Satu Kenangan yang Tak Mungkin Kau Buang

Kita bertemu kembali—yang kau tidak pernah nantikan—kurasa begitu. Lama kau berdiri di ambang pintu dengan kotak surat tergantung beserta nomor rumahmu, 15. Kau tidak membuka penuh pintumu, setengah saja, karena aku tidak hendak kau izinkan masuk. Kau punya alasan membiarkanku di luar dengan koper di sisi kiriku, lebih dari tiga menit.

Aku tidak mungkin masuk, jika tidak kau izinkan. Aku mengerti. Aku pernah bersumpah tidak akan menginjak rumah ini lagi. Kau membenciku gara-gara itu. Menghapus nomor ponselku, memblokir facebook dan twitter-ku. Mengarahkan setiap emailku ke dalam kotak spam email-mu. Putus hubungan, karena aku pergi darimu.

“Aku tidak boleh masuk?” Siapa tahu kau menggeser posisi berdirimu hingga ada jalanku untuk masuk bersama koper berisi pakaian yang kumasukkan asal-asalan dan sebagian besar masih tertinggal di rumah kekasihku. Yang kubawa hanyalah T-shirt hijau daun pemberianmu dengan fosfor yang melekat di bagian depannya hingga akan tampak sebuah pohon kaktus menyala terang ketika gelap. Kubawa pula celana selutut yang kukenakan kala kita hiking di bukit belakang rumah lalu kemping saat weekend. Semua topi rajut buatanmu pun ada di dalam. Pakaian dalam. Semua hal yang ada hubungannya denganmu.

“Aku sedang masak. Tidak bisa lama-lama di sini.”

“Masak apa? Aku minta air putih boleh? Setelah itu aku pergi.”

Lalu adegan yang kuharapkan tadi terjadi. Kau melangkah meninggalkanku, membiarkanku menarik koper beroda memasuki rumahmu—rumah kita dulu—lalu aku ikut ke dapur. Kau membuat soto ayam yand dulu resepnya aku yang mengajari. Kuajari beberapa kali, kau pun hafal cara membuatnya. Kuisi gelasku dari dispenser, air dingin.

Kau membelakangiku dan sibuk dengan masakanmu. Aku melihat ayam yang siap digoreng dengan bumbu turun-temurun keluargaku. Ya, sebelum bertemu denganku, kau memang hanya tahu cara memasak mi instan. Itu pun dengan cara yang tidak sehat, semuanya kau gabung, bukan kau tiriskan dulu. Sampai aku berhasil mendoktrinmu kalau kuah rebusan mi instan itu tidak sehat dikonsumsi.

“Jadi sudah resmi cerai sekarang?”

Kau mengangguk lalu mematikan kompor. Bersiap menggoreng ayam yang semuanya bagian paha, kesukaanku. Jangan-jangan kau tahu aku mau datang? Atau, jangan-jangan, kau selalu menantiku datang?

“Hari sekarang tinggal di rumah orang tuanya. Dia punya hidup yang baru.”

“Kau sendiri? Sudah punya hidup yang baru atau masih....”

Dia berbalik, menatapku dari seberang sana. “Aku janda, dan belum terpikir untuk cari pasangan. Aku tidak sama denganmu yang gampang cari pacar lalu dengan entengnya tinggal dengan pacar barumu.”

“Kau nikah, Rena. Aku harus pergi dari rumah ini karena kau menerima perjodohan dari orang tuamu. Aku juga tidak langsung dapat yang baru. Tiga tahun kita bersama, dan kau hancurkan hatiku dalam semalam. Aku kau paksa pergi. Dari rumah yang kita beli berdua.”

“Oh, jadi mau diungkit-ungkit lagi tiga ratus juta yang keluar dari rekeningmu? Apa sih arti uang segitu buat cucu konglomerat macam kamu, Van? Suamiku bukan orang kaya. Kalau mau cicil rumah, tahu sendiri bunganya gede. Toh lebih baik tinggal di rumah ini. Aku istri yang kurang baik apa?”

Aku meneguk air sampai gelasku kosong lalu meninggalkan dapur. “Numpang mandi!”

Rena adalah seorang dosen di kampusku. Lulusan sebuah universitas swasta bergengsi di Singapura. Usianya baru menginjak 33 tahun ketika mengajar di kelas fotografi. Cupu. Dosen cupu. Sebagian dosenku bisa dibilang representasi kemewahan kampus ini. Hermes, Gucci, LV. Lalu dosen prianya bermobil mewah, tipe sport. Dia jauh dari itu.

Aku? Mahasiswa bandel yang kuliah dengan setengah hati. Kalau bukan karena Kakek, aku sudah menolak mendaftarkan diri setelah dua tahun lalu tamat SMA.

“Aku sudah bisa membiayai hidup sendiri dari modelling dan main film, Kek. Teman-temanku tidak ada yang kuliah. “

“Sepuluh tahun lagi, para produser sudah akan jarang melirikmu, Vane.” Kakek selalu memanggilku Vane. “Kau pasti akan kalah dengan model-model muda yang kulitnya kencang dari dirimu. Kau punya bakat fotografi dari ayah ibumu. Ada kampus yang cocok untuk kau kuliah. Hanya empat tahun, setelah itu kau bisa lanjut ke London atau Paris.”

“Aku tidak tertarik dengan fotografi, Kek.”

“Atau ambil jurusan hukum atau bisnis. Kau tinggal pilih mau kampus mana. Besok kabari Kakek, kau akan kuliah apa. Kakek akan lansung daftarkan kamu.”

Fotografi tentu bukan hal asing. Ayahku dulunya seorang fotografer di majalah fashion ternama di negeri ini. Ibuku fotografer majalah pria dewasa. Hasil fotografi mereka berdua sebagian dipasang di rumah kami. Foto perempuan berpakaian transparan sampai pria dengan pakaian dalam terpampang di dinding rumah. Membuat teman-teman SMP-ku dulu memerah mukanya karena malu. Aku tidak malu. Itu seni.

Bu Rena tipikal dosen yang tegas. Mahasiswa malas menjadi langganan teguran-teguran kerasnya. Ancaman tidak lulus mata kuliahnya cukup membuat banyak mahasiswa berpikir ulang untuk bolos apalagi tidak mengerjakan tugas-tugasnya. Hah, dia pikir aku ada waktu buat mengerjakan tugas-tugas itu sementara jadwal pemotretanku tidak bisa diselingi dengan membuat tugas?

“Kamu harus mengulang kalau tidak mengerjakan tugas.”

“Nggak masalah. Ketimbang saya harus mencontek dan mendapatkan nilai bagus, dan mendapat pujian dari Anda. Saya tahu, Anda sebenarnya tahu kalau mahasiswa Anda tukang contek. Dan Anda masih bisa mengatakan mereka lebih baik daripada saya?”

“Tidak perlu memfitnah teman-teman kamu sendiri dan seakan itu akan membuat saya terkejut. Saya harap nama Vanessa Candraputri ada di tumpukan tugas minggu depan. Dan buktikan kalau kamu memang tidak mencontek.”

Dosen cupu itu menantangku. Mungkin kali ini aku harus meluangkan waktuku yang berharga untuk menyelesaikan seabrek tugas dengan bahan-bahan referensi yang semuanya cuma ada di perpustakaan. Perpus? Ruangan yang tidak pernah menarik perhatianku sejak masuk sekolah. Isinya hanya buku dan mahasiswa cupu. Si dosen cupu itu pun di sana.

Aku mengelilingi rak demi rak. Buku-buku yang kucari tidak ada. Sial! Siapa bedebah yang memborong buku-buku referensi tugasku? Kulewati meja si dosen cupu yang asyik mencatat tanpa menyadari kehadiranku. Damn! Buku-buku itu ada di mejanya!

Aku menarik kursi di hadapannya. Dia menatapku, digesernya buku-buku yang kucari.

“Saya pinjamkan buat kamu. Cuma tolong minggu depan kamu kembalikan. Plus tugas kamu juga.”

“Sebanyak ini? Bu, saya nggak mungkin bawa buku sebanyak ini. Mana sempat saya baca? Anda tidak pernah melihat saya di sampul majalah atau film-film saya? Saya orang sibuk!”

Dia mengangguk-angguk. Lalu meneruskan kegiatannya mencatat entah apa. Dia menyerah begitu saja. Dia mungkin berpikir, lebih banik mengurus mahasiswa lainnya ketimbang aku ini. Tanganku bergerak mengambil buku-buku itu lalu menumpuknya. Kutinggalkan perpustakaan tanpa mengucapkan apa-apa pada si dosen cupu itu.

Mandi air hangat membuat kepenatanku berkurang. Sumber penat itu dari siapa lagi kalau bukan pacar brondong yang rupanya punya selingkuhan tetangganya sendiri. Untung aku belum sempat membelikan dia rumah seperti Rena. Rumah ini. Tidak ada yang berubah. Masih bisakah kusebut ini rumah kami? Setahun lalu kupilih angkat kaki saja saat dia mengatakan, “Aku akan menikah dengan Hari.”

Dia punya hak untuk menentukan hidup. Tiga tahun hubungan kami memang putus di tengah jalan karena aku tidak mau diduakan. Dia menikah karena permintaan keluarga besarnya. Dan Hari adalah satu-satunya teman prianya yang tolol yang tidak mencurigai hubungan cinta kami. Keluarganya curiga, mengapa Rena mengizinkan aku tinggal di rumahnya.

Rena memang menutupi semuanya, bahwa akulah kekasih sebenarnya. Rumah itu aku yang membelikan. Tubuhnya sudah menjadi milikku. Dia itu pembohong kelas kakap. Dan aku mengalah. Pergi lebih baik ketimbang berdebat panjang dengannya. Aku tidak pernah mendoakan pernikahannya langgeng dengan pria yang pekerjaannya belum jelas.

Setumpuk buku itu sudah berpindah dari bagasi Mazda ke dalam kamar tidurku. Harus kumulai dari mana? Dan jawaban apa yang harus kutuliskan? Kunyalakan sebatang rokok lalu mengambil buku di tumpukan teratas. Ditulis dalam bahasa Inggris judulnya. Bukan masalah, lima tahun aku pernah tinggal di California.

Mataku melihat sehelai kartu nama di halaman pertama. Punya si dosen cupu itu. Kubuka halaman pertama buku yang lain. Tidak ada kartu nama lainnya. Dia pikir aku akan menghubunginya untuk minta bantuan? Dia pikir aku tidak sanggup mengerjakan sepuluh soal essay yang dia berikan di kelas.

Sejam. Dua jam. Shit!

Keesokan harinya, aku mengembalikan buku-buku itu. Dosen cupu itu menempati meja yang sama, dekat rak ensiklopedia. Dia lagi-lagi tidak menyadari kehadiranku sampai setumpuk buku kuletakkan di hadapannya.

“Saya kembalikan.”

“Sudah selesai?”

“Sudah.”

“Coba saya lihat.”

“Minggu depan baru saya kumpulkan. Saya nggak suka pamer.”

“Oke, bagus kalau begitu.” Dia tersenyum kemudian melanjutkan kesibukannya.

Aku berlalu begitu saja. Sebelum melewati pintu keluar, aku mengirimkan sebuah SMS ke ponselnya, yang aku yakin akan membuatnya tersenyum.

Aku sudah tidak pernah lagi memanggilnya si dosen cupu. Bu Rena sekarang. Sore setelah itu, kami janjian bertemu di rumahnya. Kubatalkan jadwal interview dengan sebuah stasiun TV dan kuminta manajer untuk rescheduled. Tugas kuliahku kukerjakan di sana. Bu Rena membawa buku-buku itu lagi. Dia menunjukkan bab-bab yang harus kubaca untuk kujadikan jawaban.

Sampai hampir jam delapan aku di sana. Perutku lapar dan dia hanya punya kue-kue kering.

“Aku yang masak. Di dapur ada apa?”

Dia menyipitkan mata. Hoho, jangan begitu, Bu, saya ini pinter masak lho.

Aku masuk ke dapurnya. Kulkasnya hanya ada makanan-makanan instan yang di keluargaku dianggap sampah. Kami tidak pernah makan makanan yang dikemas. Banyak pengawet yang berbahaya bagi tubuh. Kakek mengajari Ayah memasak. Ibu mengajariku masak. Lalu aku pun bisa masak.

“Seingatku di seberang gang ada supermarket, jual sayuran segar dan bahan mentah lainnya kan?”

“Iy...iya ada, tapi ini sudah malam, lho. Katanya kamu lapar tadi?”

“Masak itu kan nggak lama, Bu. Saya boleh pinjam kunci motor?”

Bu Rena ragu-ragu. Dia sepertinya tidak yakin kalau aku yang nanti akan menghidangkan makan malam. Aku menghela napas lalu berencana keluar jalan kaki. Malas juga kalau ke seberang jalan dengan mobil.

“Tunggu!”

Dia menyerahkan kunci motor matic ke tanganku. Aku memasukkan kunci lalu menekan tombol starter. Tidak menyala. Kucoba lagi. Belum juga. Dia yang akhirnya menyalakan mesinnya.

“Hmm... Bu, saya sebenarnya tidak pernah naik motor.”

Dia tersenyum. Pipiku dicubitnya. “Bilang dong dari tadi.”

Dapur itu tempat paling romantis menurutku, setelah kamar tidur. Jika di kampus, Bu Rena bisa mengintimidasiku, tidak dengan dapur. Bu Rena sama sekali buta soal mengolah ayam menjadi ayam goreng, ayam bakar, soto ayam, sate ayam, risoles. Kutu buku mana peduli selain pada buku. Tapi apa buku bisa dimakan saat lapar?

“Jangan pegang pisau seperti itu, Bu, caranya gini.” Aku berdiri di belakangnya, menempelinya. Dia memakai sampo yang tahun lalu pernah kuilklankan, kuhirup dalam- dalam segarnya. Rengkuhanku membuatnya gemetar. Belum lagi ketika sengaja mendekatkan pipiku padanya. Dia melepaskan pisau itu dan membiarkan aku yang memotong wortel dengan cara yang benar.

Adegan yang pernah kulakukan dalam sebuah film itu, membuatnya jadi salah tingkah bahkan menjaga jarak dariku. Memangnya kenapa sih? Aku kan perempuan. Dulu pun begitu Ibu mengajariku memegang pisau.

“Ibu sudah menikah atau pernah menikah atau....” Kupancing dia dengan pertanyaan ringan ketimbang kami makan dalam diam.

“Belum. Saya masih menikmati masa-masa mengajar tanpa diganggu dulu sama urusan keluarga. Saya juga sedang menabung untuk membeli rumah. Seusia saya seharusnya sudah punya rumah sendiri kan?”

“Setuju. Kalau bukan karena Kakek yang sekarang tinggal sendiri, saya juga sudah beli rumah lagi.”

“Orang tua kamu di mana, Van? Kok kamu hanya sering cerita soal kakek kamu selama ini.”

“Mereka termasuk penumpang yang dinyatakan hilang di tragedi pesawat empat tahun lalu. Mungkin Anda tidak tahu kabar tersebut. Kakek sangat terpukul dengan kabar itu. Ayah adalah anak kesayangan Kakek. Kakek bahkan menyalahkan dirinya sendiri. Jika bukan karena permintaan Kakek agar mereka segera pulang dari Spanyol, tentu saja sampai hari ini Ayah dan Ibu masih ada.”

“Saya turut berduka atas kehilangan itu. Nasib di masa depan bukan di tangan kita. Saya yakin, Kakek kamu pasti bisa berdamai dengan kenyataan. Dia pasti kuat seperti cucunya.

“Makasih, Bu.”

“Panggil Rena saja. Saya kan teman kamu.”

Ya, kau teman yang tak biasa buatku, Rena.

Kakek mulai menyadari, ada yang berubah di diri cucunya. Selama ini aku memang pulang malam karena pekerjaan, tapi belakangan, aku menghabiskan waktu di rumah Bu Rena. Aku mengajarinya memasak, dia mengajariku membaca buku sampai tuntas. Dunia modeling membuat buku bukan sebagai hal yang dekat denganku. Di lokasi syuting, hanya naskah yang kubaca dan kuhafalkan. Buku-buku karya sastra milik Paulo Coelho atau Charles Dickens mana pernah kubaca? Tapi Rena membuatku ingin tahu tulisan-tulisan mereka. Dia menceritakan isi The Alchemist seperti seorang ibu yang mendongeng pada anaknya. Sampai aku tertidur di sofa lalu dia menyelimutiku. Tengah malam aku terjaga lalu mengendap-ngendap pulang. Bu Rena mengerti, aku harus pulang ke rumah Kakek.

Kedekatan kami hampir setahun. Seperti kakak adik kami berdua ini. Kakek pun sudah mengenalnya, menganggapnya seperti anak sendiri. Setelah mengenal Rena, Kakek pun maklum jika aku minta izin tidak pulang karena menginap di rumahnya. Aku tidur di sofa, meski ada kamar tamu. Di kamar tamu tidak ada TV. Padahal aku baru bisa tidur jika mataku sudah lelah menonton film tengah malam. Rena membekaliku dengan selimut dan bantal. Berkali-kali dia menasihatiku supaya tidur di kamar supaya punggungku tidak sakit saat terbangun di pagi hari.

Aku membandel.

Di suatu malam, aku melihat lampu kamar Rena dinyalakan. Perlahan pintunya dibuka lalu dia keluar pelan-pelan. Jika dia ingin ke kamar mandi, arahnya berlawanan. Mungkin ke dapur karena lapar. Aku membuatkan nasi goreng dan masih ada sisa.

Bukan, bukan ke dapur. Tapi berjalan ke arahku. Beruntung gelap hingga dia tidak menyadari mataku berkedip-kedip. Langkahnya kurasa semakin dekat hingga hingga di hadapanku. Sengaja kujatuhkan selimut lalu mengeluarkan suara mendesah pelan seakan tengah bermimpi. Aku mengintip. Dia berjongkok lalu memungut selimutku. Dibalutkannya ke tubuhku lalu ia membelai wajahku pelan. Mengusap poni yang menutupi dahiku. Dikecupnya keningku pelan, takut membangunkanku.

Tidak sampai di situ. Dia mencium... menciumi—tepatnya—bibirku. Jika hanya mencium, tidak ada alasan bagiku membuka mata. Tapi kalau sudah begini, dia harus menjelaskannya. Saat aku membuka mata, dia belum menyadarinya karena matanya terpejam. Saat aku menahan tengkuknya. Dia terkejut dan menjauhkan kepala.

“Maaf, aku... tadi itu....”

Aku menatap dia dengan ekspresi salah tingkah. Kucekal tangannya sebelum ia beranjak. “Rena, kemarilah, nggak apa-apa. Aku nggak marah.”

Dia menggeleng lalu menghentakkan tanganku, berjalan cepat ke kamarnya. Dikuncinya pintu sebelum aku sempat membukanya.

“Rena, aku hanya ingin bicara.”

“Lupain aja! Aku khilaf!”

Aku menganggap dia memang khilaf. Aku maafkan meski dia tidak memintanya. Rena berusaha menjauhiku. Hey! Kenapa jadi dia yang menjauhiku? Rena bukan perempuan pertama yang menciumku. Dan dalam setiap film, selalu ada adegan ciuman yang kulakukan. Dan di luar itu, dengan pacar-pacarku yang dulu juga ciuman itu biasa. Lalu masalahnya di mana?

Seminggu lebih Rena menjauhiku, ada saja alasan jika aku mau datang ke rumah. Oke, kalau itu maumu. Lupakan saja!

Tapi ciuman itu membuatku susah tidur. Kupukul bantal kuat-kuat sambil memaki pelan. Rena membuatku jatuh cinta begitu saja. Shit!

Pagi ini aku terlambat sampai kampus. Padahal kelas Rena jam tujuh pagi. Bensinku habis di tengah jalan dan aku minta bantuan sopir Kakek menjemputku di jalan dan mengurus mobilku. Yang penting sampai di kampus dulu. Aku berlari menyusuri koridor lantai dua menuju ruang kuliah. Damn! Pintunya tertutup dan Rena sudah memulai kuliah. Siapa pun yang terlambat tidak usah masuk. Begitu aturan dia.

Aku nekat dengan membuka pintu. Semua mata tertuju padaku dan pandanganku hanya tertuju ke dia, yang berdiri di depan kelas dengan rambut digelung, setelan blazer, high heels, dan kacamata bulatnya.

“Kamu terlambat, silakan di luar.”

“Saya hanya terlambat tiga menit, Bu.”

“Silakan di luar dan tolong tutup pintunya kembali.”

Bagaimana kalau aku pura-pura ngambek saja? Aku tidak akan menelepon, kirim SMS, apalagi datang ke rumahnya. Elo, gue, end! Aku ingin tahu, kau akan bereaksi seperti apa. Apa kau akan kehilangan? Dan kau tahu, kurasa, aku tergila-gila padamu sekarang.

Kau membiarkanku. Mendiamkanku dan sibuk dengan dirimu sendiri. Ya, mungkin kau benar-benar khilaf malam itu, bukan karena menginginkan aku. Aku yang salah mengartikan itu.

Kau tahu aku sering ke perpustakaan dan menempati meja yang biasa kau tempati. Kau memilih meja lain dan tidak peduli padaku. Aku sengaja menuju rak di dekat mejamu, tapi sedikit pun kau tidak mau berbasa-basi. Kau tidak bertanya kenapa aku tidak mengumpulkan paper. Kau mulai masa bodoh. Kau menyebalkan, Rena!

“Kau tidak pernah menginap di rumah kawanmu itu, Vane?” Kakek mengusap rambutku saat kami sama-sama menonton sepak bola. Kami berdua sama-sama True Blue sejati. Ayah dan ibuku juga.

“Dia nggak suka nonton bola, Kek. Dan dia sedang mempersiapkan ujian S3. Sibuk. Aku hanya akan mengganggu dia saja.”

Kakek menyalakan rokok listriknya. Aku mengunyah popcorn dengan rakus. Semoga pertandingan kali ini, Chelsea menang. Sekadar penghibur hatiku.

“Popcorn itu dari Rena. Tadi sore dia datang.”

Uhukk! Aku tersedak dan buru-buru menenggak Sprite kaleng. Apa? Dari Rena? Sejak kapan dia bisa bikin popcorn? Waktu itu saja dia menjerit ketakutan ketika aku mengajarinya membuat popcorn, mendengar suara letupan-letupannya dia ngeri sendiri.

“Jam berapa dia ke sini, Kek?”

“Sekitar jam empat. Kakek bilang, tunggu saja, sebentar lagi juga kamu pulang. Tapi dia sepertinya buru-buru. Kakek bilang, datang saja nanti tengah malam, kamu pasti di rumah nonton bola. Dia bilang sedang banyak pekerjaan yang harus diselesaikan.”

Kenapa aku jadi seperti layang-layang yang ditarik ulur ya?

Keesokan sorenya, aku datang ke rumahnya. Terserah dia mau mengusirku atau apa. Aku membuatkan dia klappertaart. Dia belum pernah mencicipi yang satu ini. Salah satu kue andalanku, hanya orang-orang tertentu yang kubuatkan, dan dia orang pertama.

Rena membiarkanku masuk lalu ke kamarnya. Tuh kan dicuekin. Ya sudah, daripada bete, aku masak saja. Tapi, kulkasnya kosong dari bahan mentah. Huh lagi-lagi makanan sampah yang disimpannya.

“Bu Renaaa! Saya ke supermarket yaa! Pinjem motor!”

Oh ya, aku sekarang sudah bisa naik motor lho. Rena yang mengajari. Tapi tunggu, kok nggak bisa nyala ya? Hmm, seingatku cara menyalakan mesinnya sudah benar, tapi… ah shit! Bensinnya pas habis.

Kudorong motor itu sampai ke pom bensin yang jaraknya dua ratus meter lebih. Sesampainya di sana, antreannya pun cukup panjang. Oh Tuhan, kalau bukan untuk kau, Rena, mana mau aku susah payah gini. Di sebelah supermarket itu ada penjual bensin eceran, tapi kau yang bilang, tidak pernah membeli yang seperti itu.

“Isi full ya, Pak.”

Setelah bensin full, aku pun tancap gas. Ke supermarket, belanja bahan-bahan makanan plus buah-buahan, lalu kembali ke rumah Rena. Dia menungguku di depan rumah… dengan wajah cemas. Cemas?

“Kamu ke mana sih? HP-nya jangan ditinggal dong!”

“Maaf, Ibu nyariin saya ya? Saya beli bensin dulu. Kan pomnya jauh.” Aku mulai GR kalau dia benar-benar cemas.

“Dari tadi HP kamu bunyi terus! Dicariin sama cewek kamu!”

Udah gitu aja, dia masuk lagi ke dalam kamar. Lha, ini belanjaan gimana?

“Bu, makan dulu yuk! Saya buatin steak tenderloin pake black pepper, trus ada salad buah sama….”

“Nanti aja, saya belum lapar.”

“Makasih buat popcorn-nya. Agak keasinan dikit, tapi crunchy. Meski Chelsea kalah, tapi nggak masalah. Kalau gitu saya makan duluan deh, Bu.”

Aku harus pakai cara apalagi buat perdamaian ini? Oh ya, tadi dia bilang HP-ku bunyi terus. Boro-boro cewek, itu manajerku. Katanya ada jadwal syuting mendadak. Apa lah pakai mendadak segala.

Setelah makan, aku langsung siap-siap berangkat ke lokasi syuting. Agak malas juga beranjak kalau perut sudah kenyang. Tapi kru sudah menunggu, kasihan mereka. Dan tidak ada yang mengasihaniku hiks….

Selesai syuting sudah pagi, jam lima. Pulang ke rumah terlalu jauh, mataku sudah mengantuk. Mudah-mudahan Rena sudah bangun. Kukirimkan SMS dan tidak lama kemudian, dia balas.

Sepuluh menit kemudian, aku sampai. Pintu tidak ia kunci. Dengan tubuh lemas, aku langsung rebahan di sofa dan dalam hitungan menit aku sudah tertidur pulas. Hari ini tidak ada kuliah pagi, siang nanti aku akan segar kembali. Mudah-mudahan.

Aroma kopi menyapa hidungku, dalam jarak dekat. Mataku terbuka dan secangkir kopi dengan kepulan uap tertangkap pandangan. Kenapa bisa ada cangkir kopi di sana? Lalu ada tangan yang meletakkan setangkup roti bakar. Oh iya, semalam aku menginap di rumah Bu Rena.

Kau buatkan aku sarapan?

Kau mengusap rambutku.

“Good morning, sarapan dulu, Van.”

Kuraih HP-ku dan kulihat sudah jam setengah sembilan.

“Morning, Bu….” Suaraku terdengar serak. Posisiku berganti duduk dan kulihat dia dengan setelah blazernya. Hari ini rambutnya diurai begitu saja. Menurutku lebih cantik kalau begitu.

Ada dua cangkir kopi di atas meja. Rotinya hanya untukku saja.

“Ibu nggak makan?”

“Nggak, kamu aja.”

“Agak gosong nih rotinya,” candaku

“Iya, kan kamu yang pinter masak.”

“Eh, saya bawain Ibu….”

“Rena,” ralatmu

Kau sudah kembali. Memintaku memanggil namamu saja ketimbang “Ibu”. Aku tersenyum kemudian beranjak ke dapur. Bukannya aku tidak menghargai roti bakarnya, tapi terlalu gosong, tidak bagus untuk kesehatan.

“Klappertaart. Kamu pasti suka, Ren. Cobain deh. Aku menyuapkan sesendok klappertaart padanya.

Dia menilai rasanya. Jangan malu untuk mengakui kalau rasanya enak hahahaha.

“Enak. Dan oh ya, aku minta maaf karena aku selalu menjauh. Aku tidak tahu kenapa menciummu malam itu. Bingung dengan semua ini. Mungkin karena aku sayang sama kamu, tapi sayang yang berbeda.”

“Aku tidak keberatan jika kita jadinya jauh. Anggap saja memang sebuah kekhilafan, tapi aku tidak mengerti, apa yang salah dengan itu. Mengapa kamu menyesalinya?”

Kau menunduk.

Jacky adalah salah satu teman main di dalam film yang sekarang masih dalam tahap pengambilan film. Dia mungkin bisa kujadikan tempat untuk berbagi. Karena dia seorang pencinta sesama. Di mataku, dia adalah seorang playgirl yang begitu mudah bergonta-ganti pacar. Dia seorang aktris muda yang sedang naik daun. Wajar jika dia semena-mena pada cinta.

Jacky terbahak ketika kuceritakan tentang Rena.

“Aku sudah menduga kalau kamu itu belok, Van. Tampangmu itu udah nggak bisa ditutup-tutupi lagi.”

“Aku nggak kayak kamu, Jack. Ini baru pertama kalinya aku suka sama cewek. Awalnya kami berteman aja.”

“Semuanya itu pasti diawali dari teman, Van. Kalau kalian berdua sama-sama nyaman, sama-sama suka, kenapa sih jual mahal. Coba liat sini foto gebetanmu itu. Cakep nggak?

“Eh awas ya kalau berani gangguan dia. Kuhajar kau!”

“Hahaha, tenang, cewek di dunia ini masih banyak.” Dia menepuk pundakku kemudian berlalu.

Kuajak Rena jalan-jalan. Ke sebuah kantor properti. Kakek katanya sedang mencari rumah untuk investasi, jadi aku menjadi utusannya. Tipe rumah yang kami lihat adalah yang berada di kompleks perumahan elite. Harganya berkisar miliaran. Banyak yang bagus, tinggal terserah Kakek memilih yang mana.

“Van, gimana kalau kita sekalian lihat-lihat rumah tapi yang agak kecilan. Siapa tahu tabunganku sudah cukup.”

“Oke, aku tahu agennya.”

Sepulang dari melihat rumah, Rena tampak antusias. Harganya sekitar 350 juta. Sepertinya sesuai dengan impiannya. Tapi tabungannya masih jauh dari itu.

“Cicilan per bulannya lumayan nih, Van.”

“Hey, jangan beli cicilan. Kan harus bayar bunganya juga.”

“Ya nggak papa, daripada aku ngontrak terus.”

“Ngebet banget ya punya rumah sendiri?”

Mobilku berhenti di jalan besar. Kami menghabiskan malam keliling kota setelah makan malam. Kumundurkan sandaran kursi lalu mengecilkan volume musik. Jalanan ini tampak mulai sepi. Di depan sana ada warung tenda dan tempat ngumpul tukang ojek.

“Pingin banget. Beda rasanya punya rumah sendiri dengan tinggal di rumah orang. Nggak bebas. Tetangga juga mulai sering nanyain kamu, Van. Ngapain kamu sering-sering datang trus nginep.”

“Ngapain dengerin mereka, Ren? Toh kamu nggak keberatan aku sering nginep.”

“Kata mereka, kamu itu orang nggak bener.”

Aku menghela napas. Di mata orang awam, artis itu mana ada yang bener sih? Cuma karena aku model majalah pria dewasa dan beberapa kali main film beradegan panas terus kesannya aku seperti peran yang kujalankan. Selain itu, aku tidak pernah macam-macam. Aku mana pernah dugem, nge-drugs, atau keseringan mabuk kayak Jacky misalnya.

Rena menyentuh tanganku perlahan. Memecah lamunanku. Hening di antara kami berdua, tak ada pula yang berlalu-lalang. Dia mendekatkan wajahnya, menciumku seperti malam itu. Aku menariknya lebih dekat sambil terus memundurkan sandaran kursiku.

“Jangan melawan gravitasi, Ren.”

Kami berdua canggung. Ini berbeda saat di depan kamera. Dia terus mengejar bibirku dan detak jantungku makin cepat saja.

“Ren, kayaknya di jok belakang lebih nyaman.”

Kau memutuskan menikah, memaksaku untuk melepas ikatan di antara kita. Setelah kebersamaan kita. Yang tidak sebentar, Ren! Oke, aku yang akan pergi. Ambil saja rumah ini. Sertifikatnya pun atas namamu. Yang keluargamu tahu, aku menumpang di sini. Padahal aku bukan orang miskin!

Dan sekarang apa? Kau cerai dengan pria itu. Tanpa anak. Aku dengar kabar ini dari Jacky. Kau tahu apa katanya? Lupakan kau! Kau tidak pantas diperjuangkan. Dan aku punya kekasih. Sampai aku tahu, dia menyimpan yang lain.

“Kamu sementara di sini aja, Van. Ini kan rumah kamu juga, kenangan kita.”

Sudah tidak penting lagi rumah ini milik siapa, yang pasti, kenangan kita berdua tak mungkin kita buang….



Yogyakarta, 29 April 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post