Anak yang Diragukan

Jika kau belum pernah melihat piring terbang, datanglah ke rumah keluarga Bang Mansyur. Sejak beberapa waktu lalu, si istri yang bertubuh gemuk-bungkuk akan sering melakukan atraksi yang terbilang ekstrem pada sang suami. Melemparinya dengan piring koleksi dapur sendiri. Tapi Mansyur bukan pria sembarangan. Ia pernah belajar silat di sebuah padepokan hingga piring-piring itu hanya mengenai dinding rumah tua yang kusam. Jika didramatisasi, ia bisa meliuk-liukkan tubuhnya meniru adegan Neo dalam film Matrix menghindari peluru. Suara piring yang pecah berkeping-keping terdengar sampai ke tetangga. Ada pula suara gegombyangan jika yang dilempar adalah panci atau wajan. Tak peduli langit masih sehitam rambut si bintang iklan sampo yang namanya serupa dengan istri Bang Mansyur.

Semua itu dipicu oleh kelakuan norak Bang Mansyur.

Sang kepala keluarga ngeloyor ke kamar dengan badan sempoyongan lalu berakhir di atas tempat tidur. Ia bersenandung lagu yang dinyanyikannya bersama seorang perempuan bernama Vina di tempat karaoke remang-remang. Jangan bandingkan dengan Inul Vizta yang interior dan eksteriornya glamor. Tapi koleksi lagu-lagunya cukup lengkap.


Mereka pun pernah muda...
Saatnya kau dan aku sekarang


Suara Bang Mansyur ketika sudah menenggak enam sloki anggur merah oplosan terdengar lebih merdu ketimbang di saat sadarnya. Apalagi di dalam ruangan remang-remang ia ditemani perempuan berpakaian ketat dan mini. Ketika duduk, paha mulusnya tersingkap. Belahan dadanya sedemikian mengumpan berahi pejantan saat mengambil minuman di meja. Laki-laki binal mana yang isi dalam celananya tak mengeras dengan umpan begituan? Lupa sudah Bang Mansyur dengan perempuan ceriwis, tua, gendut, pencemburu, dan posesif, dinikahinya secara hukum negara dua puluh tahun lalu yang menunggu di rumah mereka.

Raisa mengikuti suaminya ke dalam kamar. Mengomelinya habis-habisan. Mengomeli pria mabuk itu sama percumanya dengan pernyataan cinta seorang gadis pada laki-laki homoseks. Tak bakal ditanggapi, apalagi dibalas. Jika bukan karena Bang Mansyur adalah ayah dari enam anak-anaknya, Raisa akan mengambil bantal dan membekap hidup suaminya sampai mati lemas.

Joni, anak sulung Bang Mansyur terjaga dengan suara ribut di kamar sebelah, maklum dindingnya cuma gedek biasa. Di rumah itu, Joni yang punya pendengaran paling beres. Adik-adiknya entah kenapa punya gangguan pendengaran hingga mereka jika berbicara harus dengan suara keras. Sebelum Bang Mansyur hobi bertandang ke tempat karaoke, apa yang didengar Joni bukanlah suara omelan. Tapi desahan-desahan ibunya beriringan dengan suara derit-derit ranjang. Sewaktu masih kelas tiga, ia masih belum paham ada apa di kamar sebelah. Setahun berikutnya, salah satu temannya memperlihatkan video buram di ponselnya, adegan kuda-kudaan sepasang remaja, suara desahan dan juga ranjang yang berderit. Maka terbayanglah di kepalanya, bapak dan ibunya melakukan itu. Bedanya, jika di video itu berdurasi lima menit lebih, di kamar sebelah lebih singkat. Hasil dari main kuda-kudaan itu terlihat dari jumlah adik-adik Joni yang hampir setahun tambah satu. Sekarang Joni sudah kelas 3 SMP, sudah kecanduan bokep, onani, rokok, dan ciu.

Pagi hari, semua penghuni rumah sudah bangun, kecuali Bang Mansyur yang masih ngorok di dalam kamar masih dengan kemeja kotak-kotaknya dan celana jins pudar. Barang bukti kelakuan mesumnya semalam.

Raisa membungkuskan nasi untuk anak-anaknya, ketimbang mereka membeli jajanan yang sudah diperawani lalat lebih dulu. Anak Raisa yang paling kecil baru masuk TK, Ayip namanya. Sekolahnya searah dengan Joni. Si ragil yang rewel. Pengambek dan sering sakit. Tapi wajahnya paling menggemaskan, kulitnya paling putih. Mukanya sangat londo. Raisa membungkuskan roti untuk Ayip karena ia tak suka nasi. Selalu muntah dan demam jika makan nasi. Fenomena aneh.

Siang harinya, barulah Bang Mansyur bangun, buang air besar, ngopi di dapur sambil sesekali menggaruk-garuk penis dalam sarungnya. Mungkin alergi kondom, kata teman-teman nongkrongnya di warung kopi depan. Bapak-bapak pengangguran seperti dirinya yang rutin berkumpul di sore hari. Raisa siang sampai sore tak di rumah. Ia punya karier di luar sana. Sebagai pembantu rumah tangga.

“Makanya tak usah kau pakai kondom,” kata si Poltak, yang badannya kekar dan istrinya sampai tiga. “kecuali kau mainnya sama laki-laki. Harus itu. Kena AIDS kau nanti.”

“Di tempat karaoke itu mana boleh, Bang? Ada aturannya kalau setiap tamu harus beli kondom minimal dua,” sahut Mansyur curhat pengalamannya.

“Jangan kau main terus di tempat karaoke itu, cepat habis uang kau. Mending kau ke rumah pijat Mbak Astrid. Di sana mantap-mantap kali gadis-gadisnya. Masih muda-muda mereka. Masih SMP atau SMA. Tarifnya pun murah.”

“Si Astrid itu teman akrabnya Raisa, Bang. Malas aku ke sana.”

“Terserah kau, lah, Syur!”

Mansyur tak suka cari uang. Warisan dari orang tuanya sudah lebih dari cukup untuk biaya hidup dan sekolah anak-anaknya. Tapi pergaulannya yang hedon membuat pria separuh baya itu intim dengan pemborosan. Benar kata si Poltak, tempat karaoke itu ibarat vacuum cleaner yang mengisap debu-debu di karpet dan sofa rumah-rumah orang kaya. Baru masuk saja sudah bayar dua puluh ribu, sewa ruangan per jamnya sepuluh ribu, sewa gadis dua puluh ribu per tiga puluh menit, belum minuman, camilan, dan kondom. Tidakkah itu sangat mahal? Mau bercinta pun tarif short time-nya tinggi. Apalagi yang extra time.

Maka wajar jika ada tragedi piring terbang di rumah Bang Mansyur dan Raisa berubah menjadi perempuan dingin yang sudah malas-malasan bersentuhan dengannya. Tapi Bang Mansyur tetap ndableg.

Mansyur tercekat. Ia teringat dengan anak bungsunya yang cakep itu. Otaknya mulai berpikir. Garukan di penisnya terhenti seketika. Muncul satu dugaan yang ditiupkan setan lewat imajinasinya. Masyur berlari ke kamar tidurnya. Memperhatikan wajahnya yang jauh dari kata ganteng, kulit yang legam, tubuh yang pendek, muka yang persegi, hidung yang pesek, rambut yang hitam.

Ayip tak mirip dengan dirinya! Bukan darah dagingnya! Raisa telah membiarkan benih pria lain tumbuh dalam dirinya, dibiarkan hidup sampai lima tahun! Terkepal tangan Bang Mansyur. Mendidih darahnya dan mungkin sudah mencapai seratus derajat Celsius. Ia telah dikhianati Raisa!

“Dasar murahan!” umpat Bang Mansyur di depan cermin.

Harga dirinya diinjak-injak. Raisa adalah miliknya dan pantang tersentuh selain olehnya, suami sahnya. Ia harus mencari tahu, siapa pria yang telah menaruh benih di rahim Raisa tanpa seizin dirinya! Diingat-ingatnya siapakah orang di Kampung Kayu Hitam yang berkulit putih, berhidung mancung, berambut ikal kecokelatan, bermata abu-abu, dan bermuka lonjong. Diputarbalikkannya ingatannya. Dicari-carinya sosok yang tepat.

Tak mungkin hanya pria yang sekali lewat dan mengajak istrinya tidur. Istrinya sama sekali tidak menarik meski ia punya vagina yang sempit dan berdaya cengkeram kuat seperti milik perawan. Pria yang pasti sudah dikenal lama oleh Raisa. Yang dengan mudahnya jatuh ke dalam rayuan murahan sampai burung sang pejantan bisa melepaskan tembakan dahsyatnya ke target utama.

Mantan pacar Raisa ada beberapa. Vino. Bang Mansyur langsung mengeliminasi pria itu. Jangan bayangkan ia mirip Vino G. Bastian. Ia hanya buruh pabrik yang hanya sebulan pernah memacari Raisa. Itu pun Raisa yang minta putus karena pria itu lebih suka vagina laki-laki alias pantat teman satu kosannya.

Mansyur juga mengusir Marco dari daftar tuduhannya karena pria itu sendiri bermasalah dengan kesuburannya. Spermanya tidak mampu membuahi sel telur perempuan mana pun. Raisa dua tahun berpacaran dengannya, bercinta berulang kali di luar nikah, tak pernah menghasilkan apa-apa selain kepuasan karena ia menguasai semua gaya kamasutra dan itunya lebih panjang dari punya Bang Mansyur.

Bang Mansyur berpikir lebih keras. Sederetan mantan Raisa muncul dalam benaknya, bergantian seperti slide foto hanya untuk mencocokkan dengan tampilan Ayip.

Sampai di pukul 13:13:13. Bang Mansyur berhenti membrowsing isi kepalanya. Penisnya gatal lagi hingga digaruknya dari luar sarungnya. Ia mencaci dirinya sendiri. Ia hanya mencari sosok yang mirip dengan Ayip, tanpa memperhitungkan jika istrinya punya kulit yang dulunya putih lalu menjadi kusam karena tidak pernah perawatan lagi, rambutnya pun kecokelatan lalu sekarang mulai disamari uban-uban meski usianya baru tiga sembilan. Hidung Raisa pun mancung. Raisa muda dulu memang bahenol. Tapi Bang Mansyur membuatnya menjadi perempuan yang tak menarik, memaksanya untuk hanya mengurus anak-anak dan rumah sementara dirinya bak raja hutan yang bisa memangsa semaunya.

Bang Mansyur meninju cermin sampai berderai berkeping-keping. Berdarah tangannya dan mengaduh kesakitan. Ia berlari ke kamar mandi dan membersihkan lukanya sendiri. Rasa jijik muncul ketika berada di dalam ruangan dengan atap tripleks setengah terbuka. Dibayangkannya jika Raisa pernah mandi di sana untuk membersihkan bekas perzinaannya dengan lelaki itu. Diludahinya lantai seakan ada istrinya di sana dan tersenyum mengejek kepadanya.

Raisa lebih kotor darinya. Bang Mansyur tak terima itu. Seperti orang gila, ia berjalan cepat ke dalam kamar tidurnya. Dibukanya lemari pakaian Raisa. Daster-daster lusuh ditata pada rak urutan kedua dari atas. Di urutan paling atas adalah baju-baju yang terlihat lebih baru, jauh dari kata pudar. Ia ingat jika daster-daster lusuh itu adalah pemberian darinya dan dipakai berulang-ulang Raisa di rumah.

Tapi bagaimana dengan baju-baju di urutan atas? Ia tak ingat pernah membelikan blus katun terusan warna toska, rok chiffon lipit bunga-bunga dengan warna dasar putih, kardigan merah muda dengan inisial R di dada sebelah kiri. Tak ada satu pun darinya. Akan kubunuh kau, Raisa, akan kubunuh kau! geram Bang Mansyur dalam hati.

Bang Mansyur menendang pintu kiri lemari kayu itu sampai copot engsel di bagian atas hingga hampir menimpanya. Darahnya sudah lebih dari kata mendidih, barangkali asap sudah keluar dari pori-pori kepalanya. Dan setan yang berjongkok di atas lemari terbahak-bahak melihat raut wajah manusia satu itu. Tugasnya hari ini untuk menggerecoki manusia rendahan macam Bang Mansyur sudah selesai. Saatnya kembali menghadap Yang Mulia di istana yang berada tepat di tengah-tengah area Segitiga Bermuda. Bonus yang didapatkannya memang tidak sebesar ketika menggoda manusia beriman dan tak suka pamer kekayaan. Tak mengapalah.

Bang Mansyur menunggu sore, menunggu sampai teman-temannya berkumpul di warung kopi, menghabiskan waktu dengan bermain remi, seperti biasa. Poltak datang dengan kretek di bibir tebalnya yang hitam. Menyusul Yunus si tambun yang kakinya pincang karena pernah terserempet mobil di masa mudanya. Irul si pria berkacamata tebal dan suaranya halus seperti perempuan. Tedy si duda muda berkumis tipis mantan agen MLM Sophie Paris. Dan Fred. Fred adalah….

Saat melihat Fred, Bang Mansyur lalu berdiri dan mencekal kerah polo shirtnya dengan kuat. Ditatapnya pria peminum bir itu tajam-tajam. Diamatinya wajah itu. Hidungnya, kulitnya, fisiknya yang lain.

“Kau meniduri istriku?”

Teman-teman Bang Mansyur mencoba memisahkan sebelum terjadi hal-hal yang menyedihkan. Si pemilik warung menatap dengan cemas. Jangan sampai warungnya berantakan. Utang mereka saja menumpuk dan belum dibayar. Mana mampu mengganti rugi kerusakan.

“Istrimu? Yang benar saja. Dia bukan tipeku, arschloch!” Fred menepis tangan Bang Mansyur lalu mengambil tempat duduk Botol birnya ia letakkan di atas meja yang sudah dihuni kartu remi dan beberapa gelas kopi.

“Bung, kenapa kau ini? Memangnya si Raisa selingkuh? Kau yang main perempuan, dia yang kau jelek-jelekkan,” cetus Poltak.

“Aku yakin dia selingkuh. Ayip itu bukan anakku! Apa miripnya dia denganku?!” tegasnya dengan tatapan masih beringas ke arah Fred, si pria blasteran yang mengaku pengangguran tapi penghasilannya ratusan dolar sehari hanya dengan fokus di bisnis forex.

Fred menenggak birnya. “Dia perempuan baik, kau menuduhnya tidur dengan pria lain?” Fred geleng-geleng kepala.

“Anakku tidak mirip denganku! Itu bukti paling nyata! Hanya kau yang mungkin mau dengan perempuan seperti dia!” Bang Mansyur kembali mendekati Fred ingin mendaratkan bogem mentah di wajah putih bersih itu, ingin mematahkan hidungnya yang tinggi. Intinya dia tak suka dengan wajah sempurna Fred.

“Ah Bang Masnyur, tenang dulu kau,” kata Poltak mencengkeram bahu Bang Mansyur kuat-kuat. Mendudukkannya di kursi kayu yang keras. “Pasti ini salah paham. Si Fred kan orang baru di sini, sementara anak kau yang paling kecil aja udah lima tahun umurnya. Kau pikir itu.”

“Aku yakin benih itu bukan dariku!”

“Suruh dia tes DNA. Dasar idiot!” cerca Fred sinis. Diambilnya sepiring nasi dan lauk ikan goreng.

Rasanya, Bang Mansyur seperti lupa cara menarik napas dengan benar. Atau Tuhan sengaja mengurangi kadar oksigen di sana. Bukan Fred, bukan dia, batin Bang Mansyur. Terlalu banyak fakta yang mementahkan tudingannya.

“Mungkin pas hamil dia memikirkanku, ketimbang memikirkan suaminya,” ujar Fred sekenanya.

Bang Mansyur kembali panas tapi teman-temannya sigap menjadi tembok penghalang. Pandangannya beredar ke teman-temannya yang lain. Ia yakin betul jika benih itu berasal dari mereka. Orang lain segan padanya. Kakeknya dahulu jawara kampung tak terkalahkan. Ayahnya pernah menjadi kepala desa sekaligus tuan tanah. Maka sisa-sisa kejayaan pendahulunya adalah modalnya untuk tetap disegani. Kecuali oleh lima pria teman nongkrongnya ini.

“Kau mau nuduh aku ha?” Poltak si putra Siantar itu membalas tatapan Bang Mansyur yang menjurus kepadnya. “Aku tak bilang istrimu itu tak cantik, tapi banyak kali anak kau. Mau kukasih makan apa mereka nanti? Jangan-jangan si Irul pelakunya.” Dagunya menunjuk si pemuda berkacamata yang tak banyak bicara.

Irul tersedak singkong goreng saat namanya disebut. Cepat diteguknya kopi hitamnya lalu terbatuk-batuk. Ia menggeleng cepat-cepat menyangkal tudingan Poltak. “B…bukan… aku, Bang. A…aku memang dekat sama Raisa, Bang, ta…tapi bukan aku yang… menghamilinya….” Itu menelan ludah dengan panik.

“Oh sejak kapan kau dekat dengan istriku? Aku tidak pernah melihat kalian ngobrol atau bertamu ke rumahku. Kalian ketemu diam-diam?” tanya Bang Mansyur penuh curiga. Ia tak pernah memperhitungkan pria mantan pegawai bank itu bakal mengancam rumah tangganya.

“I…itu… aku… sungguh bukan aku, Bang… Aku hanya sesekali ketemu Raisa di… panti pijat. Bang Poltak sama Tedy yang sering dipijat sama Raisa.”

Bang Mansyur terperanjat. Pandangannya kembali terlempar ke pria Batak yang tangannya penuh dengan tato. “Raisa di tempat pijat? Apa maksudnya?”

Poltak terbahak. “Bodoh kali kau, Mansyur! Istrimu kerja apa kau tak tahu ha? Istrimu tak cerita kalau dia sambilan di sana? Dulu, Syur, dulu Raisa itu andalannya Mbak Astrid. Lima tahun lalu kau jarang di rumah kan? Kau belum semiskin sekarang kan? Sering kau keluar kota sampai berminggu-minggu tanpa kau kasih si Raisa uang belanja kan? Lalu kau pikir anakmu hidup dari mana? Kau memang bodoh, idiot kau! Anakmu banyak, tapi tak kau urus. Kalau ada laki-laki lain yang mau sama Raisa, apa salah? Tuduh saja aku pernah tidur sama istri kau. Atau si Tedy pun mau kau tuduh. Kalau kau mau tahu siapa ayahnya, benar kata si Fred, kau minta saja tes DNA. Tapi kalau ternyata si Ayip itu anakmu, kau sendiri yang malu, Syur. Kasian pula anakmu. Lalu kalau besok-besok ada gadis karaoke itu yang hamil gara-gara kau, apa kau mau tanggung jawab ha? Hidup kau sudah susah, Syur, mikin kau buat susah!”

Bang Mansyur tercenung. Poltak benar. Ia sendiri yang membuat rumah tangganya kacau balau. Karena ketidakpeduliannya. Di usianya yang bukan lagi sepantaran remaja yang pantas hedon dan tak memikirkan masa depan. Rasa gatal di penis Bang Mansyur muncul lagi. Ia menggaruknya sambil tersedu-sedu.



Yogyakarta, 9 Januari 2015

Post a Comment

Previous Post Next Post