Delirious

“Kak, lemper? Bolu kukus? Murah, Kak, dua ribu aja.”

Adel menoleh, dahinya berkerut. Melihat ke sekeliling. Ia sudah mencari tempat yang tidak mudah terlihat oleh orang lain, tapi mahasiswi—yang sepertinya masih baru itu—tiba-tiba menghampirinya dengan boks makanan transparan. Ia terusik. Dan belum ada yang berani mengusiknya selama tiga tahun kuliah di kampus swasta yang lumayan terkenal di kota Yoyakarta itu.

“Rokok ada?” Adelia melongok ke dalam kotak yang di dalamnya tersusun beberapa jenis jajanan pasar. Ia lebih suka mengisap Marlboro Ice Blast ketimbang lemper atau risoles.

“Nggak jual rokok, Kak. Sudah ya, Kak, saya mau jalan lagi.” Mahasiswi itu menutup kotak makanannya kemudian berdiri sembari membersihkan rok panjangnya.

“Ya,” jawab Adelia singkat lalu kembali memasang headset ke telinganya. Ia tidak memperhatikan ke mana si mahasiswa penjual kue itu pergi. Ia sedang sibuk mengerjakan tugas editing video dari sang dosen. Lusa harus dikumpulkan. Kalau tidak, ia lagi-lagi harus mengulang mata kuliah itu.

“De! Lo nitip makan nggak? Gue mo ke SS nih!” Sandy, cowok kurus berkacamata yang terhitung sebagai penghuni Kosan Bu Hani seperti halnya Adelia, teriak dari kejauhan. Sudah kebiasaan, kelakuan kayak Tarzan, bukannya ketuk kamar lalu menunggu yang punya kamar buka pintu, bicara dengan volume normal, seperti orang-orang normal.

“Gue nitip, San! Ayam paha, sambel bewang mentah, jus alpukat, sama nasi setengah!!!”

“Okeee!!!”

Kreeeeek!!! 

Adelia merutuk. Sandy tidak pernah yang namanya membuka sliding door garasi dengan—lagi-lagi—normal. Selalu menimbulkan suara, dan itu namanya BERISIK! 

Brumm!!!Bruuuummm!!!

Ya Allah!! batin Adelia kesal. Suara motor butut itu kembali menimbulkan suara berisik luar biasa. Mentang-mentang tetangga sebelah sudah pindah rumah, dia pikir bisa seenaknya memamerkan suara mesin motor super cempreng.

Begitu suara motor itu menjauh, Adelia menghela napas lega.

Treeet!! Treeet!!

“Iya, bentar!”

Berhubung penghuni kos memang tinggal Adelia dan Sandy, harus dialah yang membukakan pintu. Mungkin mau mengantar undangan nikah penduduk sekitar atau petugas yang memeriksa jentik-jentik nyamuk, utusan RT.

“Siang..., Kak....”

Sebelah alis Adelia terangkat. Mahasiswi baru yang kemarin jualan kue. Datang dengan membawa kotak kue yang masih penuh, tidak seperti kemarin yang hanya sisa beberapa saja. Dia menunduk, tidak menyangka akan ketemu dengan kakak kelas yang sebenarnya di beberapa mata kuliah mereka sekelas. Hanya saja Adelia tidak pernah mau tahu. Ia tidak begitu bergaul dengan teman-teman di kampus. Ialebih banyak kumpul dengan para sineas film pendek di sebuah ruko, dekat pusat kota.

“Kamu lagi. Jualannya nggak cuma di kampus? Udah izin Pak RT?”

“Bukan mau jualan, Kak. Saya mau cari kosan.”

“Ini kosan cowok. Kalau kosan cewek di sebelah selatan yang banyak.”

Mahasiswi itu mengamati Adelia dari atas sampai pinggang. Apa ia salah dengar? Bukankah yang berdiri di hadapannya sekarang.... Menyadari ada hal ganjil yang dikatakannya barusan, Adelia segera meralat.

“Saya keponakan yang punya rumah. Jadi sengaja tinggal di sini buat jaga kosan.”

“Oh gitu ya, Kak? Kalau gitu saya permisi dulu. “

“Mau ku....”

“Mau kue bolu, Kak?” tembak mahasiswi itu. Dia mengira Adelia berubah pikiran. Siap-siap dia membuka kotak makanannya.

“Nggak, nggak. Besok mending jualan rokok aja deh, pasti aku beli.”

Mahasiswi itu tersenyum. Adelia yang salah tingkah.

“Oke, sekarang saatnya Adelia Apriliani untuk presentasi.” Tidak lama setelah melangkahkan kaki ke ruang kuliah, Pak Joko mencari sosok mahasiswa yang di matanya punya passion dalam bidang editing video, tapi kehadirannya yang jarang di kelas, membuat dosen killer ini dengan berat hati memberi nilai E dua semester lalu di KHS Adelia. “Adelia ada?” tanyanya sambil meneliti tiga puluh mahasiswanya yang hadir.

“Hadir, Pak!” Adelia tiba di ambang pintu dengan napas ngos-ngosan. Semua mata mengarah ke padanya. Ia melangkah ke barisan paling belakang kemudian mengambil DVD presentasinya.

“Saya kira sengaja bolos,” kata Pak Joko dengan pelan di samping Adelia yang sibuk dengan laptop yang sudah tersedia di depan, fokus dan layarnya.

“Hape saya mati gara-gara lowbat, Pak.” Adelia hanya butuh beberapa menit untuk menyiapkan semuanya sendiri, lalu mulailah ia memutar presentasinya di depan pak dosen dan mahasiswa lain. Ia menggunakan mic wireless untuk menjelaskan videonya. Matanya tanpa sengaja bersitatap dengan mahasiswi si penjual kue. Baru saat itu ia tahu.

“Rokok, Kak?”

Sama seperti beberapa hari lalu, kembali Adelia dihampiri si mahasiswi penjual kue. Ia dan kotak berisi beberapa potong kue. Tapi yang diulurkannya adalah sebungkus Ice Blast beserta korek api bercap Alfamart.

“Mulai jualan rokok sekarang? Rokok itu membunuhmu.” Adelia berkata sambil tersenyum masam. Tangan si mahasiswi masih terulur.

“Oke, deh, berapa?” Adelia tidak sampai hati. Ia yang kemarin menyuruh si mahasiswa itu menjual rokok. Tapi ia tak membelinya. Dikeluarkannya uang lima puluh ribu. “Besok jualan kopi ya. Di sini mahasiswa pada gila kopi.”

“Rokok ini gratis, Kak. Buat Kakak. Saya permisi dulu, Kak.”

Adelia tertegun sementara lawan bicaranya berlalu, mencari calon pembeli lain di kampus ini hingga sore hari nanti. Adelia lalu teringat hal lain, dia belum mengucapkan terima kasih dan bertanya siapa nama mahasiswi itu.

“De, nitip nggaaaakk?! Gue mo ke angkringan depan nih!” Dengan suara menggelegar, Sandy berseru, kali ini di jendela kamar Adelia dan asal tahu saja, kasur busa Adelia terbentang di bawah jendela. Dan Adelia sedang tidur sejak pulang kuliah sore tadi.

Alhasil, Adelia terbangun dengan kaget, mimpinya hilang. Padahal baru satu episode.

“Busyet, volume tuh dikecilin napa, Bro! Nggak jauh, nggak dekat, kayak petir suara lo!”

Sandy terkekeh. Dia bisa saja tadi bicara dengan volume pelan. Tapi ketika menyibak gordin dan dilihatnya Adelia sedang tidur, sengaja dikencangkannya.

“Ye, kali aja lo nggak denger. Udah hampir jam sembilan nih, lo nggak makan?”

Adelia dengan malas, dudukdi kasurnya. Gara-gara dikagetkan gitu, kepalanya jadi pusing. Kalau saja Sandy bukan sobat karibnya sejak SMA yang punya banyak persamaan dengannya, sudah dilemparnya dengan laptop tebalnya.

“Gue ikut deh.” Adelia lalu melihat bungkus rokoknya. Kosong. Ia masih punya satu yang utuh, dari mahasiswi si penjual kue. Sering-sering aja tuh anak ngasih upeti, batinnya.

Angkringan Pak Mamat. Mneyediakan nasi kucing dengan menu sambal teri, atau oseng tempe. Adelia paling suka dengan sambal teri. Biasanya ia tambah dengan sate usus dan telur puyuh. Minumnya kopi hitam. Kalau masih lapar, ditambahnya dengan dua potong pisang goreng.

Adelia sedang membalas pesan dari adiknya yang kos di Solo saat seseorang duduk di sebelah kanannya.

“Pak, sate ususnya habis ya?”

Adelia menoleh.Perempuan itu pun menoleh, baru menyadari kalau di sampingnya adalah kakak kelas yang tampilannya bisa dibilang supercuek, dengan potongan rambut spike dicat merah. Tindikannya ada lima di telinga kanan. Yang suka menyendiri di halaman belakang gedung kampus, menyibukkan diri dengan laptopnya, sambil mendengarkan musik.

“Kamu. Jadi kos di sekitar sini?”

“Iya, Kak. Di sini per bulannya mahal-mahal ya?”

Adelia mengangguk-angguk. Kosan sekitar kampus memang mahal. Yang paling murah tapi nggak murahan ya kos yang ia tempati sekarang. Tapi, ia tidak berbohong kalau itu khusus laki-laki. Ia pun bisa berada di sana karena Sandy yang berhasil merayu Bapak Kos supaya menerima Adelia. Toh Adelia perilaku dan dandanannya sudah seperti laki-laki.

“Dagangan hari ini laku berapa?” Terdengar iseng pertanyaan itu, hingga ia mendengar Sandy terbatuk dan buru-buru menenggak es tehnya. Adelia pura-pura tidak tahu.

“Oh ya, aku Adelia, ini Sandy.”

“Saya Putri, Kak.”

Putri kini berjualan kue dan kopi. Tidak dengan rokok. Ia hanya menyisihkan uang untuk membelikan Adelia Ice Blast. Benar kata kakak kelasnya itu, banyak yang menyukai kopi buatannya. Ia tidak lagi berkeliling menjajakan dagangannya, tapi diberi space di dalam kantin. Kalau ia ada kuliah, ia menitip dagangannya pada Ibu Kantin.

Tapi itu justru membuatnya jarang bertemu sang kakak kelas. Karena Adelia bukan orang yang senang ke kantin. Ia masih saja di tempat favoritnya, menyendiri. Ketika Adelia selesai berjualan sekitar sore hari, tak ditemukannya Adelia. Ia rindu dengan sosok yang dikaguminya itu. Adelia juga tidak sesering Sandy nongkrong di angkringan. Ia menyesal karena tak lagi berkeliling menawarkan dagangannya

Di suatu sore, Putri ke Warung Mbak Endah untuk mengembalikan sisa kue dagangannya. Sejak berjualan di kantin, kue-kuenya sering habis, paling hanya sisa 1-2 potong saja. Mbak Endah mencatat di buku lalu mengeluarkan uang dari sakunya.

“Total sama yang kemarin, pas 75 ribu ya, Put.”

“Iya, Mbak, Makasih. Saya beli Malboro Ice Blast satu.”

“Kamu ngerokok ya, Put?” selidik Mbak Endah sambil mengeluarkan sebungkus rokok berwarna biru dengan tulisan Malboro warna putih.

“Buat teman kok, Mbak.”

“Mbak, Ice Blast sebungkus.”

Putri membeku ketika mendengar suara orang yang berdiri di belakangnya. Rokok itu sudah di tangannya, uang kembalian pun telah dipegangnya. Cepat-cepat dimasukkannya ke saku jaket. Stok Ice Blast terakhir. Sisanya Dji Sam Soe dan rokok-rokok lokal. Ia yakin, Adelia tidak akan membeli rokok-rokok berat.

“Wah, habis, Mbak Ade. Coba di warungnya Mang Karim.”

“Yaah, udah ke sana tadi, Mbak. Di Alfa juga tumben kosong. Ya udah deh, Mbak. Kali aja si Sandy punya. Kalau nggak, ya puasa dulu.”

Adelia pun berlalu, tanpa menyapa orang yang tadi membelakanginya. Ia tahu itu Putri. Ia pun sempat melihat di tangan Putri ada sebungkus rokok favoritnya. Ia tahu, Putri membeli rokok itu untuknya. Ia tahu, Putri membeli rokok itu di warung Mbak Endah dari sei pemilik warung. Adelia yang meminta supaya Mbak Endah menyetok Ice Blast di warungnya. Dan tidak ada orang lain yang membeli rokok itu selain dia. Dan kemudian Putri.

“De! Ada Putri nih!” Suara menggelegar Sandy menembus sampai dinding kamar mandi di dalam kamar tidur Adelia. “Gue ngampus dulu!”

Tak lama, suara mesin motor butut Sandy pun menggelegar, tidak lama kemudian menjauh dan hening.

Adelia mematikan keran. Ngomong apa tadi dia? Tumben amat ke kampus hari Jum’at. Perasaan Jum’at dia tidak ada kuliah. Adelia melanjutkan mandi. Dua hari ia tidak mandi karena alasan: malas. Itu sudah biasa. Ia dan Sandy sama-sama malas mandi. Sama-sama penyuka film dokumenter. Dan banyak lagi kesamaan lain.

Ia keluar dari kamar mandi dengan rambut basah sepuluh menit kemudian. Aroma wangi sabun Lux masih melengket di tubuhnya. Dilemparkannya handuk cokelatnya ke gantungan handuk. Disisirnya rambut yang mulai memanjang dengan jari. Setelah mengoleskan deodoran dan parfum keluaran Axe, ia keluar kamar. Mau menuju dapur, dan ia menangkap sosok Putri yang duduk manis di sofa di ruang tengah.

“Eh Put, udah lama?”

Putri mengangguk pelan. Ia berdiri dengan canggung sementara Adelia masuk ke dapur untuk melihat isi kulkas. Ada roti tawar, lumayan buat mengisi perut.

“Put, mo minum apa?!” seru Adelia. Ia merutuk dirinya yang juga terbiasa bicara dengan volume keras. Ia berdiri di ambang dapur dan mengulagi pertanyaannya. “Sori, mau minum apa?” Kali ini dengan volume biasa.

“Jangan repot-repot, Kak.”

“Teh aja ya. Kamu nggak suka kopi kan?” kata Adelia dengan tersenyumlalu kembali berkutat di dapur.

Putri tertegun. Dari mana kakak kelasnya itu tahu? Bukankah ia tidak pernah ditanya apa yang ia suka dan tidak suka? Dia kembali duduk lalu tersenyum. Dirabanya sebungkus rokok di sakunya. Untuk si kakak kelas yang disukainya. Dikeluarkannya rokok itu lalu ia letakkan di atas meja.

Adelia keluar roti yang dibakar dengan menggunakan panci antilengket, lalu diolesi mentega dan ditaburi meses. Butiran coklat sedikit meleleh terkena panas. Di atas nampan juga ada secangkir kopi dan secangkir teh.
“Silakan. Kamu nggak ke kampus, Put?”

“Kak, ini buat Kakak.” Putri menyorongkan rokok itu ke dekat nampan.

“Makasih ya. Tapi aku jadi kepikiran berhenti merokok deh, Put.”

“Kenapa, Kak?”

“Biar kamu nggak usah buang-buang uang buat ngebeliin aku rokok.”

Putri menunduk. “Soalnya Kakak nggak suka kue.”

Adelia memperhatikan sosok itu dari kejauhan. Yang sibuk melayani para pembelinya. Hingga tak sempat mengedarkan pandangan sampai ke bawah pohon mangga yang sedang berbuah. Adelia mengarahkan handycamnya, merekam Putri dari kejauhan. Merekam Putri kapan saja ia sempat. Sosok yang Adelia tahu tapi Putri tak pernah menyadari kehadirannya.

Mereka dulu bertetangga di Solo. Ah, tentu saja Putri tidak tahu soal dirinya. Putri itu teman sepermainan Indra, adik Adelia. Sering ia melihat keduanya bermain di halaman rumah Adelia. Keadaan fisik yang membuat ia selalu mengurung diri di kamar. Dia sempat lumpuh selama beberapa tahun. Ia tak mau keluar rumah dan menemani adiknya bermain, hingga datanglah tetangga baru itu. Keluarga Putri. Indra pun bermain dengan Putri. Putri mengira Indra anak satu-satunya. Ia pun tidak pernah melihat foto keluarga yang lengkap. Karena Adelia meminta semua foto keluarga yang ada dirinya dicopot dan disimpan di gudang. Kalau tidak, ia akan mengeluarkan jurus andalannya, berteriak-teriak histeris.

Putri mengangkat pandangan. Di kejauhan, dilihatnya sosok bertongkat dan berjalan pincang itu berjalan meninggalkan pohon mangga sambil melihat sesuatu, mungkin ponsel atau kamera. Hingga tak menyadari jika Putri memperhatikannya. Selalu menyadari jika kakak kelasnya itu sering diam-diam merekam dirinya belakangan ini.

Awalnya ia heran, mengapa Adelia melakukan itu. Hingga tanpa sengaja ia bertemu Indra di mal. Indra teman sepermainannya dulu saat ia sempat tiga tahun di Solo. Mereka masih saling mengingat dan menghabiskan waktu di mal sampai mal itu tutup.

“Sedang main aja sih, Put, lagipula kakakku kan kuliah di sini.”

“Kakak? Bukannya kamu anak tunggal?”

“Panjang ceritanya, Put. Yang pasti aku punya kakak di sini, namanya Adelia. Ini fotonya. Oh ya kamu kuliah di mana?”

Putri tertegun melihat foto di ponsel Indra. Adelia. Kakak kelasnya yang misterius. Ya, Indra pun wajahnya mirip dengan Adelia. Hanya saja Indra memanjangkan rambutnya yang kribo dan kumisnya dibiarkan tumbuh cukup tebal. Pantas saja... saat melihat Adelia, ia seperti dejavu.

Pantas, ia seperti pernah melihat seseorang dengan kursi roda, duduk di dekat jendela kamar. Di lamar di lantai dua rumah Indra. Wajah itu. Wajah yang sedih.
“Kak, bolu? Atau lemper?”

Adelia terhenyak. Putri sudah duduk di hadapannya dengan kotak makanan berisi jajanan pasar yang masih penuh. Hari sudah siang, mengapa jualan Putri masih utuh? Dan mengapa ia tidak lagi berjualan di kantin?

“Nggak suka ya, Kak?” Putri menutup kembali kotak makanannya. Sudah paham, Adelia punya favorit yang lain. Dikeluarkannya kotak makanan ukuran persegi. Dibukanya. Makanan yang pasti akan diambil Adelia.

Roti bakar.



Yogyakarta, 24 Maret 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post