POV 2

Zaman dulu, ketika yang namanya writing school belum begitu banyak bahkan belum populer di telinga para penulis amatir, soal POV ini sama sekali tidak banyak dipersoalkan. Ya, pada dasarnya seorang penulis adalah raja untuk karyanya sendiri, tidak perlu mendapat intervensi dari pihak mana pun dengan alasan apa pun.
Beda dengan sekarang. Ketika kelas menulis online mulai marak di jejaring sosial atau kelas menulis yang bentuknya sudah menyerupai institusi resmi, para penulis seolah takut untuk menetukan nasib karyanya sendiri. Contohnya menanyakan seperti ini: Enaknya pake POV 1, 2 atau 3 ya? 
POV 1 adalah ketika si pencerita menggunakan sudut pandang orang pertama (aku, saya, gue, ekkeh, dll). POV 2 ketika si pencerita adalah orang kedua (kamu, engkau, yey, dll), Lalu POV 3 adalah dengan menggunakan sudut pandang orang ketiga (dia, desye, dll)
Pertanyaan untuk memilih POV sebenernya tidak perlu muncul. Pemilihan POV adalah berdasar rasa nyaman si penulis, bukan pengaruh dari siapa-siapa. Masing-masing POV itu punya minus plusnya. Menggunakan POV 1, si penulis bisa lebih bebas dalam eksplorasi tokoh (biasanya tokoh utama). Minusnya, pandangan dia "terhalang". Dia tidak bisa melihat sesuatu yang jauh dari jangkauan dirinya, kecuali dia si "aku serba tahu". Kalau yang ini, dia bisa mengeksplorasi tanpa batas, hampir sama kuatnya dengan POV 3.
POV 2, terhitung jarang digunakan karena memang teknik ini sangat sulit dan jarang digunakan penulis Indonesia. Menjadi perkecualian digunakan dalam novel-novel lokal jika memang si penulis punya referensi bacaan karya-karya terjemahan kelas berat. 
Dan POV 3, bisa dibilang teknik penceritaan yang sempurna karena daya jangkaunya sangat luas. Novel-novel yang menggunakan POV 3 biasanya sarat dengan detail-detail yang menjadi kekuatan sebuah novel. 
Menurut saya, ketika seseorang ingin membuat sebuah novel, tentukanlah semuanya dari diri sendiri. Jangan sampai tangan orang lain menjadi intervensi. Novel itu bukan lagi murni karya kamu, tapi jadi hasil pemikiran banyak orang.
Ini berbeda lho ya dengan proses riset di mana si penulis membutuhkan orang lain untuk menggali informasi tertentu. Ya, misalnya ingin menceritakan tentang kehidupan malam, ya jelas untuk memperkuat cerita, dibutuhkan mereka yang memang punya experience di sana. Jangan nanya sama remaja masjid yang menghabiskan malam-malamnya buat shalat Tahajjud. 
Seamatir apa pun kamu, prinsip bahwa karya kamu adalah murni kerja keras kamu sendiri, perlu ditanamkan sedalam mungkin. Jangan berpikir dengan kamu selalu memberikan ruang intervensi pada penerbit maka penerbit itu akan memperhitungkan kamu di masa depan. Tidak sama sekali. Mereka yang menjadi penulis besar adalah yang mau belajar dari pengalaman sendiri. Matang karena bisa mengambil pelajaran dari sebelum-sebelumnya.
Jangan menjadi penulis karena semata-mata berpegang pada selera pasar dan kamu kehilangan "passion". Selera pasar itu akan berganti dengan cepatnya. Kamu akan kesulitan kalau menulis karena tren. Beda halnya jika kamu penulis nonfiksi yang terkait dengan hal-hal update. Novel tidak bisa diperlakukan sama.
Pertama, proses menulis novel itu tidaklah cepat. Tidak perkara 1-2 minggu, mungkin berbulan-bulan. Lama karena memang perlu banyak riset (bukan  alasan malas nulis atau writer's block). Butuh membri nyawa  pada setiap tokoh yang ada dalam novel. Jumlah tokoh novel kan bukan 1 atau 2 aja seperti cerpen. Kamu mungkin sering menemukan tokoh dalam novel yang hidup tapi "tidak bernyawa". Kosong. Itu bisa jadi karena penulisnya tidak melakukan transfer jiwa. Agak serem ya istilahnya. Tapi itulah sebuah proses alamiah yang biasa dilakukan seorang penulis berpengalaman. Dan kalau kamu pernah mendengar ungkapan: seorang penulis novel itu punya kecenderungan sakit jiwa, ya itu wajar.  
Kedua, ketika kamu menulis novel dengan modus #ikuttrenpasar, ketika novel itu selesai, trennya bisa aja udah lewat dan novel kamu akhirnya jadi bulan-bulanan ditolak penerbit. Nah, menulis novel adalah sebuah aktivitas seni, lakukan dengan cinta lakukan dengan melibatkan emosi dalam diri. Itu yang membuat sebuah karya berarti di mata para pembacanya dan menjadi bestseller dalam arti sebenarnya.  Seorang penulis itu sepatutnya tidak beda dengan Leonardo daVinci atau Micaelangelo, yang dikenal karena karyanya, bukan karena akun twitternya ratusan ribu sampai jutaan atau karena sepak terjangnya dengan berkomen sampai ratusan. Nggak Guys, kalau kamu novelis sejati, jadilah terkenal karena novel, cukup dari situ. 

Yogyakarta, 7 Februari 2014
Previous Post Next Post

نموذج الاتصال