Serupa dengan Blue is the Warmest Color yang berhasil merebut Palme d'Or Festival Cannes, film low budget buatan sineas Iran Abbas Kiarostami ini memiliki ide cerita sederhana, mencari seseorang yang menjadi saksi terakhir di saat-saat terakhirnya sebelum mati. Proses mencari itulah yang saya rasa menjadi pemikat hati para juri.
Alkisah, seorang pria paruh baya misterius bernama Mr. Badii berputar-putar dengan mobil tuanya di sebuah area yang akan dijadikan pemukiman di atas gunung. Di menit-menit pertama, saya mengira orang ini mau mencari laki-laki untuk ngapa-ngapain gitu, secara syaratnya harus sendirian, ternyata bukan. Bukan pula mencari orang yang akan menjadi ahli warisnya kelak. Tidak banyak sisi personal Mr. Badii yang dikuak dari film ini, termasuk alasan ia bosan hidup. Ia justru lebih banyak mengorek cerita dari calon orang yang setuju untuk melakukan permintaannya dengan bayaran besar. Maka menjelang di akhir cerita, penonton akan tahu siapa yang benar-benar punya keberanian untuk melakukan hal itu.
Orang pertama adalah seorang serdadu muda lugu yang ditemuinya di kota. Lelaki itu hendak ke barak dan diberi tumpangan oleh Badii. Seorang pria Kurdistan yang di kampung halamannya menjadi petani kemudian mengikuti pelatihan militer di Teheran. Ia harus kembali ke barak pukul enam sore dan Badii memberikan penawaran itu dan si serdadu tertarik, sebelum akhirnya tahu tugas apa yang harus dilakukannya.
Orang kedua adalah seorang mahasiswa seminari alim asal Afganistan yang sedang berlibur menemani seorang penjaga di area itu. Perang membuat pria itu meninggalkan negaranya, meskipun Iran dan Irak pun juga sedang ribut. Tahu bahwa Badii akan melakukan sesuatu yang melanggar takdir Tuhan, dia pun memberi nasihat. Tentu saja nasihat itu tidak dipedulikan Badii yang sepertinya memang sudah ngebet ingin mati. Cara untuk mati juga sudah dipilihnya.
Orang ketiga berdarah Turki, seorang pria bijak yang usianya jauh di atas Badii. Pria yang suka berbicara bahkan meski Badii tidak menanyakannya. Pengalaman hidup membuatnya jadi bijak, bahwa setiap permasalahan akan ada solusinya. Kuncinya adalah bicara. Kalau tidak bicara, bagaimana orang lain bisa membantu? Badii tetap saja tidak mau membuka problematika hidupnya. Tetap menjadi rahasia sampai kematiannya menjemput.
Menonton Taste of Cherry meninggalkan banyak pertanyaan di otak saya. Siapa Mr. Badii ini, apa masalah yang dihadapinya, mengapa ingin mati di tempat yang tidak elegan, dan mengapa ia ingin membayar orang lain untuk menjadi saksi kematiannya?
Jogja, 2 Mei 2015
Alkisah, seorang pria paruh baya misterius bernama Mr. Badii berputar-putar dengan mobil tuanya di sebuah area yang akan dijadikan pemukiman di atas gunung. Di menit-menit pertama, saya mengira orang ini mau mencari laki-laki untuk ngapa-ngapain gitu, secara syaratnya harus sendirian, ternyata bukan. Bukan pula mencari orang yang akan menjadi ahli warisnya kelak. Tidak banyak sisi personal Mr. Badii yang dikuak dari film ini, termasuk alasan ia bosan hidup. Ia justru lebih banyak mengorek cerita dari calon orang yang setuju untuk melakukan permintaannya dengan bayaran besar. Maka menjelang di akhir cerita, penonton akan tahu siapa yang benar-benar punya keberanian untuk melakukan hal itu.
Orang pertama adalah seorang serdadu muda lugu yang ditemuinya di kota. Lelaki itu hendak ke barak dan diberi tumpangan oleh Badii. Seorang pria Kurdistan yang di kampung halamannya menjadi petani kemudian mengikuti pelatihan militer di Teheran. Ia harus kembali ke barak pukul enam sore dan Badii memberikan penawaran itu dan si serdadu tertarik, sebelum akhirnya tahu tugas apa yang harus dilakukannya.
Orang kedua adalah seorang mahasiswa seminari alim asal Afganistan yang sedang berlibur menemani seorang penjaga di area itu. Perang membuat pria itu meninggalkan negaranya, meskipun Iran dan Irak pun juga sedang ribut. Tahu bahwa Badii akan melakukan sesuatu yang melanggar takdir Tuhan, dia pun memberi nasihat. Tentu saja nasihat itu tidak dipedulikan Badii yang sepertinya memang sudah ngebet ingin mati. Cara untuk mati juga sudah dipilihnya.
Orang ketiga berdarah Turki, seorang pria bijak yang usianya jauh di atas Badii. Pria yang suka berbicara bahkan meski Badii tidak menanyakannya. Pengalaman hidup membuatnya jadi bijak, bahwa setiap permasalahan akan ada solusinya. Kuncinya adalah bicara. Kalau tidak bicara, bagaimana orang lain bisa membantu? Badii tetap saja tidak mau membuka problematika hidupnya. Tetap menjadi rahasia sampai kematiannya menjemput.
Menonton Taste of Cherry meninggalkan banyak pertanyaan di otak saya. Siapa Mr. Badii ini, apa masalah yang dihadapinya, mengapa ingin mati di tempat yang tidak elegan, dan mengapa ia ingin membayar orang lain untuk menjadi saksi kematiannya?
Jogja, 2 Mei 2015
Tags
Film