Surat yang Kau Selipkan dalam Buku Kumpulan Puisi Hujan Bulan Juni

Sayang,
Terlalu takut kau mungkin untuk bicara langsung, sehingga harus melalui surat berwarna biru muda dan kau semprotkan cologne kesukaanmu agar dia dapat merasakan dekatmu dengannya. Jika kau berkata-kata, adakah nanti yang tersakiti karenanya? Siapa? Kekasihmu? Yang akan membaca pernyataan cintamu di saat hatimu sudah mengisi relung seseorang? Kau punya kekasih. Kau sangkal karena ada orang lain yang menarik hatimu. Tapi kau salah langkah, kekasihmu tahu.

Surat itu kau selipkan tepat di halaman lima belas. Sengaja tidak terlalu belakang agar cepat ditemukan. Kau tak sabar dia untuk segera tahu, seseorang di luar sana mengharapkan cinta baru. Kau berharap surat itu cepat ditemukan hingga kau tak lagi dilanda cemas. Insomniamu tak menghantui malam-malammu. Katamu tak selera makan karena perutmu lupa berkata, "Lapar." Tidaklah menyenangkan dibayangi perasaan yang tak tuntas. Kau bilang begitu dalam pesan-pesan singkatmu. Kau beralasan tak mau bertemu kekasihmu. Kau sadar tidak jika kekasihmu itu rindu padamu? Kau mulai egois, mulai tak sehat hubungan cinta ini.

Kau bohong pada kekasihmu, kau bilang cemas gara-gara menunggu panggilan kerja dari perusahaan multinasional yang sudah punya cabang di lima kota besar. Gajimu akan berkali lipat bayaran PNS. Cutimu bisa lebih dari dua minggu hingga rencanamu berlibur ke Maroko akan terwujud. Kau berharap banyak menduduki posisi yang akan membuatmu sering bepergian ke luar kota.Sebagai fresh graduate, cita-citamu tinggi, Sayang.

Kau agak berubah akhir-akhir ini. Bukan soal kau tiba-tiba menyukai buku-buku puisi, toh almamatermu itu Jurusan Sastra Indonesia FIB UGM. Kau akrab dengan sastra, dan tak masalah. Kau sering menyebut-nyebut Sapardi Djoko Damono, Chairil Anwar, atau Rendra. Memuji mereka. Ada saja yang memancingmu untuk mengutip sebagian puisi mereka di tengah percakapan kita tentang masa depan. Kau menyukai Hujan Bulan Juni. Kau memuji kata demi kata, baris demi baris, kau tuliskan di selembar kertas segiempat lalu kau tempelkan di sisi kiri layar monitor komputer kekasihmu:

tak ada yang lebih bijak
dari hujan bulan Juni
dihapusnya jejak-jejak kakinya
yang ragu-ragu di jalan itu

Kau tak pernah dilarang untuk mencintai Sapardi Djoko Darmono ataupun Rendra. Kau hanya tak boleh mencintai lelaki yang meminjamkan buku itu padamu. Pikirkan lagi. Kau akan menghancurkan hati seseorang yang tulus mencintaimu. Jangan bagi hatimu dengan yang lain. Sama saja kau membunuh pelan-pelan kekasihmu ini.

Sayang,

Kau juga pasti punya hati. Hatimu sedang berbunga-bunga, terpicu dari pertemuanmu dengannya sebulan lalu di perpustakaan kampus, ketika kau mengumpulkan skripsi yang diminta pihak kampus sebagai syarat wisudamu. Oh ya, akhirnya kau lulus, meski tanpa selempang cum laude yang akan membuatmu berkali lipat bangga saat membuat foto wisuda di studio foto milik kekasihmu. Kau gagal karena perceraian ayah tirimu dan ditambah adik tirimu yang masuk rumah sakit karena kecelakaan mobil dan ia belum punya SIM A. Kau bela dia saat orang lain menyebutnya tolol dan nekat.

Kau menatap lelaki itu dengan cara berbeda. Buncah menyergapmu. Kau baru melihatnya di kampus setelah empat tahun menjadi mahasiswa. Hatimu bertanya-tanya pasti, mengapa selama ini tak pernah melihatnya? Kau belum punya kesempatan bertanya, tapi kekasihmu tahu jawabannya. Pria berkulit gelap dengan tato swastika di dada kirinya itu memilih pulang ke tanah air karena ingin dekat dengan kekasihmu. Dekat karena sejak kecil selalu berjauhan akibat perceraian dua manusia yang terlalu egois. Dia dibawa pergi ke Dublin meski ayah dan kakaknya tak pernah merelakan. Orang tua macam apa yang memisahkan dua saudara kandung yang masih kecil-kecil?

Kau menyukai ketampanannya, memuji sikap ramah dan, kecerdasan di luar sastra yang di atas rata-rata. Tidak banyak lelaki seperti itu, kan? Bukan hanya kau yang mengaguminya, tapi banyak. Bukan hanya kau pula yang mengharap kesempatan berbincang dengannya. Atau mungkin, tidur dengannya. Kau mudah sekali tergoda, Sayang. Dulu, rasanya kau tak begitu. Adakah penyebabnya? Atau jangan-jangan, kau curiga kekasihmu punya cinta yang lain? Sumpah demi apa pun, itu hanya ketakutanmu saja. Bahkan hubungan antara ayah dan kekasihmu itu sama seperti teman. Kau jangan berpikir dia pernah menjamah. Kau semakin sulit untuk diyakinkan bahwa kekasihmu berada di studionya hingga pukul tiga dini demi menepati janji pada klien. Apa pernah kau temukan perempuan lain bersama kekasihmu sampai berjam-jam. Tidak kan?

Sayang,
Kau mencintai kekasihmu, ayahmu pun demikian. Kau memperjuangkan kisah cintamu, lalu ayahmu semakin merana, terpuruk. Tapi bingung siapa yang harus lebih dibencinya. Kau membantunya mengurus surat cerai, tapi di sisi lain semakin intim dengan kakasihmu. Kau hanya diam ketika ayahmu menyadari, pengadilan sudah mengabulkan perceraian itu. Ibumu telanjur sakit terkhianati. Tak ada jalan kembali. Maaf terlalu berat untuk diterima. Kau tertawa, menertawakan nasib ayahmu yang begitu malang. Kau tahu, siapa biang keroknya, putri sulungnya sendiri. Cinta harus diperjuangkan, katamu, dan menghalalkan segala cara pun tak mengapa. Kau mendapatkan cinta. Ayahmu mendapat malu.

Kau pertama kali datang ke studio, bersama teman-temanmu, yang ingin mengikuti sebuah kontes pemilihan model. Rok abu-abumu satu jengkal di atas lutut, seragammu pas sepinggang. Saat kau membungkuk, kulitmu yang cokelat eksotis pun terekspos di depan fotografer yang temanmu, menyebut, "Icub" sambil melirik penuh makna. Kau tersenyum, seperti menemukan apa yang selama ini kau cari di masa petualanganmu. Icub, dibalik buci, lesbian, maskulin. Kau menganggap seperti itu sampai tahu sendiri, kekasihmu bukan benda yang suka diberi label macam-macam. Kekasihmu perempuan. Titik.

Kau datang lagi, sendirian, tanpa seragam sekolah, karena kau sudah lulus dan resmi menjadi mahasiswi Jurusan Sastra Indonesia. Calon sastrawan, dan lirikanmu mulai nakal. Entah siapa yang mengubahmu begitu. Berulang kali kau datang. Mulanya kau menanyakan merek kamera yang paling berkualitas, lalu beralih soal mendapatkan heroin tanpa tercium polisi, sampai kau ingin tahu tipe perempuan kesukaan kekasihmu seorang perempuan feminin atau bertipe sama.

Sayang,
Kau tahu siapa yang menjadi orang ketiga dan membuat perceraian harus ada dalam keluargamu. Tapi mengubah cinta menjadi benci itu susah katamu. Brengsek dan murahan kau tuduhkan pada kekasihmu. Habis itu kau ada di pelukan yang hangat. Kamar yang nyaman bukan hanya kamar tidurmu. Tempat mengadumu juga bertambah. Bunga tidurmu pun banyak tentang kekasihmu ini.

Kau sembunyikan hubungan kita dari ayahmu karena takut serangan jantung akan mencabut nyawanya. Kau belum siap ditinggal. Lebih tak siap lagi ditinggal kekasihmu.

Sayangku,
Bukannya kau tak boleh mencintai orang lain, tapi mengapa tak lepaskan kekasihmu dulu? Mengapa kau jatuh cinta pada adik biologisnya? Tak bisakah kau mencari yang lain? Surat yang kau selipkan dalam buku kumpulan puisi Chairil Anwar, jatuh ke orang yang salah. Kau tak tahu, dia tak membacanya. Buku-buku yang kau lihat di kamarnya adalah milik kakaknya. Hujan Bulan Juni diletakkan di meja kerja kakaknya lalu ia pergi. Kertas itu menyembul. Tanpa izinmu, dibaca kekasihmu. Rahasia terkuak.
Kau jangan sedih setelah membaca surat dari kekasihmu. Apalagi sampai marah pada yang menyerahkan surat ini. Biar sekalian kau berkenalan dengan pengganti dirimu di hati kekasihmu. Amanda namanya. Cantik kan? Jangan marah ya, Sayang. Berhentilah mengejar Josef, suatu saat kau tentu akan diperkenalkan pada istri dan putra kembarnya.

Tertanda,
Yang pasti kau tahu


Yogyakarta, 2 Juni 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post