Ketika Tuhan Jatuh Cinta (2014)

Ketika Tuhan Jatuh Cinta merupakan sebuah film yang diadaptasi dari novel berjudul sama, terbit  sekitar 5 tahun silam. Dengan produser Andy Shafik dan Ravi Pridhnani, film berdurasi 105 menit ini pun ditujukan untuk memvisualisasikan novel karangan Wahyu Sujani. 
Sebelum berkomentar, saya ceritakan dulu garis besar alur dari KTJC 1 (karena di akhir film, ditulis bakal dilanjutkan ke KTJC 2).  
Di sebuah perkampungan nelayan di Garut, hiduplah sebuah keluarga yang sederhana. Listrik di sana belum ada. Masih jauh dari modernitas. Di keluarga itu hiduplah Fikri (Reza Rahardian), si anak pertama, yang punya kesukaan melukis. Ia ingin kuliah sementara sang ayah memaksanya jadi marbot dan mempelajari ilmu agama. Karena kepala mereka berbeda jalan, Fikri memutuskan pergi dari rumah. Ia ke Bandung untuk menjual lukisan dan diberi bekal materi oleh sang ibu.
Di bandung, Fikri berusaha menjual lukisan pasirnya, tapi tidak kunjung laku. Lalu ia pun mencoba peruntungan dengan menjual lukisan ke sebuah galeri seni milik seorang pria keturunan Cina (diperankan oleh Didi Petet) yang memiliki seorang putri seusia Fikri bernama Lidya (Renata Kusmanto). Fikri pun juga diberi tempat tinggal oleh si Koh siapalah namanya itu.
Selain itu, Fikri pun kuliah. Di kampus, ia dekat dengan Leni (Aulia Sarah). Fikri juga memiliki sahabat bernama Irul (Ibnu Jamil) yang playboy. Hubungan Fikri dengan Leni tidak direstui orang tua, karena Fikri belum mapan hidupnya. Meski begitu, Fikri tetap mempertahankan hubungan hingga Leni dinikahkan dengan Handy, teman masa kecilnya. Orang tua Leni dan Handy sama-sama kenal, jadi ini so Romeo dan Juliet.
Sementara itu, di dalam kehidupan Fikri datanglah Shira (Enzy Storia). Perempuan ini adalah orang yang pertama kali membeli lukisan milik Fikri. Mereka saling kenal lewat email lalu bertemu di saat Fikri mengadakan pameran lukisannya. Tidak diceritakan apakah mereka kemudian menjadi dekat atau tidak. 
Sub konflik yang ada dalam film ini adalah soal 2 hubungan anak manusia di luar nikah, lalu soal bekerja dengan harus membuka jilbab, dan membuat orang tua bangga pada anaknya.

Saya belum membaca novel KTJC sehingga tidak akan membanding-bandingkan. Tapi, saya melihat, banyak bolong-bolong dalam cerita ini. Dimulai dengan setting, tahun berapa sebenarnya setting film ini? Saya sama sekali tidak pernah ke Garut, ke kampung nelayannya. Jika mengambil setting masa kini, apakah memang masih ada kampung nelayang yang seperti ini? Jika memang mengambil setting beberapa tahun silam, lalu mengapa BlackBerry sudah dipakai sama Fikri?
Lalu saya merasa, terlalu banyak adegan penting yang hilang padahal itu akan berpengaruh pada alur. Karena tidak mencatat dengan detail, saya sebutkan beberapa.
1. Misalnya, soal kedekatan Irul dan Lidya. Sama sekali tidak ada adegan Irul mendekati Lidya. Lidya awalnya biasa saja sama Irul, tapi kok bisa di scene berikutnya mereka sudah tidur bareng dan hamil? Mengapa romantisme keduanya diabaikan oleh sang sutradara?
2. Lalu antara Leni dan Fikri. Mereka itu kan sebenarnya sudah kenal dari lama, bahkan ada foto ketika mereka ospek bareng. Tapi sampai si Leni jadi asdos, keduanya seperti orang baru kenal. Apalagi ketika Fikri menjatuhkan buku di dekat Leni. Itu bener-bener kayak baru kenal sebulan. Groginya menyukai seseorang dengan grogi pada orang yang beru dikenal pasti beda.
3. Lalu di film ini berusaha menyinggung tentang perbedaan agama. Tapi tidak imbang antara porsi Islam dan Kristennya. Maksud saya gini. Fikri dan lain-lainnya mewakili sisi umat Islam, dan keluarga Koh siapalah itu mewakili Kristen. Fikri sangat jelas jika backgroundnya Islam, tapi keluarga si Kokoh tidak ada sama sekali kelihatan simbol agama. Salib atau apa. Anehnya, di saat si Kokoh meninggal, ada adegan di dalam gereja. Lidya di sana dengan baju berkabung dan Fikri dengan baju koko dan peci. Saya gagal paham dengan busana Fikri itu, apakah sebagai simbol kerukunan antar umat beragama? 
4. Lalu adegan ketika Lidya dibawa ke rumah sakit oleh Fikri dengan menggunakan mobil. Saya nggak ngerti gimana ceritanya Fikri tiba-tiba bisa nyetir mobil dan ngebut pula. Akhirnya saya mengira-ngira, si Fikri kalau di versi novel bisa menyetir.
5. Adegan di galeri ketika Leni minta balikan sama Fikri, lalu mereka melihat ke arah Shira dan Leni menyimpulkan kalau Fikri dan Shira ada hubungan, kemudian pergi. Lagi-lagi saya berasumsi, di dalam novelnya, mungkin Fikri dan Shira ini memang sudah pacaran. Begitulah, saya banyak bermungkin-mungkin ria.
6. Adegan Lidya mau bunuh diri dengan menenggak tablet. Kayaknya tabletnya kebanyakan deh. Kenapa nggak nyari tablet yang kalau ditenggak 2-3 biji langsung mati aja? Dan kalau mau niat bunuh diri, ngapain pake nelepon Fikri segala? Tinggalin surat kek biar Fikri nggak cepet datang trus mati beneran.
7. Adegan ketika Leni mengatakan pada Fikri kalau ia dijodohkan. Dan Fikri terlihat baik-baik saja malahan Leni yang ngebet kawin lari. Wait, nggak kebalik ya? Kalau si Fikri aja dengan mudah merelakan, lah ngapain si Leni ngajak kawin lari? 
Ya itu beberapa adegan yang membuat saya gagal memahami sepenuhnya film ini. Saya nggak bilang film ini jelek, tapi adegan-adegan penting yang tidak divisualisasikan itulah yang membuat saya kurang begitu menyukai.
Dan chemistry antar pemainnya tidak begitu baik. Akting Reza terlalu sulit diimbangi oleh lawan-lawan mainnya, kecuali Didi Petet pastinya. Karakter-karakter tokoh-tokoh lain terlalu sama. Antara Leni, Lidya, dan Shira ya hanya sekadar pemanis tanpa membuat saya berdecak kagum. Ya hanya Reza yang membuat film ini bagus. Dia terlihat begitu mantap ketika di adegan melukis dengan pasir, pendalaman karakternya maksimal. Penampilannya yang khas seniman dengan cambang dan rambut acak-acakan. Ya dia berhasil membuat dirinya bersinar tanpa menumpang pada Didi Petet. Dia punya sinarnya sendiri.

Yogyakarta, 7 Juni 2014   

Post a Comment

Previous Post Next Post