Nomadland (2020); Jika Nomaden Jadi Pilihan Hidup

Nomadland saya tonton tepat setelah menonton ulang Edge of Tomorrow—untuk kesekian kalinya. Bagi yang tahu film paling keren Emily Blunt—menurut penilaian subjektif saya tentu saja—yang penuh dengan adegan mencengangkan dan adegan membunuh Tom Cruise berkali-kali, kemudian dihadapkan dengan film murni drama yang menampilkan karakter seorang perempuan nomad yang hidup di dalam RV—bukan Red Velvet bikinan Helen Armando tapi recreational vehicle alias mobil van—tentu bisa memahami apa yang saya rasakan. Yang awalnya adrenalin saya di puncak ubun-ubun, langsung merosot sampai ke ginjal. Saya memutuskan untuk menonton sampai tuntas film terbaik versi Oscar yang dibintangi aktris Frances McDormand walaupun bedaaaaa jauh sama Three Billboards Outside Ebbing, Missouri. Bisa dibilang, ini adalah satu-satunya film yang masuk bursa Oscar 2021 yang saya tonton. Demi membuat konten.

Film ini bukan perkara jelek, justru sangat bagus dan real, karena sang pemeran utama sekaligus salah satu produser, si Tante Frances, benar-benar total membuat Nomadland sebagai visualisasi apik dari sebuah buku nonfiksi karya jurnalis Jessica Bruder. Buku tersebut mengupas tentu saja tentang kehidupan nomad Amerika.

 

Jangan bayangkan bahwa film ini akan sama dengan seseorang yang traveling keliling dunia, ke tempat-tempat mewah, menginap di hotel mewah, main perempuan, nenggak miras, lalu tidak lama foto-foto pamernya muncul di Instagram demi mengemis likes dari follower. Jangan bayangkan pula dia akan menjadi orang yang mengharapkan belas kasihan orang sepanjang perjalanan karena bepergian dengan uang terbatas dan merasa itu adalah perjalanan heroik dan hanya dia yang bisa melakukannya.

Di Indonesia mungkin jarang kita lihat mobil van yang difungsikan sebagai sarana transportasi melintasi Nusantara. Kalau pun ada orang yang bepergian dengan mobil, itu biasanya mobil bukan van.

Di Amerika, tidak sulit menemukan van yang difungsikan sebagai rumah pertama, bukan kedua. Alias memang difungsikan sebagai tempat tinggal permanen. Mereka adalah para nomad—tidak mau disebut tunawisma yang menjelajah melintasi negara-negara bagian. Konon, dari beberapa informasi yang saya dapatkan di IMDB, Tante Frances melintasi 7 negara bagian bersama mobil yang dia namakan Vanguard. Selama syuting—masih dari info di IMDB—yang mana memakan waktu 4 bulan, Frances McDormand tidur pun di dalam van itu. Padahal, jenis van yang dia punya bukan yang interiornya mewah dan luas. Untuk tidur saja, dia tidak bisa dengan badan yang lurus. Di dalam van itu juga, Fern menyimpan barang-barangnya. Boker juga di situ.

Mengapa Fern memutuskan jadi seorang nomad? Diceritakan bahwa setelah suaminya, Bo, meninggal, dia diliputi duka yang mendalam. Keinginan untuk menghapus kesedihan juga dialami tokoh-tokoh pendamping yang muncul di sepanjang film. Film ini murah salah satu sebabnya adalah karena satu-satunya aktris yang muncul di layar adalah Tante Frances, sisanya adalah orang-orang yang tidak punya pengalaman dalam dunia perfilman. Sebagai orang yang juga pernah mengalami fase senang melanglang buana, saya cukup faham bagaimana perjalanan itu adalah semacam pelarian dari sebuah atau beberapa masalah hidup.

Tidur di dalam mobil yang sumpek, bagi Fern, bukanlah sesuatu yang perlu dikeluhkan. Itu adalah keputusannya. Untuk menghidupi dirinya, dia juga bekerja di tempat-tempat yang disinggahinya selama beberapa waktu, salah satunya kerja musiman di Amazon bagian pengepakkan barang. Kalau pernah nonton TikTok, ada yang membuat video proses ketika mengepak barang ke dalam kardus sebelum dikirim ke pembeli, nah, itulah pekerjaan Fern. Pihak Amazon memang membuka peluang bagi para nomad untuk bekerja di perusahaannya. Tentu saja gajinya sesuai dengan pekerjaan. Tidak besar-besar amat. Fern juga pernah bekerja sebagai cleaning service di tempat perhentian van. Lalu ikuta panen bit di negara bagian lainnya.

Fern punya saudara yang tidak habis pikir mengapa kakaknya kok mau hidup seperti itu. Bukannya tinggal di rumah yang nyaman, tidur di kasur empuk, privasi lebih terjaga, dan sebagainya.

Selama hidup nomaden, Fern bertemu dengan teman-teman baru yang tidak sedikit seusia dengannya. Saya sulit membayangkan saja sih, mereka kok kuat ya badannya. Belum lagi harus menyetir, meskipun jalanan yang mereka lewati sangatlah mulus. Tidak penuh gronjalan seperti di negara ini. Dari Linda, Fern memutuskan ke Arizona meninggalkan Oregon yang bersalju. Lagi pula buat apa menyiksa diri kedinginan tiap malam, mendingan melihat matahari? Sepengamatan saya, di van itu tidak ada pemanas. Fern sempat gabung dengan sebuah komunitas yang mana Linda juga termasuk salah satu anggotanya, berkenalan dengan beberapa orang lalu dekat dengan seorang lelaki yang dari gerak-geriknya suka dengan Fern. Tapi, tidak usah mengharapkan ada romantis-romantisan. Yang ada, di film ini adalah melihat Fern mengapung di sebuah telaga tanpa busana, dia mandi, atau pipis sembarangan. Sepertinya inilah yang membuat juri Oscar tidak punya alasan untuk tidak memenangkan film murah meriah ini.

Nomadland menang untuk tiga kategori, salah satunya adalah sutradara terbaik yang diberikan kepada Chloé Zhao, seorang sutradara muda perempuan berdarah Cina. Belum pernah dengar namanya? Sama kalau begitu. Dia sudah beberapa kali membuat film indie di Amerika. Sebelumnya berjudul The Rider, film dengan tokoh koboi gitu lah. Di film Nomadland, entah karena kurang percaya, bujet terbatas, terlalu multitalenta, atau apa, Mbak Zhao juga turun ikut dalam proses editing dan hasilnya emang gila sih. Untuk proyek film selanjutnya, Mbak Zhao baru saja menyelesaikan salah satu film Marvel yang berjudul Eternals. 

Seperti yang saya bilang di awal, kalau merasa nggak relate dengan temanya, sebaiknya tidak perlu membuang waktu menonton film berdurasi 107 menit ini. Tonton saja Three Billboards Outside Ebbing, Missouri yang bikin mesem-mesem dan juga menang Oscar.

Previous Post Next Post

نموذج الاتصال