Imaji Dua Sisi (de TEENS, 2014)


Melihat cover buku ini, saya terbayang sebuah buku fiksi yang akan penuh dengan teori-teori kimiawi dengan banyaknya rumus kimia H2O, C2H5OH+O2, tabung-tabung detilasi, dan sebagainya-yang sama sekali tidak saya pahami-karena saya tidak menyukai hal itu selama masa sekolah, sampai sekarang sepertinya, dan dugaan itu sedikit meleset.

Pada bagian prolog (hlm. 7–12), Sayfullan menghadirkan adegan penuh tanda tanya dengan kemisteriusan dalam level cukup tinggi, hingga ke kalimat: “Saya telanjangi lelaki berpostur sempurna yang tergelepar di lantai rumah.” Di paragraf sebelumnya dituliskan: “Saya mulai membuat larutan anestesi di laboratoriun penelitian pribadi saya. Larutan dietil eter ini akan berhasil membuat belahan jiwa perempuan itu mati sementara.”

Imaji Dua SisiSudah cukup menggigil membacanya? Lanjut ke adegan si tokoh “Saya” melakukan sebuah proses kimiawi (saya rasa tidak tidak dikatakan percobaan, karena memang bukan untuk coba-coba, tapi proses sekali jalan) pembuatan feromon atau ekstraksi aroma tubuh manusia. Proses ini sama sekali tidak bakal melukai si lelaki telanjang tadi, karena sekali lagi, ini bukan novel bunuh-bunuhan yang membuat buku kuduk merinding.

Ini adalah novel romance.

Novel ini terbit pada Juni 2014, masih fresh from the oven, setebal 332 halaman. Jika melihat fisik buku ini memang tebal, tapi percayalah, hanya butuh lima jam untuk melahapnya sampai halaman terakhir. Akan lebih cepat lagi jika tidak diselingi kegiatan apa pun.

Genre romance adalah yang dipilih si penulis untuk karyanya kali ini. Menampilkan tiga tokoh utama, ditampilkan dengan sudut pandang (POV) 1 semuanya. Ada Lintang dengan “GUE”, Bara dengan “AKU”, dan Bumi dengan “SAYA”. Menjadi pertanyaan buat saya, mengapa bukan Bara yang memakai “GUE” dengan karakter seorang lelaki playboy dan keren, kesan metropolis akan lebih melekat jika ia si “GUE”. Just my thought.

Tiga tokoh utama, dengan satu persamaan, sama-sama mahasiswa baru di Jurusan Teknik Kimia Undip, meskipun sebenarnya Lintang adalah calon asisten laboratorium kimia organik, dulunya mahasiswi semester 2 Tekkim UI. Tidak dijelaskan mengapa ia memilih memulai kuliah dari awal di Undip ketimbang melakukan transfer. Apakah ada larangan untuk itu? Dengan asumsi ini pula, ada kemungkinan, Lintang lebih tua dari Bara dan Bumi, meskipun tidak dijelaskan juga apakah kedua lelaki ini masuk benar-benar setelah lulus SMA atau sempat off setahun atau dua tahun.

Bumi, merupakan seorang lelaki muda yang punya kenangan buruk dengan sosok sang ayah, dia sering dipukuli oleh lelaki alkoholik tersebut dan terakhir ia dan ibunya diusir dari rumah setelah sang ayah menjatuhkan talak. Bumi tumbuh sebagai lelaki pendiam, introvert, dan tidak pedean. Sangat berbanding terbalik dengan sosok Bara, teman di perkuliahan dan rival dalam percintaan.

Sementara itu, Bara adalah seorang lelaki ganteng, keren, cool, tapi merahasiakan sisi lain, ada penyakit yang menggerogoti tubuhnya. Konon, itu melibatkan unsur genetis, didapatkan dari sang ibu. Ia mengonsumsi obat-obatan dan hal itu pertama kali diketahui oleh Repi, seorang mahasiswi teman kuliahnya.

Sebelum memasuki alur cerita, ada satu pertanyaan dari saya, mana tokoh antagonisnya? Tiga tokoh utama tanpa antagonis, cukup menjadi tanda tanya. Absennya tokoh antagonis otomatis membuat sebuat cerita akan terasa flat. Menurut saya, tokoh-tokoh di Imaji Dua Sisi ini baik-baik semua. Oke punya masalah, tetapi dalam batas wajar.

Kemudian, mari mulai menelusuri alur ceritanya dari awal. Ketiga orang ini, dipertemukan dalam ajang ospek mahasiswa baru Tekkim. Nuansa yang dengan mudah dipahami pembaca, di mana mereka menjadi inferior dan para senior menjadi superior. Ketiganya berada saling berdekatan, tapi tidak saling berkenalan, padahal ada adegan di mana seorang kakak kelas menegur Bara yang bertopi dan menunduk (rupanya dia asyik mendengarkan musik dari earphone), lalu dibela oleh Lintang yang tampil vokal, dan mengundang rasa kagum Bumi yang tidak pede. Bukankah ada kesempatan untuk berkenalan saat itu? Setidaknya mengucap terima kasih.

Pada bab 1, menampilkan tiga sudut pandang sekaligus sebagai starternya, satu adegan dalam tiga sudut pandang yang sama. Kekuatan karakter sepertinya yang menjadi tujuan saat pembacaan novel ini. Tapi, menampilkan tiga hal dalam satu bab, terlebih satu scene yang sama, menurut saya adalah pemborosan. Saya sudah “melihat” kejadian itu dari Bumi, harus “melihatnya” lagi dari mata Lintang dan Bara. Saya berharap pada bab selanjutnya tidak perlu ada lagi “perulangan" seperti ini. POV 1 memang menutup banyak hal. Tambahan lagi, tokoh-tokohnya bukanlah Aku si Maha Tahu. Daya penglihatannya terbatas.

Menuju Bab 2, diberi judul Pra-LDO. Saya tidak memahami sistem yang berlaku di sebuah jurusan tekkim, apa itu LDO (selain kepanjangannya adalah Latihan Dasar Organisasi). Bagaimana sebenarnya sistem ini berjalan, termasuk dalam proses ospekkah atau apa? Tidak ada penjelasan mengenai hal ini. Apa tujuannya pun saya masih bertanya-tanya. Tapi dari sekilas, program ini berlangsung selama enam bulan dengan sejumlah tugas yang harus diselesaikan. Kebetulan, Bara, Bumi, dan Lintang satu kelompok. Cukup mudah untuk menciptakan konflik. Tugas-tugas yang mereka harus lakukan tidaklah sulit dan lagi-lagi kening saya berkerut dibuatnya, mahasiswa baru harus melaluinya? Tujuannya apa? Adakah sesuatu yang terlewatkan dalam pembacaan saya?

Di bab selanjutnya, mulailah tahap LDO itu tadi, dan saling berkenalanlah Bara dan Lintang, perkenalan standar dengan memakai sudut penceritaan Lintang. Yang menjadi pertanyaan saya, ini berapa hari setelah adegan yang di bab sebelumnya? Tiba-tiba saja Bara sudah kenal dengan Repi, dan Lintang diperkenalkan Repi ke Bara sebagai satu kelompok LDO. Saya membutuhkan setting waktu yang lebih detail sebenarnya, tapi tidak tersedia dengan cukup sehingga meki kerutan di kening saya bertahan pada posisi awal, saya teruskan saja membaca. Di bab ini juga ada adegan drama Korea di mana Lintang jatuh ke pelukan Bara (hlm. 49) dan diagdigdug serrr! Tapi dramatisasinya minim sehingga hanya menjadi sebuah hal biasa. Terlebih di bab selanjutnya, Lintang dibiarkan jatuh oleh Bara. Bubar sudah romantisme sesaat itu.

Ada subkonflik yang dimasukkan ke dalam novel ini, dengan Rakai sebagai tokoh yang kemudian hadir tiba-tiba dalam kehidupan Lintang. Rakai adalah senior Lintang di Tekkim UI dan akan menikah dengan orang lain. Sayangnya, subkonflik ini mendapat jatah penceritaan yang terlalu sedikit. Dan boleh dikatakan tidak begitu mengganggu. Toh cowok ini sudah bakal melepas masa lajang dan Lintang sudah tidak ada ikatan apa-apa. Terlebih, hubungan mereka itu dulunya ada ketika Rakai sudah dengan yang lain. Rakai di sini berposisi sebagai tokoh yang “minta simpati” pembaca. Tapi saya tidak begitu bisa “merasakan” dia karena lagi-lagi, terlalu sedikit penceritaan tentang pribadinya. Memang, ada peningkatan konflik yang terjadi ketika Lintang menghadiri pernikahan Rakai, tapi surut dengan cepatnya. Dengan solusi, Lintang dan Bara kembali ke Semarang.

Subkonflik selain Rakai, bisa dikatakan tidak ada. Konflik dalam keluarga Bumi sebenarnya potensial jika diangkat lebih jauh. Dampak psikologis yang ia dapatkan dengan perlakuan kasar dari sang ayah. Lalu Bumi yang punya kecenderungan oedipus complex (saya berasumsi demikian dari kalimat di hlm. 19—Karena, pasti akan ada dua peluang mengerikan yang akan terjadi kepada saya, saya benar-benar mencintainya atau malah harus benar-benar membencinya) walaupun Lintang hanya lebih tua setahun dari Bumi. Dan kemiripan mereka hanya dari suara yang tegas. Tapi tunggu, sosok ibu Bumi yang dimunculkan di hlm. 14, bukanlah perempuan berkarakter tapi yang terintimidasi oleh suaminya. Lalu, mana karakter tegas itu tadi?

Untuk Bara, dia memiliki penyakit yang diturunkan dari pihak ibu, dan puncaknya adalah gagal ginjal, mengharuskan dia menjalani cuci darah rutin dua kali seminggu. Dalam hal eksplorasi seorang pasien gagal ginjal, menurut saya sudah pas. Penggambaran mulai dari proses diagnosis sampai pengambilan tindakan cuci darah. Hanya saja, banyak potensi dramatisasi yang bisa diangkat ke permukaan, tapi digagalkan dengan berlimpahnya monolog. Percakapan antardua tokoh atau lebih akan memaksimalkan sisi dramatis itu tadi, ketimbang menjabarkan dari “pemikiran” si tokoh semata. Dialog akan memancing ekspresi, ekspresi tokoh akan mempengaruhi ekspresi pembaca. Dua tokoh yang sedih, itu akan lebih baik ketimbang satu tokoh yang sedih. Satu gagal merepresentasikan kesedihan, satunya punya kesempatan menutupi hal itu.

Bara, tokoh yang pada awalnya tampil mempesona, kemudian memperlihatkan penurunan stamina yang drastis. Dia masuk rumah sakit untuk menjalani perawatan dan menulis sebuah novel. Sayangnya, tidak ada sama sekali proses Bara saat penulisan novel tersebut. Tiba-tiba saja ada dan menjadi pemicu konflik baru bagi Lintang dan Bumi. Ini juga potensi dramatis yang sesungguhnya tanpa sadar terlewatkan. Tidak ada ceritanya Bara suka menulis. Lalu bagaimana dia membuat sebuah novel? Pembaca butuh penjelasan logika itu semua. Sepulangnya Bara dan Lintang dari pernikahan Rakai, Bumi menghilang, Repi pindah kos, Bara entah di mana, Lintang kebingungan. Ada loncatan cerita yang saya rasa berusaha ditutupi dengan berbagai penjelasan tapi lagi-lagi, masih menyisakan pertanyaan.

Novel Feromon. Sebuah novel thriller bestseller yang ditulis based on true story penulisnya. Saya bisa membayangkan sebuah buku dengan kaver bertuliskan Feromon. Hanya itu. Jadi dalam setahun, Bara menulis novel, menerbitkannya, bestseller, dan menjadi petunjuk bagi Lintang dan Bumi untuk mencari keberadaan Bara. Sampai di situ tidak ada masalah, tapi yang menjadi pertanyaan saya, pada kalimat ini: Dan, itu malah berdampak buruk bagi hubungan saya dan Lintang yang telah berjalan harmonis selama ini. (hlm. 324). Novel adalah karya fiksi, fakta 1. Novel bisa ditulis berdasarkan kisah nyata siapa pun, fakta 2. Feromon adalah karya fiksi dari Bara, fakta 3. Novel itu adalah petunjuk Bara untuk Bumi dan Lintang, agar menemukan keberadaan Bara, fakta 4. Lintang dan Bumi bertengkar karena novel itu, fakta 5. Lintang menuduh Bumi mengambil Feromon Bara untuk membuatnya jatuh cinta, fakta 6. Apa sebenarnya isi novel itu? Saya rasa kemarahan Lintang ini agak janggal. Mungkinkah seorang mahasiswi sains begitu mudah percaya dengan isi sebuah novel? Bukankah mereka terlatih untuk berpikir logis dalam setiap hal? Tidak ada kutipan tentang isi novel itu dan ceritanya jadi seperti bagaimana hingga mempengaruhi Lintang. Bara menulis novel itu supaya kedua sahabatnya bisa menemukan dirinya, bukan untuk membuat keduanya bertengkar.

Untuk feromon itu sendiri, saya yang tidak punya pengetahun kimia, masih samar-samar memahaminya. Bentuknya adanya minyak, seperti minyak wangikah? Apakah dioleskan ke badan, berapa lama bertahan di badan, apakah aroma itu hanya tercium oleh lawan jenis atau bagaimana, kalau memang tercium, dari jarak berapa meter, berarti buat yang mau melakukan ini sama gebetan yang jauh, tidak bisa ya? Lagi-lagi saya harus memaksa sesuatu yang asing masuk ke dalam otak saya, meleburkan tanda tanya menjadi tanda titik. Ketimbang habis dalam penceritaan dengan tiga sudut pandang yang tidak begitu signifikan, mengapa tidak menceritakan lebih jauh cara kerja feromon, barangkali saya akan tergoda untuk melakukan percobaan itu ketimbang datang ke dukun santet yang mantranya lebih sulit dipahami ketimbang bahasa Ibrani? Kenapa? Apakah novel ini ditujukan kepada pembaca yang memang berlatar belakang tekkim sehingga alumni sastra macam saya otaknya nggak bakal nyambung? Itu hanya dugaan-dugaan saya belakang. Jujur, saya ingin tahu feromon itu sendiri, cara kerjanya. Meskipun, ini tidak real, ya.(?) Ide ini terinspirasi dari novel (atau film) Inception. Tidak banyak eksplorasi mengenai parfum ajaib ini. Dengan background penulis yang tidak jauh-jauh dari dunia kimia, saya rasa tidak akan sulit sebenarnya melakukan itu. Dan, satu hal lagi, sebuah penemuan itu harusnya dilakukan dengan beberapa percobaan, tapi sepertinya, hanya dengan sekali praktik saja sudah langsung berhasil. Saya berasumsi, lagi-lagi berpegang pada asumsi, ada kekhawatiran, novel ini akan terlalu berat, terlalu sains. Bagi saya, ini jadinya nanggung. Kenapa nggak sekalian total menggabungkan roman dan sains?

Kembali lagi ke sudut penceritaan, dengan menampilkan 3 POV tokoh, semuanya POV 1, bagi saya, sama saja dengan membunuh potensi eksplorasi cerita, dengan pelan-pelan. Bagi saya, tidak banyak signifikansi karakter, selain tahu bahwa SAYA itu dari otaknya Bumi, AKU dari otaknya Bara, GUE dari benaknya Lintang. Coba deh perhatikan pola bicara ketiganya, saya kutip secara acak:

LINTANG (hlm. 55): Gue akui, dialah satu-satunya cowok yang nggak bisa membuat gue marah.

BARA (hlm. 123): Oke, aku ngaku. Aku cemburu! Aku benar-benar benci melihat aksi heroik Bumi.

BUMI (hlm. 234): Saya tetap tidak menggubrisnya. Mata saya ingin menikmati suguhan karya agung dari kitab kuno Mahabharata ini, bukan malah meladeni gerutu gadis berlebihan di samping saya.

Ketiga tokoh ini, persetan dengan cara mereka memakai kata ganti orang pertama, berbicara dengan pola kalimat Subjek-Predikat-Objek-Keterangan. Pola standar kalimat dalam bahasa kita. Adakah yang berbeda? Tidak ada. Bagi saya, signifikansi penokohan, sederhana saja, tonjolkan perbedaan suku, atau agama, atau latar belakang lainnya yang dengan mudah terekam dalam benak pembaca. Di sini pun, saya mempertanyakan, perlukah penegas tokoh yang berbicara, di setiap awal bab atau pergantian tokoh? Di awal saya rasa perlu, semakin ke belakang, rasanya tidak perlu lagi, biarkan pembaca belajar men-switch otaknya sendiri, sebagai bagian dan pengalaman membaca. Lagipula, satu bab hanya terdiri 5–6 halaman, dan rata-rata, masing-masing bab hanya memuat satu hal utama saja.

Lalu, tokoh Lintang, dia ini sebenarnya bukan orang baru di teknik kimia. Dia adalah calon asisten laboratorium organik di Undip dan sebelumnya, baru setahun di Tekkim UI sudah menjadi asisten lab. Dia bukan orang sembarangan. Saya—sialnya yang tidak mengerti dunia kimia—berasumsi bahwa untuk menjadi asisten lab., harus punya nilai baik. Tapi saya tidak melihat sisi pintarnya Lintang. Dia tidak jauh lebih unggul dari Bumi atau Bara. Saya mengharapkan, dia bisa “ngoceh” lebih banyak seputar kimia ketimbang kedua temannya. Tapi ekspektasi saya tidak terpenuhi karena Lintang lebih sibuk dengan percintaannya sendiri. Saya gagal mengidolakan Lintang. Saya lebih suka Repi, meski namanya aneh. Dia mampu membawa diri sebagai Miss Gosip yang tahu banyak hal.

Ada catatan lain saya, tentang Bara di hlm. 166. Ceritanya, mereka bertiga ikut klub basket di kampus. Bara ternyata adalah atlet dari SMA 2 Semarang. Catat, atlet, bukan seperti Bumi yang amatiran dan baru pertama kali memasuki lapangan basket. Atlet harusnya tahu, dalam bermain basket, bukan hal yang wajar memakai topi (saya bersumsi dari ucapan tokoh Acong) karena mengganggu pandangan. Tunggu, saya kepikiran satu hal lagi. Pertama, Bara seharusnya tidak menggunakan topi saat berlatih, itu yang tadi saya pikirkan. Kedua, apa memang memakai topi dilarang? Kalau topinya dibalik, bukankah tidak bakal menghalangi pandangan? Sialnya, komputer saya sedang tidak terhubung dengan internet hingga tidak menemukan jawaban apakah memakai topi saat bermain basket itu dilarang atau sebagai cara menunjukkan sosok Mas Acong yang tegas.

Sekarang saya akan membahas ending, jadi novel ini endingnya.... Maaf, saya berubah pikiran dan tidak jadi membuka endingnya, ketimbang nanti dicaci maki yang belum baca bukunya. Ending novel ini terasa “dipacu” tanpa ditambah huruf “l” karena nanti jadinya “dilacu”. Oke, cukup bercandanya, Rina. Saya serius dengan mengatakan, menjelang halaman 300, speed cerita ini naik berkali lipat dari sebelumnya yang terasa “lamban”. Ini membuat saya “ngos-ngosan” dan terjaga dari tidur. Bukan, bukan berarti saya membaca sambil tidur, tapi munculnya feromon, setelah di bagian prolog sudah disebut, dan menjelang akhir novel, menjadi tanda tanya. Cerita ini intinya mau dibawa ke mana? Saya pikir feromon ini akan menjadi “kunci” dari novel ini. Ternyata salah asumsi saya. Sepertinya saya akan tetap ke dukun santet untuk membuat hati seseorang di jauh sana, jatuh kepada saya.

Hmm, feromon hanya mendapatkan porsi penceritaan sedikit sekali. Dan tidak begitu berpengaruh. Toh feromon itu tidak dipakai sama sekali oleh Bumi untuk memikat Lintang, begitu pengakuan Bumi, entah dia jujur atau bohong, karena dia mengatakan, feromon itu masih ada di lemari pendingin (hlm. 325). Catat baik-baik, MASIH ADA bukan MASIH UTUH!

Menjelang ending, adegan demi adegan memang terasa kejar-kejaran, tiba-tiba tokoh satu per satu menghilang, kebingungan merajalela, dan sebagainya. Barangkali mau memunculkan kesan misterius, tapi lagi-lagi, ada potensi dramatisasi yang terlewatkan. Ritme ini berubah 180 derajat dengan bagian awal sampai pertengahan novel. Klimaks yang belum saatnya tapi dipaksa muncul. Ada apa sebenarnya? Keterbatasan halamankah yang menjadi permasalahan sehingga ending menjadi sesuatu yang terkesan dipaksakan? Hanya penulisnya yang bisa menjawab ini semua. Terlepas bahwa karya yang sudah ke publik, bukan lagi tanggung jawab penulis. Dan saya pun berusaha melepaskan keterkaitan penulis dengan karyanya meski saya cukup tahu latar belakang Sayfullan ini.

Cukup panjang ya, dan sekian saja. Novel ini menarik, di luar dari beberapa hal yang sempat saya catat dengan tulisan “ala dokter” lalu saya tuangkan di sini.

Yogyakarta, 2 Juli 2014













Post a Comment

Previous Post Next Post