Shamayim dan Aretz

בְּרֵאשִׁית בָּרָא אֱלֹהִים אֵת הַשָּׁמַיִם וְאֵת הָאָֽרֶץ 
(Kejadian 1: 1)


Hidup itu tak ada yang serbakebetulan. Ada rencana Yang Di Atas untuk satu hal kecil pun. Kamu. Aku. Shamayim. Aretz.

Kau bukan mahasiswa kampus ini. Dengan sikap yang serbacanggung, kau duduk di baris paling belakang, di sebelah mahasiswa berkacamata yang hidung dan matanya merah. Mungkin karena sedang flu atau kebanyakan begadang. Untuk semester ini kelas Bahasa Ibrani 1 terisi delapan belas mahasiswa, baru dan mengulang. Sebagian besar mengulang, karena ini bukan bahasa yang umum bagi orang-orang Indonesia, yang tak punya pertalian darah dengan bangsa Yahudi. Dari Ibrahim, lahir dua putra yang kemudian menjadi nabi yang diakui dua agama besar dunia. Ismail menjadi leluhur dari bangsa Arab, termasuk Nabi Muhammad Saw. Lalu putra yang lainnya, Ishaq, menjadi leluhur bangsa Yahudi. Di dalam darahku, bercampur antara keduanya. Nenek moyangku mungkin meyakini bahwa semakin banyak percampuran darah akan semakin bagus keturunannya. Bukan tanpa alasan aku fasih berbahasa Ibrani, Yiddi, dan Arab. Bahasa-bahasa ini menjadi sarana komunikasiku dengan para kerabat di Yordania dan Israel. Mereka mana nyaman berbahasa Indonesia dan Inggris? Tapi karena ibuku sudah resmi menjadi warga negara Indonesia, aku pun harus ikut menyesuaikan diri. Namaku Keila Aretz. Bukan nama lahirku. Inilah nama yang kusukai dan kugunakan sampai sekarang, agar aku tidak melupakan sejarah.

Aku tidak bekerja di kampus ini. Hanya berstatus dosen pengganti. Profesor Thalib, kalau dia sih nenek moyangnya Arab asli. Seorang bapak dua anak yang sangat ramah. Dia salah satunya yang tahu dengan darah Yahudi yang ada di tubuhku. Dia sering mengundangku ke rumahnya untuk berdiskusi, tentang buku, film, budaya, makanan, sampai percintaan(ku). Lelaki 56 tahun itu sudah kuanggap seperti bapak sendiri--sosok yang absen dari diriku semenjak kecil. Putrinya, Layla, yang kuliah di jurusan tafsir hadits, sama akrabnya denganku. Wawasannya tidak kalah luas dengan sang ayah. Jika aku bertamu dan ayahnya tak ada di rumah, dia ini yang menemaniku ngobrol dalam bahasa Arab amiyah. Keluarga ini menyenangkan. Moderat, jika disimpulkan dalam satu kata.

Prof. Thalib sedang ada proyek kampus selama setahun di Mesir. Selain dia, tidak ada lagi yang bisa mengampu mata kuliahnya. Akulah yang direkomendasikan ke pihak kampus sebagai dosen pengganti. Mata kuliah bahasa Ibrani yang masih sangat dasar. Prof Thalib sudah memberikan gambaran jika ini bukan mata kuliah yang mudah dipahami para mahasiswa.

"Kau mengucap shalom aleichem, bisa saja mereka jawab wa'alaikumussalam."

Aku mengangguk-angguk. Shalom aleichem merupakan ucapan salam yang terdapat dalam Kitab Kejadian (43:23). Juga menjadi judul sebuah lagu tradisional yang biasa dinyanyikan pada Jum'at malam menyambut datangnya hari Sabat.

Maka, masuklah aku di sebuah kampus sebuah universitas negeri sebagai dosen pengajar sementara. Para dosen jurusan menyalamiku, menyambutku dengan hangat. Kutempati meja Prof Thalib. Laptop dan beberapa buku tebal, salah satunya penuh dengan bahasa Ibrani, kuletakkan paling bawah supaya mereka tidak melihatnya. Bisa-bisa mereka mengira buku panduan belajar bahasa Ibrani sebagai Taurat. Di mejaku sudah tersedia daftar absen mahasiswa di dalam map berwarna kuning cerah. Delapan belas orang. Cukup banyak untuk sebuah kelas. Wajar, karena banyak yang mendapat nilai E di kelas Prof. Thalib. Mereka harus mengulang, mata kuliah wajib jurusan.

Kampus ini tidak semegah kampus swasta tempatku mengajar. Tidak ada lift untuk sampai ke lantai tiga. Harus naik tangga. Kantinnya terbuka dan padat oleh mahasiswa, mungkin dari fakultas sebelah pun memilih makan di sini. Koleksi di perpustakaan juga kalah jauh dan kurang terawat. Apa mau dikata, kampus ini tidak dibangun dengan dana bantuan yang berasal dari para alumni konglomerat yang punya bisnis bertebaran di luar negeri. Beberapa di antaranya milyarder Yahudi yang berhati mulia.

Aku mulai mengajar di minggu kedua. Ruang kelas terletak di seberang perpustakaan di lantai 2, dihubungkan oleh jembatan berlapis ubin putih, dengan banyak mahasiswa duduk di sana berkelompok dan sibuk dengan laptopnya masing-masing. Ruang 2.02. Cukup untuk 30 mahasiswa. Begitu memasuki ruang kelas, aku menyapa mereka, dan seperti ujaran Prof Thalib, mereka menjawabnya dengan: wa'alaikumussalam.

"Boker tov! Syemi Keila Aretz. Saya akan mengajar kalian selama satu semester ini. Silakan mengisi absen dan kita mulai dengan mengenal huruf-huruf alfabet Ibrani. Di antara kalian ada penah belajar bahasa Ibrani selain di kampus ini?"

Pandanganku mengedar. Menunggu ada tangan yang teracung. Tapi tak ada. Aku tidak menghitung isyarat mata dari salah satu mahasiswi di barisan paling belakang. Laptop kusiapkan dan materi akan kumulai. Dari yang paling dasar.

Di pertengahan kelas, aku mengecek daftar hadir. Semuanya terisi. Dan ada satu tambahan nama di urutan kesembilan belas. Ditulis dengan pena bertinta biru. Shamayim. Nama yang bagus. Langit artinya dalam bahasa Ibrani. Sepertinya mahasiswi berkemeja putih tadi, yang memberi isyarat pada padaku saat pertanyaanku meluncur. Pandanganku mengarah padanya, dia tersenyum. Sepertinya senang begitu aku menyadari ada "tamu" di kelas itu. Hmm, Shamayim. Langit. Dan aku Aretz, bumi artinya. Sebuah kebetulan jika nama kami ada di dalam Taurat.

Di akhir kelas, aku memberikan tugas untuk dikumpulkan seminggu ke depan. "Bagi yang ingin mengopi file bahan perkuliahan dan beberapa referensi, silakan datang ke ruangan jurusan, sudah saya titipkan pada sekretaris jurusan. Sekian dari saya. Todah vi, boker tov."

Seusai mengajar, aku masih ada tugas mengajar di kampusku, dengan jadwal yang cukup padat. Hanya hari Rabu aku kemari, seminggu sekali.

Tak terasa sudah memasuki pertengahan semester, para dosen sibuk membuat soal UTS. Aku duduk di perpustakaan dengan laptop menyala dan dua buku terbuka di kiri dan kanan laptop. Beberapa mahasiswaku tampak menempati meja di dekat jendela sambil bercakap-cakap dengan suara pelan. Shamayim tidak ada di sana. Hanya teman lelaki yang berambut gondrong dengan janggut tipis di dagunya. Dia tertidur dengan kepala beralaskan kedua tangan di meja. Di kelasku pun dia sering tertidur. Sama sekali tidak tertarik terlibat diskusi "bisik-bisik" dengan teman-temannya. Mengapa dia tidak memilih bolos kuliah untuk tidur di rumahnya saja?

Prof. Thalib menghubungiku via Yahoo Messenger. Seorang akademisi sejati selalu menikmati proyek apa pun yang ditugaskan kampus, dengan bagaimana pun keadaan politik Mesir yang tidak stabil. Setidaknya, dia bilang, masih lebih baik ketimbang berada di Tepi Barat. Aku terbahak. Ya, paham betul maksudnya. Perang saudara antara Israel dan dan Palestina akan berlangsung mungkin hingga akhir zaman. Saudara? Ya, Ishaq dan Ismail bersaudara, bukan? Dan bukan hal aneh jika dalam hubungan persaudaraan terjadi perselisihan. Dengan apa pun pemicunya, minyak bumi, wilayah, pengakuan dunia. Bangsa Yahudi makin kocar-kacir semenjak merebaknya Holocaust. Mereka bangkit dan mengambil kembali tanah milik yang tertulis di dalam Taurat. Ya, aku tahu, umat muslim merasa Israel terlalu rakus hingga membuat negara baru di atas tanah orang. Tapi, bukankah Amerika dulu pun begitu? Apa yang mereka lakukan pada penduduk asli? Mengusir mereka, bukan? Hukum seleksi alam selalu berbunyi sama: yang kuat akan menang. Aku tidak mengatakan Palestina lemah. Hey, di dalam darahku juga ada darah Arab. Aku tidak berpihak pada mana pun. Menjadi netral dalam keyakinan sebagai buktinya. Aku tahu isi Taurat, Talmud, al-Qur'an, dan Kitab Hadits 9 Imam. Aku tidak memilih YHWH atau Allah Swt. Karena tidak ada Tuhan yang netral. Tuhan itu milik agama. Sementara aku tidak ingin terikat dalam agama tertentu.

"Bagaimana kelasmu?" Prof. Thalib mengalihkan diskusi kami dari perkara Palestina-Israel ke tugasku sebagai dosen penggantinya.

Kuceritakan kondisi para mahasiswaku. Kepalanya mengangguk-angguk. Kurasa dia tidak heran mendengar minimnya antusiasme mereka belajar bahasa Ibrani.

"Mereka mungkin merasa salah memegang diktat yang kuberikan tapi merasa benar membaca buku-buku Karl Marx dan Lenin. Bahkan kurasa, salah satu mahasiswaku seorang pencandu narkoba. Dia selalu tidur di kelas. Mata dan hidungnya selalu memerah."

"Badru Indrawan? Dia mengulang mata kuliah ini untuk ketiga kalinya." Prof. Thalib langsung tahu siapa yang kumaksud. "Nilainya E."

"Shamayim juga?"

"Siapa?"

Aku tercenung. Jadi siapa Shamayim ini?

Prof. Thalib tidak pernah mendengar nama itu dan mengatakan, "Jangan-jangan, dia pun keturunan Yahudi sepertimu. Kalian tidak pernah saling sapa?"

Lalu kujawab, "Aku tidak punya alasan bertanya itu. Dia hanya menemani kawannya kuliah. Di kelas, dia sangat aktif. Dia bisa menerjemahkan sepuluh ayat pertama dalam Kitab Kejadian tanpa kesalahan sedikitpun. Dia tahu kapan terakhir roket dijatuhkan ke wilayah Israel Selatan dan bagaimana serangan balik dari militer Israel. Aku belum pernah melihat tipe yang seperti itu. Kebanyakan begitu sinis dengan Israel dan menganggap kami predator internasional."

"Kami?"

Prof Thalib tersenyum di seberang sana, kulihat dari web cam yang menyoroti wajahnya sejak sejam yang lalu. Situasi Mesir tidak membuatnya diliputi ketegangan. Terang saja, ia lahir di tengah-tengah keluarga jurnalis yang biasa dikirim untuk meliput berita di daerah konflik di Indonesia. Sepupunya pernah berada di Palu dan Maluku Utara. Lengannya pernah tertancap salah satu anak panah yang nyasar. Kaluarganya baru tahu setelah ia kembali ke Jakarta seminggu kemudian.

Aku menghela napas.

"Kau belajar banyak hal, Keila. Itu membuatmu tak ingin berpihak ke mana pun. Kebebasan adalah impianmu, kan? Di darahmu ada darah Yahudi yang masih mengalir hingga keturunanmu kelak. Nenekmu, ibumu, kau, putrimu, cucu perempuanmu kelak. Tapi kau membuka mata, betapa garis darahmu yang lain pun terlukai. Mungkin Shamayim itu tahu sesuatu tentangmu."

Shamayim. Google memberikan jawaban yang tidak memuaskan. Bukan tentang Kitab Kejadian yang ingin kukatahui. Tapi seorang gadis awal dua puluh, dengan rambut cokelat agak bergelombang, smokey eyes, tingginya sekitar 160 sentimeter. Kidal dan di punggung tangan kirinya ada bekas luka memanjang. Ketika dia maju ke depan kelas dan menuliskan sebuah kalimat di papan tulis, aku melihatnya.

Semester ini hampir berakhir, dan dia lalu tidak pernah muncul lagi di kelasku. Temannya tetap hadir, dengan tampak "high"-nya. Dia tidak pernah menyimak penjelasanku, pikirannya di tempat lain. Hanya orang ini yang bisa memberiku info. Dan aku harus bertanya sekarang, maksudku, setelah kelas selesai.

"Badru, saya perlu bicara sama kamu."

Mahasiswa tukang teler itu mengangguk. Hingga kelas hanya dihuni kami berdua, barulah aku bersuara. Semoga dia cukup sadar menjawab pertanyaanmu.

"Beberapa tugas belum kau kumpulkan. Kau bisa tidak lulus kelas ini jika tidak menyusulkannya sebelum ujian akhir."

Badru mengangguk paham. Kami menempati kursi yang bersebelahan. Kepalanya menunduk dan tampak merenungkan sesuatu.

"Jika kau kesulitan, kau boleh bertanya di luar kelas. Di pertemuan pertama, saya sudah menuliskan nomor ponsel di papan. Beberapa mahasiswa menghubungi saya ataupun minta bertemu di luar jam kuliah. Jika waktuku luas, saya pasti datang."

"Tugasku selama ini dikerjakan Miriam." Dia mengusap hidung yang menjadi tempat masuknya heroin ke dalam tubuhnya.

"Miriam? Siapa dia? Di kelas ini tidak ada yang namanya Miriam."

"Anda pasti tahu Shamayim. Seorang penulis freelance yang kukenal sekitar enam bulan lalu. Kami kenalan lewat internet dan bertanya apakah di kampusku ada mata kuliah bahasa Ibrani. Kubilang ada, Prof. Thalib yang mengajar. Seminggu kemudian, dia menghubungiku. Dia bilang, ingin ikut kuliah itu. Katanya, kau teman lamanya. Anda tentu saja tidak ingat padanya."

Aku tertegun.

Badru menatapku lalu menunduk lagi."Dia harus pergi."

Miriam. Mengapa dia memakai nama samaran Shamayim? Sengaja mengingatkanku akan sesuatu? Ya, rasa senut-senut yang menyerangku dua tahun belakangan ini mungkin ada kaitannya. Ada kalanya, aku merasa, ada bagian dari memoriku yang hilang. Tidak semuanya, apa yang terjadi dua tahun lalu, aku tidak banyak mengingat. Apa yang terjadi di tahun 2008? Tapi aku ingat ketika ibuku memberikan sweater rajutannya sebagai hadiah ulang tahunku di tahun 2009, ingat ketika itu beberapa pria mengenakan kippah-penutup kepala berwarna hitam, bentuknya hampir sama dengan seorang pria yang telah berhaji kenakan-datang ke rumah dan membacakan sesuatu dalam bahasa asing. Ada pula sejumlah perempuan seuisia ibuku mulai berdatangan sebelum acara dimulai, membantu di dapur. Ibu mengundang mereka makan malam, memperkenalkan mereka padaku, sebagai kerabat jauh Ibu. Yang berdarah Yahudi. Beberapa dari mereka berbicara dengan bahasa yang asing bagiku, yang belakangan kukenali sebagai bahasa Yiddi. Tapi denganku, mereka berbicara dengan bahasa Indonesia yang sangat baku, seolah jarang menggunakannya sehari-hari. Saat itulah, baru kutahu, siapa diriku, di usiaku yang mulai beranjak dewasa. Terlepas dari Ayah yang menurunkan darah Arabnya. Ya,dan lebih dari itu, ibuku sudah kembali menganut Yudaisme dan meninggalkan Islam. Maka haruskah aku mengikutinya? Apakah nanti di dalam KTP boleh minta ditulis Yahudi pada kolom agama? Tentu tidak. Lalu apa gunanya jika hanya mendapatkan pengakuan komunitas tanpa pengakuan pemerintah?

Arrghhh! Kepalaku! Kenapa jadi sakit sekali?

"Kau dulu mengenal Miriam. Bahkan cukup dekat, Nak."

"Aku sama sekali tidak ingat. Apa yang terjadi?" Aku memejam, semuanya berputar-putar cepat. Lalu seperti ada yang menusuk-nusuk pelipisku, lebih sakit dari jarum tajam. Sudah dua kali aku muntah seperti orang masuk angin saja. Dan sosok Miriam itu muncul dalam benakku. Miriam yang menyamar jadi mahasiswaku, bukan yang sekian tahun lalu.

"Kalian mengalami di pendakian Raung. Kepalamu terbentur batu dengan keras, pendarahan dan kata dokter, usiamu hanya bisa bertahan sebulan. Tuhan masih berbaik hati. Kau masih hidup sampai sekarang. Miriam menghilang, kata orang tuanya, dia merasa bersalah, kau terpeset, padahal tak lama lagi kalian sampai di puncak.

"Aku tidak ingat kejadian itu, semua kejadian di tahun 2008. Miriam itu...."

Ibu membelai kepalaku, mengusap keringat dingin di dahiku dengan handuk kecil.

"Aku ingin mengatakan sesuatu, tapi nggak di sini."

Jeda.

"Di mana?"

Jeda.

"Puncak Sejati Raung."

Jeda.

"Boleh aku tahu sedikit bocorannya?"

Jeda.

"Tidak."

Jeda.

Aku dan Miriam. Miriam yang memberitahuku soal darah Yahudi di tubuhku. Kami memang begitu dekat. Dia mencari tahu silsilah keluarga yang aku sendiri tidak terpikir untuk mencari tahu di mana keberadaan nenekku, garis dari ibuku. Ibu datang ke negeri ini bersama beberapa saudaranya, untuk tujuan pendidikan. Cerita itu kupercaya begitu saja. Bukan, ibu dan saudara-saudaranya mencari perlindungan. Karena mereka tengah diburu seperti binatang. Dibunuh jika ditemukan.

"Kemungkinan nenekmu hidup di saat Holocaust. Semua keluarga Yahudi terpecah-belah, menyebar ke mana pun, asal tetap hidup. Keluargaku juga, Keila. Kita sama. Tapi sekarang keluargaku sebagian besar memilih berkumpul di Israel."

Ibuku tidak pernah cerita semua itu, disembunyikannya dariku, putrinya sendiri, sekian lama. Ayahku seorang muslim yang tidak begitu taat, jarang di rumah, katanya untuk bekerja, tapi seseorang mengatakan padaku bahwa ia punya istri lain. Ayahku menikahi Ibu untuk melindunginya, tapi tidak mencintainya sepenuh jiwa. Begitu aku lahir, mulailah Ayah mulai jarang di rumah, ternyata itu atas permintaan ibuku. Ada alasannya.

"Ibumu memutuskan kembali pada Yudaisme dan ayahmu tidak mau melarang. Mereka sepakat berpisah, tanpa surat cerai. Dia menikah dengan perempuan lain atas persetujuan ibumu. Mereka punya hidup yang baru, dengan ayahmu masih mengirimkan uang untukmu setiap bulannya."

Semakin aku dewasa, Ibu merasa sudah saatnya membawaku masuk ke dalam komunitas Yahudi, dan di sana, untuk pertama kalinya aku bertemu Miriam. Dia banyak mengajariku tentang Yudaisme, dan mencintai. Aku seorang muslim saat itu, hingga kuputuskan meninggalkan semua kewajibanku. Mungkin karena aku mencintai Miriam, dan agamaku tidak mengizinkan itu. Yudaisme pun demikian, tapi Miriam tidak pernah tahu perasaanku, hingga kami tiba di puncak Raung. Aku menyatakannya.

Dan pertistiwa itu....

Napasku tiba-tiba sesak, sakit di kepalaku makin menjadi.Kilasan-kilasan peristiwa sekian tahun lalu berkelebat dengan cepat, membuatku tersengal dan kehilangan orientasi. Gelap, makin gelap.

Miriam, bertahanlah!

Miriam, pegang tanganku!

Miriaaaam!!!!

Dan kepalaku terantuk sesuatu yang teramat keras.

Miriam....

"Keila? Kau juga sudah sadar, Nak?"

Ibu mencium keningku dengan hangat dari sisi kanan tempat tidurku. Di siki kiriku ada Tante Sarah yang tersenyum sambil menyentuh lenganku. Ibu dari Miriam.


"Bu, kenapa aku...? Miriam mana?" Aku terserang panik, Miriam. Dia kecelakaan di Raung, dia terpeleset lalu aku berusaha menolongnya hingga sepatuku yang juga licin malah membuatku ikut berguling ke bawah. "Miriam...," panggilku lemas.


Tante Sarah menggeser tubuh, Miriam di tempat tidur sebelah dan ayahnya berdiri di samping tempat tidurku bersama Ayah.


"Miriam...." Begitu senangnya aku melihatnya meski tidak dalam keadaan baik-baik saja. Dia tampak kurus dengan bibir pucat. Apakah aku selama ini bermimpi dan dia ada di sana?


"Keila," Dia menggapai-gapai dengan susah payah, berusaha bangkit namun ditahan sang ayah. Dokter selesai memeriksa kami berdua, lalu pergi bersama susternya yang bertubuh gemuk pendek dan berkacamata.

"Miriam, aku tidak bisa melihatmu."


Aku melirik Ibu, dengan anggukan kepala yang pelan, aku mendapat jawaban pembenaran. Miriam bukan hanya tidak bisa melihatku, dia tidak bisa melihat dunia ini sama sekali.


Yogyakarta, 16 Juli 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post