penghulu di pernikahan Cara dan Raka. Pernikahan tolol yang sampai-sampai aku jungkir balik merayu Tuhan agar pernikahan itu batal, meski di detik-detik terakhir. Aku mendoakan laki-laki itu kena serangan jantung sebelum sempat mengucapkan nama lengkap Cara di depan ayahku. Atau lidahnya terbelah hingga hanya suara desisan yang terdengar di depan para saksi. Lalu mereka berlarian karena panik melihat si pemuda tegap yang sudah membayar mahar tinggi permintaan Alan Nasution untuk sang putri satu-satunya, menjadi siluman berlidah ular.
Sendi kakiku melemas ketika pernikahan itu berstatus resmi. Lepaslah Cara dari pelukanku. Kulihat kening lalu bibirnya dikecup ringan. Tanganku mengepal kuat. Lalu yang lebih menyakitkan adalah tatapan ayahku dari celah tubuh dua pengantin baru itu. Dia sengaja memisahkan kami dengan cara itu. Mendesak adiknya untuk segera menikahkan putrinya dengan putra teman kuliahnya yang sudah pernah menikah sebelumnya. Puas dia. Picik!
“Aku hamil, dua bulan,” katanya di suatu hari yang menentukan sikapku padanya untuk hari-hari selanjutnya.
Tubuhku menggigil. Kumundur sampai tepi ranjang hingga nyaring terjengkang ke lantai apartemenku. Baju-baju kami berserakan di lantai. Sama berserakannya dengan ranjang ini. Lalu hatiku seolah ikut merasa berserakan. Entah bagaimana menggambarkannya lagi.
“Kau bilang, kau tak pernah tidur dengannya….”
“Dia suamiku, masa aku selalu menolak?” Dipukulnya bantal dengan kesal. Ditinggalkannya ranjang tanpa memunguti lingerie dan pemberianku, hadiah ulang tahunnya. “Kau mau dia curiga?”
“Kau janji padaku!” sentakku marah. “Kalau begitu, jangan larang aku bercinta dengan orang lain!”
Maka teman-teman dekatku dengan senang hati memberikan nomor-nomor perempuan yang bersedia menjadi escort sampai teman tidur. Semua perempuan mandailing kucoret dari daftarku. Mereka yang bergolongan darah B juga kulupakan. Ada seseorang sebelum Giselle yang menarik perhatianku, tapi sayang, zodiaknya aquarius. Maka, tersisalah Gisselle. Kami punya kontrak jangka panjang yang hanya akan berakhir jika aku sudah jenuh padanya. Aku pelanggan terkaya di antara yang lain. Aku pelanggan perempuan satu-satunya.
Jalinan hubunganku dengan Cara hampir kembali utuh seperti semula jika Raka tidak mengabari bahwa penugasannya tidak lama lagi berakhir. Dia akan kembali untuk sementara waktu dan mengatakan tidak sabar untuk program anak kedua. Dan aku kembali menjadi pihak yang tersingkir. Tapi ada saja yang membuatku memaafkan Cara. Didi. Dia meneleponku dengan ponsel yang hanya ada nomor saja di phonebook-nya.
“Tante, nanti malam ke rumah ya. Didi kangen sama Tante.”
Mengapa lebih sulit berbohong kepada orang dewasa ketimbang seorang anak? Didi belum kenal kebohongan dan aku tak mau menjadi orang yang pertama kalinya mengenalkan pada suatu kemunafikan.
Maka kutekan bel pintu dan gugup merapikan kemeja tangan panjang yang baik-baik saja, tidak terlipat sedikit pun. Pintu dibuka dari dalam dan untunglah Didi yang membukanya, dibantu Raka. Aku sampai lupa bagaimana caranya mengatakan “halo” tanpa terbata.
Raka lebih kurus ketika terakhir bertemu dengannya. Didi di gendongannya menggapa-gapaiku, “Tante Gina!” Dan bocah itu berpindah gendongan.
Cara tampak sehat. Masakan demi masakan terhidang di meja, semua buatannya. Sambal goreng pete kesukaan Raka, sambal goreng ikan asin kesukaan suaminya, gulai daun singkong kesukaan lelaki itu, ikan mas goreng garing… ah… untuk apa aku di sini sebenarnya?
Lalu sesi makan malam lebih tepat disebut sebagai ajang pamer pengalaman menjadi pasukan perdamaian yang sama sekali tidak benar-benar angkat senjata karena tugas mereka bukan memuntahkan peluru. Aku hanya memakan salad yang dibuat Cara belakangan dan tak menyentuh sedikit pun menu di meja.
“Menginap di sini saja, Didi kan masih kangen.”
Aku tahu tersenyum masam hanya akan menyakiti hati Cara. Lagi-lagi dia mengatasnamakan putrinya, bukan dirinya sendiri.
“Aku juga lama nggak ngobrol sama kamu. Sok sibuk terus sih!” celetuk Cara menyambung omelan batinku. “Bales SMS aja males.” Dan dia membuatku seakan menjadi sosok yang tak peduli selain pada pekerjaan dan harta bendaku. Raka mempercayai itu semua.
“Dia sering mengeluhkanmu, Gina. Jangan sungkan-sungkan datang kemari.”
Dering telepon terkadang jadi pengganggu, kali ini penyelamatku. Foto Giselle terpampang di layar. Dengan satu isyarat tangan aku menjauh dari meja makan dan di seberang Giselle menggerutu karena menemukan apartemenku kosong. Dengan sengaja, aku mengeraskan suara ketika berkata, “Sebentar lagi aku pulang, Giselle.”
Cara membuang muka ketika aku kembali duduk dan menghabiskan sisa salad buatannya. Raka tak bertanya siapa itu Giselle. Didi memainkan sendok garpu yang dilengketi nasi putih.
“Kenapa tidak aku ajak saja temanmu kemari, Gin? Kita bisa main catur di lantai dua,” tawar Cara dengan nekat.
Maksudnya adalah balkon lantai dua. Jika langit cerah, kami bisa melihat bintang-bintang dengan leluasa.
Aku terbahak garing dengan tawarannya. “Giselle terlalu lelah untuk main catur. Dia baru saja pulang pemotretan di Milan. Aku sama sekali lupa sudah membuat janji padanya.”
Aku beranjak dari rumah itu. Diantarkan tatap Cara yang dingin seakan menusuk punggungku. Mobilku perlahan meninggalkan kompleks perumahan yang banyak dihuni keluarga TNI. Melihat langit, itu seperti melihat Tuhan. Ah kali ini aku harus meminta apa lagi? Maukah Dia mendengarku? Aku memang hanyamendekat jika butuh
Yogyakarta, 30 Maret 2015
Tags
Fiksi