Kalau tidak salah ingat, saya pernah menulis ulasan film ini. Tapi … lupa entah di blog mana dan entah saya hapus atau bagaimana, di blog ini pun tidak ada. Berhubung, saya tiba-tiba pengen nonton film ini, lalu nyari ke sana kemari mengandalkan jalur bawah tanah, mengingat saya tidak berlangganan layanan streaming film, akhirnya ketemu dan beruntungnya, dapet yang bagus tanpa ada lag sedikit pun. Subtitle bahasa Inggris dan sudah cukup. Film ini buatan Swedia.
Rilis tepat sepuluh tahun lalu. Saya lupa nonton pertama
kali tahun berapa, tapi yang pasti kualitas file filmnya agak buruk dan banyak
nge-lag. Waktu itu juga, banyak detail yang tidak terlalu saya perhatikan karena
fokus hanya ingin tahu ceritanya. Nonton sebuah film memang tidak cukup sekali.
Sekali untuk tahu cerita, nonton lagi untuk menikmati alur. Standar lah ya
seperti itu.
Seingat saya, atau ingatan saya memang ada masalah, ciuman pertama
Mia dan Frida tidak selama itu. Yeah walaupun sebagai gantinya saya
mempertanyakan, di mana logikanya ketika dua orang lagi nonton sekelompok kijang,
lalu terdorong untuk berciuman.
Jadi ceritanya, Mia mengajak pacarnya yang bernama Tim ke
Malmo yang jaraknya dari Stockholm sekitar 1 jam penerbangan, seperti dari
Jogja ke Jakarta. Tujuan mereka ke sana adalah untuk menghadiri pesta ulang
tahun Lasse, ayahnya Mia, yang ke-60. Selain itu, Mia juga ingin mengabarkan
rencana pernikahannya kepada sang ayah. Selain itu, sang ayah juga merayakan
pertunangan dengan Elisabeth. Malam itu adalah malam istimewa.
Berhubung Mia baru datang di saat acara berlangsung, maka
acara itu disiapkan oleh Oskar—adik Mia yang ganteng dan masih berondong—dengan
Frida—anak satu-satunya Elisabeth. Frida ini sebaya dengan Mia, menjelang 30-an
gitu. Oskar dan Frida terlihat begitu akrab dan sering ngasih kode-kode mencurigakan.
Wajar dong kalau Mia mengira di antara mereka ada sesuatu. Tidak cuma itu, Mia
juga mengira Tim kepincut sama Frida. Ya namanya juga cewek pirang, mata biru, tinggi,
supel, ramah. Bukankah itu semacam ancaman bagi para cewek yang tampangnya
biasa aja?
Tim segera mengonfirmasi bahwa dirinya sama sekali nggak
flirting sama Frida. Wong dia cintanya sama Mia. Tinggal soal si bocah Oskar
jangan-jangan ada affair ama calon kakak ipar. Pas Mia menanyakan itu, Frida
jawabnya malah bikin Mia kesal. Bukannya dibantah, eh malah diiyain. Tapi
kesalahpahaman itu segera diperbaiki Frida. Mia sepertinya lega. Sedari awal,
Frida memang ngeliriknya ke Mia. Saya sebagai penonton langsung bisa menebak,
itu bukan tatapan biasa. Itu tatapan yang berbeda. Mia aja yang nggak peka.
Mereka berdua lalu dari Malmo ke Fyn. Semacam pulau kecil
yang transportasi ke sana hanya dengan kapal feri. Sepertinya tidak terlalu jauh
untuk mencapai kediaman Elisabeth. Mereka ke sana untuk mempersiapkan tempat
pelaksanaan pernikahan Lasse dan Elisabeth. Pernikahan Mia dan Tim masih
beberapa bulan ke depan.
Ketika sampai di sana, rupanya Lasse nggak ada. Katanya ada
rapat di kota. Mia muntap dong. Masak dia ditinggal sama orang-orang yang baru
kenal. Yah, walaupun Elisabeth dan Frida juga toh akan menjadi keluarganya
kelak. Mia ini sepertinya agak introver. Apa mau dikata, kapal feri sepertinya
hanya ada sehari sekali. Setelah gagal menghubungi ayahnya, Mia sengaja
menyendiri ke hutan. Khawatir tersesat, Elisabeth menyuruh Frida mencarinya.
Ketemu, mereka minum wine—begitu sering orang Swedia minum
wine. Kayaknya mereka tidak punya air putih atau sirop marjan—dan merokok kemudian
Frida mengajak Mia ke sebuah tempat yang ternyata tempat kongkow segerombolan
kijang. Entah karena suasana syahdu apa Mia kesambet jin, Mia mencium Frida.
Mencium ya bukan dicium. Paham kan maksud saya. Artinya, bukan Frida yang
memulai, tapi calon istri orang yang sedang kesal, Sodara. Setelah itu, Mia
pergi begitu saja. Frida bengong dong. Apa tuh barusan? Nanggung amat. Penonton
terbagi dua kubu, berpihak pada Mia agar tidak tergoda iman dan yang berpihak
pada Frida. Yang ngibrit apa yang melongo.
Saat tidur, ketika Frida kedengaran masuk kamar—mereka sekamar
tapi ranjang terpisah yaa—Mia langsung pergi. Frida bengong 2.0. Paginya, Mia
masih terus berusaha menghindari Frida yang gelagatnya seperti ingin membahas
kejadian semalam.
Bisa berapa lama sih menghindar seperti itu sementara
Elisabeth justru berusaha mengakrabkan diri dengan mengajak Mia dan Frida
mancing bareng? Akhirnya Frida dapat satu kesempatan menanyakan hal itu dan
hampir saja mereka terbuai dalam ciuman untuk kedua kali kalau Elisabeth tidak tiba-tiba datang
dan membuyarkan suasana romantis.
Mungkin sudah lelah menghindar dan melihat Frida memang
cakep dan menarik, saat diboncengi naik sepeda sama Frida, dia meng … gesek apa
gosok ya— kepalanya ke punggung Frida. Dapat kode kayak gitu, Frida paham nih ikan
cucut sudah memakan umpan. Dia pun mengajak Mia berenang di semacam danau. Film
ini lighting-nya memang pelit. Susah untuk membedakan apakah itu sore
atau malam. Saat mereka pulang memancing sudah gelap. Masak iya berenang
malam-malam. Mungkin itu biasa buat Frida dan penduduk di sana.
Mereka melakukan ciuman di dalam air. Ini adegan yang keren
sih, walaupun mungkin proses pengambilan gambar menyiksa para pemerannya. Lalu
di sana, Mia baru tahu kalau Frida seorang lesbian. Dan Mia menegaskan bahwa dirinya
tidak seperti itu. Frida mesem-mesem aja. Cih, udah ciuman macam gitu terus kok
ngaku straight, mungkin batinnya ngomong gitu. Mia jual-jual mahal lagi.
Pura-pura menjauh. Tapi itu tidak berlangsung lama karena saat mereka tidur,
Frida mendatangi tempat tidur Mia, belai-belai bentar, lalu berbaring di
belakang Mia. Selanjutnya adalah adegan yang ditunggu-tunggu oleh penonton
pecinta maksiat. Cukup lama, seksi, tapi tidak vulgar. Mia pasif yang disoroti ekspresi
wajahnya sampai orgasme. Sementara Frida bagian yang menggerayangi. Namanya
juga cewek baik-baik, mana punya fantasi liar, apalagi dia pacaran sama Tim
sudah tujuh tahun. Tim juga bukan tampang fakboi yang khatam Kamasutra.
Seks pertama mereka membuat Mia galau. Ternyata beda rasanya
ML sama cowok dan sama cewek. Hatinya nggak bisa bohong, dia mulai ada rasa
dengan si pirang. Frida jelas memang menyukai Mia. Saat mereka duduk bertiga di
mobil dan Tim membahas tamu undangan pernikahan mereka, Frida sekakmat. Cewek
yang semalam bersamaku adalah milik pria ini dan mereka akan menikah.
Tidaaakkk!
Bangsatnya Mia, dia kembali menghindari Frida dan menegaskan
bahwa dirinya memilih Tim. No debat pokoknya. Frida jelas patah hati. Tapi mau
gimana. Salah ente juga cari perkara sama cewek straight. Adegan dia menahan tangis
saat makan siang bersama, itu menyakitkan sekali.
Lalu sebagaimana film-film bergenre serupa, setelah ada
konflik, ada jeda waktu keduanya tidak bertemu. Mia sempat tahu kalau ternyata
Frida … udah punya pacar. Cantik. Dan foto-foto mereka mesra.
Bukan cuma Mia yang berkhianat, Frida juga. Bangsat
dua-duanya. Pacar mereka masing-masing tipe yang setia pada pasangan. Di masa
tenggang itu, Frida bilang ke Elisabeth, kalau dia sama Mia ada sesuatu. Ibunya
mau marah ya bingung juga. Ini bukan pertama kalinya Frida berselingkuh. Tapi
kok ya sama Mia, kayak ngga ada yang lain. Elisabeth pun mengatakan ini kepada
Lasse yang membuat mereka ribut kecil karena Lasse tidak menerima kenyataan
anaknya rada belok.
Ketika Tim sedang pergi dengan Oskar untuk pesta lajang, kebetulan
murid-murid sekolahnya Frida ada pertunjukan. Ketemu lagi mereka, dan saat itu
Mia sudah tidak bisa lagi membohongi perasaannya sendiri. Dia memang jatuh
cinta sama Frida. Dia ingin memulai hidup baru dengan Frida di tempat yang jauh
dari orang-orang yang mengenal mereka. Frida ogah lah. Mau sampai kapan mereka
melarikan diri dari kenyataan? Mau sampai kapan sembunyi-sembunyi hanya karena
saling mencintai?
Melihat Mia masih ragu-ragu, Frida mengambil keputusan yang sama dengan Abby di film Happiest Season, yaitu mendadak capcuz dengan alasan ingin menenangkan diri. Tim yang melihat dengan mata kepala sendiri calon istrinya berciuman dengan Frida di tempat terbuka, merasa sudah tidak ada gunanya meneruskan hidup bersama Frida.
Saya jujur saja lebih menyukai film ini ketimbang The World to Come karena konfliknya lebih kompleks, soal sinematografinya tidak kalah bagus kok, dialog-dialog humornya disampaikan secara alami, chemistry antar pemainnya nge-blended banget. Meskipun terbilang film indie, kualitasnya tidak kalah bagus dengan film dari studio besar.