Sepanjang libur sekolah, Mohammad, seorang bocah tunanetra, dibawa ayahnya pulang ke rumah, di sebuah desa yang jauh dari kota Tehran. Meski melelahkan, bocah itu begitu senang ketika bertemu ayah dan saudara perempuannya. Suasana desa yang damai, ladang gandum, kebun bunga, sungai yang jernih, suara burung pelatuk, membuat Mohammad tidak melupakan rasa sedih di dalam hatinya, terlebih karena sang ayah seorang begitu terbebani dengan hidupnya setelah sang istri tiada. Sang ayah sedang mendekati seorang perempuan dan berniat menikahinya, dan ia memikirkan bagaimana dengan Mohammad kelak.
Di sekolahnya, Mohammad adalah anak yang cerdas, banyak teman, dan kesukaannya membaca dimulai semenjak bisa menulis dengan huruf Braille. Itu membuatnya setiap kali menyentuh sesuatu, seolah membaca sebuah pola, termasuk ketika mendengar suara-suara burung platuk.
Seperti halnya film-film Iran yang bergenre seperti ini, tidak banyak konflik yang ditemui oleh tokoh-tokohnya, namun dengan pengemasan cerita dan juga bagaimana seorang bocah yang tidak bisa melihat dan hanya bisa menangis dengan keterbatasannya, adalah poin lain yang semakin membuat sisi inspirasinya muncul. Bagaimanapun, Mohammad masih terlalu kecil bisa menghadapi kehidupan yang keras.
Jogja, 7 Mei 2015
Jogja, 7 Mei 2015
Tags
Film