Nomadland saya tonton tepat setelah menonton ulang Edge of Tomorrow—untuk kesekian kalinya. Bagi yang tahu film paling keren Emily Blunt—menurut penilaian subjektif saya tentu saja—yang penuh dengan adegan mencengangkan dan adegan membunuh Tom Cruise berkali-kali, kemudian dihadapkan dengan film murni drama yang menampilkan karakter seorang perempuan nomad yang hidup di dalam RV—bukan Red Velvet bikinan Helen Armando tapi recreational vehicle alias mobil van—tentu bisa memahami apa yang saya rasakan. Yang awalnya adrenalin saya di puncak ubun-ubun, langsung merosot sampai ke ginjal. Saya memutuskan untuk menonton sampai tuntas film terbaik versi Oscar yang dibintangi aktris Frances McDormand walaupun bedaaaaa jauh sama Three Billboards Outside Ebbing, Missouri. Bisa dibilang, ini adalah satu-satunya film yang masuk bursa Oscar 2021 yang saya tonton. Demi membuat konten.
Film ini bukan perkara jelek, justru sangat bagus dan real,
karena sang pemeran utama sekaligus salah satu produser, si Tante Frances,
benar-benar total membuat Nomadland sebagai visualisasi apik dari sebuah buku
nonfiksi karya jurnalis Jessica Bruder. Buku tersebut mengupas tentu saja
tentang kehidupan nomad Amerika.
Jangan bayangkan bahwa film ini akan sama dengan seseorang
yang traveling keliling dunia, ke tempat-tempat mewah, menginap di hotel mewah,
main perempuan, nenggak miras, lalu tidak lama foto-foto pamernya muncul di
Instagram demi mengemis likes dari follower. Jangan bayangkan pula dia akan
menjadi orang yang mengharapkan belas kasihan orang sepanjang perjalanan karena
bepergian dengan uang terbatas dan merasa itu adalah perjalanan heroik dan
hanya dia yang bisa melakukannya.
Di Indonesia mungkin jarang kita lihat mobil van yang difungsikan sebagai sarana transportasi melintasi Nusantara. Kalau pun ada
orang yang bepergian dengan mobil, itu biasanya mobil bukan van.
Di Amerika, tidak sulit menemukan van yang difungsikan
sebagai rumah pertama, bukan kedua. Alias memang difungsikan sebagai tempat
tinggal permanen. Mereka adalah para nomad—tidak mau disebut tunawisma yang
menjelajah melintasi negara-negara bagian. Konon, dari beberapa informasi yang
saya dapatkan di IMDB, Tante Frances melintasi 7 negara bagian bersama mobil yang
dia namakan Vanguard. Selama syuting—masih dari info di IMDB—yang mana memakan
waktu 4 bulan, Frances McDormand tidur pun di dalam van itu. Padahal, jenis van
yang dia punya bukan yang interiornya mewah dan luas. Untuk tidur saja, dia
tidak bisa dengan badan yang lurus. Di dalam van itu juga, Fern menyimpan
barang-barangnya. Boker juga di situ.
Mengapa Fern memutuskan jadi seorang nomad? Diceritakan
bahwa setelah suaminya, Bo, meninggal, dia diliputi duka yang mendalam. Keinginan
untuk menghapus kesedihan juga dialami tokoh-tokoh pendamping yang muncul di
sepanjang film. Film ini murah salah satu sebabnya adalah karena satu-satunya
aktris yang muncul di layar adalah Tante Frances, sisanya adalah orang-orang
yang tidak punya pengalaman dalam dunia perfilman. Sebagai orang yang juga
pernah mengalami fase senang melanglang buana, saya cukup faham bagaimana
perjalanan itu adalah semacam pelarian dari sebuah atau beberapa masalah hidup.
Tidur di dalam mobil yang sumpek, bagi Fern, bukanlah
sesuatu yang perlu dikeluhkan. Itu adalah keputusannya. Untuk menghidupi dirinya,
dia juga bekerja di tempat-tempat yang disinggahinya selama beberapa waktu,
salah satunya kerja musiman di Amazon bagian pengepakkan barang. Kalau pernah
nonton TikTok, ada yang membuat video proses ketika mengepak barang ke dalam
kardus sebelum dikirim ke pembeli, nah, itulah pekerjaan Fern. Pihak Amazon
memang membuka peluang bagi para nomad untuk bekerja di perusahaannya. Tentu
saja gajinya sesuai dengan pekerjaan. Tidak besar-besar amat. Fern juga pernah
bekerja sebagai cleaning service di tempat perhentian van. Lalu ikuta panen bit
di negara bagian lainnya.
Fern punya saudara yang tidak habis pikir mengapa kakaknya
kok mau hidup seperti itu. Bukannya tinggal di rumah yang nyaman, tidur di
kasur empuk, privasi lebih terjaga, dan sebagainya.
Selama hidup nomaden, Fern bertemu dengan teman-teman baru
yang tidak sedikit seusia dengannya. Saya sulit membayangkan saja sih, mereka
kok kuat ya badannya. Belum lagi harus menyetir, meskipun jalanan yang mereka
lewati sangatlah mulus. Tidak penuh gronjalan seperti di negara ini. Dari
Linda, Fern memutuskan ke Arizona meninggalkan Oregon yang bersalju. Lagi pula
buat apa menyiksa diri kedinginan tiap malam, mendingan melihat matahari? Sepengamatan
saya, di van itu tidak ada pemanas. Fern sempat gabung dengan sebuah komunitas
yang mana Linda juga termasuk salah satu anggotanya, berkenalan dengan beberapa
orang lalu dekat dengan seorang lelaki yang dari gerak-geriknya suka dengan
Fern. Tapi, tidak usah mengharapkan ada romantis-romantisan. Yang ada, di film
ini adalah melihat Fern mengapung di sebuah telaga tanpa busana, dia mandi,
atau pipis sembarangan. Sepertinya inilah yang membuat juri Oscar tidak punya
alasan untuk tidak memenangkan film murah meriah ini.
Nomadland menang untuk tiga kategori, salah satunya adalah sutradara terbaik yang diberikan kepada Chloé Zhao, seorang sutradara muda perempuan berdarah Cina. Belum pernah dengar namanya? Sama kalau begitu. Dia sudah beberapa kali membuat film indie di Amerika. Sebelumnya berjudul The Rider, film dengan tokoh koboi gitu lah. Di film Nomadland, entah karena kurang percaya, bujet terbatas, terlalu multitalenta, atau apa, Mbak Zhao juga turun ikut dalam proses editing dan hasilnya emang gila sih. Untuk proyek film selanjutnya, Mbak Zhao baru saja menyelesaikan salah satu film Marvel yang berjudul Eternals.
Seperti yang saya bilang di awal, kalau merasa nggak relate dengan temanya, sebaiknya tidak perlu membuang waktu menonton film berdurasi 107 menit ini. Tonton saja Three Billboards Outside Ebbing, Missouri yang bikin mesem-mesem dan juga menang Oscar.