Sihir Pambayun (DIVA, 2014)


Membaca judul buku ini, Sihir Pambayun, saya mengira sosok Pambayun seorang penyihir yang punya mantra-mantra keren dan mungkin sapu terbang.

Tapi, ah, bukan sihir itu maksudnya, Bro! Bicara soal sihir, bukan hanya penyihir yang bisa melakukannya, tapi seorang putri Panembahan Senapati yang juga anak tiri dari Kanjeng Ratu Kidul bisa memancarkannya dalam bentuk aura.

Comedy of JunoSelama membaca novel setebal 276 halaman ini, sosok Pambayun tampil sebagai sosok perempuan yang memiliki karakter maskulin dengan ilmu silat yang dikuasainya dan feminin karena kepandaiannya merawat diri, melayani pasangan saat bercinta, dan emosi yang meledak-ledak. Masing-masing karakter itu muncul sebagai reaksi kondisi yang dihadapi si Pambayun.

Sebelum menceritakan inti cerita dari Sihir Pambayun, novel ini dibuka dengan prolog antara Joko Santosa (penulis) dengan Kanjeng Ratu Kidul. (hlm. 15-16). Bahwasanya, buku ini ditulis karena ada komplain dari Kanjeng Ratu Kidul atas sebuah “alur sejarah” yang tepat. Maka dari itu, Kanjeng Ratu Kidul menelepon penulis dan mengatakan pada penulis, “Kamu membalikkan sejarah, Ngger.”

Teguran yang diberikan dengan penuh kelembutan layaknya seorang ibu kepada anaknya. Tanpa ada efek petir dan efek-efek suara, kamera zoom in-zoom out. Maaf, lagi-lagi ini bukan sinetron picisan yang dibintangi Ariel Tatum.

Ada sebuah hal yang menurut Kanjeng Ratu Kidul perlu dibenarkan dari sejarah. Soal siapa sebenarnya yang membunuh Mangir Wanabaya, suami Pambayun, menantu sang penguasa Mataram. Bukan orang nomor 1 di Mataram tersebut pelakunya, meski ia tidak menyukai menantunya, karena suatu sebab yang jawabannya ada di buku ini.

Telepon dari Kanjeng Ratu Kidul di malam hari kemudian menggerakkan penulis untuk napak tilas ke abad ke-15. Sekaligus memperlihatkan sosok Pambayun yang gagah perkasa (apa ya sebutan yang setara untuk pendekar perempuan?)

Di abad ke-15, Dusun Mangir merupakan tempat yang jauh dari aroma keserakahan penduduknya. Sang Pemimpin Mangir tidak lain Putra dari Brawijaya V. Area ini tidak disebut-sebut dalam Babad Tanah Jawai, namun populer di cerita tutur dan pentas ketorak. (hlm. 17).

Kedamaian dan segala kejayaan Mangir, membuat gerah Panembahan Senapati yang haus dengan perluasan daerah. Tapi tidak bisa sembarangan mengibarkan bendera perang atas wilayah tersebut. Harus ada strategi yang matang dan “tersirat”. Bukankah perang tak harus melulu seputar angkat senjata, tarung antarprajurit, darah yang muncrat, dan sebagainya? Ki Juru Martani, selaku penasihat Panembahan Senapati mengusulkan untuk mengirimkan putri cantiknya, Pambayun untuk melumpuhkan Mangir Wanabaya, yang memang sudah bermain perempuan itu. (hlm. 22).

Meski berat melepaskan putrinya, toh strategi itu pun digarap secara matang, termasuk melatih Pambayun seputar tarian ledek. Pergilah rombongan penari abal-abal itu menuju Mangir di bawah pimpinan Adipati Martalaya.

Intermezzo, jangan mengira ini buku yang melulu dipenuhi hal-hal serius. Percayalah, banyak humor-humor natural yang tiba-tiba terselip dalam cerita. Mengundang pembaca setidaknya tersenyum dan sesaat terpecah fokusnya saat membaca. Salah satunya di hlm. 23, ditulis dalam sebuah paragraf:

“Dalam hukum positif, seorang pencuri dikenakan pasar 363 KUHP. Tapi, nun lebih dari 500 tahun silam, Sekar Pambayun, meski terbukti mencuri, tidak dikenakan hukuman badan, justru dipersunting jawara tanggon Ki Wanabaya. Pasalnya yang ia curi adalah sesuatu yang tidak bisa diukur dengan apa pun, tidak bisa dinilai dengan uang ataupun perhiasan, dan itu adalah hati sang Adipati Mangir sendiri.”

Hal-hal serupa juga tersebar di halaman-halaman selanjutnya, bahkan ketika adegan pertarungan hidup mati.

Berlanjut ke plot utama cerita, maka bertemulah, sesuai rencana, Sekar Pambayun dengan Wanabaya. Sekar yang begitu muda, seksi, menggoda, tidak butuh waktu lama untuk membuat Wanabaya jatuh cinta. Mereka pun dilanda asmara, menikah, dan hamil. Tapi, cinta mereka tidak berjalan mulus.

Sekar adalah perempuan yang menyukai keindahan sastrawi. Maka, ketika ia menemukan sebuah sebait puisi di kelopak sekuntum bunga cempakamulya, dibacanyalah diam-diam di kamar. Perempuan yang tengah hamil tujuh bulan itu, tidak berpikir terlalu jauh jika suaranya yang sama-sama membaca bait puisi, diartikan oleh sang suami sebagai ucapan cinta untuk pria lain (hlm. 28). Wanabaya cemburu berat dan menduga sang istri berselingkuh. Mulailah ia meragukan Sekar. Dan sialnya, Sekar tidak bisa membuktikan kata-katanya karena bait puisi itu sudah lenyap dari kelopak cempakamulya (hlm. 33). Sampai akhir cerita, misteri ini tidak terjawab. Siapa sebenarnya yang menulis di cempakamulya dan apa tujuannya.

Kemurkaan Wanabaya tidak terkendali. Diusirnya sang istri tanpa mau berkompromi. Dengan sedih hati, Pambayun pun berniat kembali ke tanah Mataram, ke istana Panembahan Senapati. (hlm. 35). Ia sudah tidak peduli dengan suaminya. Lelaki itu sudah tidak patut lagi mendapat predikat lelanangin jagad, karna ia sudah melukai hati perempuan yang mencintai dan dicintainya. (hlm. 38).

Perjalanan pulang Pambayun mengharuskannya memasuki hutan-hutan yang asing. Bukan masalah baginya, karena Sekar ini menguasai banyak jurus silat yang diturunkan dari sang ayah maupun dipelajarinya secara otodidak. (hlm. 42). Tidak hanya itu, ketika mengetahui seseorang yang ditemuinya memiliki jurus hebat, ia tidak segan-segan menimba ilmu.

Terlunta-lunta seorang diri sudah diramalkan lima tahun silam oleh para penujum di hadapan Panembahan Senapati. “Kelak, putri Paduka akan hidup dalam gelap, mungkin karena getir.” (hlm 51). Tapi obsesi Panembahan Senapati untuk menaklukkan Mangir sudah telanjur kuat. Wanabaya adalah musuh yang kelak akan sangat berbahaya bagi Mataram.

Sepulangnya ke Mataram, Sekar Pambayun dinikahkan dengan Sancaka, yang dari segi tampang dan daya tarik seksnya jauh dari Wanabaya. Sancaka pun dikenal sebagai sosok yang gemar mabuk dan berjudi. Sama sekali tidak ada bagusnya.

Setelah melahirkan putra, ia pun meninggalkan Mataram. Mengabaikan tugas mulianya sebagai seorang ibu. (hlm. 57). Kelak, di akhir novel ini, putra dari Sekar pun turut memegang paranan.

Sekar kembali masuk ke hutan dan bertemu dengan kawanan perampok. (hlm. 61). Kepercayaan diri membuatnya tidak ciut menghadapi lelaki-lelaki kasar dan semena-mena terhadap perempuan, apalagi yang cantik dan sendirian seperti dirinya. Tapi kesendirian Sekar tidak berlangsung lama. Ia bertemu dengan seorang pendekar, berstatus duti (duda ditinggal mati), beranak satu bernama Kilana.

Sekar dan Wirayuda semakin dekat, terlebih Sekar berani maju sendirian menyelamatkan Kilana yang diculik kawanan penjahat yang dendam pada Wirayuda yang dianggap suka sok campur urusan orang. Sekar mempertaruhkan nyawanya (hlm. 120) hingga terkena senjata beracun. Sekar dengan bantuan Wirayuda mengibati luka itu. Dari sanalah rasa suka kedua anak manusia itu semakin kuatnya. Mereka pun larut dalam samudra asmara yang romantis dan mendayu-dayu.

Hingga, Wirayuda pun akhirnya tahu bahwa Sekar masih berstatus istri orang. Ia yang awalnya mencintai Sekar dengan jiwa raga, berbalik membenci sosok perempuan yang dianggapnya kotor dan nista. (hlm. 128).

Perempuan mana yang sudi dituding tidak jauh beda dengan perempuan penjaja cinta? Sekar pun naik darah (semoga dia tidak mengidap penyakit darah tinggi hingga menyebabkan komplikasi penyakit yang serius), dan terjadilah pertarungan antarkekasih yang semalam masih dimabuk cinta hingga ungkapan cinta itu buta, dan cemburu lebih parah dari membabi buta dan si buta dari gua hantu, terbukti. Sekar yang berhasil menguasai jurus meringankan tubuh alias bayu bajra langsung dari Wirayuda, dengan muda membunuh sosok lelaki itu. (hlm. 137). Tidak sampai di situ, sepuluh orang pengawal pun menjadi korban berikutnya. Sedemikian muntapnya Sekar dengan mereka semua.

Kemudian Sekar yang terluka hatinya, memasuki hutan dan bertemu seorang kakek bernama Nagapasa. (hlm. 147). Dia bukan biasa. Ilmunya jauh di atas Sekar. Seorang vegetarian (pantang memakan bangkai, meski tidak sebegitu dijelaskan sebabnya). Kakek ini begitu melindungi hewan dan melindunginya dengan ilmu kanuragan. Kesal dengan sang kakek yang dianggapnya gila, ia pun mengajaknya bertarung. Sudah dapat ditebak, Sekar kalah. Ia pun memohon menjadi murid. Sekar pun membuka identitasnya.

Permohonan itu dikabulkan dengan beberapa pantangan dan semadi. Cukup menggelitik karena selama melakukan semadi, Sekar harus menanggalkan pakaiannya. Alias telanjang. Tantangan pertama yang harus dilewatinya adalah bersemadi di sungai selama dua hari dua malam. Melawan berbagai pikiran buruk yang sebenarnya berasal dari pikirannya sendiri. Sebulan lebih ia menimba ilmu hingga masa menimba ilmu berakhir. Barulah Ki Nagapasa membuka identitasnya, yang tidak lain adalah cucu dari Syekh Maulana Malik Ibrahin alias Sunan Gresik.

Cerita kemudian dilihkan ke sosok Rangga (yang tidak mengeja-ngejar Cinta). Raden Rangga merupakan keturunan dari Kanjeng Ratu Kidul dan Panembahan Senapati, saudara tiri Sekar Pambayun. (hlm. 197). Diambilnya sosok penceritaan Raden Rangga ada maksud dan tujuannya. Bukan semata-mata penulis kehabisan bahan soal kehidupan Sekar selanjutnya. Karena pembaca harus tahu betapa bengalnya Rangga. Betapa ia semena-mena karena punya latar belakang orang tua yang “berkuasa” Ia pun punya ilmu tenaga dalam yang setara dengan Sekar.

Diceritakan bahwa Rangga ini sosok pria playboy, secara ia tajir dan ganteng. Ia senang bercinta dengan para penari tayub yang dengan rela pasrah menjadi teman one night stand putra pesohor mataram itu. Suatu kali, ia bersama Kalingga ke hutan untuk memburu harimau yang mengganggu kenyamanan penduduk. Berhari-hari mereka berkelana. Bukannya bertemu harimau yang dicari, tapi malah segerombolan perampok yang menjarah sebuah kereta dan menculik seorang perempuan muda. Kalingga diperintahkan Rangga mengurus para perampok, sementara ia sendiri mengejar si kepala perampok yang membawa lari perempuan itu. (hlm. 201).

Dengan sikap kesatria, Rangga kemudian menyelamatkan Widarti dan jatuh cinta. Sayangnya, perempuan ini sudah rencana dijodohkan dengan seorang bangsawan. Hal ini membuat Rangga langsung patah hati. Dan ia makin tak berdaya ketika mendengar kabar sang pujaan hati memilih mengakhiri hidup. (hlm. 233).

Banyak cerita menarik seputar sosok ugal-ugalan ini. Salah satunya ketika ia bertemu dengan Sunan Kalijaga. Ia pernah menantang sosok itu tapi gagal memenangkan pertarungan. Di atas langit memang ada langit. (hlm. 231).

Rangga yang memiliki komplikasi sakit hati, ketika bertemu dengan Wanabaya pun mudah dikuasai setan. Terjawab sudah siapa yang mengakhiri nyawa suami Pambayun. Benar dengan membenturkan batu ke kepala Wanabaya. Ini sekaligus membersihkan nama Panembahan Senapati (hlm. 236).

Sekar tidak terima dengan perbuatan Rangga. Ia marah dan mengajak bertarung saudara tirinya itu. Ia tahu, Rangga punya ilmu setara dengannya. Banyak kemungkinan yang akan terjadi. Pambayun menang, Rangga menang, atau keduanya mati sia-sia. (hlm. 237). Lalu sebelum kedua keturunan Panembahan Senapati meregang nyawa, Kanjeng Ratu Kidul pun muncul dan mengubah sejarah.

Kisah masih berlanjut. Masih ingat tentunya dengan sosok bayi yang ditinggalkan Pambayun. Hasil pernikahannya dengan Wanabaya. Dialah Joko Satru, seorang perawat kuda, menjadi perawat tanaman, lalu juru masak kerajaan. Joko Satru ini adalah tokoh yang muncul di akhir novel dan mengejutkan dengan keberaniannya meracuni sang kakek lewat makanannya. Cara ini mengingatkan saya akan terbunuhnya Munir yang diduga menggunakan arsenik. Setidaknya, Panembahan Senapati tewas setelah namanya dibersihkan. Itulah inti cerita dari Sihir Pambayun.

Novel ini ditulis berdasarkan pengalaman spiritual penulis yang menurut saya sulit untuk dijadikan dasar kuat untuk menjadi sebuah sejarah. Bukan hanya saya, barangkali pembaca lain juga banyak yang meragukan kebenaran apakah memang Wanabaya dihabisi oleh saudara Pambayun sendiri tanpa ada suruhan dari Panembahan Senapati. Perdebatan panjang kemungkinan akan muncul sebagai reaksi apa yang tertulis di sepanjang buku ini.

Bagi saya sebagai pembaca yang tidak mengetahui sejarah raja-raja Jawa terlebih sosok Kanjeng Ratu Kidul, Sihir Pambayun ini sudah terhitung cukup sebatas bacaan ringan di akhir pekan.

Oh ya satu lagi, buat yang sedang membuat skripsi, novel ini sangat bisa dijadikan bahan bagi yang mengambil kajian kritik sastra feminis.

Yogyakarta, 28 Juni 2014













1 Comments

  1. novel picisan.... mengubah sejarah dgn vulgar apalagi membawa nama2 tokoh sejarah... sangat disayangkan..

    ReplyDelete
Previous Post Next Post