Blok F (3)

“Helen, aku coba menghubungi kamu, tapi kamu selalu menghindar. Kamu masih marah? Sayang, aku nggak punya pilihan lain, ini yang terbaik buat kita. Aku nggak tahu sampai kapan menunggumu. Helen, aku masih cinta sama kamu. Kalau aku datang, jangan menghindar terus. Aku kangen dan....”

Surat itu direbut Helen dengan kasar lalu dirobeknya sampai menjadi serpihan-serpihan kecil. Ditebarkannya di atas meja lalu melanjutkan makan tanpa peduli orang-orang sekitar yang tertegun dibuatnya.

“Helen, ayolah jangan gitu.” Sri mengelus punggung sang ketua blok dengan penuh empati, agar melupakan emosi yang terlalu berlebihan.

“Lihat bagaimana dia begitu saja melupakan kekasihnya,” ujar Agnes sambil berbisik ke telinga Barbie. Tangannya dengan lincah meraba paha gadis berdarah campuran Indonesia-Prancis itu tanpa peduli betapa rikuh Barbie dibuatnya.

Helen menoleh dan melihat adegan itu sekilas. Dia kasihan, Barbie hanya jadi pelampiasan Agnes pada dirinya. Dulu dia bisa melindungi Tantriana yang berada di bawah kekuasaan Agnes. Sekarang tidak. Tantri sejak pertama sudah menjadi kekasihnya. Ia tahu Agnes pun mengincar Tantri, tapi tidak kuasa merusak hubungan keduanya. Sementara Barbie, entah mengapa gadis itu begitu takut padanya. Begitu ingin sejauh-jauhnya darinya. Andaikan Barbie tidak masuk ke blok J, ia tidak akan keberatan, tapi hanya sel itu yang kosong.

“Ayo, Barbie, makanmu sudah selesai kan? Ikut aku.” Agnes beranjak lalu bicara dengan suara agak dikeraskan, supaya Helen mendengar dan melihat sikap kasarnya di depan mata.


Helen tersenyum sinis, tidak terpancing dengan begitu mudahnya. Menurutnya, itu masih dalam tahap yang wajar. Sri menyorongkan gelas air putih, tentu saja maksudnya bukan supaya melempar punggung Agnes, terlalu pengecut jika seperti itu.

Barbie dengan patuh mengikuti ketua bloknya. Tahu dirinya akan dibawa ke sel Agnes dan menerima perlakuan tidak bermoral untuk yang kesekian kalinya. Ia berharap ada seseorang yang berani menghentikan itu semua. Tatapannya sejenak terlempar pada Helen, tapi sosok itu lebih sibuk dengan makanannya. Terlalu lapar untuk memperhatikan sekelilingnya yang butuh bantuan.




Rick saat bercinta pun kasar, tapi beda dengan saat Kak Agnes melakukannya. Orang ini seperti sedang melepaskan amarah yang luar biasa. Bukan kemarahan pada dirinya, tapi orang lain. Aku hanya sebagai tempat pelampiasan. Dan apa pun itu sama menyakitkannya. Tubuhku tidak terlatih untuk bisa kokoh, apalagi melawan. Aku hanya mampu memejamkan mata, menahan air mataku agar tidak keluar. Aku tidak pernah menikmati setiap perlakuannya. Tidak ada seorang pun yang senang menjadi objek kekerasan seksual, ditambah penyiksaan yang menjadi-jadi.

Mengapa aku selalu jadi bulan-bulanan Kak Agnes? Mengapa selalu aku? Mengapa Inu dan Vina tidak pernah berada di posisiku sekarang?

“Hey lihat aku!” Tangannya dengan kasar menjambak rambutku. Aku meringis, dan rasanya kepalaku langsung terasa nyut-nyutan.

“Jangan, sudah cukup, tolong...,” pintaku dan air mataku pun menetes, memohon. Tangannya tidak juga mengendur.

Kamu mau coba-coba menggoda Helen, hah!” Mukanya begitu dekat denganku, ludahnya sedikit menyembur ke mukaku.

“Ng...nggak, Kak....” Aku tidak mengerti tuduhannya itu.

“Munafik!” Dia menamparku lalu memasukkan jari-jarinya ke kemaluanku dengan kasarnya.

Aku menggigit bibir.

“Kamu pikir dia mau denganmu, hah?! Dia nggak bakal mau sama pelacur kecil kayak kamu!”

“Kak, sakit, Kak....”

“Sekali lagi aku lihat kamu melirik si Helen, obeng yang bakal aku masukin ke kamu. Ngerti?!”

Kak Agnes lalu meninggalkanku begitu saja.




Saat piket, Barbie tiba-tiba pingsan dan langsung dibawa ke ruang perawatan. Badannya panas dan berkali-kali mengigau memanggil-manggil ibunya. Ryan segera dihubungi. Dua jam kemudian, dia datang setelah mangkir dari rapat dewan. Wajahnya tampak cemas ketika melihat kondisi keponakannya. Tubuh Barbie terlihat lebih kurus dan pucat. Keringat dingin terus keluar dari pori-pori kulitnya. Dokter yang memeriksa Barbie mengatakan, “Dia sepertinya kekurangan cairan dan juga kurang istirahat.”

Ryan menatap Siska. Mereka lalu bicara di dalam ruang kerja sang Sipir Kepala dengan begitu serius.

“Dia butuh menyesuaikan diri, Ryan. Hampir semua tahanan baru mengalami hal seperti ini, apalagi dia terbiasa dengan hidup yang serbaenak. Kamu tidak bisa menyalahkan penjara.” Siska memberi alasan, dia belum tahu pasti akar pemasalahannya.

“Aku akan minta Barbie diperiksa dokter pribadiku. Aku merasa ada yang berbeda dengan keponakanku.”

“Silakan saja, tapi doktermu toh akan mengatakan hal yang sama. Teman-temannya di sini bisa lebih cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Barbie mungkin pengecualian.”

“Siska, kamu pasti tahu sesuatu dan menyembunyikannya dariku. Aku akan minta kopian semua rekaman CCTV selama Barbie di sini.”

“Banyak prosedur yang harus kamu lewati, Ryan. Dan kenapa kamu begitu menganggap remeh sistemku? Di sini adalah penjara terbaik di kota ini. Kamu tahu betapa bangganya pak walikota dengan kinerjaku.”

“Persetan, Siska! Aku ingin tahu apa yang sudah terjadi dengan keponakanku!”

Braakk!!! Ryan dengan kesal memukul meja. Mukanya memerah saking sulitnya menahan amarah. Dia tahu, penjara akan memberi efek jera pada keponakannya, tidak sampai seperti sekarang. Keponakannya tampak begitu menderita.




Helen menulis diary dalam diam. Sudah sepuluh tahun dia mendekam di tahanan ini. Sebuah nyawa dia hilangkan, dan inilah konsekuensinya. Masih untung tidak sampai dihukum mati seperti tuntutan jaksa. Kariernya hancur tepat setelah dia positif menjadi tahanan, narapidana. Dia tuliskan di dalam buku catatannya. Setiap malam.

Dia merindukan keluarganya di luar sana. Meski keluarga kandungnya sudah tiada, tapi banyak yang sudah menganggapnya keluarga sendiri. Helen Armando, sebelum menjadi tahanan, adalah guru. Guru yang jujur dan disukai murid-muridnya. Dia seorang sarjana pendidikan yang lulus dengan nilai terbaik.

Guru adalah profesi ibu kandungnya, sebelum ayah dan ibunya memutuskan untuk bekerja di pabrik bahan-bahan kimia milik seorang pengusaha asing. Tapi kemudian terjadi insiden di pabrik yang menewaskan sebagian besar karyawannya, termasuk kedua orang tuanya. Ya itu kecelakaan, tapi si pemilik perusahaan seolah berusaha cuci tangan begitu saja.

Maka wajar, jika Helen pun naik pitam. Michael Donovan, si pemilik perusahaan, seharusnya mati sebagai penebus nyawa karyawannya. Dengan nekat, dia mencuri pistol salah satu kenalannya yang polisi lalu menembak lelaki itu, tepat di jantungnya. Helen melarikan diri, tapi polisi berhasil menangkapnya tidak lama berselang. Ada yang mendukungnya, ada yang mencemoohnya. Hidupnya sudah berakhir. Hukuman seumur hidup.

Helen mencatat setiap hal yang dia lewati. Apa yang dia amati. Tantriana banyak menghiasi tulisannya. Kekasihnya yang memiliki rambut panjang yang disemir merah. Tubuhnya yang mungil dan selalu membuat Helen bergairah saat mereka bersentuhan. Tantriana yang memilih dirinya ketimbang Agnes. Awal permusuhan itu adalah Tantriana.

“Woy! Nulis mulu. Mau jadi penulis heh?” Sri merebut diary dari tangan Helen lalu melemparkannya ke meja. “Ada gosip, si Barbie katanya masuk perawatan intensif. Anunya pendarahan.”

“Sudahlah, itu urusan Agnes. Kita nggak perlu ikut campur. Tahu sendiri bagaimana Agnes memperlakukan tahanan semacam Barbie itu.”

“Baru kali ini deh kamu cuek sama tahanan yang disiksa Agnes. Mbak Siska sampai tanya-tanya ke aku lho, kamu apa kabar gitu.” Matanya mengedip, menggoda Helen.

“Kamu yang bilang sendiri kalau backing-nya si Barbie itu orang kuat di dewan. Aku nggak perlu turun tangan kan kalau begitu? Dan soal Siska, jangan bikin cerita yang nggak-nggak deh.”

Sri bersedekap sambil masih kepalanya mendongak, melihat Helen di ranjang tingkat dua. “Oke, Tadi aku dipanggil ke ruang Mbak Siska. Dia minta pertimbangan, bagaimana kalau Barbie dikembalikan ke blok F. Backing-nya si Barbie juga maunya seperti itu.”

“Barbie itu nggak suka denganku. Biarkan saja dia tetap dengan Agnes, dulu dia yang minta seperti itu.”

“Beda sama dulu, Helen. Dan dua temannya yang lain juga minta ikut pindah.”

“Blok ini hanya ada dua yang kosong.”

“Soal itu mah gampang. Pokoknya kata Mbak Siska, Barbie sekarang jadi tanggung jawab kamu. Jangan sampai Agnes deketin dia lagi.”




Aku hanya bungkam ketika dokter Om Ryan memeriksaku. Pendarahan itu tidak bisa kusembunyikan terlalu lama. Dan aku juga tidak bisa tutup mulut dengan hasil visum. Om Ryan duduk di samping tempat tidurku dengan wajah yang begitu kucel, padahal dia biasanya terlihat energik di usianya yang menjelang empat puluh tahun. Rambutnya yang biasanya kelimis, sekarang tampak berantakan. Dia memegang tanganku.

“Minggu depan, ibumu akan datang menjenguk. Dia khawatir dengan keadaanmu, tapi adik-adikmu juga tidak bisa ditinggal begitu saja, harus dititipkan di rumah bibimu.”

“Terima kasih, Om.” Aku menyentuh punggung tangannya. Setidaknya, keluargaku masih peduli meski mereka terhalang jarak denganku.

“Lain kali, kalau ada apa-apa, hubungi Om saja, jangan seperti ini, Barbie.”

“Iya, Om, Barbie takut, Om. Tempat ini mengerikan, Om.”

“Sabar, ya, Om akan terus mengusahakan supaya kamu bisa dipindah tahanan kota. Sementara, kamu akan dipindahkan ke sel yang paling aman. Nggak akan lagi yang bisa mengganggu kamu.”




Aku baru tahu kalau sekarang aku satu sel dengan Kak Helen. Dia membawakan barang-barangku dari blok J ke F. Inu dan Vina juga ikut pindah ke blok F. Aku senang. Setidaknya sekarang Kak Agnes tidak bisa menyentuhku lagi. Kalau nekat, aku rasa Kak Helen bisa terlihat lebih buas.

“Mau ranjang di atas atau di bawah?”

Kak Helen memberiku pilihan. Betapa lancangnya jika aku menempati ranjang atas, karena itu adalah ranjangnya.

“Yang di bawah aja, Kak.”

Dia lalu memasangkan seprai baru untukku, lalu menata selimut di bawah bantal. Tidak ada guling. Aku berdiri memperhatikan punggungnya. Tidak ada yang salah dengan Kak Helen, kenapa aku dulu antipati padanya? Di penjara ini, semua orang punya masalah. Dia pembunuh, tapi aku yakin bukan pemerkosa.

“Aturan khusus di sel ini, nggak boleh memakai narkoba dan merokok. Kamu boleh membawa hape?”

Aku mengangguk. Itu permintaan khusus Om Ryan ke Sipir Kepala untuk memastikan aku baik-baik saja.

“Jangan gunakan hapemu di sel ini. Jangan mencoreti dinding, jangan membuka-buka diary-ku, jangan mandi terlalu lama.”

Aku tersenyum, melihat dia tersenyum. Kak Helen mengambil topinya lalu meninggalkanku sendirian di dalam sel. Kata dokter, aku masih harus banyak istirahat. Ini adalah hari piket dan aku diizinkan tidak ikut serta sampai dokter bilang aku sudah benar-benar pulih.




Blok F dan J bertanding basket. Anggota timnya masih sama, Agnes dan Helen yang menjadi bintang di lapangan. Agnes tampak sangat emosional tiap kali berhadapan dengan Helen. Beberapa kali dia mencoba menjegal kaki Helen tapi gagal. Rencana itu seakan terbaca dengan mudah. Kakinya mengambil posisi aman. Poin terus bertambah. Blok F sulit dikejar, sudah selisih sepuluh angka. Sri dan Barbie memberikan dukungan dari pinggir lapangan. Setiap kali Barbie menyoraki timnya, Agnes langsung menatapnya tajam, tapi Barbie cuek saja. Di babak kedua, Inu dan Vina memperkuat tim Helen. Lumayan juga permainan mereka, meski belum sejago Helen mencetak three point. Inu memegang posisi sebagai point guard, dan Vena sebagai shooting guard. Helen tentu saja seperti Agnes, center untuk tim masing-masing. Berkali-kali gagal menjegal Helen, Agnes behasil menjegal menjegal kaki kanan Inu ketika berlari, hingga dia terguling ke pinggir lapangan berlapis semen.

"Hey!" tunjuk Helen lalu urung melakukan aksi three point dan membanting bola dengan marah. Pantulannya mencapai tiga meter. Dia mendekat ke arah Agnes dengan langkah-langkah tegas. Teman-teman Agnes membentuk pagar sebelum sempat berjarak selangkah lagi.

"Sori, nggak sengaja," ucapnya enteng lalu meludah ke lapangan. Dia memberi isyarat pada teman-temannya untuk pergi karena para sipir mengawasi mereka dari kejauhan.

Helen menghampiri Inu yang mengaduh karena lengannya lecet dan berdarah. Sri dan lainnya menghampiri dengan cemas.

"Sri tolong bersihkan dan obati luka-lukanya." Helen menatap Sri, dan dijawab dengan anggukan mantap. Pandangannya mengarah ke Agnes yang menempati salah satu bangku di pinggir lapangan dan mengangkat botol minumnya dengan penuh kemenangan.

"Udah, Len, jangan sekarang. Lagi nggak aman." Sri menepuk-nepuk bahu sahabatnya lalu memapah Inu ke blok F untuk membersihkan luka-luka itu. Disampirkannya handuk kecil ke bahu Helen dan menyerahkan botol minumannya kepada Barbie.

"Perhatian! Perhatian! Helen dari blok F, kunjungan di ruang privat!" Pengumuman itu menyebar lewat speaker yang dipasang di atas pintu keluar menuju lapangan basket.

Helen mengusap keringatnya lalu mengambil botol minumannya dari tangan Barbie. "Kembali sel, jangan ke mana-mana sampai aku datang."

Barbie mengangguk kemudian mengajak Vina kembali ke blok F, menyusul Inu dan Sri. Dilihatnya Helen menemui sipir Endang yang sudah menunggunya di pinggir lapangan. Dia bertanya-tanya, siapakah yang berkunjung di luar jam kunjungan umum. Pasti tamu yang sangat penting.

Ya, memang penting bagi Helen. Dia sedikit menebak, dan tidak meleset. Tantriana menunggunya di dalam ruangan kedap suara di jam kunjungan khusus. Jam yang hanya dimiliki oleh para ketua blok.

Tantriana menunggunya di sana dengan wajah semringah. Dipeluknya Helen erat-erat, tanpa mempedulikan keringat yang membasahi pakaian Helen, lalu menciumi bibirnya. Helen melepaskan satu per satu kancing baju kekasihnya, lalu mulai menciumi tubuh wangi Tantriana yang lebih dari sebulan tak dilihatnya. Tantriana menggeliat, menikmati setiap sentuhan yang dirindukannya semenjak keluar dari tahanan itu. Kedua tangan kokoh Helen menggendong Tantriana menuju tempat tidur dengan kasur busa dan bantal, seprainya bermotif bunga mawar dengan dominasi warna merah muda. Kedua lengan Tantriana melingkari lehernya seakan takut terjatuh. Hingga tubuhnya dibaringkan di atas kasur dan membisikkan nama Helen berulang-ulang dengan mendesah-desah. Jika kalau bukan untuk urusan yang satu ini, Tantriana tidak akan nekat membayar hanya untuk pertemuan lima belas menit.

Siska yang mengamati lewat CCTV mematikan monitor untuk ruangan itu, sedikit cemburu karena diam-diam, Helen punya daya tarik tersendiri, dengan kemisteriusannya, dengan senyumannya, dengan romantismenya. Di samping itu, bagaimanapun juga, tahanan perlu diberikan privasi sesekali. Adegan yang terakhir dilihatnya adalah ketika Helen tengkurap di atas tubuh Tantriana dan keduanya berciuman tanpa putus-putus.

Lima belas menit untuk permainan cinta, artinya banyak kemesraan yang harus dihilangkan. Helen sesekali melirik jam tangannya. Waktu segitu terlalu singkat, mereka lebih leluasa ketika Tantriana masih di penjara ini. Tidak ada yang akan mengetuk pintu dan mengucap, "Waktunya habis!" dengan raut galak lalu mneyeretnya keluar dari ruangan. Di ruangan ini, semuanya harus serbaefisien. Tantriana datang karena membutuhkannya, menagih tugasnya sebagai kekasih, karena dia tidak menginginkan perempuan atau lelaki lain menciumi seluruh tubuhnya apalagi membuatnya ingin menjerit menjemput orgasme. Dia hanya mencintai Helen dan setiap sentuhannya, terlebih di titik-titik sensitif yang membuatnya merasa terbang jauh. Wajah tunangannya seakan tertutupi awan tebal dan dia tidak peduli.

Nafas-nafas mereka sudah tidak lagi memburu. Helen mengelapi tubuh sang kekasih yang berkeringat maupun basah karena ulahnya tadi. Diraihnya pakaian dalam Tantriana, memasangkan kembali satu per satu. Begitu juga dengan rok pendek serta blusnya yang ketat. Diambilnya sisir dari dalam tas milik Tantriana lalu menyisiri rambut bergelombang yang sudah bertambah panjang sekian senti sejak mereka terakhir bercinta.

"Aku pingin kamu lain kali, Sayang." Tantriana membisik lembut dan mengembalikan handuk Helen ke pemiliknya. "Tapi mandi dulu. Keringetan gini sih males."

Helen tersenyum. "Kamu ke sini bawa informasi apa?" Menurut perkiraan Helen, di dua menit terakhir, Siska tidak akan menyalakan CCTV dan mencuri dengar percakapan mereka.

"Aku hanya dapat kabar dari Adam, sesuatu yang bakal membuat kamu bisa cepat keluar dari sini. Biar dia yang menemui kamu. Aku nggak bisa sering-sering ke sini. Kecuali, bener-bener kangen kamu.”


Helen mengangguk mafhum. Diciumnya bibir Tantriana dengan lembut, dipencetnya bel hingga seorang sipir menjemput untuk mengantarkannya kembali ke bloknya. Dia benar-benar berharap, Adam membawa kabar baik untuknya. Pengacara muda itu punya jaringan ke detektif swasta profesional. Ada sesuatu yang mengusiknya hingga harus diselidiki. Kecurigaannya atas kasus kematian Michael Donovan dan desas-desus yang berujung keraguan akan satu fakta: Benarkah Michael Donovan tewas dalam peristiwa penembakan itu? Adam tidak berhasil menemukan makam pengusaha berdarah Prancis itu, baik di Indonesia maupun tanah kelahirannya. Dia sama sekali tidak percaya jika Michael Donovan dikremasi dan abunya disimpan di sebuah tempat rahasia.




Baru kali ini aku melihat Kak Helen dengan tubuh yang minim tertutupi busana. Sejak kunjungan tadi siang, dia terlihat, um, begitu ceria. Tapi, tetap saja tidak banyak bicara denganku hingga malam ini. Siapa sih tadi yang datang? Aku jadi penasaran. Ups, kaus singletnya dilepas, oh punggungnya. Tatonya menyambung dari kedua lengan sampai bermuara ke punggung, hanya menyisakan sisa sedikit ruang yang kosong. Di mana dia membuat tato keren seperti itu? Meski cukup seram karena kulihat ada beberapa tengkorak yang tidak utuh, setengah hancur, itu gambar utama di punggungnya. Lalu ada seperti malaikat berjubah hitam, dengan wajah yang tidak terlihat, dan api yang menjilat-jilat. Seperti gambaran neraka. Sementara tato di kedua tangannya aku tidak tahu bergambar apa. Abstrak.

Pintu-pintu sel ditutup tepat pukul sepuluh nanti. Kak Helen akan mandi, setelah aku. Baru kali ini aku diizinkan ketua blok melakukan sesuatu lebih dulu darinya. Mandiku tidak lama, takut membuatnya menunggu. Setelah selesai, pintu kubuka, dia masuk begitu saja ke kamar mandi, sementara aku masih di dalam dan membereskan pakaian kotor dan peralatan mandi, menaruhnya di keranjang pakaian kotor di bawah tempat tidur dan peralatan mandi juga di bawah tempat tidur. Sekilas, saat dia melintas, aku melirik dadanya, menelan ludah. Dia mungkin sengaja menghabiskan waktu di gym untuk membentuk tubuh hingga minim lemak. Setahuku, di antara ketua blok, hanya dia yang begitu rajin berolahraga, treadmill hingga mengangkat beban. Tubuh Kak Agnes bahkan jauh dari ukuran kekar, perutnya agak sedikit buncit. Lirikan Kak Helen membuatku canggung, aku ketahuan mengamati tubuhnya, cepat-cepat aku menyingkir, ketimbang dikira juga pencinta sesama.

"Makasih, Kak, kamar mandinya." Aku berkata dan tak sengaja lagi melihat ke arah dadanya, maksudku mau menatap mukanya, bukan daerah itu. Kurasa, mukaku sudah memerah. Ah sial!

Kak Helen menjawab dengan anggukan ringan. Didorongnya pintu dengan pelan. Dia mandi sambil bersenandung. Pintu kamar mandi memang tidak ditutupnya rapat sehingga aku bisa mendengar suaranya. Lumayan juga meski kurasa di blok ini suara Mbak Sri yang paling seksi.

Kak Helen keramas, rambutnya yang berpotongan pendek tampak basah dan acak-acakan. Begitu maskulin, tidak jauh dari tipikal ketua blok lain yang ingin tampil sebagai sosok lelaki. Ya, kalau tidak dengan membentuk tubuh, ya sikapnya yang brutal. Eksistensi menjadi sangat penting. Mereka penguasa area. Jika tidak tangguh, akan dimakan yang lain. Dan hanya Kak Helen yang terbukti brutal di luar sana. Lainnya hanya BD kelas kacang atom yang ketiban sial dan berusaha keras jadi jagoan di penjara ini.

Aroma parfum lelaki menguar dari tubuh Kak Helen. Dia keluar dari kamar mandi hanya dengan handuk melilit pinggang sampai ke lutut. Sama seperti ketika masuk kamar mandi, dadanya tidak tertutupi apa pun, tidak rikuh sedikit pun. Dia bersiul-siul riang lalu membuka lemari pakaian, mengambil kaus singlet lalu memakainya sambil jalan ke sana-kemari.

"Kak Helen nggak pake bra ya?" tanyaku polos.

"Segini emang perlu bra?" Ia menangkup kedua payudaranya yang tidak semenonjol perempuan pada umumnya. Dia menyisir rambutnya dan sekilas berkaca. Dilepasnya handuk kemudian memakai celana dalam. Semua itu dilakukannya dengan santai di hadapanku! Aku yang tidak santai! Di Amerika biasa saja melihat perempuan telanjang, tapi di sini? Di depan mataku! Hanya berjarak beberapa langkah dariku! Mengapa dia pamer tubuh padaku? Dia mengenakan bokser warna abu-abu.

Kami berdua berdiri di pintu sel, sebentar lagi saatnya penguncian pintu. Masing-masing tahanan harus memperlihatkan wajah barulah sel kami dikunci hingga besok pagi. Sipir Siska berdiri di belakang para sipir yang bertugas mengunci pintu. Dia melemparkan senyuman pada Kak Helen yang dibalas dengan anggukan kepala. Kak Helen mengambil sebuah buku dari atas meja kemudian membawanya ke ranjang. Aku berdiri mematung seperti orang tolol. Kepalanya menoleh, alisnya terangkat.

“Belum mengantuk?”

Aku tergagap. Lalu merutuki diriku yang bersikap tolol seperti tadi. Kunaiki ranjangku lalu menyelimuti diri. Udara tidak dingin, tapi kecemasanlah yang membuatku menggigil. Masih teringat olehku semua perbuatan jahat Kak Agnes padaku.

“Matikan saja lampunya, Barbie.” Suaranya terdengar lagi.

“Kakak masih mau membaca?”

“Menulis diary. Aku biasanya menulis sampai jam dua belas. Ada lampu kecil, matikan saja lampunya kalau kamu terganggu.”

“Tidak apa-apa, Kak. Ak...aku belum ngantuk kok.”

“Kamu suka baca? Aku punya beberapa buku kalau kamu mau baca.”

“Nanti saja, Kak.” Aku menghidupkan ponsel. Ada pesan-pesan dari ibuku, Rick, dan Om Ryan. Semuanya menanyakan kabar. Aku hanya boleh mengirim dan menerima pesan, tidak boleh menelepon maupun menerima telepon. Bagiku, itu sudah cukup. Setidaknya aku bisa tahu kabar di luar sana.

“Kak,” panggilku setelah bosan menggunakan hape.

“Yap? Ada apa, Barbie?”

“Kakak masih hubungan sama Tantriana?”

“Masih, tadi dia datang. Apa istilahnya sekarang? LDR? Dia punya kehidupan di luar sana, punya tunangan, entah mungkin akan menikah. Tapi, faktanya kami masih berpacaran. Seks itu bagian dari cinta, bukan? Dan dia hanya suka bercinta denganku. Kamu punya pacar?”

"Namanya Rick, kami sudah dua tahun pacaran, sekarang juga LDR."

"Seks?" Kak Helen bertanya to the point.

"Ya, dengan kondom. Dia tipe yang kasar, um, aku suka dengan pria yang kasar ketimbang yang pelan dan seakan-akan aku akan kenapa-kenapa."

"Baguslah."

Apanya yang bagus? Mengapa dia bertanya tentang kehidupan seksualku dan hanya berkomentar "baguslah" tanpa ada lanjutannya?

"Pernah selingkuh?"

"Ya, tapi cuma buat senang-senang, Rick orangnya setia."

"Dia sudah pernah menjengukmu di sini?"

"Kurasa, dia sedang sibuk." Rick mungkin bukan sedang sibuk, tapi malu punya kekasih di penjara. Dia keturunan bangsawan Inggris yang menjaga kehormatan, dan aku dari dari hal itu. Pesan-pesan darinya semakin lama semakin basi, hanya pertanyaan-pertanyaan yan tidak berarti. Mungkin perempuan murahan itu berhasil merebut perhatian Rick. Joanna. Fuck you!




Ryan datang menjenguk bersama Clara Wibowo—ibu kandung Barbie. Seorang perempuan Indonesia tulen yang sekarang sudah menjadi warganegara Amerika. Wajah keduanya mirip meski terhitung sepupu jauh. Clara memeluk putri sulungnya, menciumi rambutnya. Barbie mengedarkan pandangan, dilihatnya Helen juga dikunjungi dua orang, satu pria satunya wanita. Bukan Tantriana.

“Om tetap mengusahakan supaya kamu pindah dari tahanan ini.” Ryan dengan wajah serius berbicara pada keponakannya. Masih ada cemas yang tergambar di wajahnya.

“Barbie baik-baik aja kok, Om.”

“Adik-adik kamu titip salam, Sayang. Mereka mau ujian, jadi Mama nggak bolehin ikut kemari. Kamu bener udah baik-baik aja? Kamu udah nggak ‘make’ lagi kan?” Clara Wibowo bertanya penuh selidik.

Barbie menggeleng, padahal kenyataannya, dia selalu punya stok heroin yang dibelinya dari Sri. Inu dan Vina pun juga begitu. Hanya saja mereka selalu menggunakan dengan lebih hati-hati dan dalam dosis rendah. Sembilan puluh persen penghuni tahanan ini adalah pemakai heroin. Bandar-bandar narkoba tidak kehilangan pendapatan di sini. Selalu ada transaksi setiap hari. Dan blok F adalah pasar terbesar, setelah itu blok J.

Clara Wibowo menghela napas. Dia tahu, putrinya belum sepenuhnya lepas dari narkotika. Pengalaman masa mudanya sebagai "pemakai" membuatnya mudah mengenali kondisi putrinya. Dia yakin, Ryan pun demikian. Di masa SMA, mereka berdua kompak soal yang satu itu. Di kamar Ryan, mereka sering teler berdua.

“Papamu harap kamu kembali ke Amerika setelah kamu dapat jaminan bebas. Supaya kamu direhabilitasi sama dokter di sana.”

“Ma, Barbie udah nggak make lagi kok. Tanya deh sama Inu, sama Vina. Tanya Kak Helen juga.”

Clara memandang Ryan. Nama yang terakhir disebut putrinya, cukup asing. Ryan segera menjelaskan sebelum pertanyaan meluncur dari mulut sepupunya. “Teman sekamar Barbie. Orang ini ‘bersih’, aku jamin itu, Clara."

“Itu orangnya, yang pakai topi hitam, lengannya tatoan.” Barbie memberi isyarat mata ke arah Helen yang tampak serius mendengarkan ucapan dari kawannya yang pria. Ada sebuah amplop berwarna cokelat diserahkan pria itu pada Helen.

Clara memperhatikan sosok itu. Helen? batinnya. Helen Armando? Dia mengikuti kasus penembakan sepuluh tahun lalu, membacanya dari internet, tidak melewatkan setiap proses persidangan. Hingga keputusan dijatuhkan hakim, tahanan seumur hidup. Dia punya alasan tiba-tiba gelisah. Sosok itu membuatnya ngeri. Teman satu sel putrinya? Ryan sudah gila!

Begitu keduanya masuk ke dalam mobil, Clara tidak bisa lagi menahan emosinya.

"Kamu bilang putriku aman? Kamu letakkan dia satu kamar dengan Helen Armando?"

Ryan memandangnya dengan ganjil. Dinyalakannya mesin Mazda CX-9 dengan santai. Mereka meninggalkan area parkir dan kembali ke pusat kota, mengantarkan Clara ke hotel dan dia ada rapat dewan sehabis jam makan siang. Ryan memberikan alasan mengapa membiarkan Helen dan Barbie satu sel, tanpa harus mengatakan bahwa Barbie menjadi korban pelecehan seksual sebelumnya. Dia khawatir, Clara akan bereaksi lebih parah lagi.

"Helen Armando akan selamanya di sana, Clara, tidak akan berbuat macam-macam. Semua yang dia lakukan sudah masa lalu. Aku mendapat jaminan jika Barbie akan aman bersamanya. Kamu pasti tahu kan kalau Barbie masih membandel? Kamu melihat matanya? Menyimak cara berbicaranya? Kamu pikir dia terlihat bersih dari narkotika?"

"Helen Armando itu pembunuh! Siapa yang memberimu jaminan jika dia suatu saat akan melukai putriku? Mengapa kamu percaya padanya? Mengapa kamu begitu naif, Ryan?"

"Apa masalahmu dengan Helen Armando? Kamu banyak berubah, Clara. Apa kamu mengikuti beritanya dari Amerika sana? Untuk apa kamu repot-repot tahu soal dia? Dia membunuh seseorang yang memang pantas mati! Michael Donovan adalah orang nggak bertanggung jawab atas kematian begitu banyak karyawannya! Kalau aku berada di posisi Helen, aku akan melakukan hal sama, kau tahu itu? Aku merasa hukuman ini sangat tidak adil."

Clara membuang pandangannya ke jendela samping. Ada sesuatu yang dirahasiakannya, dari siapa pun, bahkan dari suaminya, tentang masa lalunya bersama Michael Donovan, ayah dari putri sulungnya. Sungguh, dia takut, putrinya akan dilukai oleh jika sampai tahu soal hal ini. Kecemasannya sangat beralasan, dan dia bingung siapa yang sekarang mampu memahaminya. Ryan jelas pro pada Helen.






Yogyakarta, 23 Juli 2014

Post a Comment

Previous Post Next Post