Kabut tebal yang semenjak tadi tak bergulung-gulung, kemudian tercerai-berai menjelang waktunya para petani beristirahat makan siang. Sawah-sawah ditinggalkan, para istri mulai berdatangan membawakan rantang-rantang masakan desa yang lauknya hanya tempe atau telur, ditambah sayur rebus dengan sedikit garam. Sambal pelengkapnya, pedas bercampur sedikit terasi.
“Apakah ada orang yang tinggal di sana?” Tanganku menunjuk di kejauhan, hutan belantara yang sering kali tertutupi kabut meski di siang hari.
Pasangan suami istri yang menampungku selama berada di desa ini saling pandang lalu sama-sama menggeleng.
Ada, pikirku, dan mereka berbohong.
“Jangan kau dekati kawasan itu. Sudah tiga generasi mereka mengasingkan diri. Mereka punya kehidupan sendiri. Tidak ada yang kembali ke desa ini. Kami pun tidak ingin bertemu mereka. Jangan datang ke Kabut.”
Tetua Desa lalu beranjak meninggalkanku. Dehaman berat khasnya terdengar saat ia sudah berada di balik dinding rumah yang terbuat dari kayu yang seakan tak tersentuh rayap. Teh panas suguhan istri sang Tetua Desa hanya kusesap sedikit, aroma rempah campuran di dalamnya membuat indra penciumanku berontak. Minuman khas desa ini. Di mana pun, aromanya selalu ada.
Tiada gunanya menunggu Tetua Desa mengizinkanku memasuki Kabut, area terlarang di ujung desa ini. Mana mungkin jawabannya itu akan berubah, jika aturan adat dipegang teguh. Melanggar aturan sama saja memancing pengusiran untuk selamanya.
Dua malam aku tidak bisa tidur dengan penolakan itu, maka di hari ketiga, kuputuskan untuk berangkat. Berjalan ke arah selatan, menuju Kabut. Perjalanan kaki membutuhkan waktu empat jam lebih, belum termasuk waktu untuk beristirahat dan memakan bekal. Dengan menyusuri anak sungai berair jernih, maka akan sampailah aku ke pintu gerbang Kabut.
Kaus oblongku basah dengan keringatku sendiri. Celanaku hanya selutut. Topi pet abu-abu melindungi kepalaku dari teriknya matahari. Kabut. Di tengah hari, Kabut tebal perlahan tercerai berai di hadapanku, lalu menggumpal kembali di belakangku. Matahari yang sedari tadi terik, serta-merta dipagari awan. Angin dingin menyapa lenganku dengan mesra. Bulu kudukku malah merinding. Di mana tempat yang dimaksud Tetua Desa. Atau itu hanya legenda saja? Lalu mengapa di sini banyak batu nisan? Makam milik siapa?
Pintu gerbang dijaga oleh dua orang pria bertopeng hitam dengan lubang pada kedua mata, hidung, dan mulutnya. Mereka mencabut pisau begitu melihat kedatanganku. Bersiaga jika orang asing sepertiku berani berulah.
Seorang penjaga bersuara cempreng memintaku untuk berbalik arah. Ia bertubuh lebih pendek dari temannya namun sepertinya ia yang biasa memberi perintah. Temannya berdiri selangkah di belakangnya. Bersiaga jika aku nekat menembus penjagaan.
Si cempreng tidak peduli dengan kartu pengenal yang kuperlihatkan di depan mukanya. Tetap saja perintahnya sama, kali ini dimuntahkan dengan nada lebih tinggi. Pandanganku beralih pada papan besar dengan tulisan “Selamat Datang di Kabut” Ingin betul aku menarik topeng yang menutup wajahnya. Belum sampai di dalam Kabut, sudah misterius begini.
Segerombolan anak muda dengan sepeda motor berhenti di depan para penjaga. Salah satunya mengangkat kaca helm yang gelap. Memperhatikanku dari kepala sampai kaki. “Naiklah.” Ia menepuk jok motor kosong di belakangnya. Si penjaga membukakan pintu gerbang, membiarkan iring-iringan masuk dengan mudahnya.
Dua kilometer jaraknya pusat Kabut. Mulutku menganga melihat tiada satu pun bangunan permanen di sini. Hanya tampak tenda-tenda yang berdiri dengan kokoh, pasak-pasak tertanam dalam-dalam di tanah, menembus lapisan hijau rerumputan yang menghampar hingga ke arah hutan-hutan di kejauhan. Ada listrik di sini.
Motor-motor itu berhenti. Orang yang memboncengiku, menunjuk sebuah tenda besar dengan warnanya seperti awan yang hendak menurunkan hujan. Kantor Tetua. Dikatakannya padaku agar menemui Arvlen. Aku paham. Semua tamu harap melapor ke sana, tanpa terkecuali.
Pria itu menyalamiku, mencatat asal-usulku dan menyimpan kartu jurnalisku selama aku berada di sana. Prosedurnya begitu. Setelah itu, dibiarkannya aku pergi dari ruang kerjanya yang penuh dengan lukisan berobjek manusia tanpa busana. Aroma rokoknya yang bercampur rempah mengantarkan langkahku. Sudah tidak kutemukan pengendara motor tadi dan teman-temannya di luar.
Kucari sebuah penginapan, kutanya ke beberapa penginapan adakah kamar kosong, semuanya penuh, kecuali sebuah kamar yang sebenarnya milik penduduk. Letaknya tiga puluh langkah dari kantor Tetua Desa. Beberapa penduduk memang menyewakan kamar, dengan harga lebih murah. Kamar ini terpisah dari tenda hunian si pemilik rumah. Baru kemarin tenda itu kosong, tapi sudah selesai dibersihkan. Ada tempat tidur di dalamnya, yang digulung jika tidak digunakan, seprainya warna biru safir demikian pula warna sarung bantal dan gulingnya. Ada meja kecil berkaki pendek, hanya cukup untukku meletakkan laptop. Kubuka kulkas kecil dan ada beberapa minuman kemasan di sana.
Jadi inilah Kabut, yang terlarang itu. Tapi mengapa? Mengapa tidak ada satu pun orang yang membahas tentang Kabut di internet? Saat menghubungi relasi di ibu kota, tidak ada petunjuk yang membantu. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Mengapa Kabut seakan tempat pengasingan yang haram disebut? Lalu makam siapa yang ada di dekat gerbang masuk menuju Kabut?
Begitu melelapkan diri sejenak, lepas sore hari, aku keluar dari kamar. Dari deretan warung makan yang ada, kupilih yang paling ramai. Bangku-bangku panjang hampir penuh, ada satu yang kosong di ujung, dekat seorang pria yang sedang memencet tombol-tombol ponselnya. Kupesan roti isi dan kopi sebelum menuju bangku itu.
“Apakah kau dapat sinyal? Maaf, boleh aku di sini?”
Dia menggeser duduknya lalu menggeleng pelan. “Sejak dari pos penjagaan, sudah tidak ada sinyal. Namaku Karim.” Kami berjabat tangan. Rupanya dia pun pendatang sepertiku. Dia menginap di hotel yang terakhir kudatangi. Profesinya penulis. Sudah dua malam dia di Kabut.
“Jadi ini sebenarnya tempat apa?”
Dari balik kacamata kotaknya, dia memandangku heran. Lebih tepatnya tidak percaya. Dia bilang, orang yang datang ke Kabut, harusnya sudah tahu banyak. Aku mengangkat bahu. Apa mau dikata, orang-orang desa menutup mulut. Mereka takut pada Tetua Desa jika sampai tahu bahwa mereka membocorkan tentang Kabut.
Apa kamu melihat anak-anak di sini?” Karim menyendok kuah sup ayam setelah bertanya itu padaku. Gelengan kepalaku membuatnya tersenyum. Kupikir anak-anak Kabut sedang sekolah sehingga tidak ada satu pun yang berkeliaran. Karim lalu menanyakan apa isi ruangan Arvlen. Kukatakan, isinya adalah lukisan manusia tanpa busana. “Manusia? Lebih spesifik lagi?”
Ingatanku kembali ke ruangan itu. Bagiku sisi artistiknya sengaja diperlihatkan kepada siapa pun yang masuk ke sana. Lampu temaram membuat cahaya yang jatuh ke permukaan tiap-tiap lukisan terkesan lembut. Ada beberapa lilin yang dinyalakan, diletakkan di sudut-sudut ruangan. Arvlen duduk di kursi kerjanya, rambutnya yang sebahu menyentuh sandaran kursi yang berlapis kulit sapi asli. Ketika mengangkat wajah melihat kedatanganku, senyumnya terukir di bibirnya yang merah. Hampir kupikir dia seorang perempuan dengan gerakannya yang gemulai. Bahkan dia mengenakan rok.
“Laki-laki?” ujarku kurang yakin. Karim terbahak, untuk saja kuah sup tidak sampai menyembur dari mulutnya. Ia mengangguk-angguk lalu sejenak menyeruput kuah supnya langsung dari mangkuk. “Tempat ini menjadi kawasan khusus untuk para lelaki.”
Kabut, seperti cerita seorang petugas museum, adalah hutan belantara yang menakutkan. Konon hewan-hewan buas berkeliaran seenaknya, termasuk untuk mencari mangsa. Separuh belantara ini kemudian dijadikan tempat pengasingan penduduk desa yang ketahuan pernah melakukan hubungan terlarang dengan sesama. “Separuhnya lagi, tetap menjadi tempat bagi hewan-hewan buas itu.”
“Seberapa banyak mereka yang diasingkan kemari waktu itu?” Sebanyak mungkin kugali informasi dari pria tambun bertubuh pendek ini. Pembawaannya gemulai seperti Arvlen, tapi pakaiannya formal, sementara Arvlen yang masih sangat belia, betah mengenakan pakaian sejenis kimono di saat bekerja. Tunangan orang nomor satu di Kabut itu tidak lain pemilik bar yang kudatangi menjelang tengah malam bersama Karim dua malam lalu. Pusat hedonisme penduduk Kabut. Minuman-minuman beralkohol dijual dengan harga murah, pelacur-pelacur pria ditawar dengan harga rendah, kamar-kamar menjadi pelampiasan nafsu syahwat. Karim pun menjatuhkan pilihannya pada seorang pelacur muda yang bertelanjang dada dan bercelana jin ketat. Mereka menghilang di balik salah satu kamar setelah negosiasi harga sesuai durasi permainan seks mereka. Sementara aku, aku hanya seorang jurnalis tua dengan keriput-keriput di wajah. Dahiku lebar dengan rambut yang sepertinya sudah enggan tumbuh lagi di permukaan kepala. Jika tanpa kacamata minus enam belas yang menyangkut di hidung, semuanya jadi samar-sama. Tangan kiriku palsu, diamputasi sekian tahun lalu karena kecelakaan. Dan, sudah bukan usiaku untuk mencari pelampiasan hasrat. Pernikahanku dengan Erin sudah berakhir lama sekali. Aku tidka menggebu-gebu soal seks.
Pesta berahi hanya berlaku di malam hari di bar itu. Siangnya, mereka mencari nafkah dengan berdagang, mengurus salon, mengelola hotel, beternak sapi, sampai mengamen. Arvlen melarang adanya kegiatan prostitusi dimulai dari terbitnya matahari hingga senja. Ada aturan dengan konsekuensi hukum yang ketat. Ketiadaan perempuan membuat Arvlen dan sejumlah pria gemulai lainnya mengubah penampilannya menjadi feminin. Ia bukan lagi seorang model sampul majalah pria dewasa yang berkarier di ibu kota. Tapi lukisan-lukisan yang ada di ruang kerjanya, menggambarkan sisi maskulin yang sudah dikuburnya dalam-dalam. Pantas, aku seperti mengenalnya ketika bertemu pertama kali di kantor Tetua Kabut. Sekitar empat tahun lalu, aku pernah bertemu dengannya di rumah seorang menteri. Dia putra Pak Menteri. Putra semata wayang Pak Menteri. Dagunya yang dulu tidak seruncing sekarang, wajah perseginya telah melewati proses operasi plastik besar-besaran. Rambut ikalnya dipanjangkannya dan dijadikan lurus hingga ke ujung. Dadanya pun menonjol dengan suntikan silikon. “Aku masih berpikir untuk operasi genital,” ujarnya ketika suatu hari aku menemuinya untuk wawancara. Tak kusangka ia masih ingat padaku.
Kabut, tempat ini bagaikan tidak pernah ada dalam kenyataan. Seperti fantasi yang merajai khayalan bebas manusia, mengepakkan sayap-sayap liberal, terbang setinggi-tingginya. Menjelang siang hari, kabut bercerai-berai dan hawa mulai terasa hangat. Tapi di akhir tahun, mulai Oktober, kabut terus bergerombol dan udara dingin malam hari terbawa sampai ke siang. Kabut seakan menyembunyikan keberadaan tempat ini, lalu memperlihatkan dirinya memasuki bukan Maret, persis sama seperti enam belas tahun lalu. Makam-makam di depan gerbang itu, sekarang aku tahu, ditujukan kepada siapa pun yang telah memasuki Kabut dan tak satu pun pernah kembali. Mungkin namaku pun tertulis di salah satu nisan di sana, dianggap telah tiada dan tidak perlu dicari.
Kabut….
Yogyakarta, 19 Oktober 2014
“Apakah ada orang yang tinggal di sana?” Tanganku menunjuk di kejauhan, hutan belantara yang sering kali tertutupi kabut meski di siang hari.
Pasangan suami istri yang menampungku selama berada di desa ini saling pandang lalu sama-sama menggeleng.
Ada, pikirku, dan mereka berbohong.
“Jangan kau dekati kawasan itu. Sudah tiga generasi mereka mengasingkan diri. Mereka punya kehidupan sendiri. Tidak ada yang kembali ke desa ini. Kami pun tidak ingin bertemu mereka. Jangan datang ke Kabut.”
Tetua Desa lalu beranjak meninggalkanku. Dehaman berat khasnya terdengar saat ia sudah berada di balik dinding rumah yang terbuat dari kayu yang seakan tak tersentuh rayap. Teh panas suguhan istri sang Tetua Desa hanya kusesap sedikit, aroma rempah campuran di dalamnya membuat indra penciumanku berontak. Minuman khas desa ini. Di mana pun, aromanya selalu ada.
Tiada gunanya menunggu Tetua Desa mengizinkanku memasuki Kabut, area terlarang di ujung desa ini. Mana mungkin jawabannya itu akan berubah, jika aturan adat dipegang teguh. Melanggar aturan sama saja memancing pengusiran untuk selamanya.
Dua malam aku tidak bisa tidur dengan penolakan itu, maka di hari ketiga, kuputuskan untuk berangkat. Berjalan ke arah selatan, menuju Kabut. Perjalanan kaki membutuhkan waktu empat jam lebih, belum termasuk waktu untuk beristirahat dan memakan bekal. Dengan menyusuri anak sungai berair jernih, maka akan sampailah aku ke pintu gerbang Kabut.
Kaus oblongku basah dengan keringatku sendiri. Celanaku hanya selutut. Topi pet abu-abu melindungi kepalaku dari teriknya matahari. Kabut. Di tengah hari, Kabut tebal perlahan tercerai berai di hadapanku, lalu menggumpal kembali di belakangku. Matahari yang sedari tadi terik, serta-merta dipagari awan. Angin dingin menyapa lenganku dengan mesra. Bulu kudukku malah merinding. Di mana tempat yang dimaksud Tetua Desa. Atau itu hanya legenda saja? Lalu mengapa di sini banyak batu nisan? Makam milik siapa?
Pintu gerbang dijaga oleh dua orang pria bertopeng hitam dengan lubang pada kedua mata, hidung, dan mulutnya. Mereka mencabut pisau begitu melihat kedatanganku. Bersiaga jika orang asing sepertiku berani berulah.
Seorang penjaga bersuara cempreng memintaku untuk berbalik arah. Ia bertubuh lebih pendek dari temannya namun sepertinya ia yang biasa memberi perintah. Temannya berdiri selangkah di belakangnya. Bersiaga jika aku nekat menembus penjagaan.
Si cempreng tidak peduli dengan kartu pengenal yang kuperlihatkan di depan mukanya. Tetap saja perintahnya sama, kali ini dimuntahkan dengan nada lebih tinggi. Pandanganku beralih pada papan besar dengan tulisan “Selamat Datang di Kabut” Ingin betul aku menarik topeng yang menutup wajahnya. Belum sampai di dalam Kabut, sudah misterius begini.
Segerombolan anak muda dengan sepeda motor berhenti di depan para penjaga. Salah satunya mengangkat kaca helm yang gelap. Memperhatikanku dari kepala sampai kaki. “Naiklah.” Ia menepuk jok motor kosong di belakangnya. Si penjaga membukakan pintu gerbang, membiarkan iring-iringan masuk dengan mudahnya.
Dua kilometer jaraknya pusat Kabut. Mulutku menganga melihat tiada satu pun bangunan permanen di sini. Hanya tampak tenda-tenda yang berdiri dengan kokoh, pasak-pasak tertanam dalam-dalam di tanah, menembus lapisan hijau rerumputan yang menghampar hingga ke arah hutan-hutan di kejauhan. Ada listrik di sini.
Motor-motor itu berhenti. Orang yang memboncengiku, menunjuk sebuah tenda besar dengan warnanya seperti awan yang hendak menurunkan hujan. Kantor Tetua. Dikatakannya padaku agar menemui Arvlen. Aku paham. Semua tamu harap melapor ke sana, tanpa terkecuali.
Pria itu menyalamiku, mencatat asal-usulku dan menyimpan kartu jurnalisku selama aku berada di sana. Prosedurnya begitu. Setelah itu, dibiarkannya aku pergi dari ruang kerjanya yang penuh dengan lukisan berobjek manusia tanpa busana. Aroma rokoknya yang bercampur rempah mengantarkan langkahku. Sudah tidak kutemukan pengendara motor tadi dan teman-temannya di luar.
Kucari sebuah penginapan, kutanya ke beberapa penginapan adakah kamar kosong, semuanya penuh, kecuali sebuah kamar yang sebenarnya milik penduduk. Letaknya tiga puluh langkah dari kantor Tetua Desa. Beberapa penduduk memang menyewakan kamar, dengan harga lebih murah. Kamar ini terpisah dari tenda hunian si pemilik rumah. Baru kemarin tenda itu kosong, tapi sudah selesai dibersihkan. Ada tempat tidur di dalamnya, yang digulung jika tidak digunakan, seprainya warna biru safir demikian pula warna sarung bantal dan gulingnya. Ada meja kecil berkaki pendek, hanya cukup untukku meletakkan laptop. Kubuka kulkas kecil dan ada beberapa minuman kemasan di sana.
Jadi inilah Kabut, yang terlarang itu. Tapi mengapa? Mengapa tidak ada satu pun orang yang membahas tentang Kabut di internet? Saat menghubungi relasi di ibu kota, tidak ada petunjuk yang membantu. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Mengapa Kabut seakan tempat pengasingan yang haram disebut? Lalu makam siapa yang ada di dekat gerbang masuk menuju Kabut?
Begitu melelapkan diri sejenak, lepas sore hari, aku keluar dari kamar. Dari deretan warung makan yang ada, kupilih yang paling ramai. Bangku-bangku panjang hampir penuh, ada satu yang kosong di ujung, dekat seorang pria yang sedang memencet tombol-tombol ponselnya. Kupesan roti isi dan kopi sebelum menuju bangku itu.
“Apakah kau dapat sinyal? Maaf, boleh aku di sini?”
Dia menggeser duduknya lalu menggeleng pelan. “Sejak dari pos penjagaan, sudah tidak ada sinyal. Namaku Karim.” Kami berjabat tangan. Rupanya dia pun pendatang sepertiku. Dia menginap di hotel yang terakhir kudatangi. Profesinya penulis. Sudah dua malam dia di Kabut.
“Jadi ini sebenarnya tempat apa?”
Dari balik kacamata kotaknya, dia memandangku heran. Lebih tepatnya tidak percaya. Dia bilang, orang yang datang ke Kabut, harusnya sudah tahu banyak. Aku mengangkat bahu. Apa mau dikata, orang-orang desa menutup mulut. Mereka takut pada Tetua Desa jika sampai tahu bahwa mereka membocorkan tentang Kabut.
Apa kamu melihat anak-anak di sini?” Karim menyendok kuah sup ayam setelah bertanya itu padaku. Gelengan kepalaku membuatnya tersenyum. Kupikir anak-anak Kabut sedang sekolah sehingga tidak ada satu pun yang berkeliaran. Karim lalu menanyakan apa isi ruangan Arvlen. Kukatakan, isinya adalah lukisan manusia tanpa busana. “Manusia? Lebih spesifik lagi?”
Ingatanku kembali ke ruangan itu. Bagiku sisi artistiknya sengaja diperlihatkan kepada siapa pun yang masuk ke sana. Lampu temaram membuat cahaya yang jatuh ke permukaan tiap-tiap lukisan terkesan lembut. Ada beberapa lilin yang dinyalakan, diletakkan di sudut-sudut ruangan. Arvlen duduk di kursi kerjanya, rambutnya yang sebahu menyentuh sandaran kursi yang berlapis kulit sapi asli. Ketika mengangkat wajah melihat kedatanganku, senyumnya terukir di bibirnya yang merah. Hampir kupikir dia seorang perempuan dengan gerakannya yang gemulai. Bahkan dia mengenakan rok.
“Laki-laki?” ujarku kurang yakin. Karim terbahak, untuk saja kuah sup tidak sampai menyembur dari mulutnya. Ia mengangguk-angguk lalu sejenak menyeruput kuah supnya langsung dari mangkuk. “Tempat ini menjadi kawasan khusus untuk para lelaki.”
Kabut, seperti cerita seorang petugas museum, adalah hutan belantara yang menakutkan. Konon hewan-hewan buas berkeliaran seenaknya, termasuk untuk mencari mangsa. Separuh belantara ini kemudian dijadikan tempat pengasingan penduduk desa yang ketahuan pernah melakukan hubungan terlarang dengan sesama. “Separuhnya lagi, tetap menjadi tempat bagi hewan-hewan buas itu.”
“Seberapa banyak mereka yang diasingkan kemari waktu itu?” Sebanyak mungkin kugali informasi dari pria tambun bertubuh pendek ini. Pembawaannya gemulai seperti Arvlen, tapi pakaiannya formal, sementara Arvlen yang masih sangat belia, betah mengenakan pakaian sejenis kimono di saat bekerja. Tunangan orang nomor satu di Kabut itu tidak lain pemilik bar yang kudatangi menjelang tengah malam bersama Karim dua malam lalu. Pusat hedonisme penduduk Kabut. Minuman-minuman beralkohol dijual dengan harga murah, pelacur-pelacur pria ditawar dengan harga rendah, kamar-kamar menjadi pelampiasan nafsu syahwat. Karim pun menjatuhkan pilihannya pada seorang pelacur muda yang bertelanjang dada dan bercelana jin ketat. Mereka menghilang di balik salah satu kamar setelah negosiasi harga sesuai durasi permainan seks mereka. Sementara aku, aku hanya seorang jurnalis tua dengan keriput-keriput di wajah. Dahiku lebar dengan rambut yang sepertinya sudah enggan tumbuh lagi di permukaan kepala. Jika tanpa kacamata minus enam belas yang menyangkut di hidung, semuanya jadi samar-sama. Tangan kiriku palsu, diamputasi sekian tahun lalu karena kecelakaan. Dan, sudah bukan usiaku untuk mencari pelampiasan hasrat. Pernikahanku dengan Erin sudah berakhir lama sekali. Aku tidka menggebu-gebu soal seks.
Pesta berahi hanya berlaku di malam hari di bar itu. Siangnya, mereka mencari nafkah dengan berdagang, mengurus salon, mengelola hotel, beternak sapi, sampai mengamen. Arvlen melarang adanya kegiatan prostitusi dimulai dari terbitnya matahari hingga senja. Ada aturan dengan konsekuensi hukum yang ketat. Ketiadaan perempuan membuat Arvlen dan sejumlah pria gemulai lainnya mengubah penampilannya menjadi feminin. Ia bukan lagi seorang model sampul majalah pria dewasa yang berkarier di ibu kota. Tapi lukisan-lukisan yang ada di ruang kerjanya, menggambarkan sisi maskulin yang sudah dikuburnya dalam-dalam. Pantas, aku seperti mengenalnya ketika bertemu pertama kali di kantor Tetua Kabut. Sekitar empat tahun lalu, aku pernah bertemu dengannya di rumah seorang menteri. Dia putra Pak Menteri. Putra semata wayang Pak Menteri. Dagunya yang dulu tidak seruncing sekarang, wajah perseginya telah melewati proses operasi plastik besar-besaran. Rambut ikalnya dipanjangkannya dan dijadikan lurus hingga ke ujung. Dadanya pun menonjol dengan suntikan silikon. “Aku masih berpikir untuk operasi genital,” ujarnya ketika suatu hari aku menemuinya untuk wawancara. Tak kusangka ia masih ingat padaku.
Kabut, tempat ini bagaikan tidak pernah ada dalam kenyataan. Seperti fantasi yang merajai khayalan bebas manusia, mengepakkan sayap-sayap liberal, terbang setinggi-tingginya. Menjelang siang hari, kabut bercerai-berai dan hawa mulai terasa hangat. Tapi di akhir tahun, mulai Oktober, kabut terus bergerombol dan udara dingin malam hari terbawa sampai ke siang. Kabut seakan menyembunyikan keberadaan tempat ini, lalu memperlihatkan dirinya memasuki bukan Maret, persis sama seperti enam belas tahun lalu. Makam-makam di depan gerbang itu, sekarang aku tahu, ditujukan kepada siapa pun yang telah memasuki Kabut dan tak satu pun pernah kembali. Mungkin namaku pun tertulis di salah satu nisan di sana, dianggap telah tiada dan tidak perlu dicari.
Kabut….
Yogyakarta, 19 Oktober 2014
Tags
Fiksi