Anda ingin bergabung dengan Kencan Buta Express?
YA TIDAK
Kikan membiarkan layar dengan background warna pastel itu tetap membuka sama lamanya dengan saat akan memutuskan harus memakai sepatu yang mana untuk menghadiri jamuan makan malam dengan para relasi di kantor majalah tempatnya bekerja. Rahangnya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Detik jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya. Kakinya menyilang di bawah meja beralaskan flat shoes KEDS warna biru muda
“Kau akan menjawab ya atau tidak?” Kenangan melarikannya ke masa lalu, dihadapkan oleh pilihan yang sama. Ya atau TIDAK. Usianya masih dua puluh dan desakan itu membuatnya ingin menyendiri sejauh-jauhnya.
YA atau TIDAK dua tahun lalu itu berbeda dengan YA atau tidak yang sekarang muncul di layar ramping Samsung tujuh belas inci di kamar kerjanya. Ini tidak membutuhkan alasan dari setiap alasan yang dibuatnya. Tak perlu terdiam lama demi memastikan jawabannya akan mampu dipahami lawan bicara yang duduk di hadapannya dan memesan cokelat panas dengan campuran kayu manis. Tak perlu mencemaskan pria bermuka tirus dengan kumis tipis di atas bibirnya akan beranjak dari duduknya lalu pergi. Pergi permanen dari hidupnya setelah mengatakan, “kita tidak perlu lagi meneruskan hubungan ini”. Tak perlu sampai membuat wajah pucat hingga dikira menderita anemia setelah menerima undangan pernikahan yang mencantumkan nama lelaki itu dengan nama sahabat yang telah memperkenalkan mereka berdua.
Kinan memilih TIDAK untuk sebuah pernikahan karena keyakinannya yang masih rapuh. Ia tidak percaya akan kekuatan hubungan yang terikat permanen adalah yang terbaik. Kedua orang tuanya berpisah ketika kedua kakinya baru benar-benar kuat untuk berdiri tegak. Kakak sulungnya di Johannesburg memiliki pasangan kohabitasi yang jauh dari pertengkaran. Mereka datang menjelang Natal dengan putra mereka Kevin.
Layar monitor masih menayangkan pertanyaan yang sama.
YA
Cinta adalah selingan untuk seorang Kinanthi Surya Gunawan. Tidak lebih penting dari rumah yang berhasil dibelinya dengan hasil menabung sebagai editor in chief Rockin’ Style atau liburannya ke Maladewa bersama karibnya, Jessica. Cinta adalah proyek sampingan yang belum mau dipikirkannya hampir sepuluh tahun belakangan hingga Jessica yang sudah seperti bayangannya sendiri mengatakan dirinya baru saja menerima lamaran sang kekasih yang seorang produser musik di negara tetangga.
“Tidakkah itu terlalu cepat? Kau percaya padanya? Kau percaya ia tidak punya kehidupan yang lain yang kau tak tahu?” tanya Kinan saat mereka duduk berdua di kafe menjelang sore hari. Dari dinding kaca di sebelah kiri Kinan, terlihat orang-orang berlari-lari kecil menghindari hujan.
Jessica memainkan sendok gelato blueberry-cokelatnya di dalam gelas kaca yang berkaki panjang. Cokelat chip sudah dihabiskannya duluan. Kinan sama sekali belum menyentuh gelato rumput laut-teh hijau pesanannya. Varian baru dan selalu sold out sebelum jam lima. Mereka adalah dua orang aneh yang menikmati makanan dingin di waktu hujan.
“Tidak ada istilah terlalu cepat atau lama, Kinan. Tidak ada parameter pastinya. Kita berdua selalu lari dari setiap kemungkinan hadirnya hubungan baru. Kita sanggup berlari hingga tiba saat kaki ini memilih untuk berhenti, karena otak memerintahkan seperti itu.”
“Kuharap bisa punya kemampuan seperti Lucy yang bisa mengendalikan seratus persen fungsi otak.”
“Film itu berakhir dengan sedih.”
“Dia menghilang, bukan mati, Jess,” sangkal Kinanthi diakhiri tawa yang ringan. Jessica punya pandangan berbeda dengan Kinanthi soal menghilangnya Lucy dari hadapan orang. Menurutnya, manusia hanya akan berarti jika terlihat oleh orang lain, fisiknya dapat tersentuh. Ketika manusia menghilang, maka makna dirinya pun akan ikut hilang, kecuali nama. Sama halnya orang yang telah mati. “Jangan terlalu cepat menikah, Jess. Sekarang pun aku sudah merasa akan kehilanganmu.”
“Kau terlalu dramatis, Kinan. Justru aku yang tidak mau ada jeda cukup panjang antara lamaran dengan pernikahan. Mungkin empat bulan lagi paling cepat.”
“Aku sudah memesan tiket ke Cayman. Dan jangan coba-coba menikah di saat aku tidak di sini,” ancam Kinanthi dengan wajah serius. Pernikahan Jessica sama pentingnya dengan hari ulang tahun yang selalu mereka rayakan berdua di pulau-pulau yang jauh.
Jessica tersenyum. “Aku takkan menikah diam-diam, dan apa untungnya itu buatku? Kita masih punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama.” Ia mencolek gelato rumput laut lalu menyuapkan pada Kinan. “Semoga bisa membuat wajahmu tidak lagi pucat begitu.”
Rasa kehilangan ibarat duri di dalam hati. Menghantui di kepala. Membuat perut tak mau memberikan sinyal lapar. Kinan menghela napas, ruang kerjanya yang besar tak membuatnya mampu terbebas dari penat. Belum juga Jessica resmi menikah, diajak makan siang pun sudah sulit bukan main. Pesan-pesannya tak langsung dibaca. Teleponnya jarang diangkat. Lalu beberapa jam kemudian Jessica menelepon balik dan meminta maaf, merayunya dengan tiket nonton atau makan di restoran Italia favorit mereka. Demi menebus rasa bersalah.
Maaf tak selalu bisa menghapus kekecewaan.
Kekecewaan yang membuat seorang sahabat lebih mengabaikan sebuah undangan pernikahan dan memilih menyusuri jalan setapak Mastic Trail, melihat spesies burung merpati berwarna abu-abu dengan pucuk kepala berwarna putih bak mahkota nama latinnya Patagioenas leucocephala atau buruk kakaktua hijau dengan sedikit berwarna biru pada bagian sayap yang dalam ilmu biologi bernama Amazona leucocephala. Hutan mangrove itu membuat hatinya merasa lebih lega.
Kinan tahu ia terlalu kekanakan. Terlalu mementingkan dirinya sendiri. Mungkin orang pun akan berpikir demikian. Tapi salahkah ia begitu pada sahabatnya sendiri? Mereka bukan setahun belakangan bersahabat. Apa yang tidak Jessica tahu tentang dirinya? Mereka tinggal satu apartemen sebelum keduanya sama-sama membeli rumah. Kinanthi bukan tipe orang yang tertutup mengenai pribadinya, jika itu pada Jessica. Lalu kenapa pernikahan itu seakan menjadi tembok yang dua kali lebih tebal dengan yang ada di Tiongkok sana? Haruskah?
Kinan berharap ia bisa lebih lama menghabiskan kesendiriannya dengan melihat air yang begitu jernih dan orang-orang Jamaika yang ramah. Kulitnya mulai terlihat gelap.
Hai, boleh kenalan?
Tak ada foto, nama pun sudah pasti samaran. Dipujinya situs pencarian jodoh instan dengan anggotanya yang mencapai jutaan. Baru saja bergabung, sudah ada yang menghubunginya.
Halo. Namaku Virginia.
Kamu?
Kinan tertawa begitu melihat nama tengah Jessica dipakainya sebagai nama samaran tertera di layar. Bertahun-tahun Jessica menyembunyikan nama itu darinya. Barangkali takut Kinan makin meledeknya dengan nama itu karena Jessica Virginia biasanya nama perempuan.
Yogyakarta, 11 Maret 2015
YA TIDAK
Kikan membiarkan layar dengan background warna pastel itu tetap membuka sama lamanya dengan saat akan memutuskan harus memakai sepatu yang mana untuk menghadiri jamuan makan malam dengan para relasi di kantor majalah tempatnya bekerja. Rahangnya bergerak-gerak ke kiri dan ke kanan. Detik jam dinding terdengar lebih keras dari biasanya. Kakinya menyilang di bawah meja beralaskan flat shoes KEDS warna biru muda
“Kau akan menjawab ya atau tidak?” Kenangan melarikannya ke masa lalu, dihadapkan oleh pilihan yang sama. Ya atau TIDAK. Usianya masih dua puluh dan desakan itu membuatnya ingin menyendiri sejauh-jauhnya.
YA atau TIDAK dua tahun lalu itu berbeda dengan YA atau tidak yang sekarang muncul di layar ramping Samsung tujuh belas inci di kamar kerjanya. Ini tidak membutuhkan alasan dari setiap alasan yang dibuatnya. Tak perlu terdiam lama demi memastikan jawabannya akan mampu dipahami lawan bicara yang duduk di hadapannya dan memesan cokelat panas dengan campuran kayu manis. Tak perlu mencemaskan pria bermuka tirus dengan kumis tipis di atas bibirnya akan beranjak dari duduknya lalu pergi. Pergi permanen dari hidupnya setelah mengatakan, “kita tidak perlu lagi meneruskan hubungan ini”. Tak perlu sampai membuat wajah pucat hingga dikira menderita anemia setelah menerima undangan pernikahan yang mencantumkan nama lelaki itu dengan nama sahabat yang telah memperkenalkan mereka berdua.
Kinan memilih TIDAK untuk sebuah pernikahan karena keyakinannya yang masih rapuh. Ia tidak percaya akan kekuatan hubungan yang terikat permanen adalah yang terbaik. Kedua orang tuanya berpisah ketika kedua kakinya baru benar-benar kuat untuk berdiri tegak. Kakak sulungnya di Johannesburg memiliki pasangan kohabitasi yang jauh dari pertengkaran. Mereka datang menjelang Natal dengan putra mereka Kevin.
Layar monitor masih menayangkan pertanyaan yang sama.
YA
Cinta adalah selingan untuk seorang Kinanthi Surya Gunawan. Tidak lebih penting dari rumah yang berhasil dibelinya dengan hasil menabung sebagai editor in chief Rockin’ Style atau liburannya ke Maladewa bersama karibnya, Jessica. Cinta adalah proyek sampingan yang belum mau dipikirkannya hampir sepuluh tahun belakangan hingga Jessica yang sudah seperti bayangannya sendiri mengatakan dirinya baru saja menerima lamaran sang kekasih yang seorang produser musik di negara tetangga.
“Tidakkah itu terlalu cepat? Kau percaya padanya? Kau percaya ia tidak punya kehidupan yang lain yang kau tak tahu?” tanya Kinan saat mereka duduk berdua di kafe menjelang sore hari. Dari dinding kaca di sebelah kiri Kinan, terlihat orang-orang berlari-lari kecil menghindari hujan.
Jessica memainkan sendok gelato blueberry-cokelatnya di dalam gelas kaca yang berkaki panjang. Cokelat chip sudah dihabiskannya duluan. Kinan sama sekali belum menyentuh gelato rumput laut-teh hijau pesanannya. Varian baru dan selalu sold out sebelum jam lima. Mereka adalah dua orang aneh yang menikmati makanan dingin di waktu hujan.
“Tidak ada istilah terlalu cepat atau lama, Kinan. Tidak ada parameter pastinya. Kita berdua selalu lari dari setiap kemungkinan hadirnya hubungan baru. Kita sanggup berlari hingga tiba saat kaki ini memilih untuk berhenti, karena otak memerintahkan seperti itu.”
“Kuharap bisa punya kemampuan seperti Lucy yang bisa mengendalikan seratus persen fungsi otak.”
“Film itu berakhir dengan sedih.”
“Dia menghilang, bukan mati, Jess,” sangkal Kinanthi diakhiri tawa yang ringan. Jessica punya pandangan berbeda dengan Kinanthi soal menghilangnya Lucy dari hadapan orang. Menurutnya, manusia hanya akan berarti jika terlihat oleh orang lain, fisiknya dapat tersentuh. Ketika manusia menghilang, maka makna dirinya pun akan ikut hilang, kecuali nama. Sama halnya orang yang telah mati. “Jangan terlalu cepat menikah, Jess. Sekarang pun aku sudah merasa akan kehilanganmu.”
“Kau terlalu dramatis, Kinan. Justru aku yang tidak mau ada jeda cukup panjang antara lamaran dengan pernikahan. Mungkin empat bulan lagi paling cepat.”
“Aku sudah memesan tiket ke Cayman. Dan jangan coba-coba menikah di saat aku tidak di sini,” ancam Kinanthi dengan wajah serius. Pernikahan Jessica sama pentingnya dengan hari ulang tahun yang selalu mereka rayakan berdua di pulau-pulau yang jauh.
Jessica tersenyum. “Aku takkan menikah diam-diam, dan apa untungnya itu buatku? Kita masih punya banyak waktu untuk dihabiskan bersama.” Ia mencolek gelato rumput laut lalu menyuapkan pada Kinan. “Semoga bisa membuat wajahmu tidak lagi pucat begitu.”
Rasa kehilangan ibarat duri di dalam hati. Menghantui di kepala. Membuat perut tak mau memberikan sinyal lapar. Kinan menghela napas, ruang kerjanya yang besar tak membuatnya mampu terbebas dari penat. Belum juga Jessica resmi menikah, diajak makan siang pun sudah sulit bukan main. Pesan-pesannya tak langsung dibaca. Teleponnya jarang diangkat. Lalu beberapa jam kemudian Jessica menelepon balik dan meminta maaf, merayunya dengan tiket nonton atau makan di restoran Italia favorit mereka. Demi menebus rasa bersalah.
Maaf tak selalu bisa menghapus kekecewaan.
Kekecewaan yang membuat seorang sahabat lebih mengabaikan sebuah undangan pernikahan dan memilih menyusuri jalan setapak Mastic Trail, melihat spesies burung merpati berwarna abu-abu dengan pucuk kepala berwarna putih bak mahkota nama latinnya Patagioenas leucocephala atau buruk kakaktua hijau dengan sedikit berwarna biru pada bagian sayap yang dalam ilmu biologi bernama Amazona leucocephala. Hutan mangrove itu membuat hatinya merasa lebih lega.
Kinan tahu ia terlalu kekanakan. Terlalu mementingkan dirinya sendiri. Mungkin orang pun akan berpikir demikian. Tapi salahkah ia begitu pada sahabatnya sendiri? Mereka bukan setahun belakangan bersahabat. Apa yang tidak Jessica tahu tentang dirinya? Mereka tinggal satu apartemen sebelum keduanya sama-sama membeli rumah. Kinanthi bukan tipe orang yang tertutup mengenai pribadinya, jika itu pada Jessica. Lalu kenapa pernikahan itu seakan menjadi tembok yang dua kali lebih tebal dengan yang ada di Tiongkok sana? Haruskah?
Kinan berharap ia bisa lebih lama menghabiskan kesendiriannya dengan melihat air yang begitu jernih dan orang-orang Jamaika yang ramah. Kulitnya mulai terlihat gelap.
Hai, boleh kenalan?
Tak ada foto, nama pun sudah pasti samaran. Dipujinya situs pencarian jodoh instan dengan anggotanya yang mencapai jutaan. Baru saja bergabung, sudah ada yang menghubunginya.
Halo. Namaku Virginia.
Kamu?
Kinan tertawa begitu melihat nama tengah Jessica dipakainya sebagai nama samaran tertera di layar. Bertahun-tahun Jessica menyembunyikan nama itu darinya. Barangkali takut Kinan makin meledeknya dengan nama itu karena Jessica Virginia biasanya nama perempuan.
Yogyakarta, 11 Maret 2015
Tags
Fiksi