Saat akan menulis novel kedua yang berjudul Hangsaman, yang terbit pada tahun 1951, Shirley Jackson berada dalam kondisi menutup diri dari dunia luar termasuk enggan mau keluar rumah. Sementara suaminya, Stanley Hyman, adalah seorang dosen berdarah Yahudi yang punya pergaulan luas dan sesekali relasinya datang ke rumah. Kenapa soal Yahudi harus disebutkan, sebab ada asumsi bahwa Shirley adalah seorang anti-semit. Macam Hitler. Benar atau tidak, biasanya kan tidak akan ada asap kalau tidak ada api. Saya kurang tahu apakah Shirley Jackson memperlihatkan sikap itu dalam karya-karyanya atau dalam realitas.
Diadaptasi dari sebuah novel karya Susan Scarf Merrell. Dengan embel-embel “novel”, tentunya Shirley tidak bisa dikatakan sepenuhnya biopic. Atau bisa? Ada banyak dramatisasi yang dimunculkan dalam adegan demi adegan, namun ada juga fakta-fakta yang tidak ditinggalkan.
Penulis punya tingkahnya masing masing-masing. Saya yakin, bagi orang-orang yang bekerja dalam dunia penerbitan sepakat dengan saya bahwa tidak perlulah terlalu mengidolakan seorang penulis secara berlebihan karena mereka adalah manusia dengan kelebihan dalam berkarya dan kekurangan dalam kepribadiannya.
Shirley, digambarkan sebagai seorang yang hidup semaunya sendiri. Bermalas-malasan di tempat tidur sambil merokok dan mabuk seharian. Dia mudah berkata-kata kasar. Saat tidak ingin diganggu, dia bisa mengusir suaminya sendiri dari kamar. Bahkan, ketika ada asisten dosen suaminya yang tinggal sementara di rumah itu bersama istrinya, sikapnya tetap saja sama.
Saat itu, Shirley sudah dikenal sebagai penulis cerita-cerita horor. Sangat dikagumi. Orang-orang selalu ingin tahu apa lagi yang akan ditulisnya.
Pasangan suami-istri tersebut bernama Fred dan Rose. Rose tengah hamil muda. Mereka datang ke kota itu sebab Fred sedang memperjuangkan karier sebagai dosen di kampus tempat Stanley mengajar, yaitu Bennington College. Fred meninggalkan statusnya sebagai anak orang kaya demi menikahi mahasiswanya. Dia sedang menulis disertasi yang di mata Stanley B saja. Sebagai seorang kritikus, Stanley berterus terang kepada istrinya bahwa tulisan Fred masih sangat mentah. Karena dia membutuhkan bantuan pasutri muda itu agar istrinya tidak sendirian di rumah, Stanley sengaja menunda-nunda berkomentar tentang disertasi ketika Fred menagihnya. Kan repot nanti kalau gara-gara itu Fred ngambek, lalu capcus dari rumah.
Semenjak ada pasangan suami-istri itu, Stanley berusaha memaksa istrinya agar tidak hanya rebahan macam anak muda pulang pagi habis party-party. Malulah, kok penulis macam orang depresi, begitu mungkin pikir dia.
Kehadiran Rose secara tidak langsung membuat suasana di rumah berbeda. Sekarang ada yang masak, ada yang belanja, ada yang bersih-bersih, ada yang minta jatah “itu” ke suami tapi sering nggak dikasih karena Fred sering pulang malam dan mabuk. Rose mengira dirinya sudah tidak menarik karena perutnya mulai membesar. Rose yang sudah membaca karya-karya Shirley menyimpan rasa kagum. Walaupun si penulis kondang tidak memedulikannya. Shirley bahkan kesal karena keberadaan dua orang asing di rumahnya.
Di masa-masa itulah, Shirley menemukan ide tulisan. Suaminya kurang merespons positif ketika tahu bahwa Shirley akan menulis novel. Tidak dijelaskan apa alasannya. Toh sebagai penulis, masa bodoh, yang penting dia ingin menulis kisah dengan berdasar seorang mahasiswi Bennington College bernama Paula Welden yang hilang secara misterius. Gairah menulisnya makin terpacu ketika dia menjadikan Rose sebagai model karakternya. Sebagai orang yang pernah menulis novel juga, saya sepakat bahwa ketika menemukan seseorang yang pas dengan karakter yang sedang dipikirkan, akan lebih mudah untuk menciptakan sebuah semesta cerita. Imajinasi Shirley menjadi liar saat membayangkan Rose berjalan di hutan mengenakan mantel panjang warna marun, menggambarkan ekspresi wajahnya, membayangkan gestur tubuhnya.
By the way, mengenai hilangnya Paula Welden, hingga sekarang belum kejelasan nasibnya.
Dramatisasi yang dianggap berlebihan seperti yang saya sebutkan sebelumnya adalah soal ketertarikan seksual antara Shirley dan Rose. Tidak ada adegan yang menunjukkan keduanya melakukan hubungan yang terlalu intim. Lebih tepatnya, tidak ada bukti kuat dan fakta bahwa ada skandal cinta di antara. Saya jadi teringat dengan film Ammonite yang pernah saya ulas beberapa waktu sebelumnya, hanya Tuhan dan yang bersangkutan yang tahu kebenarannya. Hubungan Rose dan Shirley dan pasangannya masing-masing tetap berjalan seperti biasa. Hingga Rose melahirkan dan Shirley mulai terganggu dengan suara tangis bayi yang membuatnya makin penat saat menyelesaikan Hangsaman. Novel itu kabarnya ditulis memakan waktu sampai lima tahun.
Selama mengerjakan novelnya, Stanley tidak dia izinkan untuk membaca draft-draft yang sedang dia ketik siang hingga malam dengan tekun. Sedikit pun tidak boleh. Dia akan muntap jika Stanley mencuri-curi kesempatan mengintip tulisannya. Tentunya, Stanley selalu menjadi pembaca pertama sekaligus kritikus setiap kali naskah itu siap. Dan Shirley selalu mendengarkan komentar-komentar Stanley yang memang tidak asal bacot.
Film ini tidak terlalu banyak memotret pribadi Shirley yang adalah seorang introver dan seniman yang tidak senang dengan keterikatan ini-itu. Tapi komitmennya untuk selalu membuat cerita-cerita horor bagus, sudah tidak perlu dipertanyakan. Rumahnya penuh dengan buku-buku. Dia bisa mencatat ide-ide di dalam bathup. Tidurnya tidak banyak. Yang tidak kalah penting, dia tidak merasa perlu mendengar pujian orang lain soal karyanya. Shirley bukan penulis yang punya tujuan untuk viral.