Takdir. Aku percaya takdir akan berjalan pada alur yang penuh misteri. Kata orang, ada takdir yang bisa diubah jika kita berusaha mengubahnya. Tapi apa manusia tahu persis mana yang bisa diubah dan mana yang tidak?
Bagaimana dengan takdirku dengan Mawar? Apa aku harus percaya sepenuhnya pada kata-kata Paul bahwa kami berdua akan terus bersama meski kebersamaan itu punya definisi yang berbeda-beda? Dan bisakah aku mengubahnya hingga kebersamaan itu hanya sampai di titik di mana aku duduk berhadapan, dengan punggung tegak kaku, menatap sosok lelaki yang tampak lelah setelah perjalanan panjang dari Amerika.
Fandy. Ia jauh di luar bayanganku selama ini. Dia tipikal lelaki yang santai dengan T-Shirt putih bergambar kartun Pantai Malibu dan celana jins sobek-sobek biru pudar. Dia juga tampak lebih muda dari foto yang pernah diperlihatkan Mawar padaku. Pria ini tampan, meskipun Paul jauh lebih tampan dengan darah blasterannya itu.
Jadi, ini pria yang tidur dengan Mawar? Oke, entah aku harus berkomentar dalam hati dengan cara bagaimana. Aku menatap pria yang duduk di samping Mawar, sementara di kursi yang lain, Ibu Rosa dan Paul duduk.
Aku berada di ruangan ini atas panggilan Mawar yang memintaku datang, hadir karena aku bagian dari keluarganya. Sorot mata penuh kebencian sejak awal sudah terbaca dari raut wajah Ibu Rosa. Aku menelan ludah dan membuatku tidak bisa duduk dengan nyaman.
Kutatap Paul, dia balik menatapku. Sorot matanya begitu teduh dan dia tersenyum dengan begitu dewasa. Kubiarkan dia membaca pikiranku yang begitu kalut dan terbakar cemburu, terlebih ketika Fandy mencium bibir Mawar di hadapanku, saat Bu Rosa tengah ke dapur untuk meminta pembantu mengantarkan makanan kecil dan minuman tambahan. Aku menunduk. Seharusnya tidak seorang pun yang boleh menyentuh bibir itu.
Aku hadir di sana dan ikut mendengarkan segala perbincangan tentang pernikahan Mawar dan Fandy. Menjadi patung hampir selama tiga jam. Aku sama sekali tidak bicara jika bukan Paul atau Mawar yang secara sengaja memintaku berpendapat. Aku tidak pernah menyangka melihat Mawar menikah akan begitu menyakitkan. Aku tidak tahu akan sebegitu tersiksanya.
Bagaimana jika mereka sudah menikah? Lalu anak itu lahir, lalu Mawar hamil lagi, blablabla. Aku harus menahan luka itu, bersikap seolah-olah aku baik-baik saja.
Aku bodoh, karena tidak pernah berpikir sejauh itu dan kini semuanya terjadi, dan aku tidak siap.
Rapat “keluarga” itu akhirnya selesai. Aku sudah boleh pergi, dan aku ingin sekali bertemu Widi. Tapi, Paul dengan gesit mengajakku jalan-jalan dengan mobilnya. Sebelum pergi, Mawar kulihat masih di posisinya, dan Fandy mengelus-ngelus perutnya. Ibu Rosa tengah berbicara dengan seseorang via ponselnya.
Paul membawaku ke sebuah kafe yang setengah ramai. Kami duduk lesehan di lantai dua yang menghadap jendela. Aku bisa melihat persawahan yang luas dan menghijau. Konsepnya memang sengaja dibuat agak tradisional sehingga hanya di lantai satu saja yang terdapat meja kursi. Di lantai dua lebih santai dan romantis.
Tempat ini hanya bisa dimasuki orang-orang yang punya uang berlebih. Harga yang tercantum di daftar menu menurutku mahal, tapi tidak buat seorang bintang Hollywood yang punya penghasilan lebih dari cukup dari sebuah film.
Paul memilih tempat ini karena para fansnya tidak akan bisa mendekat. Ya, adakalanya orang-orang seperti Paul punya kebebasan sendiri, menjadi orang kebanyakan yang bisa kencan semaunya.
Kencan? Ya anggaplah begitu.
Paul memesankan kopi latte untukku sementara dia suka yang hitam pekat dalam gelas kecil. Untuk mengisi perut, dia memesankan sandwich dan kentang goreng. Aku tidak begitu lapar sebenarnya, bahkan bisa kubilang mual. Mual melihat kemesraan Mawar dan Fandy. Perasaan itu masih terbawa sampai sekarang dan aku yakin, Paul tahu itu.
“Lupakan Kak Mawar sebentar, bisa?” tanyanya kepadaku yang melamun sambil melihat sawah.
Aku menoleh, menatap malas Paul yang tersenyum manis padaku.
“Semalam…,” aku mencoba mencari kata-kata yang pantas untuk diucapkan, “mungkin itu yang terakhir.” Aku menghela napas berat kemudian kembali melihat keluar.
“Aku tidak pernah melarangmu untuk berhenti berhubungan dengan kakakku. Tapi entahlah dengan Fandy. Dia belum tahu soal ini.”
Aku tersentak. Kembali kutatap Paul dengan begitu serius.
“Belum tahu katamu? Mawar seharusnya ngomong, Paul. Dia harus ngomong!”
“Tidak semudah itu, Hujan. Kamu pikir dia akan siap menerima fakta kalau calon istrinya itu pacarmu?”
Aku tersenyum sinis. “Aku siap kalau dia mengambil Mawar dariku. Ya, kurasa pada awalnya akan menyakitkan, tapi lama-lama dia mencoba terbiasa dengan sesuatu yang kurasa di Amerika sana banyak yang kayak begitu.”
Paul menggeleng. “Kak Mawar belum siap untuk cerita. Dia takut, Fandy mengubah rencananya untuk pindah ke Indonesia setelah menikah. Dia berhasil membujuk Fandy untuk menemaninya di sini dan mungkin akan membuat bisnis baru. Bisnisnya di sana akan dikelola sama teman-temannya. Nah, sampai sejauh ini, semuanya berjalan sesuai kemauan Kak Mawar. Jadi, jangan sampai membuat kekacauan. Kamu mengerti itu?”
Aku menyesap minumanku tanpa sedikit pun ingin menanggapi. Pandanganku terarah pada sebuah rombongan pengunjung yang baru datang. Anak-anak SMA swasta yang terkenal SPP-nya sangat mahal dan beberapa gurunya adalah warganegara asing. Mereka duduk di meja yang digabungkan menjadi satu. Ada dua puluh jumlah mereka 15 siswi dan 5 siswa. Sepertinya ada yang berulang tahun di antara mereka. Mungkin seorang siswa jangkung dengan rambut agak gondrong dan menggandeng seorang perempuan yang tampak malu-malu. Mungkin mereka baru pacaran.
Paul mengikuti pandanganku dan pandangan rombongan itu satu per satu terarah pada kami.
“Paul, kayaknya mereka… kita pergi aja?” Aku membaca gelagat kurang baik.
Paul memegang pergelangan tanganku, menahanku dari berdiri. Mereka tampak berbisik-bisik lalu si pemuda yang berulang tahun berjalan ke arah kami. Ah Pauliquerz, begitu para fans Paul menyebut diri mereka.
“Maaf, Anda Paul si bintang serial TV Break It Down, Rachel? Saya Rouhan.” Pemuda itu dengan pede mengulurkan tangan dan Paul langsung menyambutnya tanpa ragu.
“Halo, ada acara apa?” tanya Paul basa-basi sambil melihat ke arah teman-teman Paul yang pasti ingin menjerit histeris melihat sang bintang idola ada di dekat mereka.
“Ini ulang tahunku. Mau bergabung? Aku yang traktir. Ajak juga pacarmu,” kata Rouhan.
Aku tersedak lalu terbatuk-batuk kecil. Paul mengelus-ngelus punggungku seakan aku benar-benar pacarnya. Kurang ajar, awas kau nanti, Paul!
“Oke, kami gabung ya. Tapi jangan kasih tahu siapa-siapa kalau aku di sini. Aku sedang asyik pacaran,” jawab Paul sambil mengedipkan mata lalu menarik tanganku supaya berdiri dan mengajakku-secara paksa-mengikuti langkah Rouhan.
Si Paul ini emang pingin cari masalah ya!
Pesta ulang tahun selesai dan mereka sangat berterima kasih atas kebaikan hati Paul yang mau meramaikan pesta ulang tahun si anak pengusaha kokon itu. Lantai dua memang Rouhan sewa setelah Paul menyatakan kesediaannya bergabung. Hanya ada kami dan semua orang tampak bahagia. Aku melihat Paul tidak menjaga jarak dengan mereka. Dia bukan artis sombong yang merasa berada di kasta tertinggi. Paul sangat ramah. Semua orang menyukai Paul.
Setelah bertukar nomor ponsel dengan Rouhan, Paul mengajakku masuk ke dalam mobil. Dia begitu ceria dan topi ulang tahunnya ia copot lalu diletakkan di dashboard. Ada tulisan Happy Birthday Rouhan, di sana. Ah anak orang kaya. Andai aku punya uang lebih, aku juga ingin adik-adikku merayakan ulang tahunnya. Tapi itu tidak mungkin. Setiap bulan hampir ada yang berulang tahun. Bahkan di bulan Juni, ada empat yang ulang tahun.
“Kamu pasti belum mau pulang. Kita jalan-jalan dulu yuk!” Paul menyalakan mobil kemudian menekan tombol hingga pintu terkunci otomatis. Roda mobil pun meluncur meninggalkan parkiran kafe yang agak sepi, maklum sudah mau tutup.
Aku mengecek ponsel dan beberapa pesan masuk dari Mawar kubaca.
Sayang, aku mau ketemu.
Kamu di mana? Kok belum pulang sih?
Sayang, kangen….
“Kalian harus mulai belajar menjaga jarak,” ujar Paul yang membuat jariku yang baru mau mengetikkan SMS balasan, urung bergerak. Kumasukkan ponselku ke dalam saku lalu menyandarkan kepala ke jendela mobil.
Lama kami saling diam, bahkan Paul tidak berinisiatif menyalakan musik. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hari ini aku izin tidak masuk kerja dan itu berarti jatah liburku berikutnya akan dipotong. Semua ini membuatku kacau.
Aku lalu mengeluarkan HP dan menghubungi seseorang. Widi, aku merindukannya. Aku bahkan lupa mengabarinya seharian ini. Kami berbicara sejenak dan itu membuatku sedikit tenang. Setelah pembicaraan selesai, Paul menepikan mobil. Dia melepas sabuk pengaman kemudian menurunkan jendelanya.
“Hujan, jangan buat masalah baru. Aku sudah bilang perempuan itu hanya akan membuat kamu semakin susah buat bergerak.”
“Aku butuh seseorang untuk pelampiasan, Paul. Dan Widi bisa tanpa ngasih syarat apa-apa. Kali ini aku nggak mau dengerin kamu. Aku punya hidup sendiri dan kamu jangan ikut campur… sampai kita menikah. Paham?”
Paul menggeleng dengan tegas lalu mengubah posisi duduknya jadi menghadap padaku.
“Mau kamu bagi berapa hatimu, Hujan? Kamu nggak boleh seperti ini. Aku tahu kamu tersakiti sama Kak Mawar, tapi bukan berarti kamu bisa membalaskan dengan cara yang sama. Kak Mawar itu sakit, kehamilan itu akan membantu dia!”
“AKU JUGA SAKIT, PAUL!” bentakku marah. “Mawar itu sudah mengkhianati apa yang pernah kami sepakati bersama! SEMUANYA! Aku kecewa dengan semua yang dia lakukan! Kau tahu kenapa? Karena semakin ke sini, aku harus menghadapi kenyataan kalau semakin hari aku semakin cinta sama dia! Tapi aku nggak bisa apa-apa!”
Paul menenangkanku. Dia menyentuh pundakku pelan.
“Kamu tahu kan semua itu, Paul? Aku bahkan tidak mampu mengendalikan diriku sendiri. Setiap kali menciumnya, aku frustrasi. Aku tidak bisa merelakan dia pergi dengan lelaki mana pun. Dia akan menjadi ibu, dia akan sibuk dengan anaknya. Dia akan sibuk dengan Fandy. Lalu kapan waktunya untukku? Dan aku tidak boleh belajar mencintai orang lain untuk menyembuhkan lukaku sendiri?"
Paul mengambil sehelai tisu kemudian mengusap air mataku yang jatuh mengenai punggung tangannya.
“Aku mencintaimu, Hujan. Kamu bisa belajar mencintai aku. Widi bukan orang yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu sampai hatimu terbuka untukku. Aku akan menyibukkan diriku di Amerika dan tidak akan dekat dengan wanita mana pun, selain kamu.”
Aku menepiskan tangannya di bahuku.
“Kau yakin jika manusia bisa mengubah takdirnya?” tanyaku setelah terdiam sekian jenak.
Dia mengangguk pelan.
“Termasuk takdir kita akan bersama?” tanyaku dingin.
Paul menatapku dan aku membalasnya. “Pandanglah aku bukan sebagai adik Kak Mawar. Aku adalah Paul, dan aku cinta sama kamu, Hujan.”
Aku menggeleng pelan. “Sudah malam, Paul. Aku mau pulang.”
Paul menghela napas dan menyerah. Dia menyalakan mobil serta musik untuk mengisi kekosongan di antara kami. Diam-diam, aku mengirimkan SMS untuk Widi.
Kangen kamu.
Bagaimana dengan takdirku dengan Mawar? Apa aku harus percaya sepenuhnya pada kata-kata Paul bahwa kami berdua akan terus bersama meski kebersamaan itu punya definisi yang berbeda-beda? Dan bisakah aku mengubahnya hingga kebersamaan itu hanya sampai di titik di mana aku duduk berhadapan, dengan punggung tegak kaku, menatap sosok lelaki yang tampak lelah setelah perjalanan panjang dari Amerika.
Fandy. Ia jauh di luar bayanganku selama ini. Dia tipikal lelaki yang santai dengan T-Shirt putih bergambar kartun Pantai Malibu dan celana jins sobek-sobek biru pudar. Dia juga tampak lebih muda dari foto yang pernah diperlihatkan Mawar padaku. Pria ini tampan, meskipun Paul jauh lebih tampan dengan darah blasterannya itu.
Jadi, ini pria yang tidur dengan Mawar? Oke, entah aku harus berkomentar dalam hati dengan cara bagaimana. Aku menatap pria yang duduk di samping Mawar, sementara di kursi yang lain, Ibu Rosa dan Paul duduk.
Aku berada di ruangan ini atas panggilan Mawar yang memintaku datang, hadir karena aku bagian dari keluarganya. Sorot mata penuh kebencian sejak awal sudah terbaca dari raut wajah Ibu Rosa. Aku menelan ludah dan membuatku tidak bisa duduk dengan nyaman.
Kutatap Paul, dia balik menatapku. Sorot matanya begitu teduh dan dia tersenyum dengan begitu dewasa. Kubiarkan dia membaca pikiranku yang begitu kalut dan terbakar cemburu, terlebih ketika Fandy mencium bibir Mawar di hadapanku, saat Bu Rosa tengah ke dapur untuk meminta pembantu mengantarkan makanan kecil dan minuman tambahan. Aku menunduk. Seharusnya tidak seorang pun yang boleh menyentuh bibir itu.
Aku hadir di sana dan ikut mendengarkan segala perbincangan tentang pernikahan Mawar dan Fandy. Menjadi patung hampir selama tiga jam. Aku sama sekali tidak bicara jika bukan Paul atau Mawar yang secara sengaja memintaku berpendapat. Aku tidak pernah menyangka melihat Mawar menikah akan begitu menyakitkan. Aku tidak tahu akan sebegitu tersiksanya.
Bagaimana jika mereka sudah menikah? Lalu anak itu lahir, lalu Mawar hamil lagi, blablabla. Aku harus menahan luka itu, bersikap seolah-olah aku baik-baik saja.
Aku bodoh, karena tidak pernah berpikir sejauh itu dan kini semuanya terjadi, dan aku tidak siap.
Rapat “keluarga” itu akhirnya selesai. Aku sudah boleh pergi, dan aku ingin sekali bertemu Widi. Tapi, Paul dengan gesit mengajakku jalan-jalan dengan mobilnya. Sebelum pergi, Mawar kulihat masih di posisinya, dan Fandy mengelus-ngelus perutnya. Ibu Rosa tengah berbicara dengan seseorang via ponselnya.
Paul membawaku ke sebuah kafe yang setengah ramai. Kami duduk lesehan di lantai dua yang menghadap jendela. Aku bisa melihat persawahan yang luas dan menghijau. Konsepnya memang sengaja dibuat agak tradisional sehingga hanya di lantai satu saja yang terdapat meja kursi. Di lantai dua lebih santai dan romantis.
Tempat ini hanya bisa dimasuki orang-orang yang punya uang berlebih. Harga yang tercantum di daftar menu menurutku mahal, tapi tidak buat seorang bintang Hollywood yang punya penghasilan lebih dari cukup dari sebuah film.
Paul memilih tempat ini karena para fansnya tidak akan bisa mendekat. Ya, adakalanya orang-orang seperti Paul punya kebebasan sendiri, menjadi orang kebanyakan yang bisa kencan semaunya.
Kencan? Ya anggaplah begitu.
Paul memesankan kopi latte untukku sementara dia suka yang hitam pekat dalam gelas kecil. Untuk mengisi perut, dia memesankan sandwich dan kentang goreng. Aku tidak begitu lapar sebenarnya, bahkan bisa kubilang mual. Mual melihat kemesraan Mawar dan Fandy. Perasaan itu masih terbawa sampai sekarang dan aku yakin, Paul tahu itu.
“Lupakan Kak Mawar sebentar, bisa?” tanyanya kepadaku yang melamun sambil melihat sawah.
Aku menoleh, menatap malas Paul yang tersenyum manis padaku.
“Semalam…,” aku mencoba mencari kata-kata yang pantas untuk diucapkan, “mungkin itu yang terakhir.” Aku menghela napas berat kemudian kembali melihat keluar.
“Aku tidak pernah melarangmu untuk berhenti berhubungan dengan kakakku. Tapi entahlah dengan Fandy. Dia belum tahu soal ini.”
Aku tersentak. Kembali kutatap Paul dengan begitu serius.
“Belum tahu katamu? Mawar seharusnya ngomong, Paul. Dia harus ngomong!”
“Tidak semudah itu, Hujan. Kamu pikir dia akan siap menerima fakta kalau calon istrinya itu pacarmu?”
Aku tersenyum sinis. “Aku siap kalau dia mengambil Mawar dariku. Ya, kurasa pada awalnya akan menyakitkan, tapi lama-lama dia mencoba terbiasa dengan sesuatu yang kurasa di Amerika sana banyak yang kayak begitu.”
Paul menggeleng. “Kak Mawar belum siap untuk cerita. Dia takut, Fandy mengubah rencananya untuk pindah ke Indonesia setelah menikah. Dia berhasil membujuk Fandy untuk menemaninya di sini dan mungkin akan membuat bisnis baru. Bisnisnya di sana akan dikelola sama teman-temannya. Nah, sampai sejauh ini, semuanya berjalan sesuai kemauan Kak Mawar. Jadi, jangan sampai membuat kekacauan. Kamu mengerti itu?”
Aku menyesap minumanku tanpa sedikit pun ingin menanggapi. Pandanganku terarah pada sebuah rombongan pengunjung yang baru datang. Anak-anak SMA swasta yang terkenal SPP-nya sangat mahal dan beberapa gurunya adalah warganegara asing. Mereka duduk di meja yang digabungkan menjadi satu. Ada dua puluh jumlah mereka 15 siswi dan 5 siswa. Sepertinya ada yang berulang tahun di antara mereka. Mungkin seorang siswa jangkung dengan rambut agak gondrong dan menggandeng seorang perempuan yang tampak malu-malu. Mungkin mereka baru pacaran.
Paul mengikuti pandanganku dan pandangan rombongan itu satu per satu terarah pada kami.
“Paul, kayaknya mereka… kita pergi aja?” Aku membaca gelagat kurang baik.
Paul memegang pergelangan tanganku, menahanku dari berdiri. Mereka tampak berbisik-bisik lalu si pemuda yang berulang tahun berjalan ke arah kami. Ah Pauliquerz, begitu para fans Paul menyebut diri mereka.
“Maaf, Anda Paul si bintang serial TV Break It Down, Rachel? Saya Rouhan.” Pemuda itu dengan pede mengulurkan tangan dan Paul langsung menyambutnya tanpa ragu.
“Halo, ada acara apa?” tanya Paul basa-basi sambil melihat ke arah teman-teman Paul yang pasti ingin menjerit histeris melihat sang bintang idola ada di dekat mereka.
“Ini ulang tahunku. Mau bergabung? Aku yang traktir. Ajak juga pacarmu,” kata Rouhan.
Aku tersedak lalu terbatuk-batuk kecil. Paul mengelus-ngelus punggungku seakan aku benar-benar pacarnya. Kurang ajar, awas kau nanti, Paul!
“Oke, kami gabung ya. Tapi jangan kasih tahu siapa-siapa kalau aku di sini. Aku sedang asyik pacaran,” jawab Paul sambil mengedipkan mata lalu menarik tanganku supaya berdiri dan mengajakku-secara paksa-mengikuti langkah Rouhan.
Si Paul ini emang pingin cari masalah ya!
Pesta ulang tahun selesai dan mereka sangat berterima kasih atas kebaikan hati Paul yang mau meramaikan pesta ulang tahun si anak pengusaha kokon itu. Lantai dua memang Rouhan sewa setelah Paul menyatakan kesediaannya bergabung. Hanya ada kami dan semua orang tampak bahagia. Aku melihat Paul tidak menjaga jarak dengan mereka. Dia bukan artis sombong yang merasa berada di kasta tertinggi. Paul sangat ramah. Semua orang menyukai Paul.
Setelah bertukar nomor ponsel dengan Rouhan, Paul mengajakku masuk ke dalam mobil. Dia begitu ceria dan topi ulang tahunnya ia copot lalu diletakkan di dashboard. Ada tulisan Happy Birthday Rouhan, di sana. Ah anak orang kaya. Andai aku punya uang lebih, aku juga ingin adik-adikku merayakan ulang tahunnya. Tapi itu tidak mungkin. Setiap bulan hampir ada yang berulang tahun. Bahkan di bulan Juni, ada empat yang ulang tahun.
“Kamu pasti belum mau pulang. Kita jalan-jalan dulu yuk!” Paul menyalakan mobil kemudian menekan tombol hingga pintu terkunci otomatis. Roda mobil pun meluncur meninggalkan parkiran kafe yang agak sepi, maklum sudah mau tutup.
Aku mengecek ponsel dan beberapa pesan masuk dari Mawar kubaca.
Sayang, aku mau ketemu.
Kamu di mana? Kok belum pulang sih?
Sayang, kangen….
“Kalian harus mulai belajar menjaga jarak,” ujar Paul yang membuat jariku yang baru mau mengetikkan SMS balasan, urung bergerak. Kumasukkan ponselku ke dalam saku lalu menyandarkan kepala ke jendela mobil.
Lama kami saling diam, bahkan Paul tidak berinisiatif menyalakan musik. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. Hari ini aku izin tidak masuk kerja dan itu berarti jatah liburku berikutnya akan dipotong. Semua ini membuatku kacau.
Aku lalu mengeluarkan HP dan menghubungi seseorang. Widi, aku merindukannya. Aku bahkan lupa mengabarinya seharian ini. Kami berbicara sejenak dan itu membuatku sedikit tenang. Setelah pembicaraan selesai, Paul menepikan mobil. Dia melepas sabuk pengaman kemudian menurunkan jendelanya.
“Hujan, jangan buat masalah baru. Aku sudah bilang perempuan itu hanya akan membuat kamu semakin susah buat bergerak.”
“Aku butuh seseorang untuk pelampiasan, Paul. Dan Widi bisa tanpa ngasih syarat apa-apa. Kali ini aku nggak mau dengerin kamu. Aku punya hidup sendiri dan kamu jangan ikut campur… sampai kita menikah. Paham?”
Paul menggeleng dengan tegas lalu mengubah posisi duduknya jadi menghadap padaku.
“Mau kamu bagi berapa hatimu, Hujan? Kamu nggak boleh seperti ini. Aku tahu kamu tersakiti sama Kak Mawar, tapi bukan berarti kamu bisa membalaskan dengan cara yang sama. Kak Mawar itu sakit, kehamilan itu akan membantu dia!”
“AKU JUGA SAKIT, PAUL!” bentakku marah. “Mawar itu sudah mengkhianati apa yang pernah kami sepakati bersama! SEMUANYA! Aku kecewa dengan semua yang dia lakukan! Kau tahu kenapa? Karena semakin ke sini, aku harus menghadapi kenyataan kalau semakin hari aku semakin cinta sama dia! Tapi aku nggak bisa apa-apa!”
Paul menenangkanku. Dia menyentuh pundakku pelan.
“Kamu tahu kan semua itu, Paul? Aku bahkan tidak mampu mengendalikan diriku sendiri. Setiap kali menciumnya, aku frustrasi. Aku tidak bisa merelakan dia pergi dengan lelaki mana pun. Dia akan menjadi ibu, dia akan sibuk dengan anaknya. Dia akan sibuk dengan Fandy. Lalu kapan waktunya untukku? Dan aku tidak boleh belajar mencintai orang lain untuk menyembuhkan lukaku sendiri?"
Paul mengambil sehelai tisu kemudian mengusap air mataku yang jatuh mengenai punggung tangannya.
“Aku mencintaimu, Hujan. Kamu bisa belajar mencintai aku. Widi bukan orang yang kamu butuhkan. Aku akan menunggu sampai hatimu terbuka untukku. Aku akan menyibukkan diriku di Amerika dan tidak akan dekat dengan wanita mana pun, selain kamu.”
Aku menepiskan tangannya di bahuku.
“Kau yakin jika manusia bisa mengubah takdirnya?” tanyaku setelah terdiam sekian jenak.
Dia mengangguk pelan.
“Termasuk takdir kita akan bersama?” tanyaku dingin.
Paul menatapku dan aku membalasnya. “Pandanglah aku bukan sebagai adik Kak Mawar. Aku adalah Paul, dan aku cinta sama kamu, Hujan.”
Aku menggeleng pelan. “Sudah malam, Paul. Aku mau pulang.”
Paul menghela napas dan menyerah. Dia menyalakan mobil serta musik untuk mengisi kekosongan di antara kami. Diam-diam, aku mengirimkan SMS untuk Widi.
Kangen kamu.
Tags
Fiksi