My Pretty Little Gay Sister

"Ini... toko kesebelas."

"Sepuluh."

"Terserah. Tapi baru kali ini kamu bingung nyari kado buat Elena. Dia masih Elena yang dulu, Sa."

"Nggak sama, Ron. Dulu dia belum suka sama cewek."

"Dasar kau...."

Aaron enteng saja menyebutku Kakak-Homofobia-yang-Super-Sekali. Ya, dia memang mengantarkanku keluar masuk toko pernak-pernik cewek sampai barang antik. Tapi mulutnya bawel. Komentar mulu. Masalahnya, komentarnya itu justru bernada menyalahkanku.

Dia pikir, mudah menerima kenyataan kalau adikku yang manis dengan lesung pipi sebelah kiri, kulit kecokelatan, rambut berombak sebahu, dengan suara selembut Maudy Ayunda, dan tinggi lebih sepuluh senti dariku itu, mengaku kalau dirinya les-bi-an? Kakak macam apa yang bisa kalem? Ini Indonesia, Bung!

Aaron bersiul-siul di sampingku. Percuma mungkin dipikirnya mendebatku.

"Aku janji, kalau di sini nggak nemu juga, mending aku traktir dia makan."

Aaron meninju lenganku. "Di mana-mana, yang ulang tahun yang traktir," cetus Aaron lalu mengacungkan ibu jari ke bawah. "Kamu itu bisa lebay juga ya, Sa. Tahun lalu, kamu ngasih dia jam dinding antik. Dua tahun lalu, jaket musim dingin karena dia mau jalan-jalan ke Ceko. Tahun ini kasih apa kek!"

Tuh kan, kubilang juga apa? Dia ini cerewet.

"Kasih apa, Kek?" tanyaku dengan mengubah intonasi. "Menurut Kakek?"

Aaron melingkarkan lengannya ke leherku, seolah-olah mau mencekikku. Kami tertawa sambil memasuki toko barang antik. Di papan kayu yang terpasang di atas pintu kayu tertulis "Black Cat". Kami memasuki sebuah ruangan yang dipenuhi benda-benda dengan berbentuk aneh dan mistis.

"Hey, Sa, ini ada papan ouija." Aaron mengangkat sebuah penda yang pernah kulihat dalam sebuah film horor. Papan untuk memanggil arwah gentayangan. Hiii!!!

Aku yang baru mau saja berkomentar lalu menelan ludah saat melihat seseorang dengan dandanan ala anak emo berdiri di belakang Aaron.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya dia.

Aaron berbalik lalu meletakkan papan ouija kembali di posisi semula. Dia berdeham. Gugup.

"Halo. Teman saya ini sedang mencari kado."

Aku mendekat setelah memastikan dia adalah manusia, bukan vampir sejaman Edward Cullen. Matanya smoky eyes dengan muka pucat-atau mungkin ia sengaja membedaki wajahnya dengan bedak tebal. Dia tersenyum, untunglah dia tidak bertaring panjang seperti serigala.

"Buat laki-laki atau perempuan?" tanyanya sambil memandu kami memasuki ruangan lain tokonya. Makin aneh-aneh saja benda-benda yang kulihat. Jangan-jangan tengkorak di dinding itu asli punya manusia. Duh, toilet sebelah mana sih? Tiba-tiba kebelet gini lagi!

"Laki-laki atau perempuan?" ulangnya lagi, dan dia menghadapku. Hanya jarak satu langkah. Aku nyaris menjerit saking kagetnya. Aaron merangkul pundakku sebelum aku pingsan. Mengguncang pundakku lalu tertawa ringan.

"Adikku, perempuan."

"Dia suka main gitar?"

"Ya, memangnya kamu menjual alat musik juga?" Kulihat sekeliling, tidak ada alat musik satu pun di sini.

"Ya, di toko yang di seberang sana ada. Itu toko punya omku. Kemarin baru saja datang beberapa gitar antik. Bilang saja kamu tahu dariku."

"Namamu?"

"Alexa."

"Baiklah."

"Namamu?"

"Penting buatmu?"

Alexa tersenyum.

"Sasha." Itu namaku.


Urusan mencari kado akhirnya selesai. Gitar antik yang katanya milik seorang musisi Australia siap diantarkan ke rumah kami tepat di hari ulang tahun Elena yang ke-17.

"Kenapa gitar? Bentuknya gitar seperti tubuh perempuan."

Jawaban asal-asalanku disahut dengan tawa terbahak Aaron. Jujur saja, aku tidak tahu lagi kado apa yang harus kuberikan pada Elena.

Kami membahas topik lain lagi sambil menghabiskan tenderloin steak masing-masing di restoran langganan Aaron.

"Kak, aku boleh pinjam dress Kakak yang hijau? Punyaku baru aja kumasukin laundry."

"Iya, boleh. Buat kencan ya?" tanyaku masih fokus dengan tulisanku sendiri di layar monitor.

"Pacar apa sih, Kak? Lena kan belum boleh pacaran sama Papa."

"Tapi kalau yang dekat, ada kan?"

"Ada, tapi belum pacaran, Kak."

"Siapa? Teman sekolah kamu?"

"Hih, Kakak. Teman-teman sekolah Lena kan banyakan cowok. Bukan, dia itu Lena kenal pas ngumpul sama anak-anak teater. Dia beda sih orangnya."

"Len, kamu yakin beneran lesbian? Bukan cuma naksir sesaat sama cewek?"

"Yakin banget. Kalau nggak, ngapain ngomong ke Kakak sama Papa?"

God!

Ulang tahun Lena sebentar lagi, tiga hari tepatnya. Dia masih seperti yang dulu, sibuk dengan kegiatan sekolahnya dan les piano. Sekitar jam enam sore dia baru pulang, sesekali diantar teman sekolahnya yang benama Vidi. Laki-laki. Lalu yang mana gebetan Lena? Atau jangan-jangan Vidi itu cewek? Ah tapi kok ada jakunnya?

"Memangnya Kakak udah siap kenalan sama dia?"

"Siap gimana maksud kamu? Kakak kan nggak pernah ngelarang kamu bergaul sama siapa aja. Itu si Vidi aja kamu kenalin ke Kakak sama Papa."

"Nanti deh, Kak. Kayaknya Kakak nggak bakal suka. Dia seniman gitu soalnya. Tatoan."

"Hah?"

"Tuh kan, belum juga ketemu orangnya. Dia orangnya baik kok, Kak. Lucu."

"Duh, kamu hati-hati lho ya, nanti malah kamu diajarin yang nggak-nggak."

"Misalnya?"

"Ngerokok, mabuk-mabukan, ngedrugs."

"Iya. Lena kan bisa jaga diri, Kak."

Hari ulang tahun Lena. Aku dan Papa memastikan sebagai orang yang pertama kali mengucapkan selamat berhubung kami bertiga sama-sama nonton bola di ruang tengah. Kubangunkan Lena. Dia ketiduran di depan TV layar datar yang menempel di dinding. Kecapekan karena aktivitas seharian di sekolah. Untung besok Minggu.

"Happy birthday, Lena," ucap Papa lalu menyerahkan kado.

"Kadoku nanti siang baru diantar." Aku memberi alasan karena tanganku tak pegang apa-apa.

"Makasih, Pa, Makasih, Kak." Lena memeluk kami berdua dengan hangat.

Andai Mama ada di sini. Tapi, Mama sudah lama tidak hadir ke kehidupan kami. Sibuk dengan keluarga barunya di Meksiko sana. Semoga Mama tidak lupa hari ini putrinya ulang tahun.

Lima menit berikutnya, Lena menjawab telepon dari Aaron. Ah iya, dulu Aaron pernah naksir sama Lena. Tapi setelah tujuh bulan lalu, alias setelah Lena mengaku lesbian, Aaron yang banyak menonton film-film seputar itu bilang, "Biasanya cowok yang jadi korban, Sa. Mereka kan sayang banget sama pacar cewek ketimbang cowoknya. Aku mundur deh."

"Tapi kan Lena belum punya pacar. Gitu aja nyerah. Payah, percuma tuh muka ganteng!"

"Belum, Sa, dan bakal punya."
Tepat pukul 10, gitar yang kupesan di toko White Cat, milik kerabat Alexa, datang juga. Alexa yang menyetir mobil pick up biru lalu menyerahkan bukti tanda terima.

"Yang ulang tahun mana, Sa?"

"Masih tidur, semalem begadang nonton bola dia. Oh ya, kalau koleksi piringan hitam di toko kamu ada nggak?"

"Kalau di Black Cat sama White Cat nggak ada, Sa. Adanya di Pussycat."

Aku tergelak mendengar nama toko itu.

"Di sana khusus piringan hitam. Yang punya itu sepupuku. Dia ngumpulin sampai ke luar negeri. Lengkap banget. Tokonya itu dari perempatan Sudirman, belok kanan. Sekitar lima ratus meter. Masuk Gang Yasmin, dekat masjid. Kayak biasa, Sa, bilang aja tau toko itu dari aku. Bakal dapet harga murah lagi. Oke deh, Sa, masih ada pesenan lain yang harus diantar."

"Oke, makasih, ya Alexa."

Lena senang menerima kado dariku. Dia bilang, itu hadiah paling keren yang pernah kuberikan padanya. Dia pikir harganya semahal yang penah dilihatnya di Tokobagus. Padahal aku bisa mendapatkannya dengan seperempat harga saja berkat memakai nama Alexa.

"Oh iya, Kak, aku punya teman, dia itu punya bisnis keluarga serba barang antik. Nah pas pensi kemarin, dia itu buka stand. Kalau nggak salah namanya Alexa. Orangnya asyik."

"Alexa? Itu yang kamu maksud kemarin itu?"

Jangan-jangan si gebetan Lena ya tidak lain Alexa. Wah, yang bener aja dia! Nggak bisa nyari yang dandanannya nggak amburadul gitu? Ya, kelihatannya gadis itu baik, tapi dandanannya membuatku bergidik. Kurasa Papa juga akan bereaksi sama denganku

"Nah dia! Kakak kenal?"

"Nggak juga. Kenapa emang?"

Jangan dong, jangan orang itu.

"Gebetan Lena itu sodaranya dia. Punya toko di daerah Sudirman. Orang keren. Lebih keren dari Alexa. Lena tuh pingin sebenernya ngenalin Kakak ke dia. Kakak kan suka hunting piringan hitam gitu kan? Cari aja di tokonya, Kak. Password-nya Alexa. Dijamin bakal dapet harga diskon. Nah dia itu punya kembaran, kembarannya anak teater."

Dan Lena tidak menyebutkan nama si pemilik Pussycat dan kembarannya. Mau nanya, gengsi lah!
Lama-lama, aku penasaran juga. Seminggu setelah ulang tahun Lena, kupikir gebetannya akan menampakkan diri. Tapi tidak. Lena sibuk dengan sekolahnya. Teman-temannya yang datang itu teman sekolahnya sendiri untuk belajar bersama menjelang ujian semester.

Sebelum ke Sudirman, aku mampir sejenak di rumah Aaron. Dia sedang sibuk membuat maket, itu artinya tidak bisa diganggu. Apa boleh buat, aku sudah terlalu penasaran. Apa boleh buat. Harus ke sana sendirian.

Toko Pussycat. Tidak jauh beda dengan Black Cat atau White Cat. Nuansa klasik, mistis, dan menyeramkan menyambut langkah pertamaku. Ada dua pengunjung yang menoleh saat aku masuk lalu celingak-celinguk. Lalu mereka kembali melihat-lihat rak untuk kategori musik Indonesia tahun 70-an.

"Siang, nyari lagu apa, Mbak?" tanya seorang gadis.

"The Beatles yang...."

"Oh sebelah sini," ditariknya tanganku menuju rak lain dekat pintu masuk tadi.

Aku memperhatikan orang ini. Tampilannya cukup untuk dibilang urakan. Rambutnya gimbal dengan tindikan di hidung. Matanya pun smoky eyes, membuat tatapannya menjadi tajam. T-shirt lengan panjang hitamnya tampak lusuh. Celana jinsnya selutut dan robek-robek. Tapi ia mengenakan sepatu sport warna putih. Sporty funk? Atau dia punya sebutan yang lain?

"Alexa yang ngasih tau aku toko ini."

"Oh. Hmm, toko ini baru pindah, dulunya jauh sekali dari kota."

"Pantas, aku sering lewat sini tapi tidak pernah lihat."

"Baiklah, silakan melihat-lihat dulu, di meja kasir ada bel kalau kau butuh bantuanku."

"Oke."

Awalnya aku berniat membeli album The Beatles, ah tapi ada album lain yang lebih menggodaku, milik Madonna. Setahuku ini sangat jarang ada jual. Kupanggil lagi si pemilik toko dan mengurus pembayarannya.

"Tidak usah bayar."

"Apa? Maksudnya?"

"Khusus untuk kamu gratis."

"Tunggu, kamu yang sering diceritakan Lena ya? Yang kembar dan punya toko ini? Ya kan? Kamu ngasih gratis biar kamu bisa deketin dia?"

Dia mengangkat alis. Aku salah tebak? Ups!

"Hm. benar toko ini punya saya, tapi yang kembar itu kakak saya. Dia memang investasi di sini, tapi tetap saja toko ini saya yang punya. Nah itu Lena, dan Sara."

Aku memutar badan dan mengikuti pandangannya. Lena memasuki toko itu sambil memegang tangan seorang perempuan yang usianya mungkin baru awal dua puluhan. Tidak ada sama sekali gambaran urakan seperti yang dikatakan Lena. Kecuali kedua lengannya yang penuh oleh tato bergambar tumbuhan bersulur. Soal tampang, bisa kubilang, dia lebih cantik dari Lena dengan rambutnya yang dicat merah, kulitnya kuning langsat bersih. Matanya sedikit sipit dengan softlens hijau. Ia mengenakan wedges kulit warna cokelat. Aroma parfumnya cukup kukenal karena dulu pernah menjadi varian pilihanku sebelum harganya tiba-tiba melejut hingga tidak terjangkau lagi.

Apa aku tidak salah lihat? Aku kenal sosok itu.



Yogyakarta, 17 April 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post