Tully (2018); Ketika Semuanya Begitu Melelahkan

Saya kira—dulu—Tully adalah nama karakter yang diperankan oleh Charlize Theron. Bukankah di poster filmnya, nama Tully menempel di pipinya? Saya tidak tertarik menonton karena memperlihatkan ribetnya punya anak. Film yang tidak baik untuk kejiwaan saya saat ini.

Kemudian ketika saya sedang membaca filmografi Mackenzie Davis dan dikatakan bahwa dia pernah main di film tersebut. Lalu saya menonton ulang trailernya dan … memang dia di sana. Sebagai Tully, seorang pengasuh bayi di malam hari. Saya tidak tahu apakah benar profesi ini ada atau tidak. Bayangkan, sekitar pukul sebelas malam, dia datang untuk menjaga bayi agar si ibu bisa beristirahat. Bangun hanya untuk menyusui lagi.

Apa itu tidak horor? Bagaimana kalau ternyata si pengasuh punya komplotan lalu datang bersama komplotannya untuk merampok rumah bahkan membunuh seluruh penghuni rumah lalu keesokan harinya tetangga curiga karena tidak ada aktivitas sama sekali di rumah itu. Lalu memanggil 911 dan polisi. Polisi mendobrak rumah dan menemukan semua anggota keluarga sudah tewas bersimbah darah di ruang keluarga.

Oke, itu cuma imajinasi saya saja akibat terlalu sering menonton vlog kriminal.

Nama ibu rumah tangga yang mempekerjakan pengasuh malam hari dalam film ini adalah Marlo. Setelah melahirkan anak ketiganya, dia makin stres membagi perhatian kepada masing-masing anak. Jonah, Sarah, Mia. Jonah sudah duduk di bangku SD dan saya tidak tahu dia terkena penyakit apa. Dia mudah emosional dan sensitif dengan suara-suara tertentu. Kalau merasa sensitif, dia akan berteriak-teriak. Ini tentu menjadi bahan komplain pihak sekolah. Mereka meminta agar Jonah punya pembimbing sendiri sehingga diawasi tanpa terus-menerus gurunya yang direpotkan.

Sarah tidak ada masalah. Masalah dia adalah terganggu oleh sikap Jonah. Dia anak yang baik. Sebenarnya saya tidak yakin, anak pertama yang mana.

Lalu bayi Mia yang butuh perhatian tidak kalah besar.

Suami Marlo sibuk dengan pekerjaannya dan lagi sedang ada proyek yang dia hadapi sehingga harus fokus. Sesekali dia pun harus ke luar kota untuk urusan kerjaan.

Maka, ketika Craig, kakak Marlo, yang tajir melintir punya istri orang Jepang dan punya anak yang ditangani pengasuh, merekomendasikan pengasuh malam hari untuk Mia, akhirnya Marlo luluh. Dia sudah tidak sanggup melakukan semuanya sendirian. Tubuhnya sendiri tidak terurus. Tidak ada waktu untuk membakar lemak, berdandan, hangout, main Shopee Candy, jualan online, dan sebagainya.

Dan di luar dugaannya, Tully adalah gadis muda berusia seperempat abad, tinggi (ternyata Mackenzie masih lebih tinggi dari Charlize), cantik, baik, bisa mengurus anak, bisa bikin kue, bisa bersihin rumah, dan apa pun yang tidak tertangani oleh Marlo, diberesin sama dia. Kalau perlu, suami Marlo juga disikat.

Kehadiran Tully membuat perubahan besar dalam diri Marlo. Dia merasa kembali memiliki dirinya lagi. Waktu yang terasa begitu padat dengan urusan anak, mulai terasa lega. Dia mulai lari, berdandan, lebih sabar, bisa tidur cukup. Dan Tully adalah teman yang begitu memahami dirinya. Kadang, perempuan tidak butuh uang berlimpah, tapi sebatas ingin punya teman ngobrol yang asyik, yang bisa diajak curhat, bisa gibah, bisa gosip, bisa bergunjing.

Saya pikir kemudian suami Marlo akan berselingkuh dengan si pengasuh sehingga jadilah skandal cinta yang berujung pembunuhan sadis.

Apa sih pembunuhan mulu isi otak saya ini!

Syukurlah Diablo Cody tidak akan mempertaruhkan piala Oscar yang didapatkan dari film Juno dengan membuat skenario receh. Charlize juga ogahlah main film cupu kayak gitu. Mackenzie paling juga mikir mendingan berperan jadi lesbian lagi aja daripada jadi pelakor.

Seharusnya judul film ini adalah Marlo. Sebab, Tully hanyalah satu karakter kecil dalam semesta ceritanya Marlo. Okelah, bisa dibilang dia ini semacam membalikkan sebuah keterpurukan menjadi harapan. Tapi keinginan untuk berubah ada di tangan Marlo.

Film ini, sekali lagi, jauh lebih tepat ditonton oleh para ibu, atau yang akan jadi ibu, atau yang perlu diingatkan bahwa sebelum memutuskan untuk punya banyak anak, pikirkan juga soal hak mereka untuk mendapat perhatian orang tua sepenuhnya. Kan kasihan kalau nanti telantar, lalu jadi pengedar narkotika, dikejar-kejar bos kartel, lalu dibunuh.

Post a Comment

Previous Post Next Post