Seharusnya Aku Memang Tak Usah Pernah Pulang

"Bang Emiiil! Buruan! Nanti Kak Sita kelamaan nunggunya!"

Tin! Tiiiin!!!

Emil menyudahi sarapannya dengan paksa, nasi goreng bakso dengan taburan abon sapi plus teri medan direlakannya tersisa setengah. Dilanjutkan nanti, sepulang menjemput kakaknya di Kualanamu.

Disambarnya Aqua gelas dari atas meja lalu setengah berlari menyusul Anissa yang duduk di samping jok kemudi Kia Rio putih milik Emil.

"Mana ada ceritanya Kak Sita marah sama kita? Tenang ajalah."

Emil menyalakan mesin, memanaskannya sebentar, lalu meluncur perlahan meninggalkan rumah mereka di daerah Batangkuis, tidak begitu jauh jaraknya dari bandara yang dibangun bertahap selama 21 tahun dan menjadi kebanggan orang Medan itu. Hanya saja kemacetan di siang hari membuat jarak tempuh yang hanya dua puluh menit bisa sampai sejam.

"Kita belum beli bolu meranti juga, Bang. Nanti kita mampir dulu di toko langganan dekat bandara ya. Di rumah kan tak ada makanan. Tak sabar pun aku ketemu Kak Sita, Bang. Sering kali kan Bang Emil nyebut-nyebut dia. Sepuluh tahun ya Bang dia di Amerika, akhirnya pulang juganya dia. Tahan ya dia, Bang, di sana."

Emil mengangguk singkat dengan celotehan sang istri. Emil tidak menolehkan kepala, otaknya menyimpan suatu misteri. Istrinya belum tahu kenapa sang kakak begitu lama berada di negara orang.

Pesawatku sedikit delay dari Jakarta. Ada pesawat dari maskapai lain yang tergelincir di landasan Soetta hingga kami yang keburu masuk ke dalam pesawat hanya bisa mengeluh dalam hati menunggu landasan aman untuk digunakan kembali. Ponsel telanjur kumatikan, tak bisa memberi kabar pada Emil. Semoga ia tak mengomel. Dulu, ia suka sekali mengomel jika ada sesuatu yang tidak sesuai rencana.

Kurasa, setelah menikah, ia banyak berubah. Di telepon saja cara berbicaranya sudah berbeda. Adikku itu sudah jadi pria dewasa. Lagipula umurnya kan sudah kepala tiga. Masak iya masih kekanakan sikapnya.

Turbulensi-turbulensi karena cuaca buruk membuat tidurku tak bisa sepenuhnya nyenyak. Gelap di luar sana. Pesawat menembus awan tebal, dan hujan menemani perjalananku dari Incheon sampai Soekarno-Hatta. Saat US Airways bertolak dari Fort Lauderdale, menuju Bandara Charlotte, langit sepenuhnya cerah. Secerah suasana hatiku yang akan kembali ke tanah air. Tak berapa lama setelah Asiana Airlines meninggalkan Bandara New York, cuaca pun berbalik. Mendung, lalu awan tebal makin menjadi. Empat belas jam dengan cuaca buruk. Stresnya bukan main. Beberapa kali kuminta pramugari memberiku minuman beralkohol, agar aku tertidur. Aku butuh tidur. Jetlag sudah pasti. Harapanku agar cuaca di Korea Selatan baik, pupus. Semoga ini bukan pertanda buruk. Ya, aku tidak suka dengan firasat dan hal buruk. Semoga Emil baik-baik saja.

Di dalam kepalaku berseliweran banyak hal. Sepuluh tahun aku pergi dari tanah yang memberiku banyak cerita. Aku pergi karena tidak ada pilihan lain yang bisa kuambil. Kutinggalkan Emil yang baru saja lulus SMA. Kubekali dia dengan sejumlah uang untuk biaya kuliah dan hidupnya. Dari hasil menulis skenario film, sebagian kutabung, sebagian kuberikan Emil dalam bentuk rumah dan mobil. Aku memilih tinggal di mana masyarakat mengakui adanya "perbedaan". Indonesia mengakuinya, tapi hanya dalam teori. Praktiknya masih dipertanyakan. Berbeda bisa menjadi sebuah keanehan, dan orang aneh itu tidak pantas hidup dengan leluasa. Kecuali menjadi orang gila, yang berkeliaran di jalanan tanpa busana. Orang aneh pun harus dimusnahkan. Oleh orang-orang yang merasa tidak aneh.

Aku pulang karena adik yang selisih usianya cukup jauh dariku itu menikah. Tiga bulan lalu. Banyak pekerjaan yang menghambat kepulanganku tiga bulan lalu. Baru sekarang aku bisa berlibur, sebulan. Cukup panjang. Setidaknya untuk mengamati tanah airku, apakah yang berubah. Masihkah Medan semrawut? Ah rasanya wajar jika kota besar itu semrawut. Los Angeles, New York, Washington, sama semua.

Mr. Stone, produserku, memintaku menuliskan outline skenario. Rencananya mau kukerjakan di perjalanan, tapi, batal. Semoga bisa kuselesaikan selama berada di Medan.

Kau datang juga, Kak. Kalau bukan karena adikmu menikah, entah kapan kau akan pulang. Janji sepuluh tahun lalu kau tepati.Kau tak pernah mengingkari janjimu pada adikmu ini. Kau kakak yang baik.

Kau keluar dengan menyeret koper warna cokelat dan ransel yang belum pernah kulihat, tapi aku yakin fungsinya sama. Untuk menyimpat peralatan saat kau naik gunung. Dari perawakanmu yang masih setegap dulu, pastinya hobi menjelajah alam masih kau lakukan. Kau bahkan sudah bisa bermain ski es. Foto-fotomu sangat keren. Bangga kali punya kakak seperti kau, Kak.

Kau tampak lebih tinggi, Kak. Bukannya dulu aku lebih tinggi darimu ya? Kulitmu lebih terang, dan rambutmu jadi begitu hitam. Usiamu baru 38, belum tumbuh uban hingga harus kau tutup dengan semiran hitam kan?

Kau sudah tak pakai kacamata? Atau sekarang pakai softlens kau, Kak? Warna mata Kakak sekarang pun sudah cokelat.Ah masak iya aku sudah lupa warna mata Kakak? Tak ada yang warnanya cokelat, selain Kakak. Ayah, Bunda, semuanya hitam.

Kau, kok kau seperti tak tambah tua? Bahagia kau ya di Amerika? Iyalah, semua impian sudah kau capai kan? Apalagi? Dan kan sudah ada yang menjaga Kakak di sana? Andai Kakak mau mengajaknya ke sini, senang kalilah adikmu ini, Kak. Hanya di telepon saja dia menyapa. Atau lewat Skype. Tak begitu jelas wajahnya. Tapi dia baik kelihatannya. Cinta sama Kakak, itu sebenarnya yang paling penting. Kapan-kapan ajaklah dia ke sini, Kak. Biar kenalan juga sama istriku, si Nisa.

Anissa sedang menggoreng ikan ketika kakak iparnya masuk ke dapur dengan rokok terselip di bibir. Sita melambai ringan lalu membuka kulkas dan mengambil bir. Anissa melotot ketika melihat perempuan bercelana pendek dan hanya mengenakan singlet itu memakai giginya untuk membuka tutup botol, lalu tutupnya dilempar dengan mulut ke tong sampah dari jarak dua langkah. Masuk, setelah agak membentur tepiannya.

"Kakak minum bir sehari berapa botol biasanya?" tanya Anissa sambil berdiri di tempat, tak jauh dari kompor gas empat tungku. Risihnya tak bisa disembunyikan. Alkohol adalah haram dalam keluarganya yang muslim taat. Di benaknya, semua peminum alkohol sudah pasti rusak sarafnya, tidak bisa berpikir logis. Semaunya sendiri.

"Dua, tiga. Mau nyoba?" Sita menyodorkan botol bir yang belum sempat ditenggaknya.

"Tidak, Kak." Anissa menggeleng cepat. "Ha...."

"Haram. Baguslah kalau kau tahu." Sita melenggang meninggalkan dapur. Menyisakan asap rokok dan Anissa yang bengong.

"Bang, sejak kapan Kak Sita itu minum bir? Takut kali aku lihatnya, Bang. Kayak minum air aja." Anissa membuka pembicaraan ketika mereka berdua sudah di atas tempat tidur. Anissa dengan daster, sementara Emil bertelanjang dada dan mengenakan boxer warna abu-abu tanpa celana dalam.

"Ah kau ni, orang Amerika kan biasalah minum bir. Dulu pun aku minum. Tak mabuk lah minum itu, Sa. Rendah kali alkoholnya. Tapi, kalau kau minum wine, seperti yang ada di kulkas itu. Yang tulisannya bahasa Inggris semua, botolnya besar, warna hitam, segelas aja bisa mabok kau. Mahal pun harganya. Kata Kak Sita, sebotol tiga juta harganya. Satu gelasnya itu kira-kira...."

"Ah, mana pun aku mau, Bang. Haram itu, Bang. Abang janganlah minum begituan. Nanti aku adukan sama Abah."

Emil mencolek dagu istrinya. Kesepakatan mereka sebelum menikah, salah satunya, Emil tidak boleh minum alkohol dan merokok. Dan kedatangan Kak Sita cukup mengkhawatirkan Anissa. Ia takut, diam-diam suaminya diajak minum sama sang kakak. Kembali menyentuh yang dilarang agama.

"Kau udah ngobrol apa aja sama Kak Sita? Udah tiga hari kan dia di sini."

Emil mematikan lampu kemudian meraih tangan istrinya.

"Aku bingung, Bang, harus ngomong apa sama dia. Dia itu bangun kan siang. Abang pun sudah pergi kerja. Jam sembilan ia bangun dan...."

Emil menciumi leher istrinya dalam gelap. Tak butuh cahaya. Tiga bulan cukup membuatnya hapal anatomi mantan teman sekantornya itu. Anissa memutuskan resign sebagai staf administrasi karena peraturan kantor tidak membolehkan pasangan suami istri di departemen yang sama.

"Dan Kak Sita langsung aja ke garasi. Motor, Bang. Motor besar itu dulu yang ia panaskan. Baru ia sarapan. Sarapannya roti sama telur mata sapi. Dia tak pernah mau kutawarkan susu atau cokelat panas. Bir... ahhh, Bang...."

Anissa mendesah ketika Emil sudah menyelinap ke dalam selimut dan membuat libidonya naik dengan cepat. Tapi perjalanan malam masih panjang. Emil tak mau buru-buru mengakhirinya.

"Maunya dia cuma minum bir. Kulkas kita jadi banyak kali botol-botol bir, Bang. Semalam itu dia bawa pulang makanan. Disimpannya di kulkas, ahh enak, Bang... Kak Sita bilang isinya daging babi, Bang."

"Kau makan daging babi, Sa?!" Emil menyingkap selimut, membuat Anissa kesal karena ia sedang menikmati "kenakalan" sang suami di bawah sana. Terhenti begitu saja.

"Abang itu yang enak, bukan daging babinya! Ah terus lah, Bang! Jangan kayak gitu lah!"

Emil melanjutkan aktivitasnya. Anissa pun terus bercerita menunggu libidonya naik kembali setelah tadi terinterupsi.

"Hai, selamat siang, Sayang."

"Malam, Honey. Aku tidak bisa lama, bentar lagi aku ada interview di CNN. Gimana Medan?"

"Di kota tadi banjir, hujan dari semalam. Sekarang panas. Banyak nyamuk."

"Emil apa kabar? Masih manja sama kamu?"

"Sekarang manjanya sama istri dong. Tuh mereka lagi prosesi bikin anak di kamar sebelah. Tutup kuping deh dari tadi."

"Gimana Anissa?"

"Muslimah yang tahunya hitam dan putih. Haram ya haram. Bir, babi, kamu juga kali ya, kalau dia sampai tahu. Kalau aku bukan kakak iparnya, mana dia mau kulkas kuisi makanan setan."

"Wine dari aku udah kamu coba, Honey?"

"Udah, so great, sayangnya tidak minum sama kamu."

"Dua minggu lagi kan kamu balik, Honey."

Sita menyalakan rokok keempat. Ia melambaikan tangan pada kekasihnya yang harus segera ke studio TV untuk wawancara film terbaru garapannya.

"Kak, Bang Andre itu nanyain Kakak terus. Kayaknya dia tahu kalau Kakak lagi di Medan."

Sita menyendok kangkung dari mangkuk kaca. Dimasak dengan saus tiran plus teri medan favoritnya. Pedasnya datang dari irisan cabe merah. Sita dan Emil sama-sama suka pedas.

"Kasih tahu aja kalau aku di sini, Mil. Kasih aja nomorku."

Emil mengangkat alis kanannya. Ditatapnya wajah sang kakak dengan saksama.

"Dia suami orang, Kak. Jangan dikasih harapan lah," goda Emil

"Memangnya dia mau melamar Kakak?" tanya Sita santai. Diambilnya sayap ayam goreng yang digoreng crispy.

Anissa tersenyum. "Iya, Bang. Bang Andre itu kan kata Abang teman akrabnya Kak Sita. Apa salahnya ketemu?"

"Ah modusnya aja pingin ketemu. Karena tahu Kakak sekarang sudah mapan. Gajinya dolar. Tinggalnya aja di Hollywood, dekat sama artis-artis terkenal. Dulu, congkaknya bukan main. Mentang-mentang anak pejabat. Giliran bapaknya udah pensiun, mulai nyari strategi dia. Hati-hatilah Kakak sama dia."

"Memangnya Kak Sita belum ada pacar?"

Sita dan Emil saling pandang.

"Aku tak ada pacar, Sa."

Emil lalu mengalihkan pembicaraan ke hal lain begitu Sita menginjak kakinya dari bawah meja.

"Sa, kenapa cucian tak kau laundry aja? Banyak gini bisa boros air," protes Sita ketika melihat ember-ember penuh dengan rendaman cucian.

Anissa yang duduk di dingklik sambil mengucek baju, menjawab, "Baju Bang Emil sering hilang di tempat laundry, Kak. Lagipula hasil cuciannya tak bersih." Ada aja jawabannya. Padahal, ia sebenarnya ingin tangannya tidak kasar karena terkena deterjen.

"Ya udah, mana yang mau dibilas? Tiap hari apa tak bosan kamu nyuci baju terus?"

"Tidak tiap hari, Kak. Dua hari sekali. Baju kotor Kak Sita biar sekalian aku cucikan aja, Kak."

"Tak usah, aku biasa laundry yang bisa antar-jemput."

"Bukannya itu mahal ya, Kak?"

Anissa lalu bungkam. Kakak iparnya mana peduli dengan mahalnya ala Indonesia. Uangnya melimpah. Kariernya bagus. Beberapa penghargaan pernah disabetnya sebagai penulis skenario terbaik di beberapa festival film di Eropa dan Asia.

"Emil tak pelit-pelit amat kan sama kamu, Sa?"

Anissa tertegun.

"Honey, aku lupa cerita sesuatu sama kamu."

"Cerita apa, Sayang. Seharian kamu sibuk banget ya?"

"Aku ketemu Portia setelah wawancara di CNN."

"Ah, aku lupa, pasti nanyain naskah film pendek itu kan? Oke, aku email sekarang aja."

"Dia juga nanyain, kamu masih lama tidak di Medan. Rencananya, dia bakal ngajak Ellen liburan, Honey."

"Ke Medan?"

"Mereka belum mutusin mau ke mana. Kalau kamu masih lama di sana, bareng mereka maksudnya.

"Minggu depan aku udah balik ke sana. Tapi, aku bisa rekomen beberapa tempat lah."

"Kamu kan bukan traveler, Honey."

"Emil, maksudku. Dia itu, dari Raja Ampat sampai Weh udah didatengin. Sabang sampai Merauke."

"Ngomong-ngomong, kamu tidak berniat ngasih tahu soal kita ke adik ipar kamu?"

"Sayang, kamu mau adikku mendadak jadi duda? Anissa itu, aku rasa, udah tekanan batin ngeliat aku keluar malam, pulang udah setengah mabuk, bangun siang, makan daging babi. Tidak perlu dia tahu soal kita."

"Keluargaku bisa nerima kamu, pernikahan kita."

"Mereka orang Indonesia, yang tinggal di Indonesia, yang hitam-putih, yang memandang pernikahan yang sah itu haruslah.... Sayang, Anissa itu anak kiai!"

"Cincin itu masih di jari kamu?"

"Di bandara aku lepas. Aku tak mau Anissa mempertanyakan itu. Dia tak akan menerimaku."

Andre, lelaki tambun dengan kepala plontos. Hidungnya besar khas pria Karo. Kulitnya gelap. Garis-garis wajahnya tampak tegas. Ia jarang tersenyum, terlalu serius hidupnya.

Siang itu, ia mengenakan kemeja jins dan celana berbahan sama. Jam tangannya bukan lagi merek mahal, sudah berganti yang merek pasaran, mungkin tak bisa dipakai menyelam, atau bahkan kena hujan, seperti milik Sita, yang tak lain hadiah ulang tahun dari seseorang yang pertama kali membawanya ke dunia film. Sutradara muda yang juga menjadi produser film. Seseorang itu menjadi khusus dalam hidupnya, persetan dengan ras sampai agama yang berbeda. Mereka sudah jadi satu. Dalam ikatan sakral.

"Udah kali kita tak jumpa. Gimana kabar kau? Kau operasi plastik ya? Hidung kau tuh tambah mancung kulihat. Udah tak pakai kacamata pula. Udah kayak artis kau."

Andre mengamati wajah Sita, berusaha mengingat-ingat dengan sosok yang dulu. Banyak yang berubah. Sita melakukan beberapa operasi plastik di wajah dan tubuhnya. Tidak ada salahnya tampil sedikit beda, menurutnya.

"Kau suntik hormon ya? Dulu kau kan tomboi kali. Sampai kupikir kau tak mau sama laki-laki."

"Aku punya banyak kenalan make up artis dan dokter spesialis. Mau operasi plastik, botox, operasi kelamin, gampang."

"Jadi, kau udah mau sama aku sekarang?" tembak Andre tanpa tedeng aling-aling. "Ah, si Emil pasti udah cerita banyak soal aku." Andre memelankan suara, "Sebentar lagi aku tanda tangan surat cerai dari istriku. Aku tak suka lagi sama dia. Tak bisa dia main di ranjang. Tiap kali aku minta, katanya capek."

Sita mendeham. Pelayan datang mengantarkan secangkir espresso, sebotol bir, kentang goreng, dan omelet. Kemudian kembali ke dapur. Sita menenggak birnya lalu mengunyah kentang goreng.

"Aku lagi buka usaha kecil-kecilan. Modalnya hanya sepuluh juta. Istriku itu boros kali. Dihabiskannya uangku semua."

"Oke, sepuluh juta. Terus?"

Sita pun mendengarkan ocehan panjang Andre yang mulutnya sibuk mengunyah omelet. Sebenarnya omelet yang lebih pantas disebut telur dadar gulung. Telur yang didadar dan dijual dengan harga 25 ribu rupiah.

Andre menceritakan detail bisnisnya yang ia gadang-gadang bakal sukses. Setidaknya, uang itu bukan dari orang tuanya. Hasil tabungannya sendiri.

"Aku minta saranmu."

"Aku bukan pebisnis, Andre."

"Ah tapi kau sudah jadi orang kaya. Kau belikan si Emil rumah sama mobil. Biaya nikahnya Emil kau juga bantu setengahnya kan? Tahu dari mana aku? Ya, dari teman-teman kita lah. Kami ada group di we chat. Kau belum gabung kan? Biar ku-invite."

"Aku tak pakai smartphone." Sita memperlihatkan hape yang di Indonesia harganya hanya tiga ratus ribuan. Andre melotot.

"Presiden Amerika saja pakai BlackBerry. Masak kau...."

"Aku pakai Skype, oke? Punya Skype?" Bukan pertama kalinya ia diprotes oleh orang Indonesia dengan ketertinggalannya soal gadget. Kaget karena ia tidak pakai i-Phone atau Samsung Galaxy, tidak punya pin BB. Dan ia mual melihat orang Indonesia yang rajin selfie dengan berbagai perangkatnya. What the hell is going on? Sudah tidak menarikkah alam sekitar? Ponsel hanya berfungsi untuk foto diri sendiri, ketimbang menelepon. Tak perkara tak punya pulsa, yang penting tiap hari posting foto close up dengan berbagai ekspresi.

Andre langsung manyun. Orang Indonesia cukup asing dengan sebangsa messanger yang semacam itu. Lebih mudah berkumpul di WhatsApp, WeChat, BBM, atau Kakao Talk.

"Satu lagi, Sita. Aku mau tahu satu hal lagi."

"Oke, apa itu?

Andre melirik kanan kiri. Membuat Sita ikut melakukan hal yang sama. Meja di sekitar restoran tak ada yang menghuni. Lagipula mereka memilih meja di pojok. Meja yang menempel dengan dinding kaca.

"Benar kau sudah menikah?"

Putri kiai, taat beragama, amar makruf nahi munkar. Berhadapan dengan seorang manusia liberal yang memilih meninggalkan tanah air yang tidak bisa berkompromi dengan sesuatu yang berbeda.

Anissa menganggap dirinya terlalu banyak berkompromi. Ia berkenalan dengan Emil, seorang yatim piatu yang tinggal sendiri di kompleks perumahan elite. Jatuh cinta pada pemuda itu, meski hubungan mereka tidak langsung direstui.

Emil selalu didesak, bagaimana seorang laki-laki biasa bisa punya rumah mewah padahal gajinya biasa saja. Oleh Kiai Rahman, ayah Anissa, pernah Emil dikira menjadi simpanan perempuan beristri. Maka berceritalah Emil tentang kakaknya. Yang sukses dan mapan di Amerika. Maka lampu pun berganti hijau. Restu meminang pun dikantongi Emil.

Mereka ta'aruf enam bulan-karena sang kiai berdarah Banten itu mengharamkan pacaran-lalu menikah.

Semuanya baik-baik saja. Mereka hidup rukun, selisih paham itu biasa, bukan? Hingga suatu hari, semua yang dirahasiakan Sita-demi keutuhan rumah tangga adiknya-terbongkar.

"Pernikahan seperti itu tidak ada dalam agama kita, Kak! Itu dosa!" Tampak wajahnya frustrasi bercampur syok berat.

"Nisa, kita tak punya hak ikut campur." Emil berusaha menengahi. Ia memandang geram Andre yang bertamu malam itu hanya untuk membuka rahasia kakaknya pada Anissa. Lalu pria pengecut itu cepat-cepat pamit. Sita menenggak birnya dengan santai di atas sofa. Besok ia pulang, dan sama sekali bukan adegan drama ini yang ia harapkan. Dimakinya Andre dalam hati.

"Aku menikah di gereja, dengan cara gereja, sumpahku, semuanya di dalam gereja."

Nisa menelan ludah. Kakak iparnya murtad. "Aku jijik! Abang kenapa menyembunyikan semua ini?! Dosa, Bang! Udah jadi kafir dia, Bang! Dosa besar!"

"Nisa, sudahlah." Emil melirik kakaknya.

Sita sudah siap dengan konsekuensinya, jauh sebelum malam ini. Perbedaan yang dibuatnya sudah melawan arus banyak hal, agama, norma ketimuran, konstruksi sosial, blablabla. Dia pergi karena tidak mau mengalah. Dan tidak mungkin mengubah Indonesia agar sepikiran dengannya. Tapi di luar sana, ada tempat untuknya. Keluarga O'hara. Teman-teman satu komunitasnya.

"Rumah ini, harta Abang, semuanya dari dia, Bang! Haram semuanya, Bang! Tak berkah, Bang!"

"Kak, jangan Kakak masukin hati. Biar aku jelaskan nanti sama Nisa."

"Aku jijik tinggal di sini! Jijik sama dia!"

Sita menghela napas. Ia ditunjuk-tunjuk seakan bukan manusia. Ia sudah menduga, sosok Anissa yang manis akan berganti dengan pengumpat yang ganas. Harta itu Sita kumpulkan dengan susah payah. Ia begadang menulis skrip, kafein memenuhi aliran darahnya, bir, kafein, bir, kafein, demi masa depan dirinya dan Emil. Hasil keringatnya sendiri. Haramnya dari mana? Ia tidak menjual diri. Ia bekerja keras dalam industri film.

"Ya, itu salah satu alasan aku tidak ingin kembali. Aku tak bisa menjadi diri sendiri di sini. Aku akan dianggap sama seperti pelacur, kan? Menjijikkan tadi katamu? Terserahlah. Emil, malam ini aku tidur di hotel." Sita sudah membuat keputusan. Ia akan membereskan barang-barangnya dan check ini di hotel.

"Kak, jangan gitulah. Nisa, semua orang bebas menentukan hidupnya. Sejak kecil Kak Sita memang sudah...." Emil bingung meneruskan kalimatnya.

"Aku akan pergi dari rumah ini dan tak akan mau aku kembali!"

"Nisa!"

Sayangku alias Sandy O'Hara, memeluk erat. Pelukan rindu sekaligus menenangkanku. Tampangku kucel. Aku stres memikirkan apa yang terjadi sebelum meninggalkan Indonesia. Keributan itu. Kekhawatiranku atas rumah tangga Emil yang panas gara-gara aku. Seharusnya aku memang tak usah pernah pulang. Karena begitu statusku diketahui, semuanya akan berubah. Tidak ada lagi hal yang sama dengan kemarin.

"Aku kangen, Honey. Kamu kurusan ya?" Dia meremas pundakku lembut lalu mencium bibirku. Lalu mencium napasku. Alkohol. Kutenggak dalam jumlah banyak. Aku tak pernah semabuk ini. Dan tak pernah mabuk tanpa Sandy. Menyebalkan.

"Nanti malam, kita makan di rumah ya. Papa sama Mama udah kangen berat sama kamu. Joey juga. Anak kamu jadi pendiam gara-gara kamu tidak ada."

Anak kami, adopsi. Sebenarnya putra dari adik kandung Sandy. Betapa bahagianya karena sekarang menjadi tanggungan kami berdua. Putra yang tampan berdarah campuran Cina-Amerika-Irlandia-Skotlandia-Israel. Cina dari garis adik ipar Sandy. Sisanya dari O'Hara. Joe selalu terbangun dari tidurnya saat aku mendekat. Bocah yang lucu. Sayang, orang tuanya meninggal karena kecelakaan mobil.

"Oh ya, Portia bersedia main di film pendek itu. Dengan bayaran di bawah standar manajemennya."

"Serius?" Sandy menyalakan mesin sedan Ford-nya lalu mencium bibirku lagi. "Itu kabar terbaik yang pernah kudengar sejak sebulan terakhir ini. Dan Ellen?"

"Ow, dia sangat sibuk. Mungkin hanya cameo."

"Not bad." Dia tersenyum hangat.

Mobil mengarah pulang, ke rumah kami. Rumah yang menerima aku apa adanya. Dan keluarga yang memandangku tetap sebagai manusia yang punya harga diri. Kugenggam tangan Sandy sembari ia menyetir dengan kecepatan sedang.

Welcome home....



Yogyakarta 25 Juni 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post