Melinda City

Barang-barangku satu per satu mulai diturunkan dari pick up hitam yang juga menjadi tumpanganku hingga ke kota kecil-yang tak banyak orang mendengar bahkan memperhatikannya di peta-bernama Melinda. Tujuh jam perjalanan berakhir di depan sebuah rumah kecil-yang tampak kosong dan angker. Halamannya cukup luas, dan tak ada rumah lain di sekitarnya. Berarti rumah kerabat Pak Tohir-sopir mobil pick up ini-yang terdekat dengan rumah baruku. Aku memang tidak tinggal di pusat kota yang ramai, tapi sudah ke pinggiran.

Pria tambun berkaus singlet itu turut menurunkan kardus-kardus hingga akuarium berisi ikan-ikan hias kesayanganku. Setelah kuberi uang tiga ratus ribu-kulebihkan karena ia begitu ramah-Pak Tohir pun pergi. Ia akan pulang ke rumahnya karena sudah ada yang membutuhkan jasanya lagi.

Hmm... akhirnya aku bisa sejenak menikmati udara sejuk sambil menulis novel terbaruku. Konon, penduduk Melinda sebagian besar adalah penjaja cinta. Alias pelacur dan gigolo. Melinda pun katanya seorang pelacur yang berhasil mengubah tempat ini menjadi sebuah kota yang cantik tapi punya sisi natural yang mengagumkan.

Aku tertarik membaca profil Melinda yang tak sengaja kutemukan saat browsing dan penasaran dengan kotanya. Dan inilah Melinda.

Menurut artikel itu, para pelacur dan gigolo di Melinda merantau ke kota-kota besar. Jangan salah, di sini tidak ada yang namanya lokalisasi. Di Melinda dilarang menjual tubuh. Kota ini bersih.

Meski lelah, aku tetap saja membongkar barang-barangku dan mulai menatanya. Tentunya setelah debu-debu dan sarang laba-laba kumusnahkan. Rumah ini kubeli dari seorang traveler tua kenalan ayahku. Awalnya aku tidak tertarik karena status "kota". Begitu Garry memperlihatkan foto dirinya di depan rumah ini, aku langsung bilang "deal!"

Malam pertamaku di Melinda.Sepi. Mataku sudah begitu berat dan acara TV tidak mampu mencegahku untuk tidur.

Pukul tiga pagi aku terbangun. Kumatikan alaram sebelum ia berbunyi sepuluh menit lagi. Udara cukup dingin, menggodaku kembali tidur. Tidak. Aku harus mulai menulis.

Alunan suara Madonna mengalun dari speaker komputerku. Aku selalu suka Madonna, artis yang tidak akan bisa dikalahkan Rihanna atau Miley Cyrus sekalipun.

Prolog. Aku sudah memikirkan cerita ini sejak setahun lalu. Tapi baru bulan lalu mulai kubuatkan outlinenya. Dan aku butuh mengisolasi diri.

Aku terus menulis sampai pukul sembilan pagi. Kata Pak Tohir, tidak jauh dari rumahku ada sekolahan. Di sekat sekolahan ada sungai. Di utara sungai ada rumah pohon. Dari rumah pohon itu aku bisa melihat persawahan dan bendungan. Cukup inspiratif juga. Kenapa tidak coba berkontemplasi di sana?

Rumah pohon itu biasanya dijadikan tempat beberapa murid kumpul sebelum mereka pulang ke rumah masing-masing. Mereka mengosongkan rumah pohon sekitar pukul satu siang.

Aku mulai rajin ke sana pukul sebelas. Hanya duduk-duduk sambil sesekali mencatat ide-ide yang lewat di benakku. Setengah jam lagi, sekolah akan bubar. Ada lima anak yang selalu ke rumah pohon ini. Mereka kelas lima SD. Baim, Indy, Vitri, Inggit, dan Irfan. Anak-anak yang masih polos. Siapa sangka mereka keturunan para pembuat dosa? Lalu iseng kutanyakan, apa cita-cita mereka.

"Kerja seperti Ayah dan Ibu," jawab Inggit.

"Memangnya kerja orang tua kalian apa?" pancingku.

"Kalau Ayah sering pergi sama temannya, kalau pulang bawa uang banyak," jawab Inggit.

"Orang tua kami kerjanya ya sama, Kak. Nemenin tamu di kota."

Mereka tahu dan tidak malu. Selain itu, aku kagum karena angka perceraian di Melinda sangat rendah. Mungkinkah mereka benar-benar begitu saling memahami? Atau kadar cemburu mereka sudah begitu rendahnya? Sayangnya aku tidak tertarik untuk meneliti lebih jauh. Tujuan utamaku bukan itu.

Siapa penduduk dewasa di kota ini yang tidak pernah dicicipi orang lain?

"Nggak ada, Dy, namanya kota para pelacur," jawab Bunga, salah satu guru SD yang kukenal dari anak-anak itu. Usianya masih 20 tahun. Lahir dan besar di Melinda. Kuliahnya di kota yang kini sudah kutinggalkan. Dia sengaja memilih Melinda untuk mengajar.

"Kalau kamu?" Aku menyalakan rokok, menunggu jawabannya. Sopan atau tidak pertanyaanku itu?

"Aku bayar kuliah ya dari situ, Dy."

"Wow!" Cetusku sambil melihatnya dari rambut sampai kaki. Kurasa wajahnya yang manis dan natural tidak akan sulit menarik para lelaki iseng.

"Nggak cuma laki-laki. Aku biasa juga melayani tamu yang suka sejenis."

Senyumku membeku seketika. Jadi, ibu guru IPA ini bisa apa saja. Dan bagiku tidak masalah. Kenapa harus pilih-pilih? Toh ini hanya pekerjaan.

"Cuma sekarang off dulu."

"Milih jadi guru aja?"

Dia mengangguk. "Yuk ikut!"

"Ke mana?" Aku tidak mau kalau sampai dijebaknya.

"Ada tempat yang cocok buat penulis kayak kamu, Dy."

Dia menuruni rumah pohon lalu berjalan mendahuluiku. Riang langkah-langkahnya. Menuju bukit. Bukit Melinda. Hewan-hewan ternak digembalakan di bukit ini.

"Hey, Dy, ayo!" Bunga melambaikan tangan. Langkah-langkahnya begitu cepat mendaki bukit yang tak seberapa tinggi.

"Iyaa!" Lalu aku berlari menyusulnya, Bunga pun berlari. Tak mau sampai terkejar olehku.

Puncak Bukit Melinda. Hamparan rumput yang menyenangkan mata. Napasku terengah, aku jarang berolahraga. Malas. Kakiku tidak biasa dipakai berlari. Dan di depan sana, si ibu guru semakin jauh.

"Dy. Ayo!" panggilnya.

"Mau ke mana lagi?"

Bunga tak mau menjawab, langkahnya terus bergulir menuju ke timur, sesekali menoleh, memastikan aku ikut. Mau ke mana sebenarnya dia? Ah, padahal matahari masih terik begini.


Danau. Kecil. Ada jembatan kayu yang menjorok ke tengahnya. Di ujung jembatan sana, Bunga menungguku.

Kulihat ke sekeliling. Pak Tohir tidak menceritakan danau ini. Hanya dia bilang di Bukit Melinda ada padang rumput untuk domba-domba dan sapi ternak.

"Indah di sini," ujarku sambil duduk di samping Bunga. Ikut mencelupkan ke air danau yang dingin.

Kunikmati pemandangan ini, sepuasnya, hingga pandanganku berhenti di Bunga. Hanya diam ia. Ada apa?

Sentuhanku di bahunya, membuatnya tetap bergeming.

Pertemananku dengan Bunga meningkat jadi sahabat. Terlebih semenjak Vidy Ariana tercatat menjadi guru SD, mengajar kelas 6 bahasa Indonesia. Sekolah itu sebenarnya sudah punya guru bahasa Indonesia, tapi murid-murid mau aku yang mengajari mereka menulis. Padahal, mereka tidak tahu novel-novelku. Tidak tahu apa yang kutulis.

Bunga adalah guru matematika. Pelajaran yang tidak disukai murid-murid kurang cerdas. Tapi Bunga bisa membuat mereka betah selama jam pelajaran. Dia jenaka. Sungguh. Jika aku tidak iseng suatu kali duduk di barisan belakang dan mengikuti pelajarannya, aku takka tahu dia selucu itu.

Tapi aku masih penasaran apa yang membuatnya sedih waktu itu. Kalau kutanya, dia menggeleng. Kalau kupaksa, dia menyebutku mau tau urusan orang. Ya sudah, aku tak memaksa, asal aku boleh berlama-lama duduk di teras rumahnya.

Duduk di teras rumahnya lebih asyik ketimbang di kamar tidurnya. Maksudku, ah, ya kurasa kau pun paham. Jika aku pernah memasukkan tokoh pelacur dalam salah satu novelku yang laris di pasar, jujur saja jika itu kutulis tanpa riset mendalam. Aku hanya mereka-reka. Aku mulai mengisap rokok baru ketika mengenal Bunga. Sumpah, aku takut berada di dekatnya, dan kusembunyikan di balik sikapku yang ala maskulin. Aku takut.

Orang tua Bunga masih lengkap. Mereka tipikal orang tua di Melinda, sangat terbuka dan jauh dari pikiran negatif. Keramahan mereka buktinya. Aku dengar, seringkali penduduk Melinda menjadi objek penelitian mahasiswa sosiologi tingkat akhir untuk bahan skripsi. Siapa yang tidak penasaran bagaimana kehidupan komunitas pelacur? Dan kudengar juga, ada saja oknum yang menggunakan kesempatan untuk memakai jasa penduduk. Dengan gratis. Tapi, orang-orang itu lalu diusir dengan tidak hormat. Ya, percaya atau tidak, perzinaan dilarang di kota ini.

"Bunga, aku senang berada di sini. Novelku sudah jalan setengah. Padahal baru empat bulan," akuku di suatu sore, saat itu kami sedang duduk di teras sambil menikmati teh panas.

"Bagus dong, pokoknya kalau udah terbit, aku mau satu!" Bunga berseri-seri.

Segera kualihkan pandanganku yang terlalu lama menikmati kecantikannya. "Aku persembahkan novel ini buat kamu."

"Serius? Makasiiih, Dy! Kamu baik banget ya." Dia memelukku setelah mencium pipiku. Aku menahan napas. Kenapa adegan yang kutulis di novelku benar-benar terjadi? Cepat-cepat aku menjauhkan tubuh lalu meraih cangkir tehku.

"Dy, kamu nggak nyaman ya?"

"Ng? Nggak lah! Nggak nyaman kenapa, Bunga? Hampir tiap hari aku ke sini, kita ngeteh atau nggak kita di danau sambil cerita-cerita." Rokokku jatuh ke lantai dan kuinjak sampai apinya mati. Sial! Kenapa tiba-tiba aku merasa gugup begini?

"Aku nggak pernah diajak ke rumah kamu. Tiap kali aku pingin nganterin kamu pulang, selalu ada alasan yang menurutku terlalu dibuat-buat. Kenapa, Dy? Kamu takut aku berbuat sesuatu?"

"Karena... biar kamu nggak harus jauh-jauh nganterin aku, Bunga. Dan di sini suasananya lebih asyik. Di rumahku kan halamannya nggak ada apa-apa. Cuma bikin kamu bosen aja." Aku menyalakan rokok lagi dan sengaja tidak membalas tatapannya.

"Ya udah, nggak apa-apa kok."

Ya udah nggak apa-apa kok itu, bukan ungkapan dalam arti sebenarnya. Bunga menjauh. Dan sangat sengaja. Gesturnya itu beda dengan yang biasa. Kami masih bertegur sapa, tapi dingin. Bunga menyibukkan diri dengan tugas murid-muridnya. Ia baru meninggalkan sekolah pukul empat. Pulang sendirian, aku melihatnya dari kejauhan.

Oke, aku harus memperbaiki ini. Aku yang memang keterlaluan.

"Bunga, pulang bareng yuk!" ajakku di suatu siang.

"Duluan aja, Dy. Lagi baca buku ini." Bunga memperlihatkan buku bersampul biru muda.

"Seminggu belum selesai juga?" Ah keceplosan! Aku tahu memang dia tidak benar-benar membaca buku itu. Hanya jadi alasannya semata jika sedang tidak mood memeriksa tugas-tugas muridnya dan aku mengajaknya pulang.

"Kamu bukannya harus nulis, Dy?"

"Nulis kan bisa malam, Bunga. Gimana kalau kita ngeteh? Udah lama kan kita nggak ngobrol?"

"Lain kali deh, Dy. Lagi asyik nih."

Berkali-kali Bunga menolakku. Sumpah, ini tidak menyenangkan. Dia satu-satunya teman di Melinda. Satu yang bisa kupercaya, jadi temanku cerita. Lalu sekarang aku harus ngobrol dengan siapa? Okelah. Hfffft!

Novelku sudah selesai. Akhirnya. Kubaca ulang terlebih dulu baru kuhubungi editor. Hmmm, aku dapat ide. Kujadikan saja novel ini sebagai alasan untuk berbaikan dengan Bunga. Dan, akan kuundang dia kemari. Kuharap dia mau.

"Bunga, sibuk?" Aku duduk di sampingnya. Masih juga buku itu yang dipegangnya.

"Lagi baca."

"Mau nggak kamu baca novelku? Sekalian kamu kasih masukan apa gitu. Di rumahku. Sengaja tidak ku-print karena itu masih draft kasar. Masih harus kubaca ulang dan kuobrolin sama editor. Sebelum itu, aku pingin kamu baca. Please?"

Yes! Akhirnya Bunga mau juga meninggalkan bacaannya dan ikut denganku. Kami berjalan bersisian, tapi berjalan satu lengan. Bunga masih juga menjauh. Langkah-langkah kami hening, hingga kurasa ini sudah tidak perlu diperpanjang lagi. Kuraih lengannya dan kutarik mendekat. Dia menurut dan membiarkan lengan kami menempel. Kutambah dengan memeluk lengannya.

"Kamu masih ingat kan kata-kataku, kalau novel itu kupersembahkan buat kamu, Bunga?"

"Iya, memangnya kamu berubah pikiran?"

"Nggak mungkin, Bunga. Itu tetep buat kamu. Cuma...."

"Cuma apa tuh? Ada syaratnya gitu."

"Bukan syarat, tapi ketentuan."

"Ketentuan apa? Udah, langsung aja deh."

"Kamu... kita... seperti dulu lagi."

"Oke, gampang syaratnya. Terus?"

"Kita terusin di rumahku."

Kami berbaikan. Hubungan kami semakin dekat. Dia membaca novelku lalu mengatakan dia menyukainya. Bukan itu saja, dia pun cerita sesuatu hal tak menyenangkan saat dia masih "menjajakan tubuhnya". Bunga dilukai secara fisik. Berbekas. Aku melihat bekas silet yang melintang di payudaranya, perutnya, lalu di pahanya. Dan percaya atau tidak, sejak itu dia selalu histeris jika tubuhnya tersentuh orang lain.

"Aku takkan mungkin punya kekasih, Dy, aku nggak bisa ngasih apa-apa. Aku sudah dirusak orang. Sampai aku tua, Dy, luka ini terus ada.."

Aku melihat luka-luka itu. Tak bisa kubayangkan menahan sakitnya dan traumanya. Ia tidak menceritakan itu pada orang tuanya. Aku yang tahu. Aku yang melihat semuanya. Ketika dia mengizinkanku melihat tubuh telanjangnya. Setelah sekian lama disimpannya sendiri.

Bukan maksudku untuk basa-basi menghiburnya dengan menyentuh kulitnya. Tanganku bergerak karena perintah dari otakku seperti itu. Bunga menggeleng.

"Aku tidak akan memperlakukanmu seperti pelacur, Bunga." Aku berbaring di sampingnya dan terus menyentuh garis-garis bekas luka itu. Dia masih tidak percaya padaku. Dia menahan napas dan air matanya menetes. Dia takut. Gemetar. Kami sama-sama menyimpan rasa takut, tapi rasa takutnya lebih besar.

Aku mulai mengecupinya, garis-garis itu. Dia terisak tapi tak berani melawan. Matanya dipejamkan hingga tak melihatku melepaskan satu per satu pakaianku. Lalu aku memeluknya. Merebahkan kepalaku di atas dadanya. Membuatnya sehangat mungkin.

Hanya sampai di situ, karena kami harus mencari tempat di luar Melinda untuk menuntaskannya.



Yogyakarta 1 April 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post