Novel bersampul biru muda bernuansa seisi lautan ini baru-baru saja diluncurkan oleh de TEENS ke pasaran menjelang akhir September. Ketebalannya 244 hlm, cukup ringan dibawa dengan dukungan kertas bookpaper premium. Tata letaknya dibuat dengan variasi berornamen bintang laut. Secara pengemasan memang terbilang manis, cukup mewakili genre yang romance.
Mari kita melihat lebih jauh ke bagian kontennya. Weh ini menceritakan tentang seorang perempuan yang menyukai jalan-jalan ke berbagai tempat yang berunsur air, pulau, laut, dan pantai.
Cerita bergulir dari dua sudut panjang tokoh utamanya, yaitu Tami dan Faris, bergantian dan sesekali menyambungkan antara satu adegan dengan adegan berikutnya. Dari sudut pandang Tami, pembaca akan mengenali sosok perempuan yang kehilangan sosok seorang teman (tapi mesra) bernama Jeff. Di bagian awal sebelum memasuki bab pertama, sempat menyinggung tentang film Titanic, bagaimana si Jack mengorbankan dirinya untuk Rose. Sempat terlintas dugaan, Jeff ini meninggal di dalam laut saat menyelam karena kehabisan oksigen. Ternyata bukan. Dan tentu saja tidak mungkin karena seorang penyelam harus memegang lisensi selam berstandardisasi. Maka, wajar saja jika si Tami tidak trauma untuk menyelam. Penjelasannya akan dimunculkan di pertengahan novel. Bersabarlah untuk terus membaca hingga akhir.
Faris adalah seorang pemilik kedai kopi yang mencintai seorang gadis, bernama Gladys Julia, mereka sempat sangat dekat kemudian menjadi sahabat. Statusnya single dan tidak menutup pintu hatinya terhadap orang lain, berbeda dengan Tami yang seolah-olah hanya menyisakan ruang hatinya untuk Jeff meski hanya tinggal kenangan.
Faris dan Tami bertemu di Weh. Faris bersama teman-temannya sementara Tami sendirian saja. Jika Jeff masih hidup, tentu saja ia akan ke Weh bersama pria itu. Weh yang sebegitu indah memang tidak mampu membuat Tami serta-merta melupakan kesedihannya. Hal itu menjadi perhatian Faris. Ketika teman-temannya sibuk berkenalan dengan turis-turis asing, ia mengamati gerak-gerik Tami. Ia bahkan berbuat konyol dan mengira Tami akan bunuh diri dengan menceburkan diri ke laut. Tentu saja Tami tidak senaif itu. Perempuan ini memang tidak sampai mengalami depresi, ya sebatas susah beranjak dari kenangan masa lalu. Secara kerja otaknya normal, karena ia bekerja di sebuah perusahaan bagian keuangan.
Tami pada awalnya terganggu dengan kemunculan Faris yang selalu sok tampil sebagai petugas pengawas pantai yang berusaha menyelamatkan orang yang tenggelam, hingga tanpa sengaja memecahkan bola kaca pemberian Jeff. Bola kaca itu tidak banyak didetailkan oleh Tami, isinya seperti apa, di mana Jeff memberikannya, untuk apa diberikan. Apakah bola kaca itu memang sedemikian langkanya dan sebagainya. Dan cukup mengherankan jika benda itu sangat berharga malah dibawa jalan-jalan. Jika bukan karena dipecahkan oleh Faris, bisa saja benda itu pecah di saat memasukkan barang ke pesawat atau sebagainya.
Alur cerita Weh dari pertama sudah mudah ditebak endingnya. Tidak banyak liku-liku yang diciptakan sepanjang cerita, justru yang dominan adalah penceritaan tentang masa lalu kedua tokohnya. Bahwa keduanya sedang tidak terikat hubungan dengan orang lain, lalu yang satu mulai mendekat, sementara yang satu menjauh karena lagi-lagi dikaitkan ke tokoh Jeff yang meninggal setelah koma. (hlm. 142).
Jujur saja, banyak potensi kejutan yang bisa dihadirkan dalam Weh, tetapi justru dihadirkan dalam narasi, bukan dialog-dialog penuh emosional. Termasuk dengan jawaban atas kematian Jeff, seolah-olah hanya sebatas jawaban jika pembaca bertanya-tanya apakah penyebabnya, bukan kisah yang sengaja ditonjolkan sebagai bagian dari konflik. Pemilihan POV 1 turut menjadi kendala untuk bisa memaksimalkan ledakan emosional tadi. Terlebih, sudut penceritaannya dari 2 tokoh, bukan tunggal, sehingga porsi penceritaan menjadi makin sempit. Selain itu, memilih sudut penceritaan dari Faris, anggaplah seperti kesalahan terbesar dalam novel ini. Farisnya terlalu feminin, bukan maksudnya melambai, tapi pria pada dasarnya punya pola pikir yang berbeda dari perempuan. Rasanya ketika POV Faris dan POV Tami, yang berbicara adalah orang yang sama persis. Tokoh yang feminin.
Beralih ke setting. Judul novel ini mengecoh pembaca, entah disengaja ataukah tidak. Kurang lebih, orang berharap setting dominan dari cerita ini adalah Weh, seperti halnya novel seri #Travelove lainnya. Pada kenyataannya, tidak banyak tentang Weh yang dilibatkan. Keberadaan Tami dan Faris di Weh pun hanya sebentar. Jangan berharap jika tokoh-tokohnya sempat berinteraksi dengan penduduk setempat, mempelajari habit penduduk, menyusuri Weh dari ujung ke ujung. Seperti ada jarak antara tokoh dengan setting. Tidak melebur menjadi satu kesatuan utuh. Di sisi lain, bagi seorang traveler, ini sangat janggal. Sehari-hari Tami hanya melamun, menyendiri, dan mengingat-ingat Jeff. Tidak berkomunikasi dengan penduduk kecuali penjaga hotel. Rasanya, kalau hanya untuk melakukan hal-hal seperti itu, tidak perlu jauh-jauh, di kamar juga bisa. Perjalanan-perjalanan sebelumnya yang dilakukan Tami bersama Jeff tidak banyak diceritakan secara detail, padahal itu cukup penting sebagai penguat cerita dan pendukung penokohan Tami. Seberapa gilakah mereka ketika jalan-jalan berdua itu juga dikesampingkan. Di buku ini, pembaca disodori cerita yang nyaris begitu-begitu saja, tanpa banyak pengetahuan baru tentang Weh yang sesungguhnya WAH!
Yogyakarta, 20 September 2014