Sebelum menulis review buku ini, saya sempatkan dulu mendengarkan lagu Norwegian Wood yang begitu menginspirasi alur ceritanya, ya milik The Beatles. Band legendaris yang terkenal jauh sebelum saya lahir dan hanya John Lennon yang saya tahu karena sosoknya fenomenal. Lagu Norwegian Wood memang punya taste lembut sehingga seorang Haruki Murakami lewat tokoh Watanabe ingin meneruskankan ke dalam sebuah karya sastra yang memaksa saya untuk mengikuti ceritanya, persetan dengan konflik yang meledak-ledak, hingga tamat. Kenapa begitu? Bagi saya, novel ini bagaikan makan red velvet yang manis, dengan krim yang bakal belepotan di mulut, dan teksturnya agak sedikit keras, mungkin mendekati masa kedaluarsa. Nikmati dan biarkan sensasi rasanya membakar imajinasimu.

Haruki Murakami adalah seorang penulis gaya bebas, saya sebut demikian karena lagi-lagi, persetan dengan konflik yang harus begini begitu dalam sebuah karya. Dia menakhodai novel ini dengan sangat lihat, dia bercerita, dan persetan pembaca akan membaca setiap kalimat yang ditulisnya atau tidak. Dia memiliki kepercayaan diri sangat besar jika novelnya akan dibaca sampai selesai, salah satunya oleh saya.
Watanabe, seorang pemuda Jepang yang biasa-biasa saja, bukan yang digilai banyak wanita, bertampang keren, orang kaya dan penokohan picisan lainnya. Dia kuliah dan tinggal di asrama karena lebih murah ketimbang tinggal di flat atau apartemen. Panjang lebar Watanabe ini menceritakan tentang dirinya, lagi-lagi persetan pembaca peduli dengan begitu banyak detail yang merembet ke mana-mana atau tidak. Dia ceritakan, saya membacanya, Kenapa tidak? Membosankan memang bagi orang-orang yang terbiasa haus dengan konflik yang harus sambung-menyambung sepanjang novel itu bergulir dan jika tidak begitu, maka tinggalkan.
Awalnya saya mengira detail-detail Murakami ini hanya ada di bagian pembuka saja, ternyata tidak, dan itu menjadi kekuatan yang membuatnya berbeda. Akhirnya saya nikmati juga ke mana pun dia mengarahkan cerita, suasana apa, kejadian apa, tanpa sadar saya terhanyut dibuatnya. Menarik juga Watanabe ini, pikir saya. Dia tampil dengan sangat natural, temannya tidak banyak, sedikit humoris, dan cara pandangnya terhadap kehidupan seksual di masa mudanya. Dia seorang pengamat yang baik, seorang pendengar yang setia, kekasih yang tidak lebay, dan sahabat sejati.
Novel ini memang berkonten seksual yang cukup, cukup membuat pembaca memelankan kecepatan membaca jika sudah sampai ke bagian eksplorasi adegan bercinta. Tapi lagi-lagi, Murakami mengendalikan sepenuhkan cerita ini, jangan pikir dia akan keasyikan menghabiskan berlembar-lembar untuk memuaskan otak-otak mesum pembaca. Ditampilkan seperlunya, itu sudah cukup untuk hiburan bagi para pembaca. Toh pembacanya kan bukan orang-orang yang soal begituan saja tidak tahu kan?
Jika ingin diringkas, storyline dari Norwegian Wood ini adalah kisah cinta seorang pria pada perempuan yang pernah menjadi kekasih sahabatnya. Watanabe adalah seorang mahasiswa yang mengambil kelas drama, kebetulan tidak jauh berbeda dari latar belakang Murakami sendiri. Faktor kebetulan (salah siapa biodata Murakami dicantumkan lengkap sampai latar belakang kuliahnya) cukup meracuni otak saya, saya pun mengira bahwa ini adalah kisah nyata si penulis, tapi hey, jangan lakukan itu. Saya perlu waktu cukup lama untuk berhenti membayangkan si Murakami muda yang menjadi tokoh Watanabe. Watanabe adalah Watanabe.
Percintaan Watanabe dengan si kekasihnya ini tidak berjalan seromantis pasangan lain, Naoko adalah kekasih Kizuki, sahabat Watanabe. Naoko ini memang menarik, tapi Watanabe bukan tipe pria yang bernafsu untuk memiliki perempuan yang dia inginkan, Karakternya itu kalem dan sopan. Hingga waktunya Watanabe merasa, Naoko adalah perempuan yang tepat untuknya. Mereka saling mencintai. Naoko kemudian menjauh, seperti depresi. Di dalam novel ini, Murakami ingin menggambarkan betapa rapuhnya jiwa kaum muda di Jepang, mudah depresi, mudah bunuh diri. Ini saya rasa perlu menjadi poin plus bagaimana Murakami memotret Jepang itu secara keseluruhan. Jepang memang negara maju, tapi tentu punya nilai minus. Tidak ada di muka bumi ini yang sempurna kan.
Berubahnya Naoko tidak serta-merta membuat Watanabe beralih kepada perempuan lain. Dia tetap menulis surat untuk sang kekasih dan membaca surat-surat dari kekasihnya. Berkunjung sesekali. Dunianya seakan setengah sudah dimiliki Naoko. Kalaupun dia bertemu Midori, rasa cintanya tidak sebesar cintanya pada Naoko. Prinsip hidupnya yang tidak anti pada one night stand tidak juga membuat dia terhanyut di pelukan perempuan lain. Pria seperti ini di masanya mungkin masih banyak bertebaran, ya sekitar tahun 70-an.
Watanabe pun berkonflik dengan tokoh-tokoh lain, si kopasgat, si Nagasawa, Midori, Reiko, dan lainnya. Jangan terlalu banyak men-skip ketika membaca buku ini karena sering kali adegan-adegan penting diselipkan dan kemudian dimunculkan kembali sekian puluh halaman berikutnya, dan ketahuanlah mana pembaca yang menyimak dan mana yang setengah hati. Banyak teka-teki, banyak permainan, lagi-lagi jangan anggap enteng dengan kelihaian Murakami bercerita.
Dan ini nih lagu Norwegian Wood yang menjadi benang merah novel bersampul bendera Jepang, dari The Beatles:
I once had a girl, or should I say, she once had me
She showed me her room, isn't it good, norwegian wood?
She asked me to stay and she told me to sit anywhere
So I looked around and I noticed there wasn't a chair
I sat on the rug, biding my time, drinking her wine
We talked until two and then she said, "It's time for bed"
She told me she worked in the morning and started to laugh
I told her I didn't and crawled off to sleep in the bath
And when I awoke I was alone, this bird had flown
So I lit a fire, isn't it good, norwegian wood?
Yogyakarta, 14 Oktober 2014
Tags
Buku
kayaknya bagus nih novel, berapaan ya?
ReplyDeleteohya, mampir di blog saya
http://lukiluck11.blogspot.com
http://malangshopaphoria.blogspot.com