Lika-Liku Perfilman Indonesia: yang Krisis, yang Dilematis

Fenomena kebangkitan film di Indonesia merupakan sebuah berita baik pagi pecinta film di tanah air. Bagaimana tidak, sudah cukup lama kecintaan terhadap film-film hasil karya sineas Indonesia nyaris hilang karena kurangnya kuantitas serta kualitas film lokal yang dilempar ke pasaran. Hal ini membuat perhatian masyarakat teralih pada film produksi luar negeri yang belum tentu sesuai dengan selera pasar namun diharapkan dapat menjadi barang subsitusi yang tidak jauh dari permintaan yang ada.

Kebangkitan film Indonesia katakanlah dimulai dengan gebrakan baru yang mengincar kalangan remaja sebagai target penonton. Sebut saja film Ada Apa Dengan Cinta (AADC), garapan Riri Riza dan Mira Lesmana. Meski terhitung coba-coba, namun tidak dipungkiri film produksi tahun 2002 ini membawa angin segar bagi para sineas lain untuk kembali merebut perhatian pasar sebanyak-banyaknya, terutama remaja sebagai konsumen terbesar film.

Era Film Kaum Remaja
Kaum remaja memanglah target utama yang benar-benar dianggap sebagai penentu kesuksesan sebuah film. Nampaknya ini menjadi dasar pemikiran mengapa begitu banyak film-film bertema kehidupan remaja yang dirilis dalam beberapa tahun belakangan. Film yang ditargetkan untuk kaum remaja tidaklah harus benar-benar berkualitas baik dan memiliki pesan moral yang berguna untuk menyokong pendidikan bangsa, namun harus memiliki nilai hiburan yang pas.

Sampai saat ini, jumlah film remaja sudah begitu banyak bahkan terkadang ada juga judul-judul yang tidak pernah terdengar kiprahnya di bioskop-bioskop Indonesia, tetapi terdapat di sejumlah tempat persewaan VCD. Tentu saja film-film tipe ini merupakan produksi yang sejak awal sudah gagal bersaing dengan film-film berbasis dana besar dan dibintangi para artis papan atas.

Seputar Film-Film Remaja
Melihat minimnya mutu, rasanya bukan menjadi prioritas yang perlu dijadikan perbincangan serius sebelum proses panjang pembuatan film dilakukan. Jika tidak percaya, cobalah ajak teman-teman Anda menonton beberapa atau seluruh judul film remaja yang pernah dilempar ke pasaran, baik itu mendapat animo besar dari masyarakat atau yang sama sekali tidak populer di telinga. Lalu siapkan lembaran data yang berisi penilaian Anda dan teman-teman Anda seputar tema dan mutu dari setiap film tersebut. Setelah proses menonton selesai, coba bandingkan hasil penilaian Anda dan teman-teman Anda. Sepakatkah Anda jika ternyata film-film remaja jarang mengutamakan mutu dan tema-tema yang lebih menyentuh kenyataan sebenarnya?

Film-film remaja dibuat seringan mungkin bahkan tidak jarang hanya memilih segmentasi tertentu. Segmentasi ini lebih detailnya merunut pada status sosial kalangan remaja tingkat menengah atas yang hidup dengan uang berlebih dan fasilitas lengkap. Ini jelas dapat memicu kecemburuan sosial sehingga berakibat film-film remaja tidak diminati seluruh kalangan remaja Indonesia. Sementara film-film yang mewakili kalangan bawah jumlahnya sangat sedikit. Tapi hal ini tetap berjalan tanpa adanya kesadaran untuk lebih menyentuh semua lapisan masyarakat.

Tema-tema yang dihadirkan berkutat seputar persoalan cinta yang dibuat dalam berbagai kemasan, misalnya cinta pertama, cinta monyet, cinta sesaat, cinta ke sesama jenis, sampai cinta yang mengarah pada pergaulan bebas. Tema cinta dikatakan banyak pengamat film sebagai tema yang tidak akan membuat bosan penonton. Akan tetapi, sebenarnya tema-tema cinta yang terjadi di kalangan remaja hanya berputar di situ-situ saja. Mau dikombinasikan seperti apapun tetap saja tidak akan menjadi kejutan baru bagi penonton.

Tema cinta pertama, cinta monyet, dan cinta sesaat sepertinya memang serupa dengan apa yang dialami oleh kaum remaja saat ini. Menginjak usia tertentu, kaum remaja yang telah mengalami tanda-tanda pubertas mau tidak mau akan cenderung penasaran untuk mencicipi satu proses alamiah, yaitu jatuh cinta. Proses jatuh cinta layaknya sebuah kelaziman yang tidak bisa dijauhkan dari siklus kehidupan manusia. Proses tersebut merupakan sebuah keindahan tersendiri sehingga kaum remaja merasa hal ini sebagai sebuah momen yang begitu berarti dalam kehidupan mereka. Realita ini menjadi objek utama pengamatan para pembuat film untuk mempersiapkan materi yang telah ada untuk dikemas dan diperuntukkan bagi kaum remaja.

Memang, tidak semua film-film remaja dibuat secara sembarangan tanpa adanya observasi lapangan. Untuk lebih menyentuh lapisan yang sulit terjangkau pun, para sineas rela meluangkan waktu cukup lama untuk mengamati kelompok remaja di sebuah tempat, mempelajari kebiasaan-kebiasaan mereka, dan menghubungkannya dengan ilmu psikologi remaja. Begitu dianggap cukup barulah sebuah naskah film mulai digarap secara serius. Para sineas film memang orang-orang terpilih dan memiliki pola pikir yang baik. Semua hal dipertimbangkan dari segi estetika sampai daya konsumsi penonton. Waktu rilisnya pun diatur secermat mungkin agar tidak mengurangi keuntungan yang bisa diraup selama beberapa minggu pemutaran. Terbukti memang kecerdasan tersebut menjadi keuntungan yang nilainya bisa berlipat ganda.

Perhatian Terhadap Kaum Minoritas
Selain tema ringan seperti cinta monyet, rupanya sorotan para sineas pun mulai mengarah pada gaya hidup urban yang diadaptasi dari budaya modern. Ini diperlihatkan dengan keberanian mengambil sorotan terhadap kehidupan kaum homoseksual. Sebelum membahas lebih jauh, perlu ditekankan bahwa adanya sisipan tema homoseksual atau queer tidak semata-mata memperlihatkan realitas yang ada di masyarakat namun bisa ditujukan sebagai pembelaan atas hak-hak minoritas.

Tema queer memang bukanlah pilihan yang cukup diminati pecinta film di Indonesia, termasuk kaum remaja masa kini. Tema tersebut belum menjadi sebuah hal yang dapat menggeser tema-tema cerita pada umumnya dengan beralasan bahwa kehidupan queer bukanlah bagian gaya pergaulan lazim di tanah air ini. Komunitas tersebut dicap hanya mengikuti tren budaya asing yang juga entah harus merujuk pada budaya bangsa tidak begitu detail disebutkan.

Walaupun tema-tema queer kerap dimunculkan dalam sebuah cerita, namun jarang dijadikan sebagai fokus utama yang sanggup menjanjikan respon positif para pecinta film. Sebut saja film Detik Terakhir, Arisan!, dan Coklat Stroberi. Di samping stigma yang telah melekat dengan kaum homoseksual, pertentangan dengan doktrin agama termasuk menjadi faktor kurang diminatinya tema tersebut.

Ulasan Film-Film Queer
Film Detik Terakhir (DT) bercerita tentang kilas-balik kehidupan seorang mantan pengguna narkoba yang berada di sebuah pusat rehabilitasi. Tokoh utama dikisahkan seorang perempuan tomboy yang berasal dari sebuah keluarga broken home. Dia terlibat pergaulan yang membuatnya terjerumus dengan keterlibatan obat-obatan terlarang. Di samping itu, dia pun diceritakan memiliki kekasih sesama jenis yang juga akrab bergaul dengan dunia obat-obatan.

DT dapat dikatakan sebuah film yang lebih cenderung menekankan pada keterlibatan seseorang pada dunia obat-obatan terlarang ketimbang menyorot hubungan sejenis yang pernah dialami sang tokoh. Akan tetapi, film ini dianggap semakin membuat posisi kaum homoseksual tersudutkan. Disengaja atau tidak, film yang akhirnya dicekal oleh pemerintah ini turut menguatkan kesan bahwa kaum homoseksual hanya bergelut dengan dua hal, yaitu obat-obatan terlarang dan pergaulan bebas yang beresiko tinggi.

Arisan! yang digarap secara apik oleh sutradara berbakat Nia Dinata melibatkan kehidupan sepasang gay dari kalangan atas. Permasalahan yang dihadapi berkisar tentang coming out atau berani terbuka seputar preferensi seksual kepada orang terdekat maupun masyarakat luas. Nasib sepasang kekasih ini diceritakan lebih mujur ketimbang pasangan lesbian di film DT. Keduanya merupakan pengusaha muda dan sukses bahkan sama sekali tidak menyentuh obat-obatan terlarang. Mereka jauh dari stigma masyarakat yang tercipta selama ini.

Dalam Film Arisan! juga tidak melibatkan opini tokoh agama yang berseberangan jalan dengan kehidupan kedua pasangan tersebut. Entah apa alasannya, tetapi ini sepertinya sebuah trik mencegah munculnya polemik. Apa yang diperlihatkan hanyalah perdebatan batin yang akhirnya terselesaikan. Buah dari kerja keras Nia Dinata ini mendulang sukses di ajang festival film tanah air.

Coklat Stroberi dihadirkan dengan nuansa komedi serta mendapat sambutan penonton cukup baik. Dalam film ini dikisahkan sepasang gay ingin mengontrak di sebuah rumah yang sebelumnya hanya dihuni oleh dua perempuan yang bersahabat. Penghuni lama sama sekali tidak menyadari bahwa kedua pria tersebut memiliki hubungan cinta. Konflik mulai tumbuh ketika salah satu penghuni lama jatuh cinta dengan salah satu pria tersebut. Kecemburuan pun mulai mengacaukan sandiwara pasangan tersebut. Alur cerita mulai menyimpang dan seolah dipaksakan agar menjadi sebuah happy ending. Salah satu dari pria itu akhirnya diceritakan berubah menjadi seorang heteroseks dan berpacaran dengan perempuan. Sementara pria gay yang satu mendapatkan pacar baru yang sejak awal tidak pernah disorot latar belakang dan preferensi seksualnya. Meski berakhir bahagia, namun film ini sulit menyaingi kesuksesan film Arisan! yang rilis beberapa tahun sebelumnya.

Rasanya perlu untuk mempelajari faktor-faktor sukses atau tidaknya film-film yang berani mengetengahkan tema seputar kehidupan kehidupan queer. Kita tidak bisa begitu saja membandingkannya dengan kesuksesan film-film bertema sama di negara lain, sebab tentu saja di luar negeri film-film queer sudah memiliki pasar yang sangat besar. Ini dibuktikan dengan banyaknya festival film yang mengkhususkan untuk penjurian film-film bertema queer.

Film-film queer hasil garapan sineas Indonesia terhitung sedikit. Di samping minat dari para penonton yang kurang begitu besar, sulitnya mendapatkan sponsor sepertinya menjadi penghalang yang signifikan. Belum lagi kekhawatiran akan tercekal oleh lembaga sensor film dan pertentangan dari ormas-ormas yang mengatasnamakan agama. Hal ini menyebabkan film-film queer masih berada di urutan kesekian, dan film-film bergenre horor erotis justru semakin berjaya di peringkat atas. Entah apakah tepat dikatakan bahwa film-film horor berhasil menguasai pasar film Indonesia. Akan tetapi, produksi film-film tersebut memang semakin membanjiri bioskop-bioskop di tanah air. Setiap bulan dapat dipastikan beberapa judul diluncurkan dan dipromosikan secara besar-besaran.

Fenomena Film Horor
Hadirnya film-film horor seakan menjawab rasa penasaran penonton yang haus cerita-cerita dari dunia mistik. Sejumlah nama makhluk halus yang dipercaya ada di dunia manusia dijadikan tema film sampai dibuat sekuel bahkan menjadi trilogi. Atau ada pula yang mencoba mengadaptasi cerita horor dari luar negeri namun kurang mendapat respon positif karena keterbatasan teknologi.

Jika kita melihat fenomena film horor Indonesia sulit rasanya menilai mana film yang benar-benar menarik dan mana yang hanya mengandalkan efek-efek kejutan. Film horor produksi Indonesia memang boleh menang dalam teknik make-up yang sanggup membuat bulu kuduk merinding, tetapi lupa untuk mempersiapkan alur cerita yang baik dan masuk akal. Padahal ini sepatutnya tidak dikesampingkan begitu saja. Lama-kelamaan penonton akan bosan dan menjauhi film horor hingga menjadi bumerang bagi para produsen film yang bersangkutan.

Akhir-akhir ini film horor dicoba untuk dihadirkan dengan nuansa baru, selain menyeramkan juga bernuansa erotis. Persis seperti film-film horor di masa lalu. Kemurnian horor mulai berbaur dengan adegan-adegan sensual dari tokoh-tokohnya dan dijadikan sebagai sebuah nilai tambah tersendiri. Mungkinkah ini taktik untuk bersaing agar mendapatkan perhatian publik atau memang ini merupakan hasil studi para sineas terhadap kesuksesan film-film horor masa lalu?

Seperti apapun strategi yang dimiliki masing-masing produsen film sepatutnya merupakan cara untuk mempertahankan keberadaan film-film Indonesia agar tidak tergeser atau lagi-lagi mati suri selama beberapa dekade. Untuk merebut perhatian publik dan kembali mencintai film-film produksi tanah air sama sekali tidak mudah. Bendera Hollywood memang tepat dikatakan telah berkibar gagah hampir di seluruh penjuru dunia. Pesonanya dapat membunuh pesona film-film lokal yang memiliki banyak keterbatasan, terutama dana dan teknologi. Akan tetapi, untungnya negara ini masih memiliki banyak sutradara dan pekerja film yang masih setia mengabdi pada industri film.

Puncak Penghargaan Film
Setiap tahun Festival Film Indonesia dan Indonesian Movie Award digelar sebagai puncak perayaan kejayaan film-film Indonesia. Tidak perlu sekarang kita membicarakan perselisihan yang terjadi di antara pekerja film dalam ajang FFI, tetapi sebaiknya kita melihat bahwa dengan adanya kedua ajang penghargaan film bertaraf nasional, para sineas semakin bersemangat untuk bersaing secara sehat.

FFI di masa lalu telah menobatkan sejumlah aktor maupun aktris sebagai pelakon terbaik di tiap tahunnya. Ini menjadi ukuran seberapa hebatnya mereka menjalani peran mereka hingga sanggup mencuri hati para penonton. Siapa yang meragukan kejeniusan Christine Hakim dan Rano Karno di masanya? Mereka benar-benar bersinar di antara para pelakon lain. Sampai sekarang masyarakat pecinta film tentu ingat betul dengan film Tjut Nyak Dien dan Taksi yang dibintangi keduanya. Mereka telah menggoreskan sejarah luar biasa dan membanggakan bangsa.

Sejarah memang akan berulang. Saat ini para pelakon muda pun mencoba untuk memperebutkan tempat di hati penonton dengan keikutsertaan mereka di berbagai proyek film, meskipun persaingan kini semakin keras dengan hadirnya bintang-bintang baru yang beberapa di antaranya memiliki bakat istimewa dalam berlakon dan berpotensi mengalahkan seniornya. Tapi inilah kompetisi. Siapa pun berhak ikut dan siap-siap menjadi pemenang atau hanya sebatas menjadi nominator saja.

Esensi dari persaingan di dunia film memang salah satunya mendapatkan prestasi untuk diri sendiri, sekaligus mendongkrak kepopuleran film yang dilakoninya. Bisa saja sebuah film yang tadinya kurang dikenal masyarakat, tiba-tiba jadi laku keras karena menyabet penghargaan Film Terbaik. Memang, penilaian juri tentulah berbeda dengan selera pasar sehingga banyak pihak yang merasa ada kecurangan yang terjadi. Ini dapat dijadikan pembelajaran bahwa sesekali idealisme sanggup mengalahkan pasar.

Film Ekskul akhirnya menjadi Film Terbaik di ajang FFI, tetapi belakangan banyak pihak yang merasa adanya ketidakadilan, terutama berhubungan dengan keaslian unsur-unsur dalam film tersebut. Apakah benar ide film tersebut hanya sebatas mengadaptasi film dari negeri Korea? Benarkah soundtrack film tersebut hanya jiplakan? Siapa yang bisa memastikan semua itu? Sang produser bersikeras bahwa film tersebut merupakan ide yang kebetulan mirip dengan film yang dirujuk oleh pihak yang memprotes hasil keputusan dewan juri. Tapi itu sama sekali tidak cukup. Hilang sudah kepercayaan para sineas terhadap dewan juri yang beranggotakan para pekerja film senior. Alangkah sangat disayangkan.

FFI semestinya merupakan ajang untuk menggelar sebuah persaingan dalam dunia film secara jujur. Jangan sampai ada pihak yang sepakat terjadi sebuah politik tidak bertanggungjawab dan menodai kemurnian ajang tersebut. Meski sejumlah piala telah dikembalikan kepada panitia, toh keputusan dewan juri tidak dapat diubah dan tidak ada tanda-tanda akan diadakan penjurian ulang.

Masih dapatkah ajang FFI ini dijadikan tolok ukur penjurian film-film Indonesia? Sampai berapa lama hal ini akan berlangsung? Lalu bagaimana sebuah film dinilai baik oleh para pakar jika para pesertanya enggan melibatkan diri?

Satu hal yang patut disyukuri, perdebatan-perdebatan itu tidak mempengaruhi kinerja para sineas untuk tetap membuat film-film baru. Mereka justru terpacu membawa hasil garapan mereka ke ajang festival film internasional. Dengan persaingan lebih ketat, memang kemenangan yang diraih terasa lebih membanggakan ketimbang hanya menjadi juara di kandang sendiri.

Film Unggulan
Film 3 Hari Untuk Selamanya merupakan salah satu film yang langsung diikutkan festival film internasional dan mendapat respon baik penonton. Kabar gembira ini akhirnya sampai ke tanah air dan melahirkan sejumlah pertanyaan dalam benak khalayak. Mengapa film ini begitu istimewa? Dari sejumlah artikel di media cetak yang membahas 3 Hari Untuk Selamanya, alur cerita yang ditawarkan memang sederhana tetapi penuh dengan makna. Banyak pesan-pesan moral yang ditampilkan secara blak-blakan.

Kiprah film 3 Hari Untuk Selamanya boleh saja berjaya di luar negeri, tapi apakah juga meraup kesuksesan yang sama di tanah air? Kabarnya film ini sempat tersandung dengan lembaga sensor film karena adanya beberapa adegan seputar pemakaian obat-obatan terlarang dan perilaku seks bebas. Di luar reaksi lembaga sensor, peminat film tanah air juga rupanya kurang tertarik untuk menontonnya. Padahal dua bintang muda papan atas disandingkan untuk melakoni film garapan Riri Riza tersebut.

Nasib film Opera Jawa lebih baik. Film yang dibintangi Artika Sari Devi ini mendapat tanggapan cukup baik oleh para penikmat film tanah air kemudian diikutkan di ajang festival film internasional yang ternyata juga mendapatkan penghargaan yang bergengsi. Film yang mengusung budaya masyarakat Jawa ini memang memiliki kelebihan dalam unsur sinematografi sampai alur yang mudah dipahami.

Ekpansi Film
Mengikuti perkembangan film memang memiliki sensasi tersendiri. Tidak hanya menikmati tayangan lewat layar bioskop, namun menambah ilmu baru jika berminat untuk menekuni dunia tulis yang berhubungan dengan film. Untuk mengakomodasi rasa penasaran terhadap teknik penulisan film, sejak diluncurkannya film AADC, naskah skenario film tersebut pun dipublikasikan. Tujuannya selain menjadi kenang-kenangan dari film tersebut, juga mengajak para penulis yang selama ini bergelut dalam penulisan fiksi untuk tahu dan mempelajari bagaimana bentuk sebuah naskah yang kemudian diangkat menjadi sebuah film yang bagus.

Sejumlah naskah asli film yang dipublikasikan menyusul kesuksesan sebuah film antara lain; AADC (Metafor Publishing, 2002), Berbagi Suami (Gramedia, 2006), Arisan! (Gramedia, 2004), Janji Joni (Metafor Publishing, 2005), Gie (Penerbit Nalar, 2005), Rumah Ketujuh (Metafor Publishing, 2003), dan Eliana, Eliana (Metafor Publishing, 2002). Dari buku-buku tersebut teknik-teknik penulisan skenario dapat dipelajari sedikit demi sedikit sehingga tidak menutup kemungkinan banyak calon penulis skenario yang berpotensi menghasilkan karya-karya untuk dapat diangkat ke layar lebar dan memungkinkan semakin beragamnya film-film yang beredar di masyarakat.

Keakraban masyarakat Indonesia terhadap film yang dimulai dengan proses penulisan skenario dengan bekal otodidak, kemudian mencoba membuat film-film pendek dengan peralatan sederhana merupakan sinyal-sinyal positif dan perlu ditumbuhkembangkan sampai menjadi kebutuhan tersendiri. Ini dapat dijadikan ukuran bahwa masyarakat kita memiliki minat yang besar untuk mempertahankan budaya perfilman secara turun-temurun dan tidak merasa rendah diri dengan kehebatan dunia perfilman bangsa-bangsa lain.

Kita tentu butuh waktu cukup lama untuk dapat menyamai kepiawaian bangsa Prancis yang sejak ratusan tahun lalu mengenal film dan telah memproduksi film-film sendiri sehingga tidak diragukan lagi kualitasnya. Atau mencoba mensejajarkan diri dengan bangsa India yang masih memecahkan rekor sebagai negara yang memproduksi film terbanyak setiap tahunnya. Apalagi mencoba menyaingi silaunya kesuksesan Hollywood yang tidak pernah lesu memproduksi film-film berkualitas tinggi dan berdana besar.

Persaingan dan Sistem Survival
Kita perlu lebih dulu memperbaiki sistem yang berlaku di negara ini. Perlu menganalisis kembali pada bagian manakah yang membuat film-film produksi Indonesia bergerak lambat menuju tingkat kemapanan tertentu. Masih perlukah film-film yang diluncurkan semata-mata memenuhi selera pasar tetapi tidak menjawab tantangan persaingan mutu yang sebenarnya? Jika memang begitu rasanya bangsa ini hanya akan bergerak di tempat. Film-film yang akan selalu menarik perhatian penonton hingga memadati gedung-gedung bioskop selama berminggu-minggu akan terbatas pada film-film garapan sutradara tertentu saja. Sangat disayangkan mengingat biaya produksi sebuah film bisa mencapai ratusan juta.

Di samping itu, penghargaan terhadap film-film bermutu dari pemerintah merupakan sebuah cambuk bagi para sineas untuk berlomba-lomba menghadirkan film-film yang semakin hari semakin baik. Perhatian pemerintah masih terlalu minim. Kalau pun ada, itu berasal dari intervensi lembaga sensor yang justru sering menimbulkan kontra. Lembaga ini seolah-olah bekerja timpang. Tidak mengadili semua film yang mengandung unsur tidak senonoh, melainkan hanya beberapa film tertentu. Wajar saja jika Dian Sastro menyatakan di media bahwa lembaga sensor justru membuat pembodohan bagi bangsa.

Jika membandingkan dengan Amerika Serikat, lembaga sensor film di Indonesia semestinya bekerja lebih ketat dibandingkan dengan lembaga sensor film di negara adikuasa tersebut. Akan tetapi, dalam kenyataannya justru film-film kita justru banyak yang sepertinya lupa untuk disensor sehingga memancing pertanyaan banyak pihak.

Sesekali adegan-adegan tersebut memang merupakan bagian dari film, akan tetapi lebih banyak adegan-adegan tidak senonoh tersebut hanya dipergunakan sebagai modal agar sebuah film laris di pasaran. Yang seperti inilah perlu direduksi secara perlahan-lahan. Peran lembaga sensor tidak sekedar memotong adegan-adegan bernuansa seksualitas, tetapi perlu melihat secara jeli fungsi adegan tersebut. Akankah mengurangi jalan cerita atau tidak jika dihilangkan. Toh masyarakat penonton film pun bukan orang-orang yang tidak bisa menyaring setiap hal yang ditayangkan untuk langsung diserap secara utuh.

Jika dari pemerintah dan para sineas film telah terjalin hubungan yang harmonis, tidak sulit tentunya memulai membudayakan film kepada masyarakat luas. Masing-masing pihak memiliki sikap ketergantungan satu sama lain. Tidak dapat berdiri dan berjalan sendiri-sendiri. Keharmonisan tersebut diharapkan akan terus terjalin dan menjadi sebuah rasa nyaman bagi para sineas untuk berkarya dengan sebaik mungkin.

Kunci dari pelestarian film Indonesia terletak di tangan setiap orang yang terlibat. Pemerintah, pekerja film, sampai masyarakat. Semua aspek memegang peran masing-masing baik disadari ataupun tidak. Hal terpenting, film bukan merupakan hasil sulapan seseorang tanpa sebuah proses panjang. Film merupakan hasil koordinasi yang rumit namun dapat dipahami jika masing-masing pihak memiliki kesadaran bekerjasama dan saling mendukung. Ini juga sangat dibutuhkan saat menghadapi serangan para kompetitor yang berasal dari negara-negara lain. Semoga saja tidak perlu lagi kita dengar perseteruan yang berlarut-larut tanpa adanya penyelesaian yang tuntas. Berjayalah film Indonesia!


Jogja, 25 Juni 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post