Ini peringatan terakhir, jauhi istriku.
"Ini peringatan terakhir, jauhi istriku," ulang Ben bersiul lalu menghela napas. Mata sipitnya mengerling ke jendela, langit gelap. Pesan itu terkirim ke nomor Ale, sekitar tiga jam lalu, tak lama setelah sepupu dari pihak ibunya itu, makan malam dengan dokter anak di sebuah rumah sakit swasta. "Dan kamu, aku tahu, tidak akan menjauhi Zara begitu saja."
Sedikit lewat tengah malam ketika Ale meminta Ben yang masih asyik dugem kembali ke apartemen di lantai tujuh tersebut. Ben baru menenggak satu gelas tequila ketika ponselnya bergetar tanpa henti. Itu tandanya Ale memaksa agar panggilannya dijawab, dan sebagai sepupu yang berutang budi cukup besar, karena sepupunya yang seorang dokter gigi selalu siap membantu finansialnya yang labil, Ben meninggalkan klub bawah tanah milik seorang pengusaha muda kenalannya dengan segera.
"Zara punya keluarga,dan kau masuk begitu saja. Anaknya bahkan barus berusia dua bulan, ayolah, aku bisa mencarikanmu perempuan lain, model? Atau kau suka pilot? Tinggal pilih. Mereka available, oke?"
Ale menuang wine untuk kedua kali ke gelasnya, menyesapnya perlahan, membiarkan kehangatan mengaliri tenggorokannya yang tidak terasa kering, tapi iya, otaknya yang mulai bekerja ekstra. Kemejanya disampirkan ke kursi, T-shirt hitam bergambar lambang swastika berdiameter sejengkal tangannya, menempel di badannya. Usianya baru tiga puluh, putri seorang dokter terkenal yang punya klinik besar dengan pasien langganan bermobil mulai dari jenis Hummer sampai Aventador bernilai miliaran rupiah. Ayahnya dokter kandungan yang tidak perlu ditanya berapa penghasilan bulanannya. Seorang istri jendral pernah dibantunya melahirkan anak ketiga, maka terkenallah dia di kalangan elite militer, menjadi dokter kepercayaan dan bertarif tinggi.
Pesan-pesan singkat sampah seperti ini lazim dikirimkan Bram si suami pencemburu yang mengandalkan backing ayahnya sang wali kota, semenjak tahu seorang dokter tidur dengan istrinya yang sedang hamil empat bulan. Jika ia bertindak lebih nekat, ia khawatir nama ayahnya akan terseret, membuatnya berada di posisi semakin sulit, karena belakangan hubungan dengan sang ayah cukup renggang. Hubungan itu terus berjalan dengan sepengetahuan Bram, sementara kandungan Zara semakin besar. Iya, dia khawatir, karena Zara pun mencintai dokter bertubuh tinggi tegap dengan rasa percaya diri begitu sempurna. Rasa takutnya lebih sekadar Zara akan berpaling darinya, turut membawa Aaron, buah cinta mereka, dan tinggal bersama Ale.
"Zara tidak diperlakukan seperti manusia, bahkan selayaknya seorang istri. Hanya kepadaku dia cerita bagaimana Bram memperlakukan dia di tempat tidur, mengikat tangan dan kakinya dalam posisi tengkurap, memukuli bahkan menyakitinya sedemikian jahatnya, hanya untuk membuang sperma ke dalam tubuh istrinya. Sejak mereka menikah, Bram selalu berlaku begitu, hingga Zara hamil, tanpa sengaja bertemu denganku di rumah sakit, aku merasa ada yang tidak beres dengannya, dia berusaha menutupi tapi bahasa tubuh dan sorot matanya tidak bisa bohong dengan leluasa, dan kurasa dia pantas merasakan seks yang lebih elegan."
"Kau merasa memperlakukannya dengan elegan? Meniduri perempuan hamil?" Ben mengangkat satu aliasnya, meragukan kebenaran perkataan sepupunya.
Ale beranjak dari sofa dan menganggukkan kepala. Jendela memperlihatkan pemandangan kelap-kelip Shark City yang masih terus membangun kemegahannya, dia hanya berjarak enam puluh senti dari jendela kaca antipeluru yang tertutupi gorden sewarna daun yang kering, apartemen termahal dengan tingkat sekuritas menyamai keamanan orang nomor satu di kota itu.
"Aku menciumnya, untuk pertama kali, maksudku untuk membuatnya tahu kalau bercinta bisa dimulai dari tahap itu. Bukan dengan rasa takut lalu sakit luar biasa. Aku tidak perlu mengajari seorang gigolo untuk mengenali bagian-bagian sensitif pada perempuan kan?" Dia membalikkan badan. Menyindir sepupunya.
Ben mengacungkan jari tengah lalu sejenak menikmati sesi chasing the dragon cuma-cuma, cemilan yang paling ia sukai di apartemen Ale, tanpa harus takut risiko digrebek polisi. Suara denting dari ponsel layar sentuh Ale tidak menghentikan keasyikan menghilangkan sedikit tekanan hidup, ya gigolo pun punya masalah, setidaknya Ale menyediakan solusi jangka pendek.
Ale memengambil ponselnya. Barusan ada pesan masuk.
"Hm, kuharap kamu tidak keberatan jika malam Zara menginap malam ini." Dia merapikan rambutnya yang agak berantakan sebelum membuka pintu.
"Ale! Suruh dia pulang! Apa kau gila?!" Ben buru-buru membereskan pengantar telernya dengan tidak rela, di saat benar-benar butuh semacam pencerahan dari si bubuk putih. Tempat terdekat adalah laci meja milik sepupunya. Dengusannya terdengar ke telinga Ale.
Zara punya wajah yang terlihat lelah, tapi juga seorang ibu yang tangguh. Aaron asyik menyusu pada ibunya yang bersantai di kursi goyang di dalam kamar tidur, kepalanya dibelai sesekali oleh Ale yang duduk di sebelahnya. Interaksi anak dan ibu itu tidak ingin diusiknya. Dia beranjak, mengambil sebuah buku tebal berisi kumpulan junal ilmiah lalu menempati kursi kerjanya di ruang sebelah. Dicobanya mengalihkan pikiran dari Zara, yang datang di saat orang mulai mengistirahatkan tubuh, termasuk juga dirinya, yang besok harus ke tempat praktik untuk operasi pemasangan plat gigi seorang pasien.
Zara tidak lama kemudian mengetuk pintu dan masuk. Putranya sudah tidur di dalam boksnya, setelah kenyang akan makanan satu-satunya semenjak keluar dari rahim sang ibu dua bulan lalu.
"Bram membiarkanmu kemari, setelah ia mengancamku." Ale menutup bukunya lalu membiarkan Zara menduduki kedua pahanya. Zara punya tubuh khas perempuan Shark City yang rata-rata tidak tegap menjulang seperti Ale, rambutnya hitam alami agak bergelombang dan dibiarkan panjang melewati bahu. Lebih spesifik, dia memiliki bibir yang begitu lembut berdaya magnetik tinggi hingga sekali bibir Alen menyentuhnya, tidak rela dilepaskannya hingga mereka mencatatkan dosa-dosa berat pengkhianatan cinta atas lembaga pernikahan yang mengikat Zara dan Bram.
"Dia mengancam akan membuka semua ini ke publik, dan kamu akan jadi cemoohan orang, Ale." Zara mengusap hidung tinggi kekasihnya dengan ujung hidungnya, sampai napas mereka beradu. Sepasang tangan yang melingkari pinggangnya mengerat, mendekatkan mereka, menjadi salah satu penanda Ale berusaha melindunginya dari apa pun, termasuk suami Zara yang kurang waras.
"Ada banyak konsekuensi jika Bram bikin ulah, dan masyarakat akan bisa menilai, di pihak siapa mereka akan dominan. Kamu hidup bersama seorang pria BDSM dan bertahan sampai saat ini, Zara."
"Dan aku berselingkuh denganmu." Zara beranjak, tapi Ale merangkul penggangnya dengan kuat. "Dia berjanji akan terapi jika aku mau mengakhiri hubungan ini. Aku datang hanya untuk mengatakan itu."
Ale menarik napas dalam-dalam, menertawakan hal itu di batinnya sendiri. Pria seperti Bram bukan hanya ada satu di dunia, mereka ada karena nyaman dengan semua penyiksaan berujung seks yang kasar. Konsep itu sudah dikenalnya semenjak kuliah, seorang temannya sama seperti itu, dan tidak ambil pusing. Beda dengan Zara, dia menjadi slave yang harus diselamatkan dari sang master. Bahwa Zara lebih baik dengannya ketimbang Bram.
"Besok biar Ben yang mengantarkanmu pulang. Aku harus ke klinik. Tidurlah, ada pekerjaan yang masih harus kuselesaikan."
"Kamu mengakhiri hubungan kita? Selamanya? Begitu saja?"
"Aku hanya menuruti apa yang kamu minta, beri kesempatan pada Bram untuk membuktikan janji itu. Lagipula, dia ayah dari putramu."
Zara beranjak dari pangkuan Ale lalu masuk ke kamar tidur. Melepaskan celana jins dan cardigannya kemudian bergelung di balik selimut, melawan terpaan pendingin udara. Kedua matanya sudah begitu berat, lalu tak lama tertidur, tanpa Ale menyusulnya seperti biasa dan memeluknya hingga pagi hari.
"Jadi sang pahlawan menyerah dari misi suci menyelamatkan kekasihnya dari predator putra walikota Shark City?" goda Ben yang asyik membagi-bagi heroin menjadi empat baris lalu diisapnya satu per satu dengan santai, di balkon kamar tidur Ale.
Si pemilik kamar meraih pemantik gas kemudian menyalakan lintingan menyerupai rokok berisi marijuana. Diisapnya dalam-dalam lalu lintingan itu diletakkannya di asbak. Seorang rekannya punya bisnis sampingan berjualan Mary Jane khusus di kalangan para dokter muda, Ale selalu mendapat harga khusus dan pelayanan antar tanpa biaya tambahan. Dia pelanggan setia yang tidak pernah membeli dalam jumlah sedikit. Ada saat-saat tertentu dia butuh semacam penenang diri dan itu salah satu caranya. Sejak SMA, ia sudah merasakan betapa masalahnya terlupakan begitu saja setelah mengisap satu hingga dua batang lintingan grass.
Ben meraih ponselnya sejenak kemudian mengetik sebuah pesan dan langsung mengirimkannya. Diteruskannya lagi memenuhi syarafnya dengan bubuk putih itu dan tidak sedikit pun Ale menyentuhnya, karena Zara memohon agar dia tidak lagi pernah menggunakan heroin, setidaknya selama mereka menjalin hubungan yang belum lagi genap setahun.
"Memberi kesempatan beda dengan menyerah, Bro," jawab Ale santai sambil tersenyum tipis. Ditenggaknya bir yang hanya tersisa dua teguk. Botol bir kedua. Dia beranjak sejenak ketika bel pintu berbunyi. Disambarnya dompet di meja ruang tengah. Pizza delivery. Malam itu, ia dan Ben tak tertarik makan di luar. Ben juga tak punya klien yang harus ditemani tidur. Atau, ia sedang benar-benar jenuh dengan pekerjaan sebagai tukang blow job. Ia sedikit iri dengan Ale yang selalu punya kekasih. Komitmen.
Ale membuka kotak pizza dengan satu tangan, tangan kirinya memegang rokok. Seporsi pizza tipis dan renyah dengan topping jamur dan smoked beef menjadi pengisi perutnya malam ini. Diambilnya seiris untuk dikunyahnya. Dia tidak pernah mengabaikan lapar, weed kering membuatnya lapar, lapar harus dibayar dengan makan. Sebagai seorang dokter, dia tahu betul akan hal itu. Sementara Ben tidak tertarik makan. Setidaknya, ketika sedang akhir membuat diri sendiri teler.
"Jadi, kamu tidak salah jika bertemu dengan orang baru, kan?" Ben memastikan sepupunya mengiyakan. Besok, seseorang akan datang. Mungkin saja, Ale akan tertarik padanya. Setidaknya, di jari manis Laura belum ada cincin pertunangan maupun pernikahan. Tidak perlu mengenalkan sepupunya lagi-lagi ke istri orang.
"Pertemanan bisa dimulai kapan saja, bahkan hari ini." Ale menghiasi permukaan pizza dengan saus tomat bercampur merica dan sejenak meninggalkan rokoknya. Rasa laparnya minta dituntaskan, dan Ale tidak mau menghabiskan waktu menduga apa yang akan terjadi hari esok.
Sang dokter mengenakan jas putihnya setelah mencuci tangan di wastafel ruang praktik. Hari itu, rambutnya dibiarkan terurai melewati bahu, membuat pasien pertamanya mengira bukan dia Dokter Ale Febrian, melainkan artis yang sedang riset untuk film terbaru. Orang sering mengira dia lelaki dengan nama seperti itu, kemudian dengan sendirinya memaklumi bahwa sosok yang duduk di balik meja jati dengan kacamata bulat berbahan kaca itulah sang dokter.
Pasien pertama hingga keeenam, hanya sebatas scaling, pasien berikutnya datang dengan gusi sebelah kiri bengkak akibat dicabut di klinik lain. Ale memeriksa pembengkakan itu kemudian menuliskan resep untuk meredakan radang sekaligus memintanya konsultasi minggu depan. Lelaki itu mengangguk pelan kemudian digandeng keluar oleh sang istri. Klinik gigi tempat pria itu mencabut gigi sering bermasalah, bukan sekali dua kali pasiennya dirujuk ke klinik Ale untuk penanganannya. Padahal, tarif berobat di kliniknya tidak murah, apalagi obat-obatan yang ia resepkan.
Pasien selanjutnya bernama Laura Candraningtyas. Salah seorang suster mengedipkan mata ke arah Ale dan mulutnya mengerucut tanpa mengeluarkan suara siulan. Ale mengeringkan tangan kemudian menempati kursi kerjanya. Dia duduk di hadapan seorang perempuan berdagu runcing dengan belahan di tengah-tengahnya. Kulitnya sehat dengan tanpa begitu gelap, kadar pigmennya tertakar dengan sempurna. Kemejanya menurut Ale terlalu tipis hingga siapa pun bisa melihat bra yang sewarna dengan rambut khas perempuan Shark City. Kedua kakinya terbungkus celana panjang berbahan thaisilk, membuatnya terkesan berkelas.
"Gigimu sangat sehat, Laura," komentar Ale saat membaca dental record pasiennya. Tidak pernah filling atau ekstraksi. Scaling rutin dilakukannya setahun dua kali sesuai rekomendasi dokter, terakhir dua minggu lalu.
"Aku sebenarnya hanya ingin ketemu kamu, dari Ben."
Ale berpikir. Wajahnya terangkat, mengarah ke wajah lonjong dengan hidung runcing sempurna, bisa jadi hasil operasi plastik.
"Ben tidak bilang apa-apa." Ale menutup map dental record lalu paham, Laura datang bukan untuk konsultasi gigi.
Perempuan itu tersenyum, memperlihatkan deretan gigi yang rapi tanpa cela, putih dengan proses bleaching yang tidak murah. Ale mengakui, lawan bicaranya tahu bahwa penampilan seseorang harus dijaga mulai dari kepala hingga ujung kaki.
"Besok aku ada penerbangan Seagull, jika kamu ada waktu, mungkin jam makan siang atau nanti malam?"
Ale mengerling suster yang melintas di belakang Laura.
"Jadi, siapa Laura ini? Oke, aku tahu dia pilot yang sibuk, temanmu saat SMA, ayahnya anggota dewan yang punya lima yayasan sosial, ibunya musisi yang sering tampil di Seagull City. Dia seorang vegetarian, penganut Saintologi, dan dia terlalu dominan di ranjang."
Ben meninju lengan sepupunya. Dipanggilnya seorang pelayan Black Cafe untuk memesan espresso lagi. Mereka duduk di kafe rooftop yang menumpang hotel berbintang lima di pusat Shark City, sekitar lima blok dari apartemen Ale dan tujuh blok dari klinik dokter gigi itu. Baru saja jam digital Ben berbunyi, pukul delapan malam. Jam sembilan nanti Ale ada janji dengan Laura, lalu Ben dengan seorang janda kaya kesepian.
"Dia biseksual, tapi jangan kamu artikan yang macam-macam. Soal good in bed, aku tidak tahu, tidak pernah tidur dengannya, dia bukan tipeku. Dia jauh berbeda dari Zara, dia sangat bebas, itu sebabnya dia menjadi pilot dan tidak kurekomendasikan menjadi pacarmu."
Ale mengangkat alis. Dia membakar ujung rokok, kali ini murni termbakau. "Karena aku lebih pantas dengan Zara? Dia tidak meneleponku sama sekali hari ini, dan aku kangen dia." Batere ponselnya masih penuh karena tidak ada percakapan panjang dengan Zara. "Hanya untuk senang-senang?"
Ben mengangguk. Espressonya datang, diantar oleh pelayan bernama depan sama dengan perempuan yang siang tadi membuat Ale enggan beranjak dari ranjang hotel dan kembali ke klinik, tapi ia harus.
Zara seorang ibu, meski usianya masih tergolong muda. Masih menyusui putranya dan cadangan ASI-nya masih cukup banyak. Putranya, Aaron, sering terbangun tengah malam, memaksa Zara ikut terjaga sampai putranya tidur lagi. Suaminya masih saja memperlakukannya seperti budak seks, tidak menepati janjinya sendiri. Ale tahu, itu sulit diubah, jika Bram tidak mau mengubah dirinya sendiri. Maka, itu alasan Zara datang membawa bayinya ke apartemen Ale.
"Coba kulihat luka-lukamu," pinta Ale sembari menutup pintu balkon. Aaron sudah tertidur nyenyak di dalam boksnya. Bantal mungil warna biru muda mengganjal kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Dua guling berada di sisi kiri dan kanannya. Rautnya serupa Zara.
Zara menggeleng, ditepiskannya tangan Ale yang sempat membuka kancing blusnya. Zara selalu mengenakan blus lengan panjang untuk menutupi kreasi kejam sang suami di tubuhnya. Luka-luka itu perih jika disentuh, meski Ale menyentuh dengan lembut, tidak bermaksud menyakitinya.
Ale menghela napas. Dalam hati ia bersyukur, Zara tidak datang tiga malam lalu, saat dirinya membiarkan Laura membuatnya mengejang di atas ranjang, dengan atau tanpa strap on, dan bukan hubungan intim yang sepihak. Zara benar-benar straight, yang tidak mengenal prinsip "saling" dalam segala aspek kehidupan. Mana dia tahu kalau dia pun punya tugas memuncakkan hasrat pasangannya? Hanya angannya yang selalu berharap, Zara menguasai tubuhnya, berlaku sesukanya, apa pun. Tapi itu tadi, Zara tidak mengerti.
"Aku ingin minta cerai."
"Aku akan bantu mengurus semuanya, aku punya kenalan pengacara. Dia tidak berhak memperlakukanmu seperti ini terus. Lihat dirimu, Zara, Ben bahkan ingin sekali menghajar Bram jika aku tidak mengancam akan mengusirnya dari apartemen ini. Sementara, kamu bisa tinggal di sini."
Zara memandang boks putranya. Aaron membuatnya bertahan dengan semua rasa perih. Bram makin menjadi bahkan melarangnya bekerja, mengurungnya di rumah, merebut ponselnya. Menyiksanya di malam hari ketika pulang dengan mulut beraroma alkohol. Hingga Zara membawa lari Aaron, ke apartemen Ale. Dia mengandalkan Ale yang tidak pernah takut pada Bram, di samping dia mencintai Ale dengan semua kelembutannya.
"Sebentar, aku ambil minum."
Ale beranjak ke dapur, mengambilkan air putih, memasukkan sebuah pil cepat larut ke dalamnya. Diberikannya pada Zara yang tampak masih waswas jika Bram menyusulnya. Obat itu bereaksi kurang dari sepuluh menit, matanya terasa berat lalu tertidur dengan pakaian lengkap.
Sebuah tas diambil Ale dari ruang kerjanya. Didengarnya suara pintu dibuka, dilihatnya Ben pulang dengan keadaan mabuk, jalannya sempoyongan. Ben melihat Ale dan segera paham, ada Zara di kamar tidurnya, dia tidak akan mengganggu, dia memutuskan langsung mengunci diri di dalam kamar sementara Ale pun masuk ke kamar tidurnya sendiri.
Luka-luka yang baru, lebam, sangat menyakitkan Ale ketika melihat, memenuhi punggung dan dada kekasihnya. Dibersihkannya dengan perlahan. Obat tidur yang dimasukkannya ke dalam minuman Zara, reaksinya baru akan hilang pagi nanti. Rasa perih karena alkohol mengenai permukaan kulit yang terluka tidak akan dirasakan Zara sama sekali. Ale mengecup bibirnya. Dia sangat mencintai Zara.
"Laura menanyakan kabarmu." Ben menaikkan kakinya ke meja. Pandangannya lurus mengarah ke gedung perkantoran bertingkat di sekitar apartmen mereka. Mereka berada di balkon tanpa heroin dan ganja. Zara sedang mandi, lelah menghadiri sidang perceraiannya dengan Bram seharian tadi. Ale menggendong Aaron yang tertidur nyenyak. Dua minggu ini, Zara dan Aaron tinggal di apartemen Ale. Ben terpaksa menikmati heroin di kamarnya sendiri. Ale sama sekali tidak berminat menyentuh marijuana.
"Dia meneleponku dari Seagull, jam terbangnya padat, dan aku jarang menjawab teleponnya."
"Jadi, kamu memilih Zara?" Ben manggut-manggut. Dia lebih merestui sepupunya itu bersama Laura yang bebas, ketimbang calon janda beranak satu. Yang pasti, meski nantinya pengadilan telah memutuskan perceraian antara Zara dan Bram, dengan hak asuh jatuh ke tangan Zara, toh Bram tetap punya hal menemui putranya. Si anak wali kota sepertinya berpikir berulang kali mengadukan masalahnya pada sang ayah. Bisa-bisa Ale melaporkan tindakan kekerasannya pada polisi. Dia tidak ingin itu terjadi, maka gugatan cerai disetujuinya. Jauh di lubuk hatinya, dia benci setengah mati pada Dokter Ale.
"Memilih? Hm, lebih tepatnya menerima Zara dengan kondisi yang bagaimanapun juga. Dan satu lagi, dari dulu aku sangat ingin punya pacar dokter." Ale tersenyum nakal sambil menaikkan dagunya bak aristokrat paling menyebalkan.
Ben menyerigai. Pintu balkon digeser dari dalam. Zara muncul dengan tiga gelas jus jeruk di atas nampan. Pembicaraan keduanya pun beralih ke hal lain, tentu mereka tidak akan membahas tentang sosok pilot yang jauh di Seagull sana. Aaron langsung terbangun menyadari ibunya datang dan merengek manja minta disusui.
"Ahem, aku ke kamar deh." Ben membawa serta gelas jusnya meninggalkan tempat itu. Dia selalu salah tingkah jika berada di momen khusus ibu dan anak, terlebih jika Ale menambahkan dengan adegan berciuman yang panjang.
Ale menarik kursi bekas duduk Ben hingga tepat di sampingnya. Keningnya dikecup Zara sebelum duduk dan membiarkan putranya asyik menuntaskan rasa haus. Dia sabar menunggu Zara yang tidak pernah menjanjikan akan meninggalkan suaminya berperilaku seperti itu padanya, hanya saja Ale berharap, sebuah keajaiban terjadi untuk mengubah segalanya.
Yogyakarta, 23 Juli 2014
"Ini peringatan terakhir, jauhi istriku," ulang Ben bersiul lalu menghela napas. Mata sipitnya mengerling ke jendela, langit gelap. Pesan itu terkirim ke nomor Ale, sekitar tiga jam lalu, tak lama setelah sepupu dari pihak ibunya itu, makan malam dengan dokter anak di sebuah rumah sakit swasta. "Dan kamu, aku tahu, tidak akan menjauhi Zara begitu saja."
Sedikit lewat tengah malam ketika Ale meminta Ben yang masih asyik dugem kembali ke apartemen di lantai tujuh tersebut. Ben baru menenggak satu gelas tequila ketika ponselnya bergetar tanpa henti. Itu tandanya Ale memaksa agar panggilannya dijawab, dan sebagai sepupu yang berutang budi cukup besar, karena sepupunya yang seorang dokter gigi selalu siap membantu finansialnya yang labil, Ben meninggalkan klub bawah tanah milik seorang pengusaha muda kenalannya dengan segera.
"Zara punya keluarga,dan kau masuk begitu saja. Anaknya bahkan barus berusia dua bulan, ayolah, aku bisa mencarikanmu perempuan lain, model? Atau kau suka pilot? Tinggal pilih. Mereka available, oke?"
Ale menuang wine untuk kedua kali ke gelasnya, menyesapnya perlahan, membiarkan kehangatan mengaliri tenggorokannya yang tidak terasa kering, tapi iya, otaknya yang mulai bekerja ekstra. Kemejanya disampirkan ke kursi, T-shirt hitam bergambar lambang swastika berdiameter sejengkal tangannya, menempel di badannya. Usianya baru tiga puluh, putri seorang dokter terkenal yang punya klinik besar dengan pasien langganan bermobil mulai dari jenis Hummer sampai Aventador bernilai miliaran rupiah. Ayahnya dokter kandungan yang tidak perlu ditanya berapa penghasilan bulanannya. Seorang istri jendral pernah dibantunya melahirkan anak ketiga, maka terkenallah dia di kalangan elite militer, menjadi dokter kepercayaan dan bertarif tinggi.
Pesan-pesan singkat sampah seperti ini lazim dikirimkan Bram si suami pencemburu yang mengandalkan backing ayahnya sang wali kota, semenjak tahu seorang dokter tidur dengan istrinya yang sedang hamil empat bulan. Jika ia bertindak lebih nekat, ia khawatir nama ayahnya akan terseret, membuatnya berada di posisi semakin sulit, karena belakangan hubungan dengan sang ayah cukup renggang. Hubungan itu terus berjalan dengan sepengetahuan Bram, sementara kandungan Zara semakin besar. Iya, dia khawatir, karena Zara pun mencintai dokter bertubuh tinggi tegap dengan rasa percaya diri begitu sempurna. Rasa takutnya lebih sekadar Zara akan berpaling darinya, turut membawa Aaron, buah cinta mereka, dan tinggal bersama Ale.
"Zara tidak diperlakukan seperti manusia, bahkan selayaknya seorang istri. Hanya kepadaku dia cerita bagaimana Bram memperlakukan dia di tempat tidur, mengikat tangan dan kakinya dalam posisi tengkurap, memukuli bahkan menyakitinya sedemikian jahatnya, hanya untuk membuang sperma ke dalam tubuh istrinya. Sejak mereka menikah, Bram selalu berlaku begitu, hingga Zara hamil, tanpa sengaja bertemu denganku di rumah sakit, aku merasa ada yang tidak beres dengannya, dia berusaha menutupi tapi bahasa tubuh dan sorot matanya tidak bisa bohong dengan leluasa, dan kurasa dia pantas merasakan seks yang lebih elegan."
"Kau merasa memperlakukannya dengan elegan? Meniduri perempuan hamil?" Ben mengangkat satu aliasnya, meragukan kebenaran perkataan sepupunya.
Ale beranjak dari sofa dan menganggukkan kepala. Jendela memperlihatkan pemandangan kelap-kelip Shark City yang masih terus membangun kemegahannya, dia hanya berjarak enam puluh senti dari jendela kaca antipeluru yang tertutupi gorden sewarna daun yang kering, apartemen termahal dengan tingkat sekuritas menyamai keamanan orang nomor satu di kota itu.
"Aku menciumnya, untuk pertama kali, maksudku untuk membuatnya tahu kalau bercinta bisa dimulai dari tahap itu. Bukan dengan rasa takut lalu sakit luar biasa. Aku tidak perlu mengajari seorang gigolo untuk mengenali bagian-bagian sensitif pada perempuan kan?" Dia membalikkan badan. Menyindir sepupunya.
Ben mengacungkan jari tengah lalu sejenak menikmati sesi chasing the dragon cuma-cuma, cemilan yang paling ia sukai di apartemen Ale, tanpa harus takut risiko digrebek polisi. Suara denting dari ponsel layar sentuh Ale tidak menghentikan keasyikan menghilangkan sedikit tekanan hidup, ya gigolo pun punya masalah, setidaknya Ale menyediakan solusi jangka pendek.
Ale memengambil ponselnya. Barusan ada pesan masuk.
"Hm, kuharap kamu tidak keberatan jika malam Zara menginap malam ini." Dia merapikan rambutnya yang agak berantakan sebelum membuka pintu.
"Ale! Suruh dia pulang! Apa kau gila?!" Ben buru-buru membereskan pengantar telernya dengan tidak rela, di saat benar-benar butuh semacam pencerahan dari si bubuk putih. Tempat terdekat adalah laci meja milik sepupunya. Dengusannya terdengar ke telinga Ale.
Zara punya wajah yang terlihat lelah, tapi juga seorang ibu yang tangguh. Aaron asyik menyusu pada ibunya yang bersantai di kursi goyang di dalam kamar tidur, kepalanya dibelai sesekali oleh Ale yang duduk di sebelahnya. Interaksi anak dan ibu itu tidak ingin diusiknya. Dia beranjak, mengambil sebuah buku tebal berisi kumpulan junal ilmiah lalu menempati kursi kerjanya di ruang sebelah. Dicobanya mengalihkan pikiran dari Zara, yang datang di saat orang mulai mengistirahatkan tubuh, termasuk juga dirinya, yang besok harus ke tempat praktik untuk operasi pemasangan plat gigi seorang pasien.
Zara tidak lama kemudian mengetuk pintu dan masuk. Putranya sudah tidur di dalam boksnya, setelah kenyang akan makanan satu-satunya semenjak keluar dari rahim sang ibu dua bulan lalu.
"Bram membiarkanmu kemari, setelah ia mengancamku." Ale menutup bukunya lalu membiarkan Zara menduduki kedua pahanya. Zara punya tubuh khas perempuan Shark City yang rata-rata tidak tegap menjulang seperti Ale, rambutnya hitam alami agak bergelombang dan dibiarkan panjang melewati bahu. Lebih spesifik, dia memiliki bibir yang begitu lembut berdaya magnetik tinggi hingga sekali bibir Alen menyentuhnya, tidak rela dilepaskannya hingga mereka mencatatkan dosa-dosa berat pengkhianatan cinta atas lembaga pernikahan yang mengikat Zara dan Bram.
"Dia mengancam akan membuka semua ini ke publik, dan kamu akan jadi cemoohan orang, Ale." Zara mengusap hidung tinggi kekasihnya dengan ujung hidungnya, sampai napas mereka beradu. Sepasang tangan yang melingkari pinggangnya mengerat, mendekatkan mereka, menjadi salah satu penanda Ale berusaha melindunginya dari apa pun, termasuk suami Zara yang kurang waras.
"Ada banyak konsekuensi jika Bram bikin ulah, dan masyarakat akan bisa menilai, di pihak siapa mereka akan dominan. Kamu hidup bersama seorang pria BDSM dan bertahan sampai saat ini, Zara."
"Dan aku berselingkuh denganmu." Zara beranjak, tapi Ale merangkul penggangnya dengan kuat. "Dia berjanji akan terapi jika aku mau mengakhiri hubungan ini. Aku datang hanya untuk mengatakan itu."
Ale menarik napas dalam-dalam, menertawakan hal itu di batinnya sendiri. Pria seperti Bram bukan hanya ada satu di dunia, mereka ada karena nyaman dengan semua penyiksaan berujung seks yang kasar. Konsep itu sudah dikenalnya semenjak kuliah, seorang temannya sama seperti itu, dan tidak ambil pusing. Beda dengan Zara, dia menjadi slave yang harus diselamatkan dari sang master. Bahwa Zara lebih baik dengannya ketimbang Bram.
"Besok biar Ben yang mengantarkanmu pulang. Aku harus ke klinik. Tidurlah, ada pekerjaan yang masih harus kuselesaikan."
"Kamu mengakhiri hubungan kita? Selamanya? Begitu saja?"
"Aku hanya menuruti apa yang kamu minta, beri kesempatan pada Bram untuk membuktikan janji itu. Lagipula, dia ayah dari putramu."
Zara beranjak dari pangkuan Ale lalu masuk ke kamar tidur. Melepaskan celana jins dan cardigannya kemudian bergelung di balik selimut, melawan terpaan pendingin udara. Kedua matanya sudah begitu berat, lalu tak lama tertidur, tanpa Ale menyusulnya seperti biasa dan memeluknya hingga pagi hari.
"Jadi sang pahlawan menyerah dari misi suci menyelamatkan kekasihnya dari predator putra walikota Shark City?" goda Ben yang asyik membagi-bagi heroin menjadi empat baris lalu diisapnya satu per satu dengan santai, di balkon kamar tidur Ale.
Si pemilik kamar meraih pemantik gas kemudian menyalakan lintingan menyerupai rokok berisi marijuana. Diisapnya dalam-dalam lalu lintingan itu diletakkannya di asbak. Seorang rekannya punya bisnis sampingan berjualan Mary Jane khusus di kalangan para dokter muda, Ale selalu mendapat harga khusus dan pelayanan antar tanpa biaya tambahan. Dia pelanggan setia yang tidak pernah membeli dalam jumlah sedikit. Ada saat-saat tertentu dia butuh semacam penenang diri dan itu salah satu caranya. Sejak SMA, ia sudah merasakan betapa masalahnya terlupakan begitu saja setelah mengisap satu hingga dua batang lintingan grass.
Ben meraih ponselnya sejenak kemudian mengetik sebuah pesan dan langsung mengirimkannya. Diteruskannya lagi memenuhi syarafnya dengan bubuk putih itu dan tidak sedikit pun Ale menyentuhnya, karena Zara memohon agar dia tidak lagi pernah menggunakan heroin, setidaknya selama mereka menjalin hubungan yang belum lagi genap setahun.
"Memberi kesempatan beda dengan menyerah, Bro," jawab Ale santai sambil tersenyum tipis. Ditenggaknya bir yang hanya tersisa dua teguk. Botol bir kedua. Dia beranjak sejenak ketika bel pintu berbunyi. Disambarnya dompet di meja ruang tengah. Pizza delivery. Malam itu, ia dan Ben tak tertarik makan di luar. Ben juga tak punya klien yang harus ditemani tidur. Atau, ia sedang benar-benar jenuh dengan pekerjaan sebagai tukang blow job. Ia sedikit iri dengan Ale yang selalu punya kekasih. Komitmen.
Ale membuka kotak pizza dengan satu tangan, tangan kirinya memegang rokok. Seporsi pizza tipis dan renyah dengan topping jamur dan smoked beef menjadi pengisi perutnya malam ini. Diambilnya seiris untuk dikunyahnya. Dia tidak pernah mengabaikan lapar, weed kering membuatnya lapar, lapar harus dibayar dengan makan. Sebagai seorang dokter, dia tahu betul akan hal itu. Sementara Ben tidak tertarik makan. Setidaknya, ketika sedang akhir membuat diri sendiri teler.
"Jadi, kamu tidak salah jika bertemu dengan orang baru, kan?" Ben memastikan sepupunya mengiyakan. Besok, seseorang akan datang. Mungkin saja, Ale akan tertarik padanya. Setidaknya, di jari manis Laura belum ada cincin pertunangan maupun pernikahan. Tidak perlu mengenalkan sepupunya lagi-lagi ke istri orang.
"Pertemanan bisa dimulai kapan saja, bahkan hari ini." Ale menghiasi permukaan pizza dengan saus tomat bercampur merica dan sejenak meninggalkan rokoknya. Rasa laparnya minta dituntaskan, dan Ale tidak mau menghabiskan waktu menduga apa yang akan terjadi hari esok.
Sang dokter mengenakan jas putihnya setelah mencuci tangan di wastafel ruang praktik. Hari itu, rambutnya dibiarkan terurai melewati bahu, membuat pasien pertamanya mengira bukan dia Dokter Ale Febrian, melainkan artis yang sedang riset untuk film terbaru. Orang sering mengira dia lelaki dengan nama seperti itu, kemudian dengan sendirinya memaklumi bahwa sosok yang duduk di balik meja jati dengan kacamata bulat berbahan kaca itulah sang dokter.
Pasien pertama hingga keeenam, hanya sebatas scaling, pasien berikutnya datang dengan gusi sebelah kiri bengkak akibat dicabut di klinik lain. Ale memeriksa pembengkakan itu kemudian menuliskan resep untuk meredakan radang sekaligus memintanya konsultasi minggu depan. Lelaki itu mengangguk pelan kemudian digandeng keluar oleh sang istri. Klinik gigi tempat pria itu mencabut gigi sering bermasalah, bukan sekali dua kali pasiennya dirujuk ke klinik Ale untuk penanganannya. Padahal, tarif berobat di kliniknya tidak murah, apalagi obat-obatan yang ia resepkan.
Pasien selanjutnya bernama Laura Candraningtyas. Salah seorang suster mengedipkan mata ke arah Ale dan mulutnya mengerucut tanpa mengeluarkan suara siulan. Ale mengeringkan tangan kemudian menempati kursi kerjanya. Dia duduk di hadapan seorang perempuan berdagu runcing dengan belahan di tengah-tengahnya. Kulitnya sehat dengan tanpa begitu gelap, kadar pigmennya tertakar dengan sempurna. Kemejanya menurut Ale terlalu tipis hingga siapa pun bisa melihat bra yang sewarna dengan rambut khas perempuan Shark City. Kedua kakinya terbungkus celana panjang berbahan thaisilk, membuatnya terkesan berkelas.
"Gigimu sangat sehat, Laura," komentar Ale saat membaca dental record pasiennya. Tidak pernah filling atau ekstraksi. Scaling rutin dilakukannya setahun dua kali sesuai rekomendasi dokter, terakhir dua minggu lalu.
"Aku sebenarnya hanya ingin ketemu kamu, dari Ben."
Ale berpikir. Wajahnya terangkat, mengarah ke wajah lonjong dengan hidung runcing sempurna, bisa jadi hasil operasi plastik.
"Ben tidak bilang apa-apa." Ale menutup map dental record lalu paham, Laura datang bukan untuk konsultasi gigi.
Perempuan itu tersenyum, memperlihatkan deretan gigi yang rapi tanpa cela, putih dengan proses bleaching yang tidak murah. Ale mengakui, lawan bicaranya tahu bahwa penampilan seseorang harus dijaga mulai dari kepala hingga ujung kaki.
"Besok aku ada penerbangan Seagull, jika kamu ada waktu, mungkin jam makan siang atau nanti malam?"
Ale mengerling suster yang melintas di belakang Laura.
"Jadi, siapa Laura ini? Oke, aku tahu dia pilot yang sibuk, temanmu saat SMA, ayahnya anggota dewan yang punya lima yayasan sosial, ibunya musisi yang sering tampil di Seagull City. Dia seorang vegetarian, penganut Saintologi, dan dia terlalu dominan di ranjang."
Ben meninju lengan sepupunya. Dipanggilnya seorang pelayan Black Cafe untuk memesan espresso lagi. Mereka duduk di kafe rooftop yang menumpang hotel berbintang lima di pusat Shark City, sekitar lima blok dari apartemen Ale dan tujuh blok dari klinik dokter gigi itu. Baru saja jam digital Ben berbunyi, pukul delapan malam. Jam sembilan nanti Ale ada janji dengan Laura, lalu Ben dengan seorang janda kaya kesepian.
"Dia biseksual, tapi jangan kamu artikan yang macam-macam. Soal good in bed, aku tidak tahu, tidak pernah tidur dengannya, dia bukan tipeku. Dia jauh berbeda dari Zara, dia sangat bebas, itu sebabnya dia menjadi pilot dan tidak kurekomendasikan menjadi pacarmu."
Ale mengangkat alis. Dia membakar ujung rokok, kali ini murni termbakau. "Karena aku lebih pantas dengan Zara? Dia tidak meneleponku sama sekali hari ini, dan aku kangen dia." Batere ponselnya masih penuh karena tidak ada percakapan panjang dengan Zara. "Hanya untuk senang-senang?"
Ben mengangguk. Espressonya datang, diantar oleh pelayan bernama depan sama dengan perempuan yang siang tadi membuat Ale enggan beranjak dari ranjang hotel dan kembali ke klinik, tapi ia harus.
Zara seorang ibu, meski usianya masih tergolong muda. Masih menyusui putranya dan cadangan ASI-nya masih cukup banyak. Putranya, Aaron, sering terbangun tengah malam, memaksa Zara ikut terjaga sampai putranya tidur lagi. Suaminya masih saja memperlakukannya seperti budak seks, tidak menepati janjinya sendiri. Ale tahu, itu sulit diubah, jika Bram tidak mau mengubah dirinya sendiri. Maka, itu alasan Zara datang membawa bayinya ke apartemen Ale.
"Coba kulihat luka-lukamu," pinta Ale sembari menutup pintu balkon. Aaron sudah tertidur nyenyak di dalam boksnya. Bantal mungil warna biru muda mengganjal kepalanya yang mulai ditumbuhi rambut. Dua guling berada di sisi kiri dan kanannya. Rautnya serupa Zara.
Zara menggeleng, ditepiskannya tangan Ale yang sempat membuka kancing blusnya. Zara selalu mengenakan blus lengan panjang untuk menutupi kreasi kejam sang suami di tubuhnya. Luka-luka itu perih jika disentuh, meski Ale menyentuh dengan lembut, tidak bermaksud menyakitinya.
Ale menghela napas. Dalam hati ia bersyukur, Zara tidak datang tiga malam lalu, saat dirinya membiarkan Laura membuatnya mengejang di atas ranjang, dengan atau tanpa strap on, dan bukan hubungan intim yang sepihak. Zara benar-benar straight, yang tidak mengenal prinsip "saling" dalam segala aspek kehidupan. Mana dia tahu kalau dia pun punya tugas memuncakkan hasrat pasangannya? Hanya angannya yang selalu berharap, Zara menguasai tubuhnya, berlaku sesukanya, apa pun. Tapi itu tadi, Zara tidak mengerti.
"Aku ingin minta cerai."
"Aku akan bantu mengurus semuanya, aku punya kenalan pengacara. Dia tidak berhak memperlakukanmu seperti ini terus. Lihat dirimu, Zara, Ben bahkan ingin sekali menghajar Bram jika aku tidak mengancam akan mengusirnya dari apartemen ini. Sementara, kamu bisa tinggal di sini."
Zara memandang boks putranya. Aaron membuatnya bertahan dengan semua rasa perih. Bram makin menjadi bahkan melarangnya bekerja, mengurungnya di rumah, merebut ponselnya. Menyiksanya di malam hari ketika pulang dengan mulut beraroma alkohol. Hingga Zara membawa lari Aaron, ke apartemen Ale. Dia mengandalkan Ale yang tidak pernah takut pada Bram, di samping dia mencintai Ale dengan semua kelembutannya.
"Sebentar, aku ambil minum."
Ale beranjak ke dapur, mengambilkan air putih, memasukkan sebuah pil cepat larut ke dalamnya. Diberikannya pada Zara yang tampak masih waswas jika Bram menyusulnya. Obat itu bereaksi kurang dari sepuluh menit, matanya terasa berat lalu tertidur dengan pakaian lengkap.
Sebuah tas diambil Ale dari ruang kerjanya. Didengarnya suara pintu dibuka, dilihatnya Ben pulang dengan keadaan mabuk, jalannya sempoyongan. Ben melihat Ale dan segera paham, ada Zara di kamar tidurnya, dia tidak akan mengganggu, dia memutuskan langsung mengunci diri di dalam kamar sementara Ale pun masuk ke kamar tidurnya sendiri.
Luka-luka yang baru, lebam, sangat menyakitkan Ale ketika melihat, memenuhi punggung dan dada kekasihnya. Dibersihkannya dengan perlahan. Obat tidur yang dimasukkannya ke dalam minuman Zara, reaksinya baru akan hilang pagi nanti. Rasa perih karena alkohol mengenai permukaan kulit yang terluka tidak akan dirasakan Zara sama sekali. Ale mengecup bibirnya. Dia sangat mencintai Zara.
"Laura menanyakan kabarmu." Ben menaikkan kakinya ke meja. Pandangannya lurus mengarah ke gedung perkantoran bertingkat di sekitar apartmen mereka. Mereka berada di balkon tanpa heroin dan ganja. Zara sedang mandi, lelah menghadiri sidang perceraiannya dengan Bram seharian tadi. Ale menggendong Aaron yang tertidur nyenyak. Dua minggu ini, Zara dan Aaron tinggal di apartemen Ale. Ben terpaksa menikmati heroin di kamarnya sendiri. Ale sama sekali tidak berminat menyentuh marijuana.
"Dia meneleponku dari Seagull, jam terbangnya padat, dan aku jarang menjawab teleponnya."
"Jadi, kamu memilih Zara?" Ben manggut-manggut. Dia lebih merestui sepupunya itu bersama Laura yang bebas, ketimbang calon janda beranak satu. Yang pasti, meski nantinya pengadilan telah memutuskan perceraian antara Zara dan Bram, dengan hak asuh jatuh ke tangan Zara, toh Bram tetap punya hal menemui putranya. Si anak wali kota sepertinya berpikir berulang kali mengadukan masalahnya pada sang ayah. Bisa-bisa Ale melaporkan tindakan kekerasannya pada polisi. Dia tidak ingin itu terjadi, maka gugatan cerai disetujuinya. Jauh di lubuk hatinya, dia benci setengah mati pada Dokter Ale.
"Memilih? Hm, lebih tepatnya menerima Zara dengan kondisi yang bagaimanapun juga. Dan satu lagi, dari dulu aku sangat ingin punya pacar dokter." Ale tersenyum nakal sambil menaikkan dagunya bak aristokrat paling menyebalkan.
Ben menyerigai. Pintu balkon digeser dari dalam. Zara muncul dengan tiga gelas jus jeruk di atas nampan. Pembicaraan keduanya pun beralih ke hal lain, tentu mereka tidak akan membahas tentang sosok pilot yang jauh di Seagull sana. Aaron langsung terbangun menyadari ibunya datang dan merengek manja minta disusui.
"Ahem, aku ke kamar deh." Ben membawa serta gelas jusnya meninggalkan tempat itu. Dia selalu salah tingkah jika berada di momen khusus ibu dan anak, terlebih jika Ale menambahkan dengan adegan berciuman yang panjang.
Ale menarik kursi bekas duduk Ben hingga tepat di sampingnya. Keningnya dikecup Zara sebelum duduk dan membiarkan putranya asyik menuntaskan rasa haus. Dia sabar menunggu Zara yang tidak pernah menjanjikan akan meninggalkan suaminya berperilaku seperti itu padanya, hanya saja Ale berharap, sebuah keajaiban terjadi untuk mengubah segalanya.
Yogyakarta, 23 Juli 2014
Tags
Fiksi