Ryan Farhan duduk di jok belakang lalu memerintahkan supir pribadinya menuju tempat penahanan keponakannya yang baru setahun lebih tinggal di Indonesia dan sudah tertangkap tangan sedang pesta narkotika di dalam mobilnya sendiri. Ryan yakin, ada yang seseorang yang sengaja melaporkan Barbie ke polisi. Itu pula opini keponakannya sebelum sidang pertama digelar. Tapi tuduhan itu tidak mampu mengarah pada siapa pun. Ryan tahu, Barbie sejak di Amerika pun sering bermasalah dengan teman-teman sekolahnya, lebih dari kasus merebut pacar temannya. Keponakannya memang punya tampang yang bisa membuat hati pria berpaling. Soal memakai narkoba, ia belum tahu banyak. Remaja Amerika menggunakan ganja itu biasa.
Ryan menemui Siska, Sipir Kepala. Mereka punya sejarah panjang yang tidak begitu mengenakkan di masa lalu. Siska pernah terobsesi memiliki karier politik. Ia punya kemampuan publik speaking yang bisa dipakainya untuk menarik banyak orang agar memberikan suara padanya. Ia calon politikus yang bersih. Ryan datang belakangan. Dengan modal uang, ia mendapatkan dukungan yang begitu cepat. Menyuap orang-orang yang tahu dengan strategi politik kotornya.
Siska sudah bisa membaca perubahan itu dan tidak banyak berharap. Ia membiarkan Ryan terus maju dengan mudah dan menerima penawaran karier dari kakaknya—yang seorang kepala sipir di tahanan khusus lelaki. Ada sebuah lowongan yang menurutnya tantangan untuk dicoba. Dia tidak punya saingan. Siapa yang mau berkantor di sebuah penjara? Banyak yang menganggap itu pekerjaan tidak waras. Gajinya pun tidak seberapa. Siska tahu konsekuensi itu. Ia memang bukan seorang pemburu harta.
Ryan mempercayakan keponakannya berada di bawah pengawasan Siska selama menjalani hukuman. Barbie dan teman-temannya akan aman di sana. Jumlah tahanan di sana pun tidak sebanyak tahanan lain. Ryan memastikan, Barbie tidak harus berbagi kamar dengan siapa pun. Ia ditempatkan di blok yang tidak dipenuhi orang-orang yang bermasalah. Semuanya diatur. Setiap kabar tentang Barbie pun ia sampaikan pada sepupunya, Clara Wibowo.
Tapi kemarin, ia mendapat telepon dari Siska, yang menyebutkan kalau ketua blok tempat Barbie ditahan, minta agar Barbie dipindahkan ke blok lain. Ryan kaget. Ia harus memastikan hal itu tidak terjadi. Ia tahu profil seorang Helen Armando. Tahanan seumur hidup sebagai konsekuensi pembunuhan berencana yang pernah ia lakukan sepuluh tahun lalu. Di sisi lain, ia dihormati sembilan ketua blok lainnya. Tidak pernah memakai narkoba, meski teman akrabnya seorang bandar. Ia harus bertemu langsung dengan Siska. Memastikan keponakannya tidak dipindahkan ke blok lain.
Dan di sinilah sekarang ia berada. Di sebuah ruangan kerja yang tidak jauh beda dengan Senayan. Hanya saja, dari jendela, ia melihat gedung penjara yang berdiri gagah, dengan terali-terali kokoh menahan gerak-gerik para penghuninya.
“Wakil rakyat sibuk sepertimu, masih sempat juga datang ke tempat seperti ini. Suatu kehormatan bagiku tentu saja. Jika kamu ingin mengunjungi keponakanmu, tidak perlu mampir kemari. Tidak pernah ada sejarahnya pengunjung yang diusir. Apalagi selebriti yang mewakili suara rakyat.”
Siska memasuki ruangan dan langsung menempati kursi kerjanya.
“Cukup basa basimu, Siska. Aku datang untuk memastikan tentang kebar kemarin, jangan sampai terjadi. Jangan izinkan Barbie pindah dari blok Helen Armando. Itu tempat teraman buat dia. Kita sudah sepakat soal ini di telepon.”
Siska menghela napas. Sejenak, ia memesan dua cangkir kopi pada sekretarisnya yang menempati meja di luar ruangan Sipir Kepala. Ia tidak tahu siapa yang harus dipentingkan. Helen bahkan mengajukan surat resmi untuk perpindahan tahanan di bloknya ke blok J. Jika ada alasan yang kuat, pasti dikabulkan. Dalam surat itu, Helen menuliskan alasan yang menurutnya masuk akal. Siska tidak perlu waktu lama untuk menandatangani. Sore ini, ia akan memerintahkan pemindahan Barbie. Tapi baru menjelang siang, Ryan bermaksud membatalkan.
“Helen itu tidak baik untuk perkembangan jiwa keponakanmu, Ryan. Kamu tahu sendiri, dia tahanan istimewa. Kamu pun perlu tahu, Helen Armando tidak dipindahkan ke tahanan yang seharusnya, karena permintaan sebuah pihak yang jauh lebih berpengaruh, bahkan dari seorang anggota dewan sepertimu. Di mata keponakanmu, Helen itu sosok yang berbahaya. Dia ketakutan.”
“Dan kamu berpikir, dia sehari-hari bersama bandar narkoba masih lebih baik daripada tahanan yang hanya pernah sekali membunuh orang, itu pun karena alasan yang dapat diterima akal sehat?”
Siska menyesap kopi yang baru diantarkan, Ryan menirunya. Sinis ia memandang Ryan. Kopi itu sedikit membuat Ryan lebih tenang. Ia menyandarkan punggung ke sofa. Diperhatikannya Siska yang tampak menimbang-nimbang keputusan.
“Dia satu-satunya yang bersih dari obat-obatan, Siska. Aku tidak mau Barbie masih bisa mengonsumsi obat apa pun. Dia masih dua puluh tahun, Sis. Gara-gara dua temannya itu, dia ikut rusak. Dia harus dibersihkan.”
“Barbie sudah mengisap ganja sejak SMA, Ryan. Berhentilah membelanya terus. Dan kamu perlu tahu, Barbie yang membelikan teman-temannya semua obat-obatan itu! Dia mengakui itu semua di hadapanku!” Siska naik darah. Ia muak dengan Ryan selalu menganggap keluarganya baik-baik.
“Ganja tidak akan membuatnya kecanduan. Jangan kau samakan dengan heroin atau shabu. Sebagai orang yang menangani hal ini, seharusnya kamu paham. Dan cerita dari mana yang barusan itu? Kamu karang sendiri kan?”
“Semua tahanan di sini tidak ada yang tidak melalui interogasi, Ryan. Aku sendiri yang menanyakan hal itu dan dia tidak menutup-nutupinya. keponakanmu sudah rusak bahkan sejak ia masih tinggal serumah dengan ibunya. Kamu pasti tahu kan? Kalau memang dia mau berhenti, dia pasti akan berhenti sendiri. Kalau dia belum mau berhenti, biarkan dia jera!”
Ryan menggeleng. “Tolonglah. Batalkan rencanamu itu.”
“Tidak, Ryan. Wibawaku akan jatuh kalau menurutimu.”
Ryan menyerah.
Pemindahan tahanan tidak memakan waktu lama. Barbie membawa barang-barangnya di dalam sebuah keranjang, mengikuti dua orang sipir menuju blok J. Kepalanya celingukan, mencari keberadaan Helen. Tapi sosok itu entah di mana, mungkin sedang bersama Sri. Keputusannya tergesa-gesa. Ia belum sama sekali mengenal Helen, namun sudah begitu buruk sangka. Helen tidak seperti apa yang dia pikirkan. Dari sorot matanya, Barbie bisa tahu sosok jangkung itu punya hati yang baik. Tapi, semua terlambat.
Para tahanan yang dilewatinya, menatapnya dengan berbagai tatapan. Ada yang penuh kesinisan, kasihan, hingga senang. Agnes pun tersenyum senang saat melihat kedatangannya. Barbie membalas senyuman itu. Ya, meski tidak sejangkung dan berotot Helen, Agnes pun juga punya karisma.
Barbie ditempatkan di sel nomor 2, yang baru saja kosong. Setelah itu, kedua sipir pun meninggalkannya. Inu dan Vina berebut menyambutnya.
“Yeay, akhirnya kita barengan lagiiii!” Vina memeluk kedua sahabatnya dengan senang.
“Om Ryan hebat ya, bisa minta supaya kamu pindah sel. Padahal, kalau yang lain, katanya susah banget. Bayar mahal juga belum tentu dituruti sama Sipir Kepala. Tadi kita lihat lho dia datang sama pengawalnya. Sampai konvoi tiga mobil!” Inu tidak kalah girangnya.
Barbie tertegun. Yang ia tahu, kepindahannya ini dibantu oleh Helen, bukan Om Ryan. Ia bahkan belum ditemui oleh omnya itu, padahal dulu Om Ryan berjanji akan segera datang menengoknya begitu ada waktu.
“Oh ya, Kak Agnes mau ketemu kamu tuh. Ditunggu di selnya dia.” Vina teringat dengan amanat dari ketua selnya.
Barbie mengangguk cepat. Urusan membereskan barang-barang bisa nanti ia lakukan. Sekarang, menghadap ketua barunya dulu.
Kak Agnes itu orangnya baik banget. Dia ngajakin aku ngobrol di selnya yang beda dari sel-sel lain. Sel para ketua blok memang lebih besar, kamar mandi pun terpisah, sehingga tidak tercium aroma tidak enak. Kasurnya busa yang lebih empuk, sementara yang lain kasur busa yang mulai menipis. Beruntunglah sepuluh orang yang menjadi ketua masing-masing blok. Terasa strata sosialnya lebih tinggi dari yang lain.
Kak Agnes memberikan dua bungkus rokok untukku,gratis. Juga heroin dalam plastik kecil. Gratis. Edisi promosi mungkin. Suara Kak Agnes agak serak, tapi terdengar seksi. Kesan pertama berada di dekatnya, dia penuh daya tarik. Tapi, aku tidak tertarik dengan perempuan.
“Siapa nama lengkapmu?”
“Barbara Ray, Kak,” jawabku lalu menyalakan rokok dengan takut-takut.
“Banyak yang ingin pindah ke blok ini, tapi tidak bisa sesukanya. Kalau bukan karena aku, jangan harap kamu bisa masuk ke sini. Helen dan aku itu musuh. Dia pernah menusukku dari belakang. Jangan percaya dengan tampangnya itu. Dia jauh lebih berbahaya dari ular berbisa mana pun.”
Aku menelan ludah. Jadi keabraban yang sering kulihat di antara mereka hanya pura-pura belaka?
“Dia mengambil Tantriana dariku. Dia pacarku sebelum kami masuk penjara ini. Dia memperkosa Tantri di saat aku lengah. Lalu dia dengan lagak sok pahlawan mencoba menebus rasa bersalahnya. Mengambil Tantri dariku. Aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Helen, karena Tantri pun brengsek. Tapi sudahlah. Itu sedikit cerita yang perlu kamu tahu tentang Helen. Untunglah kamu cepat-cepat minta pindah, karena semua tahanan di blok F, pasti sudah pernah diajak tidur Helen. Apalagi si Sri, mereka itu sepasang kekasih.”
Oh pantas, Sri begitu setia pada Kak Helen. Ah, syukurlah aku segera pindah dari sana, bisa-bisa jadi korbannya yang kesekian.
“Ini sambutan kedatanganmu. Ayo diminum.”
Aku mengangguk-angguk. Minuman bersoda berwarna bening itu kutenggak. Segar melewati tenggorokanku. Rupanya di kamar Kak Agnes terdapat kulkas. Benar-benar fasilitas luar biasa.
“Ca, ajak si Inu dan Vina ke halaman, aku masih ada hal yang perlu dibicarakan dengan gadis ini!” Kak Agnes berbicara pada seseorang yang sepertinya berdiri di samping selnya.
“Ada aturan di sini, tidak ada yang boleh menyentuh benda-benda milikku tanpa izin. Semua benda yang ada di dalam sel ini. Mengerti?” Dia kembali bicara padaku.
Aku mengangguk-angguk. Aturan yang sama dengan di blok F.
Oh kenapa tiba-tiba kepalaku menjadi pusing? Tadi aku baik-baik saja.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Kak Agnes sambil mengguncang-guncang bahuku.
Aku memijiti kepala. Tidak pernah aku merasa sepusing ini. Pandanganku mulai kabur dan badanku perlahan-lahan lemas. Ada sepasang tangan yang merengkuhku. Lalu semuanya gelap.
Helen membiarkan kepalanya tersiram air shower yang dingin. Penjara itu memang tidak menyediakan air panas. Dinginnya air hanya sanggup menyentuh kepala, bukan hatinya.
“Helen! Lama amat sih mandinya! Gantian dong!”
“Bentar! Rewel!” dengus Helen.
“Len, kamu tega aku mandi di kamar mandi umum? Ayo dong, udah hampir jam sepuluh nih! Nih badan udah lengket semua!”
Dok! Dok! Dok!
Helen mendengus kesal. Ia mematikan shower. Usai menghanduki tubuh dan berbusana, ia pun keluar dari kamar mandi pribadinya.
“Nggak ditemenin, Len?”
“Buruan sono mandi. Genit amat!”
“Kan, kan, lagi jomblo, Len, nggak butuh yang anget-anget?”
Helen melempar handuknya ke pundak Sri lalu naik ke tempat tidurnya.
“Eh Len, barusan aku dapat kabar.”
“Kabar apa?”
“Si Barbie udah ‘digituin’ sama si Agnes. Gesit bener yak, Agnes emang bener-bener brengsek.”
“Mandi sono. Gosip aja!”
“Ada yang nyesel nih ngebiarin anak gadis orang diembat duluan ama Agnes.”
“Hush!”
Sekarang aku di blok J. Blok yang aku inginkan. Dan menyesalinya. Aku terlalu naif, terlalu percaya dengan sosok bernama Agnes itu. Terlalu mudah dibodohi. Minuman itu, ada sesuatu di dalamnya. Mungkin obat tidur yang bereaksi dengan cepat.
Aku terjaga, dan merasa ada sesuatu yang telah terjadi pada tubuhku. Pakaianku lengkap. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang telah memasuki kemaluanku. Tanpa kuharapkan. Tanpa aku siap. Ada perasaan tidak nyaman di area itu. Mungkin terluka. Tapi tak kutemukan bercak darah.
Inu dan Vena tidak akan percaya jika aku mengatakan telah diperkosa. Atau sebenarnya mereka sudah mengalami jauh sebelumku. Lalu mengapa mereka tidak memperingatkan aku? Ya memang, penghuni blok ini berada di bawah kekuasaan Kak Agnes. Dan aku hanya bisa pasrah. Berharap tak terulang lagi. Jangan-jangan, semua cerita buruk Kak Agnes tentang Kak Helen hanya bualannya saja. Apa boleh buat. Aku sudah mengambil keputusan, tak bisa kembali lagi.
Aku takut dengan Kak Agnes. Melebihi rasa takutku pada Kak Helen. Takut ketika dia menatapku dari atas hingga bawah. Aku takut dia mengulangi hal itu lagi, bahkan tanpa memberiku obat tidur. Saat aku dalam keadaan sadar.
Tapi, aku bisa apa? Dia orang berkuasa di sini. Dua hari setelah itu, dia masuk ke selku. Orang-orang entah ke mana. Dia membungkam mulutku, menyeretku ke dalam kamar mandinya. Melakukannya di dalam sana dan menyakitiku. Tanpa kuinginkan, sehingga rasa sakit yang kurasakan setelahnya. Dia memerintahku agar berhenti menangis dan segera memakai celana panjangku lagi. Tanpa lupa mengancamku dengan hal mengerikan jika berani buka mulut pada pihak penjara. Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa. Om Ryan? Sipir Kepala? Aku punya bukti. Tapi aku tidak berani. Semua penghuni blok ini loyal pada Kak Agnes. Mereka bisa beramai-ramai mengeroyokku jika terjadi sesuatu pada pimpinan mereka.
Sipir Kepala turun berpatroli bersama beberapa sipir. Para penghuni blok F sampai J menyebar di halaman penjara yang dibentengi pagar tinggi dan bagian atasnya dialiri listrik. Ada yang bermain basket ada yang bermain kartu, dan hanya berjalan-jalan pun ada. Aku hanya duduk menyendiri. Merasa tidak punya rasa percaya diri untuk membaur. Kak Agnes tersenyum jahat, sekilas padaku di kejauhan. Ia sedang bertanding basket melawan tim Kak Helen.
Sekali kulihat Kak Helen menatapku, iba. Tapi tiba-tiba Kak Agnes mendorongnya sampai terjerembab. Kak Agnes membantunya bangkit dan seolah-olah mengatakan ia tidak sengaja. Aku tahu, itu sengaja. Tahanan lain pun pasti tahu, itu sengaja. Mereka lalu fokus ke permainan. Tim Kak Helen terus mencetak poin, sementara tim Kak Agnes kesulitan mengejar. Aku bisa melihat betapa emosinya Kak Agnes. Kulihat ia mengacungkan jari tengah ketika Kak Helen membelakanginya.
Di sebuah bangku, kulihat Inu sedang berbicara dengan Sri, serius. Mungkinkah Kak Helen tahu kalau aku mendapat perlakukan tidak bermoral di selku? Mungkinkah ada yang menyampaikan hal itu padanya? Kalau ia tahu, dia bisa apa? Dia sama-sama tahanan di sini.
“Helen, ada surat nih dari Tantri!” Sri melambai-lambaikan sehelai amplop di depan muka Helen yang sedang menikmati makan siangnya. Barbie yang duduk di sebelah meja Helen dan kawan-kawannya dari blok F, menoleh.
Sri mengambil makanan lalu duduk di samping Helen. “Dibaca dong!” Sri menyikut Helen yang tampak tak acuh.
“Buat apa?”
“Si Tantri kali aja kangen. Atau jangan-jangan ini undangan kawinan dia.”
“Dia masih berstatus tahanan kota kali,” sergah tahanan yang duduk di hadapan Helen.
“Hush! Jangan ikut campur deh!” ujar Sri dengan mendelik.
“Helen, yailah, kalau nggak mau baca, aku yang baca nih.”
“Udah, bacain aja buat kita semua, Sri,” pinta teman Helen yang lain.
“Sip, sip! Siap yaa! Helen, dengarkan.”
Yogyakarta, 7 Juni 2014
Ryan menemui Siska, Sipir Kepala. Mereka punya sejarah panjang yang tidak begitu mengenakkan di masa lalu. Siska pernah terobsesi memiliki karier politik. Ia punya kemampuan publik speaking yang bisa dipakainya untuk menarik banyak orang agar memberikan suara padanya. Ia calon politikus yang bersih. Ryan datang belakangan. Dengan modal uang, ia mendapatkan dukungan yang begitu cepat. Menyuap orang-orang yang tahu dengan strategi politik kotornya.
Siska sudah bisa membaca perubahan itu dan tidak banyak berharap. Ia membiarkan Ryan terus maju dengan mudah dan menerima penawaran karier dari kakaknya—yang seorang kepala sipir di tahanan khusus lelaki. Ada sebuah lowongan yang menurutnya tantangan untuk dicoba. Dia tidak punya saingan. Siapa yang mau berkantor di sebuah penjara? Banyak yang menganggap itu pekerjaan tidak waras. Gajinya pun tidak seberapa. Siska tahu konsekuensi itu. Ia memang bukan seorang pemburu harta.
Ryan mempercayakan keponakannya berada di bawah pengawasan Siska selama menjalani hukuman. Barbie dan teman-temannya akan aman di sana. Jumlah tahanan di sana pun tidak sebanyak tahanan lain. Ryan memastikan, Barbie tidak harus berbagi kamar dengan siapa pun. Ia ditempatkan di blok yang tidak dipenuhi orang-orang yang bermasalah. Semuanya diatur. Setiap kabar tentang Barbie pun ia sampaikan pada sepupunya, Clara Wibowo.
Tapi kemarin, ia mendapat telepon dari Siska, yang menyebutkan kalau ketua blok tempat Barbie ditahan, minta agar Barbie dipindahkan ke blok lain. Ryan kaget. Ia harus memastikan hal itu tidak terjadi. Ia tahu profil seorang Helen Armando. Tahanan seumur hidup sebagai konsekuensi pembunuhan berencana yang pernah ia lakukan sepuluh tahun lalu. Di sisi lain, ia dihormati sembilan ketua blok lainnya. Tidak pernah memakai narkoba, meski teman akrabnya seorang bandar. Ia harus bertemu langsung dengan Siska. Memastikan keponakannya tidak dipindahkan ke blok lain.
Dan di sinilah sekarang ia berada. Di sebuah ruangan kerja yang tidak jauh beda dengan Senayan. Hanya saja, dari jendela, ia melihat gedung penjara yang berdiri gagah, dengan terali-terali kokoh menahan gerak-gerik para penghuninya.
“Wakil rakyat sibuk sepertimu, masih sempat juga datang ke tempat seperti ini. Suatu kehormatan bagiku tentu saja. Jika kamu ingin mengunjungi keponakanmu, tidak perlu mampir kemari. Tidak pernah ada sejarahnya pengunjung yang diusir. Apalagi selebriti yang mewakili suara rakyat.”
Siska memasuki ruangan dan langsung menempati kursi kerjanya.
“Cukup basa basimu, Siska. Aku datang untuk memastikan tentang kebar kemarin, jangan sampai terjadi. Jangan izinkan Barbie pindah dari blok Helen Armando. Itu tempat teraman buat dia. Kita sudah sepakat soal ini di telepon.”
Siska menghela napas. Sejenak, ia memesan dua cangkir kopi pada sekretarisnya yang menempati meja di luar ruangan Sipir Kepala. Ia tidak tahu siapa yang harus dipentingkan. Helen bahkan mengajukan surat resmi untuk perpindahan tahanan di bloknya ke blok J. Jika ada alasan yang kuat, pasti dikabulkan. Dalam surat itu, Helen menuliskan alasan yang menurutnya masuk akal. Siska tidak perlu waktu lama untuk menandatangani. Sore ini, ia akan memerintahkan pemindahan Barbie. Tapi baru menjelang siang, Ryan bermaksud membatalkan.
“Helen itu tidak baik untuk perkembangan jiwa keponakanmu, Ryan. Kamu tahu sendiri, dia tahanan istimewa. Kamu pun perlu tahu, Helen Armando tidak dipindahkan ke tahanan yang seharusnya, karena permintaan sebuah pihak yang jauh lebih berpengaruh, bahkan dari seorang anggota dewan sepertimu. Di mata keponakanmu, Helen itu sosok yang berbahaya. Dia ketakutan.”
“Dan kamu berpikir, dia sehari-hari bersama bandar narkoba masih lebih baik daripada tahanan yang hanya pernah sekali membunuh orang, itu pun karena alasan yang dapat diterima akal sehat?”
Siska menyesap kopi yang baru diantarkan, Ryan menirunya. Sinis ia memandang Ryan. Kopi itu sedikit membuat Ryan lebih tenang. Ia menyandarkan punggung ke sofa. Diperhatikannya Siska yang tampak menimbang-nimbang keputusan.
“Dia satu-satunya yang bersih dari obat-obatan, Siska. Aku tidak mau Barbie masih bisa mengonsumsi obat apa pun. Dia masih dua puluh tahun, Sis. Gara-gara dua temannya itu, dia ikut rusak. Dia harus dibersihkan.”
“Barbie sudah mengisap ganja sejak SMA, Ryan. Berhentilah membelanya terus. Dan kamu perlu tahu, Barbie yang membelikan teman-temannya semua obat-obatan itu! Dia mengakui itu semua di hadapanku!” Siska naik darah. Ia muak dengan Ryan selalu menganggap keluarganya baik-baik.
“Ganja tidak akan membuatnya kecanduan. Jangan kau samakan dengan heroin atau shabu. Sebagai orang yang menangani hal ini, seharusnya kamu paham. Dan cerita dari mana yang barusan itu? Kamu karang sendiri kan?”
“Semua tahanan di sini tidak ada yang tidak melalui interogasi, Ryan. Aku sendiri yang menanyakan hal itu dan dia tidak menutup-nutupinya. keponakanmu sudah rusak bahkan sejak ia masih tinggal serumah dengan ibunya. Kamu pasti tahu kan? Kalau memang dia mau berhenti, dia pasti akan berhenti sendiri. Kalau dia belum mau berhenti, biarkan dia jera!”
Ryan menggeleng. “Tolonglah. Batalkan rencanamu itu.”
“Tidak, Ryan. Wibawaku akan jatuh kalau menurutimu.”
Ryan menyerah.
Pemindahan tahanan tidak memakan waktu lama. Barbie membawa barang-barangnya di dalam sebuah keranjang, mengikuti dua orang sipir menuju blok J. Kepalanya celingukan, mencari keberadaan Helen. Tapi sosok itu entah di mana, mungkin sedang bersama Sri. Keputusannya tergesa-gesa. Ia belum sama sekali mengenal Helen, namun sudah begitu buruk sangka. Helen tidak seperti apa yang dia pikirkan. Dari sorot matanya, Barbie bisa tahu sosok jangkung itu punya hati yang baik. Tapi, semua terlambat.
Para tahanan yang dilewatinya, menatapnya dengan berbagai tatapan. Ada yang penuh kesinisan, kasihan, hingga senang. Agnes pun tersenyum senang saat melihat kedatangannya. Barbie membalas senyuman itu. Ya, meski tidak sejangkung dan berotot Helen, Agnes pun juga punya karisma.
Barbie ditempatkan di sel nomor 2, yang baru saja kosong. Setelah itu, kedua sipir pun meninggalkannya. Inu dan Vina berebut menyambutnya.
“Yeay, akhirnya kita barengan lagiiii!” Vina memeluk kedua sahabatnya dengan senang.
“Om Ryan hebat ya, bisa minta supaya kamu pindah sel. Padahal, kalau yang lain, katanya susah banget. Bayar mahal juga belum tentu dituruti sama Sipir Kepala. Tadi kita lihat lho dia datang sama pengawalnya. Sampai konvoi tiga mobil!” Inu tidak kalah girangnya.
Barbie tertegun. Yang ia tahu, kepindahannya ini dibantu oleh Helen, bukan Om Ryan. Ia bahkan belum ditemui oleh omnya itu, padahal dulu Om Ryan berjanji akan segera datang menengoknya begitu ada waktu.
“Oh ya, Kak Agnes mau ketemu kamu tuh. Ditunggu di selnya dia.” Vina teringat dengan amanat dari ketua selnya.
Barbie mengangguk cepat. Urusan membereskan barang-barang bisa nanti ia lakukan. Sekarang, menghadap ketua barunya dulu.
Kak Agnes itu orangnya baik banget. Dia ngajakin aku ngobrol di selnya yang beda dari sel-sel lain. Sel para ketua blok memang lebih besar, kamar mandi pun terpisah, sehingga tidak tercium aroma tidak enak. Kasurnya busa yang lebih empuk, sementara yang lain kasur busa yang mulai menipis. Beruntunglah sepuluh orang yang menjadi ketua masing-masing blok. Terasa strata sosialnya lebih tinggi dari yang lain.
Kak Agnes memberikan dua bungkus rokok untukku,gratis. Juga heroin dalam plastik kecil. Gratis. Edisi promosi mungkin. Suara Kak Agnes agak serak, tapi terdengar seksi. Kesan pertama berada di dekatnya, dia penuh daya tarik. Tapi, aku tidak tertarik dengan perempuan.
“Siapa nama lengkapmu?”
“Barbara Ray, Kak,” jawabku lalu menyalakan rokok dengan takut-takut.
“Banyak yang ingin pindah ke blok ini, tapi tidak bisa sesukanya. Kalau bukan karena aku, jangan harap kamu bisa masuk ke sini. Helen dan aku itu musuh. Dia pernah menusukku dari belakang. Jangan percaya dengan tampangnya itu. Dia jauh lebih berbahaya dari ular berbisa mana pun.”
Aku menelan ludah. Jadi keabraban yang sering kulihat di antara mereka hanya pura-pura belaka?
“Dia mengambil Tantriana dariku. Dia pacarku sebelum kami masuk penjara ini. Dia memperkosa Tantri di saat aku lengah. Lalu dia dengan lagak sok pahlawan mencoba menebus rasa bersalahnya. Mengambil Tantri dariku. Aku juga tidak bisa sepenuhnya menyalahkan Helen, karena Tantri pun brengsek. Tapi sudahlah. Itu sedikit cerita yang perlu kamu tahu tentang Helen. Untunglah kamu cepat-cepat minta pindah, karena semua tahanan di blok F, pasti sudah pernah diajak tidur Helen. Apalagi si Sri, mereka itu sepasang kekasih.”
Oh pantas, Sri begitu setia pada Kak Helen. Ah, syukurlah aku segera pindah dari sana, bisa-bisa jadi korbannya yang kesekian.
“Ini sambutan kedatanganmu. Ayo diminum.”
Aku mengangguk-angguk. Minuman bersoda berwarna bening itu kutenggak. Segar melewati tenggorokanku. Rupanya di kamar Kak Agnes terdapat kulkas. Benar-benar fasilitas luar biasa.
“Ca, ajak si Inu dan Vina ke halaman, aku masih ada hal yang perlu dibicarakan dengan gadis ini!” Kak Agnes berbicara pada seseorang yang sepertinya berdiri di samping selnya.
“Ada aturan di sini, tidak ada yang boleh menyentuh benda-benda milikku tanpa izin. Semua benda yang ada di dalam sel ini. Mengerti?” Dia kembali bicara padaku.
Aku mengangguk-angguk. Aturan yang sama dengan di blok F.
Oh kenapa tiba-tiba kepalaku menjadi pusing? Tadi aku baik-baik saja.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Kak Agnes sambil mengguncang-guncang bahuku.
Aku memijiti kepala. Tidak pernah aku merasa sepusing ini. Pandanganku mulai kabur dan badanku perlahan-lahan lemas. Ada sepasang tangan yang merengkuhku. Lalu semuanya gelap.
Helen membiarkan kepalanya tersiram air shower yang dingin. Penjara itu memang tidak menyediakan air panas. Dinginnya air hanya sanggup menyentuh kepala, bukan hatinya.
“Helen! Lama amat sih mandinya! Gantian dong!”
“Bentar! Rewel!” dengus Helen.
“Len, kamu tega aku mandi di kamar mandi umum? Ayo dong, udah hampir jam sepuluh nih! Nih badan udah lengket semua!”
Dok! Dok! Dok!
Helen mendengus kesal. Ia mematikan shower. Usai menghanduki tubuh dan berbusana, ia pun keluar dari kamar mandi pribadinya.
“Nggak ditemenin, Len?”
“Buruan sono mandi. Genit amat!”
“Kan, kan, lagi jomblo, Len, nggak butuh yang anget-anget?”
Helen melempar handuknya ke pundak Sri lalu naik ke tempat tidurnya.
“Eh Len, barusan aku dapat kabar.”
“Kabar apa?”
“Si Barbie udah ‘digituin’ sama si Agnes. Gesit bener yak, Agnes emang bener-bener brengsek.”
“Mandi sono. Gosip aja!”
“Ada yang nyesel nih ngebiarin anak gadis orang diembat duluan ama Agnes.”
“Hush!”
Sekarang aku di blok J. Blok yang aku inginkan. Dan menyesalinya. Aku terlalu naif, terlalu percaya dengan sosok bernama Agnes itu. Terlalu mudah dibodohi. Minuman itu, ada sesuatu di dalamnya. Mungkin obat tidur yang bereaksi dengan cepat.
Aku terjaga, dan merasa ada sesuatu yang telah terjadi pada tubuhku. Pakaianku lengkap. Tapi aku yakin, ada sesuatu yang telah memasuki kemaluanku. Tanpa kuharapkan. Tanpa aku siap. Ada perasaan tidak nyaman di area itu. Mungkin terluka. Tapi tak kutemukan bercak darah.
Inu dan Vena tidak akan percaya jika aku mengatakan telah diperkosa. Atau sebenarnya mereka sudah mengalami jauh sebelumku. Lalu mengapa mereka tidak memperingatkan aku? Ya memang, penghuni blok ini berada di bawah kekuasaan Kak Agnes. Dan aku hanya bisa pasrah. Berharap tak terulang lagi. Jangan-jangan, semua cerita buruk Kak Agnes tentang Kak Helen hanya bualannya saja. Apa boleh buat. Aku sudah mengambil keputusan, tak bisa kembali lagi.
Aku takut dengan Kak Agnes. Melebihi rasa takutku pada Kak Helen. Takut ketika dia menatapku dari atas hingga bawah. Aku takut dia mengulangi hal itu lagi, bahkan tanpa memberiku obat tidur. Saat aku dalam keadaan sadar.
Tapi, aku bisa apa? Dia orang berkuasa di sini. Dua hari setelah itu, dia masuk ke selku. Orang-orang entah ke mana. Dia membungkam mulutku, menyeretku ke dalam kamar mandinya. Melakukannya di dalam sana dan menyakitiku. Tanpa kuinginkan, sehingga rasa sakit yang kurasakan setelahnya. Dia memerintahku agar berhenti menangis dan segera memakai celana panjangku lagi. Tanpa lupa mengancamku dengan hal mengerikan jika berani buka mulut pada pihak penjara. Aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa. Om Ryan? Sipir Kepala? Aku punya bukti. Tapi aku tidak berani. Semua penghuni blok ini loyal pada Kak Agnes. Mereka bisa beramai-ramai mengeroyokku jika terjadi sesuatu pada pimpinan mereka.
Sipir Kepala turun berpatroli bersama beberapa sipir. Para penghuni blok F sampai J menyebar di halaman penjara yang dibentengi pagar tinggi dan bagian atasnya dialiri listrik. Ada yang bermain basket ada yang bermain kartu, dan hanya berjalan-jalan pun ada. Aku hanya duduk menyendiri. Merasa tidak punya rasa percaya diri untuk membaur. Kak Agnes tersenyum jahat, sekilas padaku di kejauhan. Ia sedang bertanding basket melawan tim Kak Helen.
Sekali kulihat Kak Helen menatapku, iba. Tapi tiba-tiba Kak Agnes mendorongnya sampai terjerembab. Kak Agnes membantunya bangkit dan seolah-olah mengatakan ia tidak sengaja. Aku tahu, itu sengaja. Tahanan lain pun pasti tahu, itu sengaja. Mereka lalu fokus ke permainan. Tim Kak Helen terus mencetak poin, sementara tim Kak Agnes kesulitan mengejar. Aku bisa melihat betapa emosinya Kak Agnes. Kulihat ia mengacungkan jari tengah ketika Kak Helen membelakanginya.
Di sebuah bangku, kulihat Inu sedang berbicara dengan Sri, serius. Mungkinkah Kak Helen tahu kalau aku mendapat perlakukan tidak bermoral di selku? Mungkinkah ada yang menyampaikan hal itu padanya? Kalau ia tahu, dia bisa apa? Dia sama-sama tahanan di sini.
“Helen, ada surat nih dari Tantri!” Sri melambai-lambaikan sehelai amplop di depan muka Helen yang sedang menikmati makan siangnya. Barbie yang duduk di sebelah meja Helen dan kawan-kawannya dari blok F, menoleh.
Sri mengambil makanan lalu duduk di samping Helen. “Dibaca dong!” Sri menyikut Helen yang tampak tak acuh.
“Buat apa?”
“Si Tantri kali aja kangen. Atau jangan-jangan ini undangan kawinan dia.”
“Dia masih berstatus tahanan kota kali,” sergah tahanan yang duduk di hadapan Helen.
“Hush! Jangan ikut campur deh!” ujar Sri dengan mendelik.
“Helen, yailah, kalau nggak mau baca, aku yang baca nih.”
“Udah, bacain aja buat kita semua, Sri,” pinta teman Helen yang lain.
“Sip, sip! Siap yaa! Helen, dengarkan.”
Yogyakarta, 7 Juni 2014
Tags
Fiksi